ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn.FN
Usia : 19 tahun
NRM : 3883356
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Belum Menikah
Pembiayaan : JKN
MRS : Tgl 30 Juni 2018
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien mengeluh kelemahan sisi tubuh sebelah kiri mendadak sejak 1 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Nn. F, usia 19 tahun datang kerumah sakit pada tanggal 30 Juni 2018 dengan
keluhan utama kelemahan sisi tubuh sebelah kiri mendadak sejak 1 hari SMRS.
Keluhan diawali saat pasien sudah tiba dirumah setelah cuci darah, pasien
mengeluhkan nyeri kepala dengan Numeric Rating Scale (NRT) 4 dan cenderung
mengantuk, namun pasien masih bisa berkomunikasi dengan baik. Pasien kemudian
beristirahat dan tidur. Ketika bangun tidur pasien mengeluh sisi tubuh sebelah
kirinya menjadi lemah, tangan dan kaki kiri masih bisa digerakkan tetapi terasa
berat, setelah keluhan ini dirasa baru keesokan harinya pasien dibawa ke IGD
RSCM. Keluhan tidak disertai penurunan kesadaran, mulut mencong, bicara pelo,
pandangan buram atau ganda, pusing berputar, baal sesisi tubuh dan kejang.
Riwayat Pengobatan
1
Clonidine 2x0,075mg, Candesartan 1x160mg, Amlodipine 1x10mg, CaCO3
3x1tab, Bicnat 3x1tab, metil prednisolon 3x16mg, mycophenolic acid 3x360mg.
Pemeriksaan Neurologis
GCS : 15
Eye :4
Motorik :6
Verbal :5
Nervus Kranialis : paresis N VII dan N XII sinistra sentral
Kekuatan Motorik (tangan dan kaki kanan) : 5555 (normal)
Kekuatan Motorik (tangan dan kaki kiri) : 4444 (lemah)
Refleks fisiologis : Meningkat pada sisi kiri dan
normal pada sisi kanan.
Refleks Patologis : (+) di kaki sebelah kiri; kaki sebelah
kanan (-).
2
Sensorik dan otonom : Dalam Batas Normal.
Pemeriksaan funduskopi : Tidak ada kelainan.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5.000-
Leukosit 3.83 Klorida 107 94-111 mEq/L
10.000/uL
150.000-
Trombosit 46.6 PT 9.5/10.5 9,8-11,2 detik
400.000/uL
CD4 118
3
Expertise: didapatkan adanya perdarahan intraparenkim lobus frontal kanan dengan
estimasi volume 8,22 cc disertai perifokal edema yang menyempitkan ventrikel
lateralis kanan dan menyebabkan herniasi subfalcine ke kiri sejauh 0,7 cm.
E. DIAGNOSIS
4
Diagnosis topis : Parenkim lobus frontal kanan
Diagnosis etiologis : Trombositopenia pada SLE
Diagnosis patologis : Hemoragik
Prognosis pada pasien ini untuk ad vitam dubia ad malam, untuk ad functionam
dubia ad malam, dan untuk ad sanactionam dubia ad malam
F. PENATALAKSANAAN
G. FOLLOW UP
1/7/18 2/7/18 5/7/18 6/7/18 7/7/18
S
O
A
P
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan neurologi bisa didapatkan pada pasien LES sering disebut dengan
Neuropsikiatry Systemik Lupus Erytematosus (NPSLE). Adanya keterlibatan sistem
saraf ini pertama kali dijelaskan oleh Kaposi dan Hebra pada tahun 1875 dan pada
tahun 1903 Osler menemukan bahwa terjadi iskemia serebral fokal yang berulang pada
LES. Birnbaum et al. dalam studi prospektif dari 1584 pasien SLE, ditemukan 36
pasien dengan stroke iskemik (2,27%), dan 2 pasien dengan stroke hemoragik. Pasien
dengan LES memiliki risiko 2,04 kali rawat inap karena stroke dibandingkan pasien
non-SLE. Prefalensi stroke, transient ischemic attacks, dan infark miokardial lebih
tinggi pada pasien SLE.2,3,4
Salah satu manifestasi klinik yang bisa terjadi pada penyakit LES adalah terjadinya
stroke, baik stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Stroke hemoragik terjadi
karena pecahnya pembuluh darah otak. Bisa terjadi pada abnormal (malformasi
vaskuler), pembuluh darah normal dengan pendarahan (bleeding dasthesis). Akibat
yang ditimbulkan adalah terjadi ekstravasasi darah ke dalam ruang intracranial. 2,3
Tulisan ini dibuat agar sebagai seorang klinisi kita dapat menentukan diagnosis
stroke hemoragik pada LES dan dapat menentukan tatalaksana yang tepat pada
pasien tersebut. Pada kasus ini akan dipaparkan kasus seorang pasien usia 18 tahun
datang kerumah sakit dengan keluhan kelemahan sisi tubuh sebelah kiri mendadak
sejak 1 hari SMRS. Pasien sudah lama menderita LES.
