Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyebab terbanyak kecacatan fisik dan penyebab utama


kematian di negara berkembang. Banyak individu yang mengkhawatirkan dirinya
mengalami stroke dibanding menghadapi kematian. Insidens stroke meningkat
dengan bertambahnya usia; dua pertiga (2/3) penderita stroke berusia diatas 65
tahun, dan lebih banyak muncul pada laki-laki dibanding perempuan.1,2 Meskipun
begitu, penyakit stroke bisa ditemukan pada anak-anak sejak mulai neonatus
sampai anak yang sudah besar.3,4 Stroke dapat menyebabkan kehilangan fungsi
neurologis secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke otak. 1
Bila dibandingkan dengan stroke pada orang dewasa, stroke pada anak sangatlah
berbeda mulai dari etiologi sampai patogenesisnya walaupun demikian
penanganannya banyak merujuk pada terapi stroke orang dewasa karena masih
sangat sedikit penelitian mengenai stroke pada anak.3,4
Prevalensi stroke sendiri baik di Dunia, Indonesia, maupun Aceh masih
sangat cukup tinggi. Insiden stroke di seluruh dunia mencapai 180 per 100.000
penduduk per tahun, atau hampir 0,2%. Sementara itu untuk prevalensinya sekitar
500-600 per 100.000 penduduk atau 0,5%. Survei Badan Departemen Kesehatan
RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah tangga di 34 provinsi menunjukkan
bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama di atas 45 tahun (15,4% dari
seluruh kematian). Di Yogyakarta, dari 1.053 kasus stroke di 5 rumah sakit dicatat
angka 28,3% nya. Mortalitas dari pasien stroke di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
menduduki peringkat ketiga setelah penyakit jantung koroner dan kanker.5
Sementara itu, usia yang lebih muda (di bawah 45 tahun) angka kejadiannya
sebenarnya sulit diidentifikasi karena berbagai hal antara lain, perbedaan kriteria
diagnosis dan inklusi pasien. Diperkirakan angka kejadian stroke pada usia di
bawah 45 tahun adalah antara 7-15 kasus/100.000 penduduk/tahun dan lebih
jarang lagi pada kelompok anak-anak yaitu 1-8 kasus per 100.000 pertahun.
Insidensinya akan meningkat sesuai dengan pertambahan usia.6

1
2

Sebagian besar penyakit stroke datang tanpa peringatan. Ini berarti bahwa
penatalaksanaan dari stroke haruslah bertujuan untuk membatasi kerusakan otak,
mengoptimalkan pemulihan dan mencegah kekambuhan. Strategi dari pencegahan
stroke dan diagnosa secara dini sangatlah penting. 1 Sementara itu, untuk diagnosa
dini diperlukan modalitas yang baik dan cepat dalam menemukan infark ataupun
perdarahan yang terjadi dalam otak.1,2,5 Pada dasarnya, stroke dapat disebabkan
oleh oklusi arteri yang menimbulkan iskemik atau infark serebri atau dapat juga
disebabkan pecahnya pembuluh darah arteri, sehingga menimbulkan perdarahan
intrakranial.1,5

BAB II
LAPORAN KASUS
3

2.1 Identitas Pasien

Nama : LA
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 14 Tahun
Alamat : Aceh Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Masuk : 09-01-2018
Rekam Medis : 1-15-71-48

2.2 Anamnesis
Secara alloanamnesis kepada ibu pasien saat pasien dikonsulkan dari bagian
anak ke bagian neurologi pada tanggal 5-02-2018 pada pukul 15.00.
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien telah mengalami penurunan kesadaran sejak ± 26 hari yang lalu,
secara tiba-tiba, pagi hari, saat istirahat. Sebelumnya pasien mengalami kejang
sejak ± 28 hari yang lalu, kejang seluruh tubuh, frekuensi 8 kali, lama kejang ± 2-
3 menit. Saat kejang mata pasien melihat ke atas dan seluruh badan kaku. Setelah
kejang pasien tidak sadar sampai saat ini, dan sempat mengigau selama ± 30
menit. Pasien pernah mengeluh nyeri kepala dan pusing sejak ± 2 bulan yang lalu.
Pasien sering muntah setelah makan. Batuk juga dialami sejak 2 bulan yang lalu,
yaitu batuk berdahak. Demam dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, saat ini tidak
demam lagi. Bengkak seluruh badan terjadi sejak 1,5 bulan yang lalu, awalnya
bengkak di kaki, kemudian bengkak seluruh tubuh. Saat ini tidak ditemukan
bengkak. Tidak didapatkan kelemahan anggota gerak sesisi tubuh, bicara pelo,
mulut merot, sulit menelan atau tersedak saat makan atau minum.

Riwayat Penyakit
4

Pasien merupakan rujukan dari RS daerah dengan diagnosa sindroma


nefrotik dengan TB paru dan gagal ginjal akut.

Riwayat Penyakit Keluarga


Hipertensi (-), diabetes mellitus (-), penyakit jantung (-), penyakit ginjal (+).

Riwayat Pengobatan
Pasien mendapatkan terapi drip albumin, injeksi antibiotika Meropenem 1
g/12 jam, injeksi Furosemid 4 mg/8 jam, injeksi Dexamethasone 1 amp/12 jam
dan injeksi Diazepam (k/p).

2.3 Pemeriksaan Vital Sign


Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : E2M5V2
Tekanan Darah : 139/70
Nadi : 121 kali/menit
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu : Afebris

Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normosefali, rambut hitam tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
Ptosis (-/-), lagoftalmus (-/-), pupil bulat isokor,
Ø 2mm/2mm, RCL (+/+), RCTL (+ /+)
Telinga : Perdarahan (-/-)
Hidung : Deviasi septum -/-, perdarahan -/-
Mulut : Bibir sianosis (-), lidah kotor (-)
Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah,
Tidak teraba pembesaran KGB dan tiroid
Jantung : BJ I > BJ II, bising jantung tidak ada

Paru
5

Inspeksi : Pergerakan dada simetris pada statis dan dinamis


Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris
Palpasi : Soepel, nyeri tekan tidak ada,
Hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas
Superior : Akral hangat (+/+), edema (-/-), sianosis (-/-)
Inferior : Akral hangat (+/+), edema (+/+), sianosis (-/-)

Pemeriksaan Neurologis
GCS : E2M5V2
Tanda Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Nervus Cranialis : Parese N. (-)
Sistem Motorik
Pergerakan : Bebas
Tonus
Ekstremitas superior : Normotonus
Ekstremitas inferior : Normotonus
Kekuatan otot : Kesan lateralisasi (-)
Gerakan involunter : Tremor (-), Chorea (-), Atetose (-),
Miokloni : (-), Tic : (-)
Refleks Fisiologis
Biseps : (1+/1+)
Triseps : (1+/1+)
Patella : (1+/1+)
Achilles : (1+/1+)
Refleks Patologis : -/-
6

Sistem Sensorik : Belum dapat dinilai


Fungsi Otonom
Miksi : Dalam batas normal
Defekasi : Dalam batas normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
Hasil laboratorium darah tanggal 05-02-2018
Tabel 2.1 Hasil laboratorium tanggal 05-02-2018
PEMERIKSAAN HASIL
Hematologi
1. Hemoglobin 8.6 g/dl
2. Eritrosit 3.0 x 103/mm3
3. Leukosit 7.9 x 103/mm3
4. Trombosit 77 x 103/mm3
5. Hematokrit 24 %
6. MCV 80 fl
7. MCH 29 pg
8. MCHC 36 %
9. RDW 15.3 %
10. Hitung Jenis:
Eosinofil 3
Basophil 0
Netrofil Batang 0
Netrofil Segmen 68
Limfosit 19
Monosit 10
Kimia klinik
Elektrolit
1. Na darah 132 mmol/L
2. K darah 3.1 mmol/L
3. Cl darah 107 mmol/L
7

Fungsi Ginjal
1. Ureum 140 mg/dL
2. Creatinin 1.23 mg/dL

2.4.2 Pemeriksaan Radiologi

Gambar 2.1 CT Scan Kepala Non-Kontras


Hasil Interpretasi :
1. Chronic cerebral infarction di lobe parietal kanan dan subcorteks lobus
occipital kiri
2. Brain atropi

2.5 Resume
8

Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak ± 26 hari yang lalu, secara


tiba-tiba, pagi hari, saat istirahat. Kejang sejak ± 28 hari yang lalu, kejang seluruh
tubuh, frekuensi 8 kali, lama kejang ± 2-3 menit. Saat kejang mata pasien melihat
ke atas dan seluruh badan kaku. Setelah kejang pasien tidak sadar sampai saat ini,
dan sempat mengigau selama ± 30 menit. Nyeri kepala dan pusing sejak ± 2 bulan
yang lalu, serta sering muntah setelah makan. Batuk juga dialami sejak 2 bulan
yang lalu, yaitu batuk berdahak. Demam dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, saat
ini tidak demam lagi. Bengkak seluruh badan terjadi sejak 1,5 bulan yang lalu,
awalnya bengkak di kaki, kemudian bengkak seluruh tubuh. Saat ini tidak
ditemukan bengkak.

