Anda di halaman 1dari 35

BAB I

ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn.FN
Usia : 19 tahun
NRM : 3883356
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Belum Menikah
Pembiayaan : JKN
MRS : Tgl 30 Juni 2018

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien mengeluh kelemahan sisi tubuh sebelah kiri mendadak sejak 1 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Nn. F, usia 19 tahun datang kerumah sakit pada tanggal 30 Juni 2018 dengan
keluhan utama kelemahan sisi tubuh sebelah kiri mendadak sejak 1 hari SMRS.
Keluhan diawali saat pasien sudah tiba dirumah setelah cuci darah, pasien
mengeluhkan nyeri kepala dengan Numeric Rating Scale (NRT) 4 dan cenderung
mengantuk, namun pasien masih bisa berkomunikasi dengan baik. Pasien kemudian
beristirahat dan tidur. Ketika bangun tidur pasien mengeluh sisi tubuh sebelah
kirinya menjadi lemah, tangan dan kaki kiri masih bisa digerakkan tetapi terasa
berat, setelah keluhan ini dirasa baru keesokan harinya pasien dibawa ke IGD
RSCM. Keluhan tidak disertai penurunan kesadaran, mulut mencong, bicara pelo,
pandangan buram atau ganda, pusing berputar, baal sesisi tubuh dan kejang.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit dahulu, pasien menderita sindrom lupus eritematosus (SLE),
sindroma nefrotik dan hipertensi diketahui sejak usia 13 tahun. Selain itu pasien
juga menderita gagal ginjal dan melakukan cuci darah rutin dua kali seminggu sejak
2 tahun yang lalu.

Riwayat Pengobatan

1
Clonidine 2x0,075mg, Candesartan 1x160mg, Amlodipine 1x10mg, CaCO3
3x1tab, Bicnat 3x1tab, metil prednisolon 3x16mg, mycophenolic acid 3x360mg.

C. PEMERIKSAAN FISIK (28 Juni 2018)


Status Generalisata
Keadaan umum : Baik.
Kesadaran : kompos mentis.
Tekanan darah : 170/90mmHg
Frekuensi nadi : 96 x/menit.
Frekuensi napas : 20 x/menit.
Suhu : 36,8oC.
Saturasi : 98%
Berat badan : 38 kg.
Tinggi badan : 158 cm.
BMI : 15,22% (underweight)
Mata : konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik
Muka : tampak sembab
THT : tidak dilakukan pemeriksaan
Gigi dan mulut : tidak tampak lesi kulit
Jantung dan paru : tidak didapatkan kelainan
Abdomen : tidak didapatkan kelainan
Anggota gerak : akral hangat, CRT < 3 detik, edema (+) di kedua tungkai.

Pemeriksaan Neurologis
GCS : 15
Eye :4
Motorik :6
Verbal :5
Nervus Kranialis : paresis N VII dan N XII sinistra sentral
Kekuatan Motorik (tangan dan kaki kanan) : 5555 (normal)
Kekuatan Motorik (tangan dan kaki kiri) : 4444 (lemah)
Refleks fisiologis : Meningkat pada sisi kiri dan
normal pada sisi kanan.
Refleks Patologis : (+) di kaki sebelah kiri; kaki sebelah
kanan (-).

2
Sensorik dan otonom : Dalam Batas Normal.
Pemeriksaan funduskopi : Tidak ada kelainan.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium RSCM (30 Juni 2018)


Hasil Nilai Rujukan Hasil Nilai Rujukan

Hb 7.09 13,0-17,0 g/dl Natrium 141 132-147 mEq/L

Hematokrit 22.6 40,0-50,0 % Kalium 3,3 3,3-5,4 mEq/L

5.000-
Leukosit 3.83 Klorida 107 94-111 mEq/L
10.000/uL

150.000-
Trombosit 46.6 PT 9.5/10.5 9,8-11,2 detik
400.000/uL

Ureum 47.4 0-49 mg/dL APTT 46,8 (33,0) 31.0-47,0 detik

Creatinin 6,513 0,6-1,2 mg/dL D-dimer 100 0,0-0,3

SGOT 27,8 0-32 u/L Fibrinogen 215,7 150-400 mg/dL

SGPT 21,5 0-49 u/L INR 0,95 0,93-1,13

GDS 108 0-200 mg/dL Albumin 3,61 3.4-4.8 g/dL

CD4 118

Pemeriksaan foto thoraks RSCM (30 Juni 2018):

Expertise: gambaran kardiomegali dan tidak terdapat kelainan pada paru.

Pemeriksaan EKG jantung (30 Juni 2018):

Dalam batas normal.

Pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras (28 Juni 2018):

3
Expertise: didapatkan adanya perdarahan intraparenkim lobus frontal kanan dengan
estimasi volume 8,22 cc disertai perifokal edema yang menyempitkan ventrikel
lateralis kanan dan menyebabkan herniasi subfalcine ke kiri sejauh 0,7 cm.

Pemeriksaan MRI kepala dengan kontras (2 Juli 2018):

Expertise: lesi dengan intensitas perdarahan subakut-kronik di lobus frontal kanan


yang menyebabkan herniasi subfalcine ke kiri sejauh 0,7 cm ukuran relatif sama
dengan sebelumnya (stqa) dengan estimasi volume perdarahan +/- 11,3 cc.