6
2.1 Pembuluh Darah Otak
Pada serebral disuplai darah dari 2 pembuluh darah besar, yaitu arteri karotis interna
dan arteri vertebralis. Arteri karotis interna terlibat dalam sirkulasi bagian anterior
otak, sedangkan arteri vertebralis terlibat pada bagian sirkulasi posterior otak. Baik
sirkulasi anterior maupun posterior, keduanya akan berhubungan melalui
anastomosis pembuluh darah yang disebut sirkulus Willisi.5
Sistem arteri di otak di suplai oleh 4 pembuluh darah yang besar, yang terdiri dari
arteri karotis interna kanan dan kiri serta arteri vertebralis kanan dan kiri. Seluruh
arteri yang menyuplai otak akan saling berhubungan membentuk suatu anastomosis
pembuluh darah yang disebut sebagai sirkulus Willisi. Sirkulasi di otak di bagi
menjadi 2, yaitu sirkulasi anterior dan sirkulasi posterior. Pada sirkulasi anterior,
pembuluh darah yang terlibat adalah pembuluh darah yang berasal dari arteri karotis
interna, sedangkan sirkulasi posterior berasal dari arteri vertebralis.6,7,8
Arteri karotis interna berasal dari salah satu percabangan dari arteri karotis
komunis, tepatnya di bifurkasio arteri karotis komunis yang terletak setinggi
kartilago tiroidea. Arteri trsebut akan berjalan naik tanap membentuk cabang ke
basis kranii, degan melalui sinus kavernosus. Arteri ini melengkung ke atas dan ke
belakang di dalam sinus kavernosus. Cabang-cabang halus ekstradural akan
memperdarahi dasar dari kavitas timpani, duramater klivus, ganglion semilunaris
dan kelenjar hipofisis. Sebelum sampai di cabang terminalnya, arteri karotis interna
memiliki beberapa cabang arteri, yaitu arteri oftalmika, arteri komunikans posterior
dan arteri khoroidalis anterior.6,7,8
Arteri serebri media merupakan cabang terbesar dari arteri karotis interna. Arteris
serebri media akan keluar dari arteri karotis interna di atas prosesus klinoideus
aterior, lalu berjalan di lateral di Fissura Sylvii. Trunkus utama dari arteri serebri
media akan mebentuk banyak cabang perforantes ke ganglia basalis dan krus
anterior dan genu kapsula interna serta kapsula eksterna dan klaustrum. Arteri
sereberi media akan terbagi menjadi beberapa cabang utama yang akan memnyuplai
area lobus parietal, frontal dan temporal yang luas.6,7,8
7
Adapun cabang-cabang utama dari arteri serebri media adalah arteri orbitalis
frontaslis, arteri preolandika, arteri rolandia, arteri parietalis anterior,arteri parietali
posterior, arteri giri angularis, arteri temporooksipitalis, temporalis posterior dam
arterir temporalis anterior. Arteri serebri media akan menyuplai area kortikal yang
terdiri dari korteks motorik dan sensorik primer, area bahasa Broca dan Wernickem
korteks auditorik primer dan korteks gustatorik primer.6,7,8
Cabang MCA yang merupakan segmen M3 atau segmen opecular mengikuti kurva
operkulum di atas permukaan insula. Beberapa cabang ini membalikkan arahnya
sebanyak 180°. Cabang-cabang yang melewati parietal dan temporal berputar
beberapa derajat sebelum mencapai permukaan cembung daerah temporal dan
parietal. Cabang M4 yang muncul dari celah Sylvian di luar operkulum dan di
8
sepanjang sulci dan gyrus konveksitas otak. Variasi yang cukup banyak ditemukan
pada cabang ini.6,7
Gambar 3.1 Suplai Arteri Bagian Dalam Otak. a. Potongan coronal. b. Potongan
Horizontal5
2.2.1 Definisi
9
oleh American Heart Association/ American Stroke Association (AHA/ASA),
khususnya untuk definisi stroke iskemik. Menurut AHA/ASA 2013, stroke iskemik
didefinisikan sebagai sebuah episode disfungsi neurologis baik fokal maupun
global yang disebabkan infark/iskemia pada otak, medula spinalis maupun retina
yang dibuktikan melalui gambaran neuroimaging, patologi atau pemeriksaan
objektif lainnya dan gejala klinis tersebut menetap ≥ 24 jam atau menyebabkan
kematian setelah penyebab selain vaskular disingkirkan. 5,6,7
Stroke hemoragik atau yang lebih sering disebut dengan perdarahan intraserebral
(ICH) didefinisikan sebagai perdarahan di parenkim otak. Perdarahan intraserebral
dapat terjadi diberbagai lokasi didalam parenkim otak. ICH di ganglia basal dan
kapsul internal (35% -70%), batang otak (5% -10%), dan serebelum (5% - 10%).