2.6 Diagnosis dan Tatalaksana


Berdasarkan hasil anamnesis dan juga pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis
dengan:
Diagnosis Klinis : Penurunan Kesadaran + Secondary Seizure
Diagnosis Topis : Korteks dan subkorteks lobus parietal dekstra dan
lobus occipital sinistra
Diagnosis Etiologi : Stroke iskemik tipe trombosis
Diagnosis Patologi : Infark dan Atrofi Cerebri
Diagnosa Sekunder :- CKD St V On HD Reguler
- Anemia
- Trombositopenia
- Hipokalemia

Tatalaksana Awal:
1. Primary survey
Airway : Head Up 300
Breathing : O2 Nasal Kanul 2-4 L/menit
Circulation : IVFD NaCl 0,45% 20 gtt/’ (mikro)
2. Medikamentosa
a. Antiplatelet : Clopidogrel 1 x 75 mg
b. Atasi kejang : Depakene syr 2 x cth I
9

c. Atasi gagal ginjal: Hemodialisis rutin 2 kali/minggu.


d. Atasi anemia : Transfusi PRC 150 cc 1 kolf
e. Atasi hipokalemia : KSR 2 x 600 mg
f. Neuroprotektor: Inj. Citicolin 250 mg/12 jam

2.7 Prognosis
Quo et Vitam : dubia et malam
Quo et Functional : dubia et malam
Quo et Sanactionam : dubia et malam

Follow Up Harian

Tanggal S O A P

6/2/2018 - Penurunan GCS : E2M5V2 - Penurunan Th/


Pukul 08.00 kesadaran TD : 117/77 mmHg kesadaran+ - Clopidogrel 1x75 mg
Hari Kejang (+) N : 79 x/i Secondary - Inj citicolin 250 mg/12
rawatan RR : 18 x/i Seizure ec Dd: jam
bersama - T : 36,50 C 1. Uremik - Depakene syr 2 x cth I
dengan - Mata : pupil isokor ensepalopati - KSR 2 x 600 mg tab
neuro: 1 3mm/3mm RCL (+/+) 2. Metabolik
RCTL (+/+) ensepalopati Saran/
TRM : kaku kuduk (-) 3. Encephalitis EEG (jika transportable)
Motorik: Lateralisasi (-) - CKD St V On Periksa Elektrolit setelah
Sensorik : belum dapat HD Reguler koreksi hari ke-3
- Neuro dinilai
R. Fisiologis : +1 / +1
+1/ +1
R. Patologis : (- /-)
7/2/2018 - Penurunan GCS : E2M5V2 - Penurunan Th/
Pukul 09.00 kesadaran TD : 136/80 mmHg kesadaran + - Clopidogrel 1x75 mg
Hari Kejang (-) N : 80 x/i Secondary - Inj citicolin 250 mg/12
rawatan RR : 16 x/i Seizure ec Dd: jam
bersama 1. Uremik
10

Tanggal S O A P

dengan T : 370C ensepalopati - Depakene syr 2 x cth I


neuro: 2 Mata : pupil isokor 2. Metabolik - KSR 2 x 600 mg tab
3mm/3mm RCL (+/+) ensepalopati
RCTL (+/+) - CKD St IV On Saran/
TRM : (-) HD Reguler EEG (jika transportable)
Motorik: Lateralisasi (-) Periksa Elektrolit setelah
- Neuro Sensorik : belum dapat koreksi hari ke-3
dinilai
R. Fisiologis : +1 / +1
+1/ +1
R. Patologis : (- / -)
8/2/2018 - Penurunan GCS : E2M5V2 - Penurunan Th/
Pukul 12.10 kesadaran. TD : 149/106 mmHg kesadaran+ - Clopidogrel 1x75 mg
Hari - Kejang (-) N : 69 x/i Secondary - Inj citicolin 250 mg/12
rawatan RR : 18 x/i Seizure ec Dd/ jam
bersama T : 37.20C 1. Uremik - Depakene syr 2 x cth I
dengan Mata : pupil isokor ensepalopati - KSR 2 x 600 mg tab
neuro: 3 2mm/2mm RCL (+/+) 2. Metabolik
 RCTL  ensepalopati Saran/
TRM : (-) 3. Infark EEG (jika transportable)
Motorik: Lateralisasi (-) Cerebri Periksa Elektrolit post
R. Fisiologis : + 1/ +1 - CKD St IV On koreksi
- Neuro +1/ +1 HD Reguler
R. Patologis : (- /-)
Sensorik : belum
dapat dinilai
Otonom : BAK (+)
9/2/2018 - Penurunan GCS : E2M5V2 - Penurunan Th/
Pukul 07.00 kesadaran TD : 150/86 mmHg kesadaran+ - Clopidogrel 1x75 mg
Hari N : 120 x/i Secondary - Inj citicolin 250 mg/12
rawatan
11

Tanggal S O A P

bersama RR : 20 x/i Seizure ec Dd/ jam


dengan T : 370C 1. Uremik - Depakene syr 2 x cth I
neuro: 4 Mata : pupil isokor ensepalopati
2mm/2mm RCL (+/+) 2. Metabolik
 RCTL  ensepalopati Saran/
TRM : (-) 3. Infark EEG (jika transportable)
Motorik: Lateralisasi (-) Cerebri
- Neuro Sensorik : belum CKD St IV On
dapat dinilai HD Reguler
R. Fisiologis : +1/ +1
+1/ +1
R. Patologis : (- / -)
Otonom : BAK (+)
10/2/2018 - Penurunan GCS : E4M4V2 - Penurunan Th/
Pukul 10.00 Kesadaran TD : 160/90 mmHg kesadaran+ - Clopidogrel 1x75 mg
Hari - (Perbaikan) N : 80 x/i Secondary - Inj citicolin 250 mg/12
rawatan RR : 20 x/i Seizure ec Dd/ jam
bersama T : 370C 1. Uremik - Depakene syr 2 x cth I
dengan Mata : pupil isokor ensepalopati
neuro: 5 3mm/3mm RCL (+/+) 2. Metabolik
RCTL (+/+) ensepalopati
TRM : (-) 3. Infark
Motorik: Lateralisasi (-) Cerebri
Sensorik : belum dapat CKD St IV On
- Neuro dinilai HD Reguler
R. Fisiologis : +1 / +1
+1/ +1
R. Patologis : (- / -)
Otonom : BAK (+)
11/2/2018 - Penurunan GCS : E4M4V2 - Penurunan Th/
kesadaran ec
12

Tanggal S O A P

Pukul 09.00 Kesadaran TD : 150/80 mmHg dd/ - Clopidogrel 1x75 mg


Hari - (Perbaikan) N : 90 x/i 1. Uremik - Inj citicolin 250 mg/12
rawatan RR : 20 x/i ensepalopati jam
bersama T : 370C 2. Metabolik - Depakene syr 2 x cth I
dengan Mata : pupil isokor ensepalopati
neuro: 6 3mm/3mm RCL (+/+) 3. Infark
RCTL (+/+) Cerebri
TRM : (-) - CKD St IV On
Motorik: Lateralisasi (-) HD Reguler
Sensorik : belum dapat
- Neuro dinilai
R. Fisiologis : +1/+1
+1/+1
R. Patologis : (- /- )
Otonom : BAK (+)
12/2/2018 - Penurunan GCS : E4M5V2 - Penurunan Th/
Pukul 08.30 Kesadaran TD : 148/77 mmHg kesadaran ec - Clopidogrel 1x75 mg
Hari - (Perbaikan) N : 79 x/i dd/ - Inj citicolin 250 mg/12
rawatan RR : 18 x/i 1. Uremik jam
bersama T : 37.10C ensepalopati - Depakene syr 2 x cth I
dengan Mata : pupil isokor 2. Metabolik
neuro: 7 3mm/3mm RCL (+/+) ensepalopati P / Mobilisasi miring kiri –
RCTL (+/+) 3. Infark kanan
TRM : (-) Cerebri
Motorik: Lateralisasi (-) - CKD St IV On
Sensorik : belum HD Reguler
- Neuro dapat dinilai
R. Fisiologis : +1 /+1
+1 / +1
R. Patologis : ( - / - )
13