E. DIAGNOSIS

Epilepsi simptomatik, Hemiparesis sinistra, paresis N.VII sinistra sentral, paresis


N.XII sinistra sentral ec stroke hemoragik ec.

4
 Diagnosis topis : Parenkim lobus frontal kanan
 Diagnosis etiologis : Trombositopenia pada SLE
 Diagnosis patologis : Hemoragik

Prognosis pada pasien ini untuk ad vitam dubia ad malam, untuk ad functionam
dubia ad malam, dan untuk ad sanactionam dubia ad malam
F. PENATALAKSANAAN

G. FOLLOW UP
1/7/18 2/7/18 5/7/18 6/7/18 7/7/18
S
O
A
P

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi


autoimun sistemik yang ditandai dengan temuan autoantibodi pada jaringan dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan manifestasi klinis diberbagai sistem
organ. Pasien LES 90% adalah perempuan usia muda dengan insiden puncak pada
usia 15-40 tahun selama masa reproduksi. Rasio penyakit LES pada perempuan dan
laki-laki adalah 9:1. Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup
tinggi. Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari
pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.1,2

Gangguan neurologi bisa didapatkan pada pasien LES sering disebut dengan
Neuropsikiatry Systemik Lupus Erytematosus (NPSLE). Adanya keterlibatan sistem
saraf ini pertama kali dijelaskan oleh Kaposi dan Hebra pada tahun 1875 dan pada
tahun 1903 Osler menemukan bahwa terjadi iskemia serebral fokal yang berulang pada
LES. Birnbaum et al. dalam studi prospektif dari 1584 pasien SLE, ditemukan 36
pasien dengan stroke iskemik (2,27%), dan 2 pasien dengan stroke hemoragik. Pasien
dengan LES memiliki risiko 2,04 kali rawat inap karena stroke dibandingkan pasien
non-SLE. Prefalensi stroke, transient ischemic attacks, dan infark miokardial lebih
tinggi pada pasien SLE.2,3,4

Salah satu manifestasi klinik yang bisa terjadi pada penyakit LES adalah terjadinya
stroke, baik stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Stroke hemoragik terjadi
karena pecahnya pembuluh darah otak. Bisa terjadi pada abnormal (malformasi
vaskuler), pembuluh darah normal dengan pendarahan (bleeding dasthesis). Akibat
yang ditimbulkan adalah terjadi ekstravasasi darah ke dalam ruang intracranial. 2,3

Tulisan ini dibuat agar sebagai seorang klinisi kita dapat menentukan diagnosis
stroke hemoragik pada LES dan dapat menentukan tatalaksana yang tepat pada
pasien tersebut. Pada kasus ini akan dipaparkan kasus seorang pasien usia 18 tahun
datang kerumah sakit dengan keluhan kelemahan sisi tubuh sebelah kiri mendadak
sejak 1 hari SMRS. Pasien sudah lama menderita LES.

6
2.1 Pembuluh Darah Otak

Pada serebral disuplai darah dari 2 pembuluh darah besar, yaitu arteri karotis interna
dan arteri vertebralis. Arteri karotis interna terlibat dalam sirkulasi bagian anterior
otak, sedangkan arteri vertebralis terlibat pada bagian sirkulasi posterior otak. Baik
sirkulasi anterior maupun posterior, keduanya akan berhubungan melalui
anastomosis pembuluh darah yang disebut sirkulus Willisi.5

Sistem arteri di otak di suplai oleh 4 pembuluh darah yang besar, yang terdiri dari
arteri karotis interna kanan dan kiri serta arteri vertebralis kanan dan kiri. Seluruh
arteri yang menyuplai otak akan saling berhubungan membentuk suatu anastomosis
pembuluh darah yang disebut sebagai sirkulus Willisi. Sirkulasi di otak di bagi
menjadi 2, yaitu sirkulasi anterior dan sirkulasi posterior. Pada sirkulasi anterior,
pembuluh darah yang terlibat adalah pembuluh darah yang berasal dari arteri karotis
interna, sedangkan sirkulasi posterior berasal dari arteri vertebralis.6,7,8

Arteri karotis interna berasal dari salah satu percabangan dari arteri karotis
komunis, tepatnya di bifurkasio arteri karotis komunis yang terletak setinggi
kartilago tiroidea. Arteri trsebut akan berjalan naik tanap membentuk cabang ke
basis kranii, degan melalui sinus kavernosus. Arteri ini melengkung ke atas dan ke
belakang di dalam sinus kavernosus. Cabang-cabang halus ekstradural akan
memperdarahi dasar dari kavitas timpani, duramater klivus, ganglion semilunaris
dan kelenjar hipofisis. Sebelum sampai di cabang terminalnya, arteri karotis interna
memiliki beberapa cabang arteri, yaitu arteri oftalmika, arteri komunikans posterior
dan arteri khoroidalis anterior.6,7,8

Arteri serebri media merupakan cabang terbesar dari arteri karotis interna. Arteris
serebri media akan keluar dari arteri karotis interna di atas prosesus klinoideus
aterior, lalu berjalan di lateral di Fissura Sylvii. Trunkus utama dari arteri serebri
media akan mebentuk banyak cabang perforantes ke ganglia basalis dan krus
anterior dan genu kapsula interna serta kapsula eksterna dan klaustrum. Arteri
sereberi media akan terbagi menjadi beberapa cabang utama yang akan memnyuplai
area lobus parietal, frontal dan temporal yang luas.6,7,8