Sebaliknya, perdarahan di lobar (15% -30%).9
2.2.2 Epidemiologi
10
perdarahan. Berdasarkan data dari stroke registry di Indonesia pada tahun 2012-
2014, didapatkan mayoritas pasien adalah stroke iskemik sebanyak 67% dengan
sisanya sebanyak 33% merupakan stroke hemoragik. Meskipun prevalensi stroke
iskemik lebih banyak dibandingkan dengan stroke hemoragik, berdasarkan data
yang diperoleh dari AHA/ASA 2009, didapatkan bahwa angka kematian yang
diakibatkan oleh stroke hemoragik mencapai 49,2%, hampir 2 kali lipat lebih
banyak dibandingkan dengan stroke iskemik yang hanya 25,9%.2,5
2.2.3 Etiologi
Stroke hemoragik dapat disebabkan berbagai macam faktor risiko. Faktor risiko
yang dapat dimodifikasi meliputi hipertensi, merokok, konsumsi alkohol berlebih,
dan obat-obatan termasuk antikoagulan, agen antitrombotik, dan simpatomimetik.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi termasuk usia tua, jenis kelamin laki-
laki, CAA, dan ras. Penelitian interstroke, sebuah studi kasus kontrol internasional
terhadap 6.000 subjek dari 22 negara di seluruh dunia, menunjukkan bahwa
hipertensi, merokok, diet, dan asupan alkohol tinggi merupakan faktor risiko utama
untuk stroke perdarahan. 7
2.2.4 Patofisiologi
11
pembuluh darah tidak didahului oleh terbentuknya aneurisma namun semata-mata
hanya karena peningkatan pembuluh darah.10
Hipertensi Usia
Merokok Jenis kelamin
Ras
Konsumsi alkohol
Cerebral amyloid angiopathy
Antikoagulan
Cerebral microbleeds
Antiplatelet
Sympathomimetic drugs
(Kokain, heroin, amfetamin, PPA and
efedrin)
Pada kondisi yang normal otak memiliki sistem autoregulasi pembuluh darah. Jika
tekanan darah sistemik meningkat sistem ini bekerja dengan melakukan
vasokontriksi ke pembuluh darah cerebral. Sebaliknya bila tekanan darah sistemik
menurun maka sistem ini akan bekerna melakukan vasodilatasi pembuluh darah
cerebral. Pada pasien yang sudah memiliki hipertensi dalam jangka waktu lama
akan menyebabkan terjadinya hialinisasi pada dinding pembuluh darah, sehingga
akan kehilangan elastisitasnya. Kondisi ini dapat membuat pembuluh darah
cerebral tidak lagi bisa menyesuaikan diri dengan fluktuasi tekanan darah sistemik,
kenaikan tekanan darah mendadak akan dapat menyebabkan pecahnya pembuluh
darah. 10
12
2.2.5 Lesi Pada Lobus Frontalis
Lesi yang melibatkan korteks serebral seperti pada gambar bisa menyebabkan
kelemahan bagian tubuh di sisi yang kontralateral. Hemiparesis terlihat pada wajah
dan tangan lebih banyak karena bagian-bagian tubuh ini memiliki representasi
kortikal yang besar. Temuan klinis khas yang terkait dengan lesi (a) adalah sebagian
besar paresis distal ekstremitas atas, konsekuensi fungsional yang paling serius
yang merupakan gangguan kontrol motorik halus. Kelemahannya terjadi berupa
paresis dan bukan plegia dan bersifat flaksid. Sebuah lesi iritasi di daerah (a) dapat
menyebabkan kejang fokal.3
13
Gambar 2.3. Distribusi Saraf Fasialis dan Saraf Hipoglossus3
Lesi pada hemisfer cerebri bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot wajah, hal ini
karena distribusi nervus fasialis (N VII) mendapatkan persarafan supranuklear dari
hemisfer. Otot-otot dahi mendapatkan persarafan dari kedua hemisfer sehingga
sehingga lesi disalah satu hemisfer sebabkan pasien masih dapat menaikkan alisnya
dan memejamkan mata secara kuat.3
Sama halnya dengan nervus fasialis, Nervus hipoglossus juga mendapatkan input
aferen dari hemifer serebri kontralateral. Pada kelumpuhan unilateral misalnya
karena kerusakan hemisfer serebri pada kasus stroke hemoragik, lidah akan
berdeviasi ke sisi yang paresis ketika pasien menjulurkan lidahnya. Musculus
genioglossus pada satu sisi mengalami kelemahan maka otot antagonisnya akan
lebih dominan dan mendorong lidah ke lesi yang mengalami kelemahan.3
14
dan menyebabkan perdarahan intraserebral. Peningkatan tekanan darah dan aliran
darah yang tiba-tiba juga dapat menyebabkan penyumbatan arteri yang ini pecah,
walaupun tidak ada perubahan hipertensi kronis. Malformasi vaskular dapat terjadi
di manapun di dalam otak. Angiopati amiloid serebral melibatkan arteri dan arteriol
kecil di dalam ruang subarachid dan di dalam korteks serebral. 6
Lokasi otak yang paling umum untuk terjadinya perdarahan intraserebral pada
hipertensi adalah sebagai berikut: putaminal dan kapsula interna (40%), thalamus
(12%), lobar white matter (15%-20%), nukleus kaudatus (8%), pons (8%), dan
serebelum (8%) (lihat Gambar 5). Perdarahan karena malformasi vaskular tidak
memiliki tempat predileksi khusus namun paling sering bersifat subkortikal atau
mendekati permukaan otak. Perdarahan yang disebabkan oleh amyloid angiopathy
juga biasanya lobar, seringkali oksipital, dan jarang mempengaruhi ganglia basal
atau struktur fossa posterior.6
Gambar 2.5 Gambaran Lokasi Paling Sering Terjadinya Stroke Hemoragik Pada
Hipertensi 6
Pasien dengan leukosit yang meningkat merupakan pertanda bahwa telah terjadi
penurunan reaktivitas endotelial. Leukosit yang relatif tinggi juga merupakan
15
penanda yang memprediksi kemungkinan mengembangkan stroke pertama. Jumlah
WBC yang tinggi juga merupakan penanda inflamasi di dalam tubuh yang
merupakan penyebab penting kerusakan pembuluh darah.6
2.4.1 Definisi
LES adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi
terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis
yang luas. Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai dengan periode
tenang dan eksaserbasi. Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan
mempertahankan toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah
besar yang dapat merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan
kompleks imun. Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel
host yang tidak spesifik terhadap organ. Proses ini diawali dengan faktor pencetus
yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. 11,12
Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu: 11,12
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif
16
LES. LES ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks
imun, dan aktivasi komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh
interaksi antara gen dan faktor lingkungan sehingga menghasilkan respon imun
yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga
terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang
menimbulkan respon imun abnormal.2
Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa gangguan
klirens kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati dan
penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini
memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan
terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi
komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi inflamasi.
Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada
organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan
sebagainya.2
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan membentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada jaringan atau organ
yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.11
Karakteristik patogenesis dari LES yaitu sistem imun yang menyerang nuklear
endogen yang dianggap sebagai autoantigen. Autoantigen dikeluarkan oleh sel yang
mengalami apoptosis kemudian akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T.
Sel T mensekresikan sitokin yaitu interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang
mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Nukleosome endogen dapat
berikatan dengan molekular patogen reseptor dan dapat menstimulus pengeluaran
interferon α (IFN α) sehingga memicu terjadinya inflamasi. Selain itu juga
nucleosome dapat berikatan dengan reseptor permukaan sel seperti BCR (B cell
antigen reseptor) dan TLR (Toll like reseptor). Pada pasien dengan SLE yang aktif
terdapat peningkatan ekspresi TLR9.13
17
Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung menyerang
kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome, nukleolar RNA,
spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut bermigrasi ke
permukaan sel dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi autoantibodi.
Hiperreaktivitas dari sel T dan sel limfosit B pada LES ditandai dengan
meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan CD40L. Hasil akhir dari ini yaitu
produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi di
jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang diselubungi
Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3) pengeluaran
kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi jaringan.13
18
LES memiliki sensitifiitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3
kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan
bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada,
maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.14
Salah satu dari kriteria diagnostik SLE adalah gangguan neurologi atau sering
disebut Neuropsikiatri Sistemik Lupus Eritematosus (NPSLE) merupakan sindrom
neurologi sentral, perifer, sistem saraf autonom dan psikiatri yang terdapat pada
pasien SLE dimana penyebab lainnya sudah disingkirkan.2
Keterlibatan sistem saraf ini pertama kali dijelaskan oleh Kaposi dan Hebra pada
tahun 1875 dan pada tahun 1903 Osler menemukan bahwa terjadi iskemia serebral
fokal yang berulang pada SLE.6 Birnbaum et al. dalam studi prospektif dari 1584
pasien SLE, ditemukan 36 pasien dengan stroke iskemik (2,27%), dan 2 pasien
dengan stroke hemorrhage.6 Pasien dengan SLE memiliki risiko 2,04 kali rawat
inap karena stroke dibandingkan pasien non-SLE6. Prefalensi stroke, transient
ischemic attacks, dan infark miokardial lebih tinggi pada pasien SLE.3
Terdapat juga berbagai autoantibodi pada SLE sebagai kompleks imun, yang secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi sel-sel endotel, menyebabkan
kerusakan dinding pembuluh darah. Antibodi pada sel endotel dan membran sel
fosfolipid terutama dikaitkan dengan aktivasi dan kerusakan sel endotel dan adhesi
monosit. Vaskulitis sistemik pada SLE merupakan kondisi proatherogenik, ditandai
dengan aktivasi leukosit, dan produksi sitokin serta mediator inflamasi lainnya.16
19
konsentrasi homosistein dan polimorfisme genetik mungkin berperan dalam
perkembangan penyakit SLE. Dilaporkan terdapat peningkatan viskositas darah
pada pasien dengan SLE dengan riwayat trombosis arteri. Antibodi antifosfolipid
(aPL), termasuk lupus antikoagulan (LA), antibodi anticardiolipin (aCL) dan anti-
β2- glikoprotein-1 (anti-β2-GP1) antibodi, berhubungan dengan hiperkoaguabilitas
dan kejadian trombosis akut atau dikaitkan dengan peningkatan risiko
tromboemboli arteri dan vena, termasuk stroke. Sindrom antifosfolipid antibodi
(APS) adalah kondisi protrombotik ditandai dengan adanya antibodi ini. APS
mungkin bisa sebagai diagnosa utama, tapi mungkin hadir bersama dengan kondisi
lain, seperti SLE. 2,17
Kejadian vascular tidak hanya khusus pada pasien dengan antibodi terhadap
fosfolipid (aPL). Sindrom stroke pada SLE juga disebabkan karena penyebab yang