Tanggal S O A P

Otonom : BAK (+)


13/2/2018 - Penurunan GCS : E4M5V2 - Penurunan Th/
Pukul 10.30 Kesadaran TD : 149/54 mmHg kesadaran ec - Clopidogrel 1x75 mg
Hari (perbaikan) N : 102 x/i dd/ - Inj citicolin 250 mg/12
rawatan RR : 19 x/i 1. Uremik jam
bersama T : 370C ensepalopati - Depakene syr 2 x cth I
dengan Mata : pupil isokor 2. Metabolik
neuro: 8 3mm/3mm RCL (+/+) ensepalopati P / Mobilisasi miring kiri –
RCTL (+/+) 3. Infark kanan
THM : (-) Cerebri
Motorik: Lateralisasi (-) - CKD St IV On
Sensorik : belum dapat HD Reguler
- Neuro dinilai
R. Fisiologis : +1 / +1
+1 / +1
R. Patologis : ( - / - )
14/2/2018 - Penurunan GCS : E4M5V2 - Penurunan Th/
Pukul 09.00 Kesadaran TD : 147/104 mmHg kesadaran ec - Clopidogrel 1x75 mg
Hari (perbaikan) N : 101 x/i dd/ - Inj citicolin 250 mg/12
rawatan - RR : 20 x/i 1. Uremik jam
bersama T : 36.80C ensepalopati - Depakene syr 2 x cth I
dengan Mata : pupil isokor 2. Metabolik
neuro: 9 3mm/3mm RCL (+/+) ensepalopati P / Mobilisasi miring kiri –
RCTL (+/+) 3. Infark kanan
THM : (-) Cerebri
Motorik: Lateralisasi (-) - CKD St IV On
Sensorik : belum dapat HD Reguler
- Neuro dinilai
R. Fisiologis : +1/ +1
+1/ +1
14

Tanggal S O A P

R. Patologis : ( - / - )
Otonom : BAK (+)
15/2/2018 - Penurunan GCS : E3M4V2 - Penurunan Th/
Pukul 09.30 kesadaran TD : 140/40 mmHg kesadaran ec - Inj citicolin 250 mg/12
Hari - N : 90 x/i Uremic jam
rawatan RR : 18 x/i ensepalopati - Inj mecobalamin 500
bersama T : 36.90C - Infark Cerebri mg/12 jam
dengan Mata : pupil isokor - CKD St IV On - Depaken syrup 2x cth I
neuro: 10 3mm/3mm RCL (+/+) HD Reguler - Asam folat 2x1
RCTL (+/+)
THM : (-)
Motorik: Lateralisasi (-)
Sensorik : belum dapat
- Neuro dinilai
R. Fisiologis : +1 /+1
+1/ +1
R. Patologis : ( - / - )
Otonom : BAK (+)

BAB III
15

ANALISA KASUS

3.1 Pendekatan Umum Pasien Dengan Penurunan Kesadaran


Telah dilaporkan seorang pasien yaitu anak umur 14 tahun yang mengalami
penurunan kesadaran sejak ± 26 hari yang lalu, secara tiba-tiba di pagi hari, saat
istirahat. Penurunan kesadaran pada anak merupakan masalah kedaruratan yang
menunjukkan gangguan berat fungsi serebral. Kesadaran memerlukan interaksi
yang terus-menerus dan efektif antara hemisfer otak dan formasio retikularis di
batang otak. Kesadaran membutuhkan fungsi normal dari kedua belahan hemisfer
serebri dan ascending reticular activating system (ARAS), yang meluas dari
midpons menuju hipotalamus anterior. Proyeksi neuronal berlanjut dari ARAS ke
talamus, kemudian diproyeksikan ke korteks. Individu dengan kesadaran normal
dapat bangun dan tanggap terhadap apa yang terjadi di lingkungannya.
Penurunan kesadaran dapat terjadi akibat berbagai gangguan atau penyakit
yang akan mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung
maupun tidak langsung. Klasifikasi etiologi penurunan kesadaran pada anak dapat
disebabkan infeksi, inflamasi, kelainan struktural, metabolik, nutrisi, atau toksik.
Pada pasien dalam laporan kasus ini terdapat beberapa kecurigaan kemungkinan
penyebab pada pasien, di antaranya adalah infark serebri kronis yang didukung
oleh hasil CT -Scan. Penurunan kesadaran dapat terjadi akibat berhentinya aliran
darah ke otak secara total dalam waktu 15-20 detik; dengan kerusakan otak yang
irreversibel terjadi setelah tujuh hingga sepuluh menit. Penyumbatan pada satu
arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terkena. Mekanisme dasar
kerusakan jaringan otak adalah defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia
(misal aterosklerosis, emboli). Dengan menghambat Na⁺/K⁺-ATPase, defisiensi
energi menyebabkan penimbunan Na⁺ dan Ca2⁺ di dalam sel, serta meningkatkan
konsentrasi K⁺ ekstrasel sehingga menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi
menyebabkan penimbunan Cl⁻ di dalam sel, pembengkakan sel, dan kematian sel.
Depolarisasi juga meningkatkan pelepasan glutamat, yang mempercepat kematian
sel melalui masuknya Na⁺ dan Ca2⁺.
16

Penyebab lain penurunan kesadaran pada pasien ini adalah adanya riwayat
CKD dan nefritis lupus, serta hasil laboratorium berupa peningkatan nilai ureum,
creatinin dan elektrolit yang tinggi memberikan informasi bahwa salah satu
dugaan penyebab penurunan kesadaran pada pasien adalah metabolik, nutrisi atau
toksik. Hal ini sesuai dengan diagnosis kerja yang diambil dimana salah satu
penyebab penurunan kesadaran pada pasien adalah metabolik ensefalopati.
Namun terlepas daripada kondisi tersebut, melihat lagi dari hasil laboratorium
pasien dimana leukosit dan neutrofil segmen pasien yang meningkat maka
kecenderungan untuk penyebab dari penurunan kesadaran yang dialami oleh
pasien berasal dari proses infeksi atau inflamasi yang bisa saja terjadi akibat
hospital pneumonia yang mungkin terjadi pada pasien, atau bisa dari infeksi ginjal
yang terjadi pada pasien dengan CKD.
Terdapat banyak sekali faktor risiko dari stroke yang bisa terjadi pada usia
muda. Pada pasien ini, terdapat kondisi nefritis lupus dengan manifestasi kelainan
neurologis sangat bervariasi, dapat berupa nyeri kepala, depresi, kejang, psikosis,
korea, neuritis optik, hemiparsesis/hemiplegia, paralisis nervus kranialis, stroke,
dan koma yang ditemukan pada 20-30% kasus. Manifestasi yang mendadak dapat
terjadi pada penyakit yang kronis sebagai akibat komplikasi uremia, infeksi, atau
stroke. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa kondisi nefritis lupus sendiri
adalah lingkaran setan dari tiga kelompok penyebab penurunan kesadaran pada
pasien anak yang mungkin terjadi. Patofisiologi nefritis lupus yang dapat
menyebabkan kondisi stroke paling sering adalah karena oklusi vaskular akibat
vaskulopati, vaskulitis, trombosis atau leukoaglutinasi, serta disfungsi sel neuron
yang dimediasi oleh antibodi. Sehingga kondisi nefritis lupus dan CKD harus
dipantau untuk mencegah komplikasi dan manifestasi klinis lainnya.