7
Adapun cabang-cabang utama dari arteri serebri media adalah arteri orbitalis
frontaslis, arteri preolandika, arteri rolandia, arteri parietalis anterior,arteri parietali
posterior, arteri giri angularis, arteri temporooksipitalis, temporalis posterior dam
arterir temporalis anterior. Arteri serebri media akan menyuplai area kortikal yang
terdiri dari korteks motorik dan sensorik primer, area bahasa Broca dan Wernickem
korteks auditorik primer dan korteks gustatorik primer.6,7,8

Secara anatomis, MCA panjangnya bervariasi dari 18 sampai 26 mm. Diameternya


kira-kira 3 mm (kisaran 2,5 mm sampai 4,9 mm) . MCA menghasilkan sebagian
besar cabang arteri lentikulostriata, dinamakan demikian karena mereka memasok
nukleus lentiform (putamen dan pallidum), badan nukleus kaudatus, dan kapsula
internal. Claustrum dan kapsula eksternal diperdarahi oleh pembuluh darah dari
permukaan, ditembus melalui insula. Pada arteri lentikulostriata terdapat 5-17
cabang, masing-masing ujung arteri yang memperdarahi berbagai ukuran jaringan
yang berdekatan. Beberapa arteri lentikulostriata yang lebih kecil mungkin timbul
dari arteri karotis interna distal.5,6

Metode lain untuk mengklasifikasikan cabang MCA didasarkan pada hubungan


arteri dengan bagian utama di otak, terutama fissura Sylvian, operkulum, dan
permukaan cembung. Skema ini telah memberikan deskripsi angiografi yang
membagi MCA menjadi 4 segmen utama. Segmen sphenoidal pertama (M1)
menempati ruang dari asal MCA ke insula limen . Segmen kedua (M2) mencakup
cabang-cabang divisi atas dan bawah yang menutupi insula. Segmen M3 adalah
kelanjutan dari cabang-cabang ini saat mereka melengkung secara kaudal di
sepanjang permukaan bawah operkulum, yang sebagian besar adalah cabang divisi
atas. Segmen M4 menggambarkan bagian-bagian cabang MCA di atas permukaan
cembung pada otak.6,7

Cabang MCA yang merupakan segmen M3 atau segmen opecular mengikuti kurva
operkulum di atas permukaan insula. Beberapa cabang ini membalikkan arahnya
sebanyak 180°. Cabang-cabang yang melewati parietal dan temporal berputar
beberapa derajat sebelum mencapai permukaan cembung daerah temporal dan
parietal. Cabang M4 yang muncul dari celah Sylvian di luar operkulum dan di

8
sepanjang sulci dan gyrus konveksitas otak. Variasi yang cukup banyak ditemukan
pada cabang ini.6,7

Gambar 3.1 Suplai Arteri Bagian Dalam Otak. a. Potongan coronal. b. Potongan

Horizontal5

2.2 Stroke Hemoragik

2.2.1 Definisi

Definisi berdasarkan World Health Organization (WHO) stroke adalah kumpulan


gejala klinis neurologis baik fokal maupun global yang terjadi secara mendadak,
yang bertahan lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian, tanpa adanya
penyebab lain selain vaskular. Definisi ini pertama kali di kemukakan pada tahun
1970 dan masih digunakan sampai saat ini. Setelah 40 tahun definisi stroke menurut
WHO dipakai, saat ini terdapat sebuah definisi baru dari stroke yang di keluarkan

9
oleh American Heart Association/ American Stroke Association (AHA/ASA),
khususnya untuk definisi stroke iskemik. Menurut AHA/ASA 2013, stroke iskemik
didefinisikan sebagai sebuah episode disfungsi neurologis baik fokal maupun
global yang disebabkan infark/iskemia pada otak, medula spinalis maupun retina
yang dibuktikan melalui gambaran neuroimaging, patologi atau pemeriksaan
objektif lainnya dan gejala klinis tersebut menetap ≥ 24 jam atau menyebabkan
kematian setelah penyebab selain vaskular disingkirkan. 5,6,7

Stroke hemoragik atau yang lebih sering disebut dengan perdarahan intraserebral
(ICH) didefinisikan sebagai perdarahan di parenkim otak. Perdarahan intraserebral
dapat terjadi diberbagai lokasi didalam parenkim otak. ICH di ganglia basal dan
kapsul internal (35% -70%), batang otak (5% -10%), dan serebelum (5% - 10%).
Sebaliknya, perdarahan di lobar (15% -30%).9

2.2.2 Epidemiologi

WHO mengestimasi peningkatan jumlah pasien stroke di beberapa negara Eropa


sebesar 1,1 juta pertahun pada tahun 2000 menjadi 1,5 juta pertahun pada tahun
2025. Kejadian stroke hemoragik adalah 12 sampai 15 kasus per 100 000 individu
atau sekitar 40.000 kasus per tahun di Amerika Serikat. Prevalensi di Jepang
memiliki kejadian tertinggi 60 kasus per 100.000. Berdasarkan data dari
AHA/ASA, secara global, pada tahun 2013 didapatkan ada 6,5 juta kematian akibat
stroke, hal ini membuat stroke menjadi penyebab kematian nomor 2 terbanyak
setelah penyakit jantung iskemik. Selain itu, stroke juga merupakan penyebab
kecacatan nomor 2 terbanyak di negara menengah ke bawah. Berdasarkan data dari
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013, didapatkan peningkatan
prevalensi stroke di Indonesia menjadi 12.1 % dimana sebelumnya didapatkan
prevalensi stroke pada tahun 2007 adalah 8,3%. Dari data tersebut, stroke
merupakan penyebab kematian dan kecacatan terbesar bersamaan dengan penyakit
jantung dan kanker.6,7