lain dikaitkan dengan penyakit kronis seperti hipertensi dan aterosklerosis yang
terjadi lebih cepat. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap risiko klinis dan
subklinis penyakit aterosklerotik vaskular termasuk juga usia, jenis kelamin laki-
laki, merokok, lamanya penyakit, dyslipidemia, homosisteinemia, peningkatan
kerusakan pembuluh darah, durasi dan dosis kumulatif kortikosteroid, hipertensi,
dan obesitas.2,3,4
20
stroke di antara pasien dengan lupus. Stroke iskemik pada pasien lupus jauh lebih
tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Gambar 3.6 Perbandingan Pasien Stroke Pada Lupus Dengan Populasi Umum 18
Salah satu temuan paling signifikan dari seluruh kasus adalah banyaknya lesi
iskemik. Stroke hemoragik juga ditemukan lebih banyak pada populasi LES
dibandingkan dengan populasi umum. Peningkatan risiko dua kali lipat dari stroke
iskemik dan tiga kali lipat peningkatan risiko perdarahan intraserebral pada
individu dengan LES dibandingkan dengan populasi umum. Peningkatan risiko
stroke iskemik dapat dikaitkan dengan beberapa penyebab. Pertama, individu
dengan LES memiliki lebih banyak kondisi komorbiditas yang juga merupakan
faktor risiko stroke seperti vaskulitis, sindrom antiphospholipid dan hipertensi.
Risiko stroke pada usia yang muda bisa dijelaskan dengan proses aterosklerosis.
Selanjutnya, peradangan sistemik mungkin juga memainkan peran penting dalam
memicu stroke yang terlihat pada penyakit inflamasi kronis lainnya seperti
rheumatoid arthritis, polymyalgia rheumatica dan infeksi kronis. Terakhir,
komplikasi terkait obat karena terapi imunosupresif sering diberikan kepada pasien
dapat menambah risiko. 17,18
21
Gambaran klinik Sakit kepala tiba-tiba dan berat merupakan tanda khas stroke
hemoragik yang dapat disertai mual dan muntah. Adanya Perubahan kesadaran dan
kejang terjadi antara 15-37%. Gejala yang timbul dapat terjadi cepat atau lambat..
Kenaikan tekana darah pada pada 45% kasus. Diagnosis Harus segera dilakukan
pemeriksaan CT scan kepala dengan sensitivitas 92-100 % pada 24-48 jam petama,
lalu menjadi 85% hari ketiga dan hanya 50% seminggu kemudian. Anak dengan
sakit kepala hebat namun hasil CT scan normal harus dilakukan Lumbal Pungsi
untuk mencari xanthochromia karena cepatnya degradasi hemoglobin. Paling bagus
dengan CT Angiography karena bisa dilanjutkan dengan prosedur intervensi
sekaligus. 20
22
mengganggu dengan fungsi trombosit termasuk antibiotik beta-laktam, nitrat, beta-
blocker, antidepresan trisiklik, selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) dan
yang lain.21
Peningkatan tekanan darah pada pasien gagal ginjal disebabkan oleh hipervolemia
oleh karena retensi air dan natrium yang menyebabkan curah jantung meningkat
dan mengakibatkan hipertensi. Selain itu Gangguan sistem renin, angiotensin dan
23
aldosteron bisa menyebabkan hipertensi pada gagal ginjal. Renin adalah ensim yang
diekskresi oleh sel aparatus juksta glomerulus. Bila terjadi penurunan aliran darah
intrarenal dan penurunan laju filtrasi glomerulus, aparatus juksta glomerulus
terangsang untuk mensekresi renin yang akan merubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I. Kemudian angiotensin I oleh angiotensin converting enzym diubah
menjadi angiotensin II yang menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
menyebabkan tekanan darah meningkat. Selanjutnya angiotensin II merangsang
korteks adrenal untuk mengeluarkan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi
natrium dan air di tubuli ginjal, dan menyebabkan tekanan darah meningkat. Zat
vasodilator yang dihasilkan oleh medula ginjal yaitu prostaglandin A2, kilidin, dan
bradikinin, berkurang pada penyakit ginjal kronik yang berperan penting dalam
patofisiologi hipertensi renal. Faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan
hipertensi sekunder pada anak antara lain, luka bakar, obat kontrasepsi,
kortikosteroid, dan obat-obat yang mengandung fenilepinefrin dan pseudoefedrin.25
24
Trombositopenia menggambarkan supresi yang diperantarai oleh sel T pada
proliferasi megakariosit dan produksi trombosit. Antigen spesifik pada antiplatelet
antibodi pasien SLE sebagian besar terpisah pada glikoprotein Iib IIIa (GpIIb/IIIa)
membrane glikoprotein (αIIaβ3, integrin).