3.2 Pendekatan Umum Pasien dengan Kejang


Pasien mengalami kejang sejak ± 28 hari yang lalu, kejang seluruh tubuh,
frekuensi 8 kali, lama kejang ± 2-3 menit. Saat kejang mata pasien melihat ke atas
dan seluruh badan kaku. Setelah kejang pasien tidak sadar sampai saat ini, dan
sempat mengigau selama ± 30 menit.
17

Kejang dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu stroke, kelainan metabolik,
keracunan, cedera otak, infeksi, atau tumor otak. Kejang pada pasien ini diduga
akibat kelainan metabolik yaitu gagal ginjal akibat akumulasi sisa metabolisme
protein ureum, kreatinin dan zat lainnya. Peningkatan ureum di dalam darah
disebut dengan uremia, yang mengganggu metabolisme energi pada korteks
serebri. Gangguan ini ditandai berkurangnya kadar glukosa otak dan gangguan
pemakaian ATP dan kreatinin fosfat, sehingga menimbulkan ensefalopati. Pada
ensefalopati uremikum terjadi perubahan permeabilitas sawar darah otak terhadap
ion-anionik, dan terjadi peningkatan kandungan guanidin (neurotoksin uremia)
dalam serum. Meningkatnya kandungan guanidin ini akan menghambat GABA
dan glisin, menghambat jalur transketolase sehingga menyebabkan perubahan
demyelinasi sistem saraf pusat dan tepi. Salah satu kandungan guanidin yang
meningkat adalah metilguanin, yang menyebabkan timbulnya kejang. Kejang
dapat bersifat fokal atau umum. Kejadian kejang lebih signifikan bila kadar blood
urea nitrogen > 250 mg/dl.
Selain itu, dapat juga disebabkan gangguan vaskular yaitu stroke. Stroke
diakibatkan oleh terganggunya vaskularisasi aliran darah ke otak secara tiba-tiba.
Berkurangnya aliran darah akibat penyempitan pembuluh darah atau sklerosis
jaringan otak dapat menyebabkan perubahan baik anatomis atau biokimia pada
sel-sel otak atau pada lingkungan di sekitarnya, sehingga terbentuk sekelompok
sel-sel otak yang melepaskan muatan listrik secara spontan dan di luar kehendak.
Akibat lepasnya muatan listrik yang tidak terkendali, timbul kejang yang dapat
dimulai dari lengan atau tungkai, kemudian menyebar ke seluruh tubuh.
Intoksikasi uremia juga terkait dengan ketidakseimbangan elektrolit. Kondisi
hiponatremia akibat pengeluaran natrium yang banyak melalui urin atau karena
kelebihan cairan, dapat menunjukkan gejala kejang umum.

3.3 Stroke
Stroke merupakan defisit neurologis fokal maupun global yang terjadi tiba-
tiba, progresif, dapat menetap lebih dari 24 jam dan dapat menyebabkan kematian,
yang semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah di otak non-
traumatik. Angka kejadian stroke meningkat pada usia lanjut, lebih sedikit pada
18

anak dan dewasa muda. Akan tetapi stroke pada kelompok usia lebih muda dapat
berdampak buruk. Secara umum, stroke dibagi menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan
stroke hemoragik. Angka kejadian stroke iskemik lebih tinggi dibanding stroke
hemoragik, yaitu berkisar 80%-85%. Stroke iskemik disebabkan oleh obstruksi
atau adanya bekuan di satu atau lebih pembuluh darah otak pada sirkulasi otak.
Gangguan peredaran darah mengakibatkan gangguan pada fungsi otak dan
berujung pada kematian sel-sel otak atau yang biasa disebut dengan infark.
Gangguan peredaran darah otak pada usia muda banyak didapati akibat infark
karena emboli, yaitu mulai dari usia di bawah 20 tahun dan meningkat pada
dekade ke-4 hingga ke-6, lalu menurun dan jarang dijumpai pada usia yang lebih
tua.
Manifestasi klinis stroke dapat berupa kelumpuhan anggota tubuh atau wajah
yang timbul mendadak, perubahan mendadak status mental (delirium, letargi,
stupor, koma), gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota tubuh
(gangguan sensorik), afasia, disartria, gangguan penglihatan atau diplopia,
vertigo, mual, muntah atau nyeri kepala.

3.3.1 Faktor Risiko Stroke Usia Muda


Beberapa faktor risiko penting yang menyebabkan terjadinya stroke di usia
muda adalah: 6,12,13
a. Migren: Antara 5% hingga 25% stroke di usia muda berhubungan dengan
migren. Migren, terutama yang disertai aura, meningkatkan risiko stroke
pada wanita usia di bawah 45 tahun. Mekanisme yang mendasarinya masih
belum jelas, dan diduga berhubungan dengan keadaan iskemik saat migren
terutama pada fase aura.
b. Sickle-cell Disease: Sickle-cell disease adalah faktor risiko penting pada
anak-anak. Pada penyakit ini ditemukan bentuk abnormal hemoglobin, yaitu
Hemoglobin S (Hb S). Hal tersebut menyebabkan Hb dalam sel darah merah
berpolimerasi saat terekspos oksigen yang bertekanan rendah. Polimerasi ini
menyebabkan pembuluh darah menjadi lebih kaku serta kurang fleksibel,
sehingga mengurangi kemampuannya untuk melewati kapiler.
19

c. Penyakit Jantung: Kelainan jantung yang sering menyebabkan stroke ialah


PJR (terkait kelainan katup mitral), infark miokard akut, subacute bacterial
endocarditis, patent foramen ovale, dan aneurisma septum atrium.
d. Abnormalitas Pembuluh Darah Serebral: Penyebab yang sering antara
lain penyakit moya-moya, diseksi arteri, vaskulitis, cerebral arteriopathy of
childhood, dan ensefalopati pasca-varisela.
e. Focal Cerebral Arteriopathy of Childhood (FCA): kelainan yang ditandai
dengan lesi stenotik idiopatik arteri serebral pada anak-anak.
f. Ensefalopati Pasca-varisela
g. MELAS: Mitochondrial Encephalopathy with Lactic Acidosis and Stroke-
like Episodes. MELAS merupakan kelainan DNA mitokondria yang jarang.
Kasus ini ditandai episode mirip stroke (stroke-like) berulang dengan defisit
neurologis fokal. Selanjutnya akumulasi berulangnya serangan stroke akan
menyebabkan disabilitas dan gangguan kognitif progresif.
h. Diseksi Arteri: Sekitar 10% kasus stroke dibawah usia 45 tahun disebabkan
diseksi arteri karotis dan vertebral.
i. Penyalahgunaan Obat: Penyalahgunaan obat, terutama narkoba, harus
dipertimbangkan sebagai penyebab stroke pada kelompok usia muda.
j. Vaskulitis Serebral: Inflamasi di pembuluh serebral dapat terjadi sebagai
bagian dari kelainan fokal atau sistemik yang juga dapat menyebabkan
stroke.
k. Gangguan Ginjal
Penyakit ginjal kronis berhubungan dengan peningkatan resiko stroke. Baik
GGK maupun stroke terkait dengan kematian usia muda, gangguan kognitif,
dementia dan penurunan kualitas hidup. Terdapat hubungan berbanding terbalik
(inverse relationship) antara fungsi ginjal dengan resiko stroke. Untuk setiap
penurunan fungsi ginjal sebesar 10 mL/menit/1,73 m2, terdapat peningkatan
resiko stroke sebesar 7%. Risiko stroke ditemukan lima kali lebih tinggi pada
pasien GGK dengan dialisis dibandingkan dengan populasi umum. Dibandingkan
dengan populasi umum, tidak hanya kejadian stroke, tetapi juga tingkat kematian
akibat stroke lebih tinggi pada GGK dan populasi dialisis. Dalam sebuah studi di
20

Jepang, stroke ditemukan menjadi salah satu penyebab utama kematian untuk
12,7% dari total kematian terkait GGK.