Prevalensi terjadinya stroke iskemik lebih tinggi dibandingkan dengan stroke


hemoragik. Berdasarkan data dari AHA/ASA pada tahun 2016, angka kejadian
stroke iskemik adalah 87% sedangkan sisanya sejumlah 13% adalah stroke

10
perdarahan. Berdasarkan data dari stroke registry di Indonesia pada tahun 2012-
2014, didapatkan mayoritas pasien adalah stroke iskemik sebanyak 67% dengan
sisanya sebanyak 33% merupakan stroke hemoragik. Meskipun prevalensi stroke
iskemik lebih banyak dibandingkan dengan stroke hemoragik, berdasarkan data
yang diperoleh dari AHA/ASA 2009, didapatkan bahwa angka kematian yang
diakibatkan oleh stroke hemoragik mencapai 49,2%, hampir 2 kali lipat lebih
banyak dibandingkan dengan stroke iskemik yang hanya 25,9%.2,5

Keluaran klinis ICH bervariasi, tergantung pada volume hematoma, lokasi,


perluasan ke ventrikel, dan faktor lainnya. Namun, dibandingkan dengan stroke
iskemik, stroke hemoragik menyebabkan kematian dan kecacatan yang lebih
tinggi.6,7

2.2.3 Etiologi

Stroke hemoragik dapat disebabkan berbagai macam faktor risiko. Faktor risiko
yang dapat dimodifikasi meliputi hipertensi, merokok, konsumsi alkohol berlebih,
dan obat-obatan termasuk antikoagulan, agen antitrombotik, dan simpatomimetik.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi termasuk usia tua, jenis kelamin laki-
laki, CAA, dan ras. Penelitian interstroke, sebuah studi kasus kontrol internasional
terhadap 6.000 subjek dari 22 negara di seluruh dunia, menunjukkan bahwa
hipertensi, merokok, diet, dan asupan alkohol tinggi merupakan faktor risiko utama
untuk stroke perdarahan. 7

2.2.4 Patofisiologi

Patofisiologi stroke hemoragik secara umum biasanya didahului oleh kerusakan


dinding pembuluh darah kecil di otak akibat hipertensi. Penelitian membuktikan
bahwa hipertensi kronik dapat menimbulkan terbentuknya aneurisma pada
pembuluh darah ke otak. Proses turbulensi aliran darah engakibatkan terbentuknya
nekrosis fibrinoid, yaitu nekrosis sel/jaringan dengan akumulasi matriks fibrin.
Terjadi pula herniasi dinding arteriol dan ruptur tunika intima sehingga terbentuk
mikrosneurisma yang disebut Charcot-Bouchard. Mikroaneurisma ini dapat pecah
secara mendadak saat tekanan arteri meningkat. Pada beberapa kasus pecahnya

11
pembuluh darah tidak didahului oleh terbentuknya aneurisma namun semata-mata
hanya karena peningkatan pembuluh darah.10

Tabel 1. Faktor Risiko Pada Stroke Hemoragik 6

 Dapat Dimodifikasi Tidak dapat dimodifikasi

 Hipertensi  Usia
 Merokok  Jenis kelamin
 Ras
 Konsumsi alkohol
 Cerebral amyloid angiopathy
 Antikoagulan
Cerebral microbleeds
 Antiplatelet
 Sympathomimetic drugs
 (Kokain, heroin, amfetamin, PPA and
efedrin)

Pada kondisi yang normal otak memiliki sistem autoregulasi pembuluh darah. Jika
tekanan darah sistemik meningkat sistem ini bekerja dengan melakukan
vasokontriksi ke pembuluh darah cerebral. Sebaliknya bila tekanan darah sistemik
menurun maka sistem ini akan bekerna melakukan vasodilatasi pembuluh darah
cerebral. Pada pasien yang sudah memiliki hipertensi dalam jangka waktu lama
akan menyebabkan terjadinya hialinisasi pada dinding pembuluh darah, sehingga
akan kehilangan elastisitasnya. Kondisi ini dapat membuat pembuluh darah
cerebral tidak lagi bisa menyesuaikan diri dengan fluktuasi tekanan darah sistemik,
kenaikan tekanan darah mendadak akan dapat menyebabkan pecahnya pembuluh
darah. 10

12
2.2.5 Lesi Pada Lobus Frontalis

Gambar 2.2. Struktur Otak Yang Terlibat Pada Fungsi Motorik3

Lesi yang melibatkan korteks serebral seperti pada gambar bisa menyebabkan
kelemahan bagian tubuh di sisi yang kontralateral. Hemiparesis terlihat pada wajah
dan tangan lebih banyak karena bagian-bagian tubuh ini memiliki representasi
kortikal yang besar. Temuan klinis khas yang terkait dengan lesi (a) adalah sebagian
besar paresis distal ekstremitas atas, konsekuensi fungsional yang paling serius
yang merupakan gangguan kontrol motorik halus. Kelemahannya terjadi berupa
paresis dan bukan plegia dan bersifat flaksid. Sebuah lesi iritasi di daerah (a) dapat
menyebabkan kejang fokal.3