Kejang merupakan komplikasi yang sering terjadi pada stroke hemoragik. Sekitar
50-70% kejang terjadi dalam 24 jam pertama, dan 90% dalam 3 hari pertama
dengan risiko 30 hari secara keseluruhan kejang sekitar 8%. Kejang awal terjadi
dalam 2 minggu dan disebabkan oleh gangguan struktural dan biokimia seluler,
sedangkan kejang lebih 2 minggu dikaitkan dengan gliosis dan perkembangan
sikatriks meningocerebral. Dalam serangkaian 63 pasien dengan ICH di unit
perawatan intensif (ICU) yang memiliki pemantauan EEG dalam waktu 72 jam
masuk, kejang non-konvulsif terdeteksi di 28%, empat kali kejadian kejang yang
teramati. Dalam review retrospektif dari 102 pasien dengan ICH dengan
pemantauan EEG, 19% memiliki kejang konvulsif 13% mengalami kejang
electrographic, dan 5% memiliki keduanya, dengan 94% kejang terdeteksi dalam
72 jam pertama. Subklinis kejang dikaitkan dengan perdarahan yang meluas,
terutama jika mereka berkembang lebih dari 30% di pertama 24 jam atau jika
mereka mencapai korteks, dan juga terkait dengan hasil yang buruk. Frekuensi
status epileptikus yang dilaporkan 0.3–21.4%
Dalam studi sebelumnya dari 1402 pasien dengan ICH, status epileptikus terjadi
pada 11 dari 65 pasien dengan kejang dan merupakan presentasi awal dari ICH
dalam enam tahun 65 pasien ini. Epilepsi (kejang berulang) dilaporkan berkembang
pada 2.5–4% pasien, tetapi Passero dan colleagues melaporkan risiko kejang onset
25
lambat atau epilepsi pada orang yang selamat dari ICH menjadi 5-27%. Kejang
berulang terjadi pada empat dari 14 pasien dalam satu penelitian, meskipun dengan
pemberian pengobatan antiepilepsi.29
Terjadinya stroke hemoragik menyebabkan kerusakan sel neuron, glia dan sawar
darah otak. Kerusakan sel glia akan menyebabkan kelebihan K+ dan glutamat di
celah sinaps karena tidak terhisap sehingga neuron akan mudah tereksitasi. Selain
itu adanya proses inflamasi juga meningkatan proses eksitasi. Adanya
ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan hipereksibilitas
yang pada akhirnya akan menyebabkan kejang. Pada keadaan hipereksibilitas
terjadi peningkatan seksresi glutamat ke celah sinaps yang menyebabkan
peningkatan Ca2+ dalam sel sehingga mengaktifkan enzim intra sel yang berdampak
terjadinya kematian sel. Terjadinya hipereksibilitas satu sel neuron akan
mempengaruhi sel neuron sekitarnya sehingga tercetus aktivitas listrik abnormal
yang bersamaan yang disebut sebagai hipersinkroni.30
Seizure setelah hemoragik stroke dianggap disebabkan oleh iritasi yang disebabkan
oleh produk metabolisme darah. Patofisiologi yang tepat adalah tidak jelas, tetapi
daerah iskemik terkait sekunder pendarahan diduga berperan. Kejang onset lambat
berhubungan dengan perubahan neuronal yang persisten rangsangan dan jaringan
parut gliotik kemungkinan besar yang mendasari sebab. Endapan hemosiderin
diduga menyebabkan iritabilitas setelah stroke hemoragik.31
Klasifikasi kejang pasca stroke dan pasca stroke epilepsi mengikuti kaidah yaitu
klasifikasi kejang sesuai dengan standar pedoman diagnostik oleh International
League Against Epilepsy dan Status nosologis dari kejang sehubungan dengan
onset dalam dua minggu. Serangan onset dini memiliki puncak dalam 24 jam
setelah stroke. Sekitar 45% dari serangan kejang onset dini terjadi dalam 24 jam
pertama. Namun yang terjadi setelah dua minggu onset stroke disebut sebagai onset
lambat. Serangan onset lambat memiliki puncak dalam 6 hingga 12 bulan setelah
stroke dan memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi hingga 90% baik stroke
iskemik maupunn hemoragik. Epilepsi berkembang di sekitar sepertiga onset dini
dan separuh dari onset lambat.32,33
26
Lokasi perdarahan intraserebral penting untuk menentukan prognosis dan
pengobatan selanjutnya. Perdarahan di daerah pontine memiliki mortalitas
tertinggi, dan perdarahan daerah superfisial mungkin lebih bisa ditangani dengan
operasi. Bergantung pada lokasi, perdarahan dari perdarahan intraserebral dapat
meluas ke sistem ventrikel. Perdarahan intraventrikular bisa terjadi pada sekitar
40% kasus dan prognosis yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar 8% pasien setelah
perdarahan intracerebral, sebagian besar (sekitar 90%) dalam 3 hari pertama. Hasil
konklusi tentang efek kejang seperti itu pada hasil klinis. Penyebab kejang tersebut
tidak diketahui, dan penelitian pada hewan tentang kejang yang disebabkan oleh
perdarahan intraserebral jarang terjadi. Namun, kejang mungkin terkait dengan
peningkatan jumlah glutamat ekstraseluler dan regulation saluran GABA dan