3.4 Gagal Ginjal Kronis


Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan
fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel, akibat tubuh gagal mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan-elektrolit, menyebabkan uremia (retensi
urea dan metabolit nitrogen lain dalam darah). Akibat penurunan laju filtrasi
glomerulus, terjadi peningkatan hasil metabolisme tubuh yang disebut dengan
toksin uremik seperti kreatinin, ureum, asam urat, fosfat, asam organik dan
inorganik, beberapa enzim dan hormon, serta sisa metabolisme peptida dan
protein lainnya. Manifestasi penyakit ini antara lain hipertensi, gagal antung
kongestif, edema pulmoner, perikarditis, pruritus, anoreksia, mual, muntah,
cegukan, perubahan tingkat kesadaran, tidak konsentrasi, kedutan otot dan kejang.
Penyakit ini dapat terjadi akibat infeksi, penyakit vaskular hipertensif,
gangguan jaringan penghubung, gangguan kongenital dan herediter, penyakit
metabolik, nefropati toksik, nefropati obstruktif dan peradangan.
Berbagai kelainan dapat terjadi pada GGK seperti gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, kelainan metabolik, anemia, gangguan perdarahan, kelainan
neurologis, gagal jantung, dan lain-lain. Kelainan neurologis pada GGK dapat
berupa ensefalopati, kelainan susunan saraf perifer atau neuropati dan gangguan
mental. Ensefalopati pada GGK dapat terjadi karena uremia atau peningkatan
toksin uremia, hipertensi, obat-obatan seperti diazepam dan fenobarbital. Uremic
encephalopathy adalah kelainan otak organik yang terjadi pada pasien dengan
gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan nilai kadar creatinine
clearance menurun dan tetap di bawah 15 mL/mnt. Manifestasi klinis ensefalopati
uremik pada anak sebagai akibat penurunan fungsi otak tidak spesifik. Anak
biasanya terlihat lemah, anoreksia, lekas capek, susah tidur, letargi, gangguan
konsentrasi, sakit kepala, disorientasi, defisit memori, penurunan kesadaran dan
kejang. Peningkatan ureum di dalam darah disebut dengan uremia, yang
mengganggu metabolisme energi pada korteks serebri. Gangguan ini ditandai
berkurangnya kadar glukosa otak dan gangguan pemakaian ATP dan kreatinin
21

fosfat, sehingga menimbulkan ensefalopati. Pada ensefalopati uremikum terjadi


perubahan permeabilitas sawar darah otak terhadap ion-anionik. Kelainan motorik
biasanya menyertai disfungsi kognitif seperti kaku otot, hiperiritabilitas
neuromuskular, miopati, kelemahan karena neuropati perifer dan kejang. Kejang
dapat bersifat fokal atau umum. Kejadian kejang lebih bermakna jika kadar blood
urea nitrogen > 250 mg/dl.
Penderita yang menjalani dialisis memiliki resiko tinggi terkena stroke
sebesar 2-7 kali lipat dibanding penderita yang tidak mengalami GGK, dengan
angka kematian 3-5 kali lebih tinggi. Beberapa penelitian melaporkan hubungan
bergradasi dan independen antara taksiran laju filtrasi glomerulus (eGFR) dan
risiko stroke. Sebuah meta-analisis menggabungkan data dari 33 penelitian
melaporkan risiko 43% lebih besar independen stroke terkait dengan eGFR <60
ml / menit. Efek ini semakin dipengaruhi oleh etnis, dengan risiko stroke yang
lebih tinggi terlihat di Asia dibandingkan dengan populasi non-Asia (risiko relatif
1,96 vs 1,26, p <0,001). Terdapat hubungan kuat antara albuminuria dengan
resiko stroke. Berapa pun derajat albuminuria, akan meningkatkan resiko stroke
sebesar 68%; dan untuk setiap peningkatan albuminuria sebesar 25 mg/mmol,
resiko stroke meningkat sebesar 10%. Proteinuria sendiri merupakan faktor risiko
penting untuk stroke bahkan tanpa adanya pengurangan eGFR dan setelah
disesuaikan untuk faktor risiko vaskular lainnya. Terdapat sejumlah faktor resiko
yang cukup unik pada GGK tahap lanjut termasuk gangguan mineral tulang,
proses dialisis seperti halnya anemia dan terapinya menggunakan erythropoietin
stimulating agents (ESAs).
Berdasarkan penelitian Chien et al. (2013) dan Febriana (2015), didapatkan
hasil bahwa terdapat hubungan signifikan antara komorbid stroke dengan
mortalitas pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Studi yang
dilakukan di Jepang oleh Khrisna pada tahun 2010, ditemukan bahwa mortalitas
pasien GGK yang disebabkan karena stroke sebesar 12,7%.

3.5 Stroke Iskemik dan Gagal Ginjal Kronis


Terdapat hubungan berbanding terbalik (inverse relationship) antara
fungsi ginjal dengan resiko stroke. Untuk setiap penurunan fungsi ginjal sebesar
22

10 mL/menit/1,73 m2, terdapat peningkatan resiko stroke sebesar 7%. Penyebab


utama stroke iskemik pada pasien penyakit ginjal kronik antara lain adalah
tromboemboli, atherosklerosis, inflamasi, dan kardioemboli. Proses
atherosklerosis, selain dapat merusak ginjal, juga dapat merusak otak karena
keduanya memiliki struktur pembuluh darah yang tidak jauh berbeda, diperparah
dengan adanya penyakit sistemik seperti hipertensi dan diabetes melitus. Sehingga
pasien penyakit ginjal kronik memiliki risiko yang sama untuk mengalami
perdarahan maupun trombosis.
GGK berhubungan dengan penyakit vaskular akselerasi dan aterosklerosis
prematur pada sirkulasi serebral akibat dari toksin uremik dan faktor risiko
tradisional aterosklerosis lainnya. Risiko terjadinya stroke merupakan komplikasi
yang sering terjadi pada uremia, yang dapat merupakan akibat dari penurunan
aliran darah serebral akut, yang telah dilaporkan terjadi 5 kali lebih tinggi pada
pasien yang menjalani hemodialisis. Penurunan perfusi jaringan otak merupakan
suatu gangguan yang umum terjadi pada pasien dengan uremia, seperti
peningkatan insidensi atrofi serebral, khususnya kombinasi dengan penurunan
hematokrit dan adanya aterosklerosis akselerasi dan prematur. Selain itu, anemia
pada GGK meningkatkan fraksi ekstraksi oksigen serebral pada pasien
hemodialisis. Fraksi ekstraksi oksigen merupakan indikator aliran darah terhadap
metabolisme energi, sehingga adanya peningkatan fraksi ini menunjukkan aliran
darah serebral atau suplai oksigen serebral tidak mencukupi kebutuhan oksigen
otak. Peningkatan fraksi ektraksi oksigen ini menunjukkan adanya gangguan
kapasitas vasodilator serebral. Hipertensi yang merupakan komplikasi tersering
dari GGK, dapat menyebabkan arteriosklerosis. Akibatnya, hipertensi dapat
menurunkan kapasitas vasodilator serebral pada GGK.
Studi Kanai menunjukkan terdapat penurunan kebutuhan metabolik pada
jaringan otak pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis. Penyebab
penekanan metabolisme oksigen yaitu karena adanya disregulasi sirkulasi serebral
atau aktivitas sel otak yang menurun. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan
terdapat penurunan laju aliran darah serebral oleh hemodialisis. Faktor yang
diduga berperan terhadap perubahan laju aliran arteri serebral pada pasien
hemodialisis, yaitu pH darah, kadar karbondioksida arteri, kadar hematokrit, kadar
23

urea, mean arterial pressure, dan cardiiac output. Mekanisme patofisiologis


mediasi merupakan risiko stroke meningkat pada GGK tidak jelas, tetapi mungkin
berhubungan dengan faktor-faktor khusus untuk lingkungan uremik, seperti
kalsifikasi dipercepat pembuluh darah, meningkatkan aterosklerosis karotid,
kecenderungan prothrombotic dan gangguan autoregulasi cerebral. Klasifikasi
arteri intrakranial, misalnya, dikaitkan dengan risiko stroke pada populasi umum
dan peningkatan prevalensi pada pasien dengan GGK menyajikan dengan gejala
stroke. Namun, sebuah penelitian di hemodialisis pasien (HD) yang melaporkan
prevalensi tinggi kalsifikasi arteri intrakranial pada pasien HD tidak menemukan
hubungan independen dengan stroke akut.
Mekanisme patofisiologis stroke diduga berhubungan dengan faktor-faktor
khusus untuk lingkungan uremik, seperti kalsifikasi dipercepat pembuluh darah,
meningkatkan aterosklerosis karotid, kecenderungan prothrombotic dan gangguan
autoregulasi cerebral. Klasifikasi arteri intrakranial, misalnya, dikaitkan dengan
risiko stroke pada populasi umum dan peningkatan prevalensi pada pasien dengan
GGK menyajikan dengan gejala stroke. Namun, sebuah penelitian di hemodialisis
pasien (HD) yang melaporkan prevalensi tinggi kalsifikasi arteri intrakranial pada
pasien HD tidak menemukan hubungan independen dengan stroke akut.