13
Gambar 2.3. Distribusi Saraf Fasialis dan Saraf Hipoglossus3

Lesi pada hemisfer cerebri bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot wajah, hal ini
karena distribusi nervus fasialis (N VII) mendapatkan persarafan supranuklear dari
hemisfer. Otot-otot dahi mendapatkan persarafan dari kedua hemisfer sehingga
sehingga lesi disalah satu hemisfer sebabkan pasien masih dapat menaikkan alisnya
dan memejamkan mata secara kuat.3

Sama halnya dengan nervus fasialis, Nervus hipoglossus juga mendapatkan input
aferen dari hemifer serebri kontralateral. Pada kelumpuhan unilateral misalnya
karena kerusakan hemisfer serebri pada kasus stroke hemoragik, lidah akan
berdeviasi ke sisi yang paresis ketika pasien menjulurkan lidahnya. Musculus
genioglossus pada satu sisi mengalami kelemahan maka otot antagonisnya akan
lebih dominan dan mendorong lidah ke lesi yang mengalami kelemahan.3

2.3 Lesi Pada Stroke Hemoragik

Perdarahan intraserebral paling sering disebabkan oleh hipertensi dan memiliki


distribusi vaskular yang sama dengan lipohyalinosis. Pada tahun 1872, Charcot dan
Bouchard awalnya menggambarkan karena adanya mikroaneurisma yang pecah

14
dan menyebabkan perdarahan intraserebral. Peningkatan tekanan darah dan aliran
darah yang tiba-tiba juga dapat menyebabkan penyumbatan arteri yang ini pecah,
walaupun tidak ada perubahan hipertensi kronis. Malformasi vaskular dapat terjadi
di manapun di dalam otak. Angiopati amiloid serebral melibatkan arteri dan arteriol
kecil di dalam ruang subarachid dan di dalam korteks serebral. 6

Lokasi otak yang paling umum untuk terjadinya perdarahan intraserebral pada
hipertensi adalah sebagai berikut: putaminal dan kapsula interna (40%), thalamus
(12%), lobar white matter (15%-20%), nukleus kaudatus (8%), pons (8%), dan
serebelum (8%) (lihat Gambar 5). Perdarahan karena malformasi vaskular tidak
memiliki tempat predileksi khusus namun paling sering bersifat subkortikal atau
mendekati permukaan otak. Perdarahan yang disebabkan oleh amyloid angiopathy
juga biasanya lobar, seringkali oksipital, dan jarang mempengaruhi ganglia basal
atau struktur fossa posterior.6

Gambar 2.5 Gambaran Lokasi Paling Sering Terjadinya Stroke Hemoragik Pada
Hipertensi 6

Pasien dengan leukosit yang meningkat merupakan pertanda bahwa telah terjadi
penurunan reaktivitas endotelial. Leukosit yang relatif tinggi juga merupakan

15
penanda yang memprediksi kemungkinan mengembangkan stroke pertama. Jumlah
WBC yang tinggi juga merupakan penanda inflamasi di dalam tubuh yang
merupakan penyebab penting kerusakan pembuluh darah.6

2.4 Lupus Eritematosus Sistemik

2.4.1 Definisi

LES adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi
terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis
yang luas. Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai dengan periode
tenang dan eksaserbasi. Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan
mempertahankan toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah
besar yang dapat merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan
kompleks imun. Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel
host yang tidak spesifik terhadap organ. Proses ini diawali dengan faktor pencetus
yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. 11,12
Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu: 11,12
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif

2. Pembentukan sitokin yang berlebihan

3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain

 Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun


maupun sitokin di dalam tubuh

 Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

 Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh


sebagai antigen kerena adanya mimikri molekuler

2.4.2 Patofisiologi LES


Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu meningkatnya serum
antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, dan terbentuknya kompleks imun
pada organ target yang menyebabkan kerusakan organ. Defek mekanisme regulasi
imun seperti klirens apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor pada

16
LES. LES ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks
imun, dan aktivasi komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh
interaksi antara gen dan faktor lingkungan sehingga menghasilkan respon imun
yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga
terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang
menimbulkan respon imun abnormal.2

Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa gangguan
klirens kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati dan
penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini
memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan
terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi
komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi inflamasi.
Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada
organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan
sebagainya.2

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan membentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada jaringan atau organ
yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.11

Karakteristik patogenesis dari LES yaitu sistem imun yang menyerang nuklear
endogen yang dianggap sebagai autoantigen. Autoantigen dikeluarkan oleh sel yang
mengalami apoptosis kemudian akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T.
Sel T mensekresikan sitokin yaitu interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang
mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Nukleosome endogen dapat
berikatan dengan molekular patogen reseptor dan dapat menstimulus pengeluaran
interferon α (IFN α) sehingga memicu terjadinya inflamasi. Selain itu juga
nucleosome dapat berikatan dengan reseptor permukaan sel seperti BCR (B cell
antigen reseptor) dan TLR (Toll like reseptor). Pada pasien dengan SLE yang aktif
terdapat peningkatan ekspresi TLR9.13

17
Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung menyerang
kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome, nukleolar RNA,
spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut bermigrasi ke
permukaan sel dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi autoantibodi.
Hiperreaktivitas dari sel T dan sel limfosit B pada LES ditandai dengan
meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan CD40L. Hasil akhir dari ini yaitu
produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi di
jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang diselubungi
Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3) pengeluaran
kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi jaringan.13