kalium setelah perdarahan intraserebral. Selain itu, trombin intraserebral dapat
enimbulkan aktivitas kejang pada tikus. Apakah kejang mempengaruhi hasil setelah
perdarahan intraserebral masih bisa diperdebatkan.34
Tata laksana yang juga perlu diperhatikan adalah memperhatikan adanya tekanan
intra kranial dengan melakukan pemantauan ketat pasien yang beresiko dema
serebri. Perburukan gejala klinis perlu diperhatikan dalam 48 jam setelah serangan
stroke. Hal yang perlu dilakukan pada pasien dengan tekanan intra kranial adalah
meninggikan posisi kepala 30o, menghindari penekanan vena jugularis, mencegah
terjadinya hipertermia, bisa dilakukan osmoterapi dan pemberian diuretik jika tidak
ada kontra indikasi.10
Pengendalian kejang pada pasien bisa diberikan dengan pemberian diazepam bolus
lambat intravena 5-20 mg. setelah itu bisa dilanjutkan dengan fenitoin loading dose
27
15-20 mg/kgBB bolus dengan kecepatan maksimal 50 mg/menit. Tetapi pada
pasien dengan LES dan gangguan ginjal perlu dipertimbangkan pemberian obat lain
selain fenitoin karena efek samping mengganggu ekskresi ginjal, misalnya dengan
pemberian topiramat.10,30,35
28
BAB III
DISKUSI
Pasien pada kasus adalah seorang wanita usia muda 18 tahun datang kerumah sakit
dengan kelemahan sisi kiri mendadak 1 jam SMRS. Defisit neurologis yang
mendadak pada pasien yaitu keluhan kelemahan menunjukkan kemungkinan besar
adalah lesi vaskular. Riwayat penyakit pada pasien adalah SLE, Sindroma nefrotik
dan hipertensi diketahui sejak usia 13 tahun. Selain itu pasien juga menderita gagal
ginjal dan melakukan cuci darah rutin. Hipertensi pada LES dapat terjadi sebagai
komplikasi kelainan ginjal atau sebagai efek samping steroid. Terjadinya hipertensi
pada penyakit ginjal adalah Gangguan sistem renin, angiotensin dan aldosteron.
Pada pemeriksaan didapakan refleks fisiologis yang meningkat disebelah kiri yang
disertai dengan munculnya refleks patologis. Motor neuron terdiri atas upper motor
neuron dan lower motor neuron. Pada proses terjadinya refleks terdapat 2 neuron
yang berfungsi yaitu neuron eksitasi dan inhibisi. Neuron inhibisi ini bertugas
mengantarkan impuls dari otak ke organ target. tujuan dari inhibisi ini adalah
mencegah respon hiperaktif terhadap refleks. sedangkan neuron eksitasi
menghantarkan impuls dari spinal cord ke organ target. Saat terjadi kerusakan pada
29
upper motor neuron maka neuron inhibisi tidak dapat menghantarkan impuls ke
organ target sehingga terjadi peningkatan refleks fisiologis dan munculnya refleks
patologis yang normalnya itu dapat di inhibisi.
Pada illustrasi kasus, kesan kelemahan lengan dan tungkai kiri yang tampak
bersamaan dengan adanya kesan mulut mencong ke sisi yang sama, melalui data
tersebut dapat dipikirkan bahwa lesi terletak pada parenkim kanan. Bila melihat
letak lesi yang cukup luas maka dapat dipertimbangkan bahwa sumber perdarahan
pada pasien berasal dari pembuluh darah yang cukup besar.
Pada pasien ini sempat mengalami kejang yang disebabkan adanya lesi akibat
perdarahan pada korteks serebri yaitu pada lobus frontal kanan. Pasien
mendapatkan terapi topiramate
30
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien,
maka pasien didiagnosa dengan Hemiparesis sinistra, paresis N.VII sinistra sentral,
paresis N.XII sinistra sentral ec stroke hemoragik
Prognosis pada pasien ini dibagi menjadi tiga. Prognosis ad vitam pasien dubia ad
malam dikarenakan kondisi pasien dengan penyakit dasar LES, sindrom nefrotik,
CKD on HD. Prognosis ad fungsionam pasien dubia. Hal ini dikarenakan pasien
masih belum dapat melakukan aktifitas sehari – hari dengan mandiri karena lemah.
Prognosis ad sanasionam pasien dubia ad malam.
Kesimpulan
1. Kkk
2. Mnmnvm
3. Bdjf
4. hjgfkghk
31
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper
D.L. Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies;
2012. H 2724-35.
3. Wijaya L.K. Diagnosis dan Penatalaksanaan Neuropsikiatrik Sistemik Lupus
Eritematosus. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A.W et al editor. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke enam. Jakarta. Internal Publishing. 2014: 3384-
3391.
4. Chiu C.C, Huang C.C, Chan W.L, Chung C.M, et al. Increased Risk of
Ischemic Stroke in Patients with Systemic Lupus Erythematosus: A
Nationwide Population-based Study. Intern Med 51: 17-21, 2012 DOI:
10.2169/internalmedicine.51.6154
5. Baehr M, Frotscher M, editors. Suplai Darah dan Gangguan Vaskular Sistem
Saraf Pusat. In: Diagnosis Topik Neurologi DUUS: Anatomi, Fisiologi,
Tanda, Gejala. 4th edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2014. p.