3.4 Gambaran Klinik


Manifestasi stroke iskemik arterial yang paling sering adalah hemiparesis
akut namun sering keliru dengan kondisi migren, epilepsi atau Todd’s paresis,
ensefalitis/meningitis atau demielinating disease. Sering ada gejala ikutan seperti
gejala diplopia, hemianopsia, impaired gaze, disartria, vertigo, nistagmus,
disfasia, ataksia, gejala hemisensorik, sindrom neglect. Sering ada kejang diawal
serangan stroke. Terdapat juga gejala neurologis nonfokal seperti; sakit kepala,
bingung, gelisah dan perubahan perilaku khusus pada anak yang lebih muda.
Defisit neurologi bisa subtle, khusus pada bayi yang belum bisa bicara.14,15,16
Gambaran klinis stroke trombosis sinovenosus serebral tergantung usia dan
sulit melihat tanda dan gejala pada pada neonatus dan bayi (neonatus dan bayi < 1
tahun sering mengalami TSS). Tanda bisa muncul dalam hitungan jam, hari atau
bisa tiba tiba memburuk. Paling sering muncul gejala sakit kepala, letargi, mual
24

dan muntah, papil edema, paresis N VI. Gejala mirip hipertensi intracranial.
Kejang lebih sering terjadi daripada pada SIA. Survey Canadian Pediatric
Ischemic stroke registry mendapatkan kejang (48%), sakit kepala (54%), papil
edema (22%), perubahan dari kesadaran (49%), dan defisit fokal (53%).17,18
Pada kasus ini, pasien mengalami penurunan kesadaran dan kejang. Banyak
faktor dan mekanisme yang diduga terlibat dalam patogenesa penurunan kognisi
dan ensefalopati terkait uremia. Gagal ginjal terkait akumulasi sejumlah subtansi
eksogen dan endogen di darah dan cairan tubuh yang toksik terhadap otak. Studi
menunjukkan bahwa struktur blood brain barrier mengalami perubahan sehingga
lebih permeabel (pada kondisi gagal ginjal), menyebabkan influx bahan-bahan
berbahaya ke otak. Gangguan blood brain barrier pada GGK dimediasi oleh
inflamasi sistemik, dimana sitokin dan kemokin termasuk interleukin yang
berbeda-beda mencapai jaringan otak, dan mengakibatkan kerusakan saraf dan
astrosit. Berdasarkan studi hewan coba yang mengalami uremia, terjadi piknosis
dan apoptosis neuron hipokampus.
Berkurangnya clearance homosistein melalui ginjal akibat gagal ginjal,
meningkatkan kadar homosistein di sirkulasi darah; dan perubahan menjadi
bentuk asam homosisteik melalui aktivasi reseptor NMDA mengakibatkan
neurotoksisitas. Asam homosisteik dapat menyebabkan disfungsi endotel dan
menimbulkan efek protrombotik. Suatu studi menunjukkan baik albuminuria dan
menurunnya GFR memiliki korelasi dengan menurunnya kognisi pada penderita
gagal ginjal.
Uremia dapat menyebabkan gangguan blood brain barrier, membuatnya
lebih permeabel terhadap bahan kimia toksik di sirkulasi dan terhadap substansi
inflamasi. Penelitian in vivo dan in vitro menunjukkan peningkatan urea akan
merusak tight junction epitel usus dan memungkinkan masuknya material toksik
ke dalam aliran darah. Uremia terkait dengan stres oksidatif; stres oksidatif
menyebabkan perubahan nitrit oksida menjadi peroksi nitrit toksik yang
menyebabkan peroksidasi protein dan lipid serta kerusakan neuron. Selain itu,
menurunnya clearance obat-obatan dan meningkatnya penetrasi obat tersebut
melalui blood brain barrier, adalah faktor lain yang berperan pada neurotoksisitas
dan menurunnya kognitif pada GGK.
25

Penurunan atau gangguan kognitif berat akibat penyakit ginjal dan


ensefalopati uremik dapat dikaitkan dengan gejala klinis eksitabilitas kortikal
seperti kejang epileptik dan mioklonus. Kejang epileptik tipe general tonik-klonik
dapat terjadi pada GGK, tetapi lebih sering muncul pada pasien acute kidney
injury. Di antara ensefalopati metabolik, ensefalopati uremik lebih sering
menyebabkan kejang. Sejumlah faktor pada GGK dapat mengiritasi korteks
serebri dan menyebabkan kejang. Pada penyakit ginjal tahap lanjut, dapat muncul
hiperparatiroidisme sekunder. Diketahui bahwa hormon paratiroid meningkatkan
fungsi transporter kalsium di otak sehingga kandungan kalsium di otak meningkat
pada kondisi uremia. Peningkatan kalsium intraselular menyebabkan
hipereksitabilitas saraf.
Kandungan Guanido yang tinggi pada cairan serebrospinal pasien uremia,
akan menekan fungsi reseptor Gaba-ergik dan meningkatkan fungsi reseptor
NMDA; keduanya mampu menginduksi eksitasi kortikal. Perubahan GABA, nor-
epinefrin dan asetilkolin pada otak penderita yang mengalami uremia,
berkontribusi terhadap peningkatan depolarisasi saraf-saraf kortikal.19

3.5 Diagnosis
Ditetapkan dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis dimana didapatkan
gejala-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan penyakitnya dan gejala serta
tanda yang sesuai dengan daerah perdarahan pembuluh darah otak tertentu.20,21

3.6 Manajemen Evaluasi


a. Radiologi
Pada neonatus, pemeriksaan ultrasound kranial lebih rendah
sensitivitasnya untuk deteksi stroke iskemik arterial, tetapi lebih sering
digunakan untuk deteksi perdarahan intrakranial. Ultrasound Doppler
berguna untuk menilai aliran darah vaskular dan digunakan untuk skrining
anemia sickle cell sebagai resiko stroke. CT dapat mendeteksi infark
iskemik setelah 24 jam, tetapi dapat mendeteksi perdarahan dalam waktu
cepat. Diffusion-weighted MRI dapat mendeteksi infark akut dalam
hitungan jam, dan MR angiografi serta MR venografi dapat memberikan
gambaran detail anatomi vaskular. Angiografi serebral adalah tehnik
26

paling sensitif untuk mengetahui anatomi vaskular, tetapi dapat


menimbulkan cedera vaskular dan infark, serta tehniknya lebih sulit
dikerjakan pada bayi. 22
b. Pemeriksaan Serum
Stroke yang disebabkan multipel protrombotik dapat diperiksa melalui
pemeriksaan serum. Kadar faktor pembekuan, kadar protein C, protein S,
antitrombin, homosistein, dan antifosfolipid dapat diperiksa. Adanya
resistensi terhadap bentuk aktif protein C, kemungkinan akibat mutasi
faktor Leiden V. Serum asam amino dapat dapat digunakan untuk evaluasi
hiperhomosisteinemia atau homosistinuria. Peningkatan serum laktat
diduga terkait dengan mitochondrial disease. Skrining genetik dapat
dilakukan untuk mengetahui adanya mutasi protrombotik, seperti mutasi
faktor Leiden V, mutasi protrombin 20210, MTHFR, polimorfisme
promoter aktivator plasminogen, dan mitochondrial disease seperti
MELAS. 22
c. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
Pemeriksaan cairan ini dapat menunjukkan peningkatan hitung jenis sel
darah putih, dengan dugaan vaskulitis atau infeksi, atau peningkatan sel
darah merah dengan dugaan perdarahan. Meningkatnya laktat cairan
serebrospinal, diduga bahwa terjadi mitochondrial disease. Kultur cairan
serebrospinal penting dilakukan pada dugaan kasus meningitis bakterial
atau fungal.22
d. Pemeriksaan Urine
Meningkatnya homosistein di urine, dapat mengkonfirmasi dugaan
diagnosis homosistinuria.22

3.7 Anamnesis
Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktifitas/istirahat, onset,
nyeri kepala/tidak, kejang/tidak, muntah/tidak, kesadaran menurun, serangan
pertama atau berulang. Juga bisa didapatkan informasi mengenai faktor resiko
stroke.20,21