Tabel 3. kriteria dari diagnostik SLE sesuai American College of Rheumatology15

Clinical Criteria Immunologic Criteria


Acute cutaneous lupus erythematosus ANA level above laboratory reference
(including “butterfly rash“) range
Chronic cutaneous lupus erythematosus Anti-dsDNA antibodies
(localized or generalized discoid lupus
erythematosus)
Oral ulcers (on palate and/or nose) Anti-Sm antibodies
Non-scarring alopecia Antiphospholipid antibodies
(anticardiolipin and anti-β2-glycoprotein
I [IgA-, IgG- or IgM-] antibodies; false-
positive VDRL [Venereal Disease
Research Laboratory] test)
Synovitis (≥ 2 joints) or tenderness on Low complement (C3, C4, or CH50)
palpation (≥ 2 joints) and morning stiffness
(≥ 30 min)
Serositis (pleurisy or pericardial pain for Direct Coombs test (in the absence of
more than 1 day) hemolytic anemia)
Renal involvement (single urine:
protein/creatinine ratio or 24-hour urine
protein, >0.5 g)
Neurological involvement (e.g., seizures,
psychosis, myelitis)
Hemolytic anemia
Leukopenia <4000/µL or Lymphonenia
<1000/µL
Thrombocytopenia <100000 /µL

Diagnosis SLE berdasarkan gambaran klinis yang khas dan pemeriksan


autoantibodi. Kriteria dimaksudkan untuk konfirmasi diagnosis SLE. Diagnosis
SLE berdasarkan kriteria dari American College of Rheumatology, ditegakkan bila
ditemukan ≥4 dari 11 kriteria. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis

18
LES memiliki sensitifiitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3
kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan
bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada,
maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.14

Salah satu dari kriteria diagnostik SLE adalah gangguan neurologi atau sering
disebut Neuropsikiatri Sistemik Lupus Eritematosus (NPSLE) merupakan sindrom
neurologi sentral, perifer, sistem saraf autonom dan psikiatri yang terdapat pada
pasien SLE dimana penyebab lainnya sudah disingkirkan.2

Keterlibatan sistem saraf ini pertama kali dijelaskan oleh Kaposi dan Hebra pada
tahun 1875 dan pada tahun 1903 Osler menemukan bahwa terjadi iskemia serebral
fokal yang berulang pada SLE.6 Birnbaum et al. dalam studi prospektif dari 1584
pasien SLE, ditemukan 36 pasien dengan stroke iskemik (2,27%), dan 2 pasien
dengan stroke hemorrhage.6 Pasien dengan SLE memiliki risiko 2,04 kali rawat
inap karena stroke dibandingkan pasien non-SLE6. Prefalensi stroke, transient
ischemic attacks, dan infark miokardial lebih tinggi pada pasien SLE.3

Patofisiologi keterlibatan sistem saraf pada SLE diantaranya adalah vaskulopati


yang ditandai dengan akumulasi sel mononuclear pada perivaskular, tanpa
terjadinya kerusakan dari pembuluh darah. Dapat terjadi infark kecil karena oklusi
dari lumen. Namun patogenesis vaskulopati dan vaskulitis pada SLE tidak diketahui
pasti. Antibodi antifosfolipd berperan pada vaskulopati dihubungkan dengan
kejadian stroke.3

Terdapat juga berbagai autoantibodi pada SLE sebagai kompleks imun, yang secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi sel-sel endotel, menyebabkan
kerusakan dinding pembuluh darah. Antibodi pada sel endotel dan membran sel
fosfolipid terutama dikaitkan dengan aktivasi dan kerusakan sel endotel dan adhesi
monosit. Vaskulitis sistemik pada SLE merupakan kondisi proatherogenik, ditandai
dengan aktivasi leukosit, dan produksi sitokin serta mediator inflamasi lainnya.16

Stroke pada SLE multifaktorial, viskositas darah, autoantibodi, peningkatan

19
konsentrasi homosistein dan polimorfisme genetik mungkin berperan dalam
perkembangan penyakit SLE. Dilaporkan terdapat peningkatan viskositas darah
pada pasien dengan SLE dengan riwayat trombosis arteri. Antibodi antifosfolipid
(aPL), termasuk lupus antikoagulan (LA), antibodi anticardiolipin (aCL) dan anti-
β2- glikoprotein-1 (anti-β2-GP1) antibodi, berhubungan dengan hiperkoaguabilitas
dan kejadian trombosis akut atau dikaitkan dengan peningkatan risiko
tromboemboli arteri dan vena, termasuk stroke. Sindrom antifosfolipid antibodi
(APS) adalah kondisi protrombotik ditandai dengan adanya antibodi ini. APS
mungkin bisa sebagai diagnosa utama, tapi mungkin hadir bersama dengan kondisi
lain, seperti SLE. 2,17

Kejadian vascular tidak hanya khusus pada pasien dengan antibodi terhadap
fosfolipid (aPL). Sindrom stroke pada SLE juga disebabkan karena penyebab yang
lain dikaitkan dengan penyakit kronis seperti hipertensi dan aterosklerosis yang
terjadi lebih cepat. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap risiko klinis dan
subklinis penyakit aterosklerotik vaskular termasuk juga usia, jenis kelamin laki-
laki, merokok, lamanya penyakit, dyslipidemia, homosisteinemia, peningkatan
kerusakan pembuluh darah, durasi dan dosis kumulatif kortikosteroid, hipertensi,
dan obesitas.2,3,4