472–435.
6. Caplan LR. Caplan’s Stroke A Clinical Approach. 4th Edition. Philadephia :
Elsevier Inc ; 2009. p 43-60.
7. Blumenfeld H. Neuroanatomy Through Clinical Cases. Second Edition.
Sunderland ; 2010.
8. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, et
al. An updated definition of stroke for the 21st century: A statement for
healthcare professionals from the American heart association/American stroke
association. Stroke. 2013;44(7):2064–89
9. Joon S, Kim TJ, Yoon B. Epidemiology, Risk Factors, and Clinical Features
of Intracerebral Hemorrhage: An Update. Journal of Stroke 2017;19(1):3-10
32
10. Mesiano T, Harris S, Rasyid A, Hidayat R, Kurniawan M. Stroke Hemoragik.
In: Anindhita T, Wiartaman W, editors. Buku Ajar Neurologi. 1st ed. Jakarta:
Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017. p. 514–526.
11. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas
Airlangga; 2007. h 235-41.
12. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed. Jakarta:
EGC; 2009.
13. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical
features. Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.
14. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011
15. Kuhn A, Bonsmann G, Anders H, Herzer P, Tenbrock K, Schneider M. The
Diagnosis and Treatment of Systemic Lupus Erythematosus. Deutsches
Aerzteblatt Online. 2015.
16. Timlin H and Petri M. Transient ischemic attack and stroke in systemic lupus
erythematosus. Lupus (2013) 22, 1251–1258
17. Mikdashi J, Handwerger B, Langenberg P, et al. Baseline Disease Activity,
Hyperlipidemia, and Hypertension Are Predictive Factors for Ischemic Stroke
and Stroke Severity in Systemic Lupus Erythematosus. Stroke. 2007;38:281-
285. Downloaded from http://stroke.ahajournals.org/ on June 27, 2015
18. Krishnan E. Stroke subtypes among young patients with systemic lupus
erythematosus. Am J Med 2005;118:1415.
19. Holmqvist M, Simard JF, Asplund K, et al. Stroke in systemic lupus
erythematosus: a metaanalysis of population-based cohort studies. RMD open
2015;1:e000168. doi:10.1136/rmdopen-2015-000168
20. Jakubovic R, Aviv RI. 2012. Intracerebral hemorrhage: toward physiological
imaging of hemorrhage risk in acute and chronic bleeding. J frontier in
neurology. Vol 3:1-11
21. Izak M, Bussel JB. Management of thrombocytopenia and James B. New York,
USA; doi:10.12703/P6-45
33
22. Webb NJA, Brogan PA, Baildam EM. Renal manifestation of systemic
disorders. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, Clinical paediatric nephrology.
Edisi ke-3. New York: Oxford University Press; 2003. Hlm. 381- 403.
23. Jennekens FGI, Kater L. The central nervous system in systemic lupus
erythematosus. Part 2. Pathogenetic mechanisms of clinical syndromes: a
literature investigation. Rheumatology 2002; 41:619-30
24. Martakusumah H. Terapi Induksi pada Lupus Nephritis. SubBag Ginjal
Hipertensi. Bandung: Bag Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr Hasan
Sadikin Bandung; 2011
25. Hadtstein C, Schaefer F. Hypertension in children with chronic kidney disease:
pathophysiology and management. Pediatr Nephrol. 2008;23:363-371.
26. Janoudi N, Bardisi ES. Haematological Manifestations in Systemic Lupus
Erythematosus. Croatia. InTech. 2012: 363-393.
27. Sasidharan PK, Bindya M, Kumar KGS. HematologicalManifestations of SLE
at Initial Presentation: Is It Underestimated?. International Scholarly Research
Network. ISRN Hematology . 2012.
28. Al-Shahi R, Mason JC, Rao R et al.Systemic Lupus Erythematosus
Thrombocytopenia Microangiopathic Haemolytic Anemia and Anti CD25
Antibodies.British Journal of Rheumatology.1997;36:794-798.
29. Claassen J, Jette N, Chum F, et al. Electrographic seizures and periodic
discharges after intracerebral hemorrhage. Neurology 2007;69: 1356–65.
30. Octaviana F, Budikayanti A, Wiratman W, Indrawati LA, Syebab Z. Bangkitan
dan Epilepsi. In: Anindhita T, Wiartaman W, editors. Buku Ajar Neurologi. 1st
ed. Jakarta: Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017. p. 75-106
31. Silverman IE, Restrepo L, Mathews GC. Poststroke seizures. Arch Neurol
2002;59:195–201.
32. Burn J, Dennis M, Bamford J, et al. Epileptic seizures after a first stroke: the
Oxfordshire community stroke project. BMJ 1997;315:1582–7.
33. International League Against Epilepsy. Commission on Classification and
Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised
classification of epilepsies and epileptic syndromes. Epilepia 1989;30:389–99.
34
34. Balami JS, Buchan AM. Complications of intracerebral haemorrhage. Lancet Neurol
2012; 11: 101–18.
35. Shorvon S. Handbook of Epilepsy Treatment. Somerset: Wiley; 2010. P. 117
35