3.8 Pemeriksaan Fisik


27

Keadaan umum, kesadaran (Glasgow Coma Scale), tanda vital. Pemeriksaan


neurologis dapat dilakukan untuk melihat apakah ada deficit neurologis, tanda-
tanda perdarahan, tanda-tanda peningkatan TIK, ataupun tanda-tanda ransang
meninges.20,21

3.9 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium standar biasanya digunakan untuk menentukan
etiologi yang mencakup urinalisis, darah lengkap, kimia darah, dan serologi.20

1. CT scan
Penggunaan CT-Scan adalah untuk mendapatkan etiologi dari stroke yang
terjadi. Pada stroke non-hemoragik (iskemik), ditemukan gambaran lesi hipodens
dalam parenkim otak. Sedangkan dengan pemeriksaan MRI menunjukkan area
hipointens.23

Gambar 3.2. CT scan stroke iskemik


28

Gambar 3.3. Gambaran radiologi stroke iskemik

2. Magnetic Resonance Imaging


Lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi stroke non
hemoragik ringan, bahkan pada kondisi stadium dini, meskipun tidak pada setiap
kasus. Alat ini kurang sensitif dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi
perdarahan intrakranium ringan.20 Infark pada otak disebabkan oleh defesiensi
sirkulasi serebral akibat thrombosis atau peristiwa emboli, dan secara klinis
berupa stroke. Kelainan paling sering terjadi pada decade ketujuh kehidupan dan
lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.Tanda perubahan
dini dari iskemik otak adalah perpanjangan waktu T1 dan T2.Pada gambar T1
hipointens dan menjadi hiperintens pada T2. Pemeriksaan MRI Infark pada stroke
akut:23
1. Akut: Low signal (hypointense) pada area T1, high signal (hyperintense)
pada spin density dan/atau T2. Biasanya diikuti distribusi vascular.Massa
parenkim berubah.
2. Sub Akut : Low signal pada T1, high signal pada T2. Diikuti oleh distribusi
vascular. Revaskularisasi dan rusaknya blood-brain barrier .
3. Old : Low signal pada T1, high signal pada T2, kehilangan jaringan dengan
infark yang luas.

3. Ultrasonografi dan Magnetic Resonance Angiography


Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi (menggunakan
gelombang suara untuk menciptakan suatu citra), MRA digunakan untuk mencari
kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan di arteri utama, MRA khususnya
bermanfaat untuk mengidentifikasi aneurisma intrakranium dan malformasi
pembuluh darah otak.22
29

4. Angiografi otak
Merupakan penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra sinar-X ke
dalam arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat memperlihatkan
pembuluh-pembuluh darah di leher dan kepala.22

3.10 Terapi
Menurut sumber Three Sets of Consensus-Based Guidelines (expert panels
child neurologist, thrombosis expet, experienced in pediatrioc stroke maka terapi
dibagi atas:24,25,26
Terapi Emergensi;
1. Neuroproteksi; sebagain para ahli yang menganut paham Time is brain
sangat peduli akan kerusakan dari dua miliar neuron yang mati per menit
akibat oklusi arterial. Maka diperlukan neuroprotektor. Namun sebagian lagi
mengatakan tak ada guna jadi masih kontroversi.
2. Perbaikan kadar gula darah, menjaga tekanan darah ideal, jangan terjadi
hipertermia.
3. Trombolisis; tak banyak data maka dipakai dengan kehati- hatian dan tidak
disarankan.
Disesuaikan dengan usia dan memakai standar stroke dewasa. Penghalang
adalah keterlambatan diagnosis dengan waktu yang diperlukan (3-6 jam).

Terapi Urgensi;
1. Terapi antitrombotik; target primer terapi AIS anak adalah menghilangkan
trombus intra arterial. Bisa dengan heparin, LMWH atau warfarin baik juga
untuk cardiogenic emboli, paradoxical venous embolism, slo-flow dengan
severe stenosis, major prothrombotic disorder, dan arterial dissection. ASA
baik untuk arteriopati dengan pertimbangan terjadinya risiko perdarahan.

Beberapa terapi ini adalah:


a. Unfractionated heparin; ihibisi denzim specific coagulation pathway untuk
mencegah thrombosis. Dosis maintenance ialah 28 U/kg/jam pada bayi; 20
U/kg/jam pada anak diatas 12 bulan dan diatas itu 18 U/kg/jam. Monitor
30

activated partial thromboplastin times (APTT) dan level heparin. Lamanya


disesuaikan dengan keparahan dan faktor lain.
b. Low molecular weight heparin; keuntungannya lebih mudah memberikan
dengan injeksi subkutan, boleh jarang dimonitor, dan agak aman. Menjadi
pilihan untuk AIS anak. Dosis 1 mg/kg subkutan setiap 12 jam sekali.
c. Warfarin; untuk pemakaian jangka panjang pada anak dengan gangguan
jantung kongenital. Target INR 2.0-3.0
2. Terapi antiplatelet; kebanyakan dari kasus AIS anak mekanisme adalah
thrombosis dimediasi platelet. Pemberian ASA disarankan oleh Pediatric
Stroke Working Group, 2004. Juga sebagai prevensi stroke jangka panjang.
a. ASA; dosis 2-5 mg/kg/hari diberikan sekali sehari.
b. Obat lain; clopidogrel dosis 0,5 – 1 mg/kg/hari, dipyridamole namun belum
banyak penelitian.
3. Constraint-induced movement therapy; suatu tehnik neurorehabilitasi stroke
yang menggunakan ekstremitas yang terkena stroke dengan memanfaatkan
palstisatas neuron anak.
4. Transcranial magnetic stimulation; Modulasi fungsi kortikal
5. Rehabilitasi lainnya

Terapi Akut pada Stroke Iskemik


Terapi trombolitik sering dilakukan pada penderita stroke dewasa, namun
harus hati-hati diberikan pada anak. Neonatus tidak boleh diberikan tissue
activator plasminogen, karena kadar plasminogen neonatus lebih rendah
dibanding anak dan dewasa. LMWH intravena digunakan pada stroke iskemik
arterial dan trombosis sinovenous dengan minimal komplikasi bila benar-benar
dilakukan seleksi penderita dan dimonitor. Exchange transfusion sering
digunakan untuk terapi stroke akut pada penderita anemia sickle cell.22

Terapi Jangka Panjang


LMWH dosis rendah tidak lebih baik dibanding aspirin untuk mencegah
rekurensi stroke. Anak-anak dengan sickle cell lebih rendah resiko mengalami
stroke bila dilakukan transfusi rutin. Pada kasus vaskulopati, penyakit moyamoya
31

dan malformasi vaskular, pembedahan berperan penting sebagai terapi jangka


panjang. Anak-anak dengan hemofili membutuhkan transfusi faktor-faktor
pembekuan secara teratur. 22

3.11 Pencegahan
Pengendalian hipertensi merupakan hal terpenting dalam pencegahan
stroke primer dan sekunder pada populasi umum serta pada pasien dengan non-
dialisis. Sampai saat ini, tidak ada data percobaan untuk merekomendasikan satu
kelas antihipertensi terhadap yang lain. Meskipun penelitian retrospektif telah
menunjukkan bahwa hipertensi yang tidak terkontrol pada pasien dialisis adalah
terkait dengan stroke, tidak ada studi mendefinisikan target optimal tekanan darah.
Pedoman klinis menganjurkan penggunaan terapi antiplatelet untuk
pencegahan stroke iskemik dan ada bukti yang mendukung kemanjurannya pada
pasien dengan non-dialisis GGK. Risiko perdarahan dengan agen antiplatelet pada
penderita ESRD (end-stage renal disease) disarankan penggunaannya dengan hati-
hati. Stroke thromboprophylaxis dengan antikoagulan oral (warfarin dan, baru-
baru ini, dengan agen baru seperti dabigatran atau rivaroxaban) dianjurkan pada
pasien dengan AF. Sekali lagi, tidak ada uji coba terkontrol secara acak di GGK
atau pasien ESRD, tetapi keberhasilan dalam non-dialisis GGK didukung oleh
data dari sebuah studi Denmark. Penggunaan warfarin telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko stroke pada pasien HD mungkin karena kalsifikasi vaskular
yang dipercepat sebagai akibat pemberian vitamin K antagonis.
Kajian cepat dan modifikasi faktor risiko pada pasien dengan TIA telah
terbukti mengurangi insiden stroke akut berikutnya. Hubungan antara TIA dan
stroke akut pada pasien dengan gangguan ginjal akut tidak jelas dan dampak
seperti intervensi multifaktorial di ESRD belum diteliti. Studi dari Inggris, gejala
sistematis skrining untuk TIA pada pasien HD tidak menimbulkan kepastian lebih
baik dari sindrom ini, juga tidak dapat mengidentifikasi pasien yang kemungkinan
mengalami stroke akut. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara TIA dan
stroke mungkin tidak kuat pada pasien HD.
Pencegahan dan manajemen faktor resiko stroke yang diketahui seperti
obesitas, hipertensi dan diabetes, sangat penting untuk menurunkan resiko stroke.
32