Hipertensi dan aterosklerosis juga sering dihubungkan dengan penggunaan


kortikosteroid jangka panjang yang merupakan faktor risiko tersering. Peningkatan
plasma homosistein juga diidentifikasikan sebagai salah satu faktor risiko stroke
dan kejadian tromboemboli lainnya pada SLE. Infeksi, vaskulitis, penyakit jantung
katup, emboli, dan thrombosis dapat berefek terhadap pembuluh darah yang
menyebabkan penyumbatan.3

2.5 Stroke Hemoragik Pada LSE

Studi penelitian Krishnan E melaporkan risiko diferensial berbagai jenis stroke di


antara pasien dengan lupus. Dari hasil analisis menunjukkan peningkatan risiko

20
stroke di antara pasien dengan lupus. Stroke iskemik pada pasien lupus jauh lebih
tinggi dibandingkan pada populasi umum.

Gambar 3.6 Perbandingan Pasien Stroke Pada Lupus Dengan Populasi Umum 18

Salah satu temuan paling signifikan dari seluruh kasus adalah banyaknya lesi
iskemik. Stroke hemoragik juga ditemukan lebih banyak pada populasi LES
dibandingkan dengan populasi umum. Peningkatan risiko dua kali lipat dari stroke
iskemik dan tiga kali lipat peningkatan risiko perdarahan intraserebral pada
individu dengan LES dibandingkan dengan populasi umum. Peningkatan risiko
stroke iskemik dapat dikaitkan dengan beberapa penyebab. Pertama, individu
dengan LES memiliki lebih banyak kondisi komorbiditas yang juga merupakan
faktor risiko stroke seperti vaskulitis, sindrom antiphospholipid dan hipertensi.
Risiko stroke pada usia yang muda bisa dijelaskan dengan proses aterosklerosis.
Selanjutnya, peradangan sistemik mungkin juga memainkan peran penting dalam
memicu stroke yang terlihat pada penyakit inflamasi kronis lainnya seperti
rheumatoid arthritis, polymyalgia rheumatica dan infeksi kronis. Terakhir,
komplikasi terkait obat karena terapi imunosupresif sering diberikan kepada pasien
dapat menambah risiko. 17,18

21
Gambaran klinik Sakit kepala tiba-tiba dan berat merupakan tanda khas stroke
hemoragik yang dapat disertai mual dan muntah. Adanya Perubahan kesadaran dan
kejang terjadi antara 15-37%. Gejala yang timbul dapat terjadi cepat atau lambat..
Kenaikan tekana darah pada pada 45% kasus. Diagnosis Harus segera dilakukan
pemeriksaan CT scan kepala dengan sensitivitas 92-100 % pada 24-48 jam petama,
lalu menjadi 85% hari ketiga dan hanya 50% seminggu kemudian. Anak dengan
sakit kepala hebat namun hasil CT scan normal harus dilakukan Lumbal Pungsi
untuk mencari xanthochromia karena cepatnya degradasi hemoglobin. Paling bagus
dengan CT Angiography karena bisa dilanjutkan dengan prosedur intervensi
sekaligus. 20

Faktor risiko terjadinya stroke pada usia muda antara lain:20

1. Arteriopati congenital; AVM, cavernoma, aneurysma, hereditary hemorrhagic


telangiectasia.
2. Arteriopati acquired; Intracranial arterial dissection paling sering karena
kegagalan integritas dinding pembuluh darah. Moyamoya disease
menyebabkan unstable collateral vessel, diffuse arteriopathy, hypertension dan
factor lain.
3. Traumatic hemorrhage; Pendarahan traumatik dapat mengisi ruang epidural,
subdural, subarahnoid, intraserebral atau intraventrikuler. SAH traumatic dapat
karena ruptur langsung pembuluh darah subarahnoid kecil atau dapat terjadi
sebagai komplikasi diseksi pos traumatic arteri serebral.
4. Factor hematologic; Tersering dengan bleeding diathesis oleh berbagai sebab
(5-20%). Bisa juga trombositopenia, multiple coagulation factor (32%) bisa
juga berasal dari akibat penyakit lain seperti keganasan hematologik, akibat
pengobatan atau hemophilia.

Penggunaan obat-obatan yang mengganggu fungsi trombosit atau koagulasi bisa


menyebabkan gangguan tromboemboli. Jumlah trombosit yang rendah pada pasien
dapat memicu perdarahan serius. Pada pasien yang diobati dengan antiinflamasi
nonsteroid obat (NSAID) terutama aspirin, merupakan inhibitor fungsi trombosit
yang paling umum. Aspirin menghambat siklo-oksigenase platelet. Obat lain yang

22
mengganggu dengan fungsi trombosit termasuk antibiotik beta-laktam, nitrat, beta-
blocker, antidepresan trisiklik, selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) dan
yang lain.21

2.6 Hipertensi pada CKD sebagai komplikasi LES


Hipertensi pada LES dapat terjadi sebagai komplikasi kelainan ginjal atau sebagai
efek samping steroid. Hipertensi krisis dapat menyebabkan kelainan ginjal, jantung,
mata, dan otak. Kelainan pada otak dapat berupa ensefalopati hipertensif, stroke,
atau perdarahan intrakranial. Ensefalopati hipertensif terjadi karena gangguan
otoregulasi aliran dan karena spasme arteriol. Kedua proses ini berperan pada
perubahan pembuluh darah otak.22