Terapi aspirin dianjurkan pada sebagian besar kasus GGK stadium 1 dan 2,
namun masih kontroversial digunakan pada stadium lebih tinggi. Strategi yang
bertujuan meningkatkan GFR dan menurunkan albuminuria efektif dalam
menurunkan resiko stroke. Pengukuran albumin carbamylated dapat dilakukan
sebagai indikator prognostik yang lebih baik dibanding proteinuria. Penggunaan
statin untuk mencegah stroke pada penderita GGK belum dapat dibuktikan
manfaatnya, tetapi penelitian meta-analisis menunjukkan terapi statin cukup
efektif untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada penderita GGK.
Beberapa penelitian merekomendasikan hemodialisis harian dibandingkan 3 kali
sehari, dapat menurunkan tekanan darah, sehingga menurunkan resiko stroke.
Manajemen stroke pada penderita GGK lebih sulit akibat meningkatnya
resiko dan efek samping terapi intervensi. Penelitian terhadap penggunaan tissue
plasminogen activator pada 7168 penderita stroke akut, 28% di antaranya dengan
GGK. Penderita stroke dengan GGK lebih tinggi resiko mengalami perdarahan
intrakranial dan lebih buruk outcome yang diperoleh dalam 3 bulan. Penderita
GGK yang tidak membutuhkan dialisis, pendekatan pencegahan dan manajemen
sama dengan populasi stroke pada umumnya. Manfaat profilaksis stroke
menggunakan warfarin pada penderita dialisis dengan atrial fibrilasi belum dapat
dibuktikan. Penderita GGK tahap lanjut dapat ditangani secara agresif untuk
mencegah terjadinya stroke akut. Outcome stroke di semua stadium GGK
menunjukkan hasil lebih buruk dibanding penderita stroke pada umumnya. 19

BAB III

PENUTUP
33

3.1 Kesimpulan
Stroke adalah penyebab utama disabilitas neurologi di seluruh dunia.
Resiko stroke meningkat pada penderita gagal ginjal kronis. Penderita gagal ginjal
kronis yang mengalami stroke memiliki kaitan dengan kematian usia muda,
gangguan kognitif, dementia dan penurunan kualitas hidup. Anemia adalah
komorbiditas utama yang ditemukan pada gagal ginjal berat. Pada penurunan
fungsi ginjal sedang ditemukan defisit-neurologik yang sebagian besar sedang.
Pencegahan dan manajemen faktor resiko stroke sangat penting untuk
menurunkan resiko stroke. Akan tetapi, manajemen stroke pada penderita GGK
lebih sulit akibat meningkatnya resiko dan efek samping terapi. Penderita GGK
yang tidak membutuhkan dialisis, pendekatan pencegahan dan manajemen sama
dengan populasi stroke pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wilkinson I, Lennox G. Essential neurology. 4 th edition. Massachusetts:


Blackwell Publishing; 2011. P. 25.
34

2. Greenberg DA, Aminoff MJ, Simon RP. Clinical neurologi. 8 th edition.


New York: McGraw-Hill; 2012. P. 2276.
3. Santos CC, Sarnat HB, Roach ES. Cerebrovascular disorders. In: Menkes
JH, Sarnat HB, Maria BL. Eds. Child Neurology 7th. Lippincott Williams
& Wilkins.Philadelphia. 2006:829-851
4. Kirton A, deVeber. Cerebrovascular disease in children. In: eds. Swaiman,
Ashwal K, Ferriero D, Schor N. Tumors and vascular disorders of the
nervous system. Swaiman’s Pediatric neurology. 5thedition. Principles and
practice. Elsevier Saunders. 2012: 1395-1436
5. Corwin EJ. Patofisiologi : buku saku ; alih bahasa, Subekti NB; editor
Yudha EK. 3rd edition. Jakarta: EGC; 2009. P. 251
6. Andi B, Lisda A. Stroke Pada Usia Muda. CDK-233. 2015; 42 (10): 736-
739
7. Snell RS. Kepala dan leher. Dalam: Anatomi klinik untuk mahasiswa
kedokteran. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009: 761-2
8. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang
gangguan peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology.2nd
edition.Editor: Harsono. Yogyakarta: Gadjah Mada university press; 2005:
81-3.
9. Setyopranoto I. Stroke: gejala dan penatalaksanaan. CDK 185. 2011; 38
(4) : 247. Diunduh dari www.kalbemed.com pada tanggal 25 Maret 2018.
10. Ginsberg L. Lecture note: Neurology. 8 th edition. Jakarta: Erlangga; 2007:
89
11. Smith WS, English JD, Johnston SC. Cerebrovascular diseases in
harrison’s neurology in clinical medicine. 3rd edition. New York: Mcgraw
Hill; 2013: 261.
12. Griffi th D, Sturm J. Epidemiology and etiology of young stroke. Stroke
research and treatment [Internet]. 2011 [cited 2018 March 25]. Available
from:http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/centers_cl
inics/cerebrovascular/conditions/stroke.html.
35

13. Causes of Stroke in Young adults. 2012. Available from: http://physical-


therapy.advanceweb.com/sharedResources/Downloads/2012/072312/
PT_YoungAdultStroke.pdf. Internet
14. Barnes C, Newall F, Mackay M, Monagle P. Arterial ischaemic stroke in
children. J. Paediatr. Child Health. 2004: 40; 384-7
15. Hartwig M. Penyakit serebrovaskular. Dalam: Price SA,eds. Patofisiologi
konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2005.h.1105-30.
16. Aicardi J. Cerebrovascular Disease. In: Aicardi J, Bax M, Gillberg C. eds.
Diseases of the nervous system in childhood. 3rd ed. Wiley-Blackwell.
Lavenham Press, Suffolk. 2009: 547-573
17. Nowak_Gottl U, Gunther G, Kurnik K, Strater R, Kirkham F. Arterial
ischaemic stroke in neonates, infants, and children: an overview of
underlying conditions, imaging methods and treatment modalities. J.
Seminar in thrombosis and hemostasis. 2003: 29(4); 405-14
18. Bigi S, Fischer U, Wehfli E, Mattle HP, Boltshauser E, Burki S, Jeannet
PY, Fluss J, Weber P, Nedeltchev K, El-Koussy M, Steinlin M, Arnold M.
Acute ischemic stroke in children versus young adults. J American
Neurological Association. 2011:70; 245-254
19. Jabbari B, Vaziri ND. The nature, consequences and management of
neurological disorders in chronic kidney disease. Hemodialysis
International 2017; 1-11
20. Misbach J. Stroke in Indonesia: a first Large Prospective Hospital-Based
Study of Acute Stroke in 28 Hospitals in Indonesia. Journal of Clinical
Neurosciences 8; 2008: 245-9.
21. Price S, Wilson LM. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
jilid 2. EGC.  Jakarta. 2010: 1110-19
22. Biller, J. Stroke in Children and Young Adults. Second Edition. 2009.
23. Sunardi. Computed Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) Pada Sistem Neurologis. [online] [cited 2018 Marc 25] [1
screen].
36

24. American Heart Association. Guidelines for Treatment and Prevention of


stroke in children.www.thelancet.com/neurology. 2008; 7: 983-5
25. Roach ES, Golomb MR, Adam R, Biller J, Daniels S, deVeber G, Ferriero
D, Jones BV, Kirkham FJ, Scott RM, Smith ER. Management of stroke in
infants and children. A scientific statement from a special writing group of
the American Heart association stroke council and the counsil on
cardiovascular disease in the young. In: http://stroke.ahajournals.org. 2008.
26. Irwin K, Reynolds P. 2012. NHS Guidelines for management of stroke in
children. Avalable from www.pednihss.gov

Anda mungkin juga menyukai