Otoregulasi adalah proses homeostatik normal yang mengatur peningkatan tahanan


vaskular otak bila terjadi peningkatan tekanan darah sehingga kecepatan aliran
darah dijaga tetap konstan. Kegagalan otoregulasi otak akan menyebabkan aliran
darah ke otak meningkat yang diikuti oleh perembesan plasma menyebabkan edema
jaringan otak. Bila tekanan darah terus meningkat hingga melampaui batas atas
autoregulasi akan terjadi hiperperfusi, eksudasi, kompresi kapiler, dan edema
jaringan otak yang pada akhirnya terjadi perdarahan intraserebral.23

Pada LES, perdarahan intrakranial sangat jarang ditemukan, biasanya disebabkan


kerusakan vaskular otak. Perdarahan dapat menyeluruh atau terbatas pada daerah
tertentu. Risiko perdarahan intrakranial akan meningkat dengan adanya kerusakan
dinding pembuluh darah yang dapat diinduksi oleh hipertensi, trombositopenia dan
penggunaan kortikosteroid. Perdarahan intrakranial dapat juga disebabkan oleh
keadaan lain seperti hipertensi yang tidak terkontrol, akibat pemberian obat antara
lain kombinasi warfarin dan aspirin, interaksi obat azatioprin dan warfarin,
pemberian obat-obatan seperti antikoagulan oral atau metilprednisolon. Pengobatan
LES umumnya dilakukan dengan pemberian kortikosteroid, sitostatik, dan terapi
suportif.24

Peningkatan tekanan darah pada pasien gagal ginjal disebabkan oleh hipervolemia
oleh karena retensi air dan natrium yang menyebabkan curah jantung meningkat
dan mengakibatkan hipertensi. Selain itu Gangguan sistem renin, angiotensin dan

23
aldosteron bisa menyebabkan hipertensi pada gagal ginjal. Renin adalah ensim yang
diekskresi oleh sel aparatus juksta glomerulus. Bila terjadi penurunan aliran darah
intrarenal dan penurunan laju filtrasi glomerulus, aparatus juksta glomerulus
terangsang untuk mensekresi renin yang akan merubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I. Kemudian angiotensin I oleh angiotensin converting enzym diubah
menjadi angiotensin II yang menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
menyebabkan tekanan darah meningkat. Selanjutnya angiotensin II merangsang
korteks adrenal untuk mengeluarkan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi
natrium dan air di tubuli ginjal, dan menyebabkan tekanan darah meningkat. Zat
vasodilator yang dihasilkan oleh medula ginjal yaitu prostaglandin A2, kilidin, dan
bradikinin, berkurang pada penyakit ginjal kronik yang berperan penting dalam
patofisiologi hipertensi renal. Faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan
hipertensi sekunder pada anak antara lain, luka bakar, obat kontrasepsi,
kortikosteroid, dan obat-obat yang mengandung fenilepinefrin dan pseudoefedrin.25

2.7 Manifestasi Hematologi Pada LES


Manifestasi hematologi adalah anemia, leukopenia, trombositopenia, dan
antiphospholipid syndrome. Jumlah Leukosit <4500/µL ditemukan pada 50%
pasien, terutama dengan penyakit yang sedang aktif, sedangkan limfositopenia
terdapat pada 20% pasien. Limfositopena (<1500/µL) terutama sel T supresor
terdapat pada 20-75% pasien. Penggunaan obat steroid bisa menurunkan jumlah
basofil dan eosinofil. Trombositopenia ringan (100.000 – 150.000/µL) ditemukan
pada 25-50% pasien. Trombositopenia (<50.000/µL ditemukan pada 10% pasien.
Hal ini sering disebabkan adanya destruksi trombosit, pemakaian trombosit pada
anemia hemolitik mikroangiopatik atau gangguan produksi trombosit akibat
penggunaan obat obat sitotoksik atau imunosupresif. Mekanisme yang terjadi
adalah imunoglobulin terikat pada trombosit yang diikuti oleh fagositosis di
limpa.26,27

Mekanisme yang mendasari trombositopenia adalah berkurangnya trombosit


perifer yang disebabkan oleh antiplatelet antibodi, sama dengan yang terjadi pada
ITP. Hemofagositosis sebagian besar disebabkan oleh terpakainya trombosit pada
intrameduler, megakariotik trombositopenia atau hipomegakariotik.

24
Trombositopenia menggambarkan supresi yang diperantarai oleh sel T pada
proliferasi megakariosit dan produksi trombosit. Antigen spesifik pada antiplatelet
antibodi pasien SLE sebagian besar terpisah pada glikoprotein Iib IIIa (GpIIb/IIIa)
membrane glikoprotein (αIIaβ3, integrin).

Proliferasi dan diferensiasi megakariosit dibantu oleh trombopoetin (TPO). TPO


berikatan dengan pada reseptor c-Mpl pada megakriosit dan prekursornya, memberi
sinyal melalui Jak-STAT, Ras-RAF-MAPK, jalur PI3K, dan menginduksi
proliferasi dan maturasi. Antibodi terhadap c-Mpl telah dilaporkan pada penderita
SLE yang berperan antagonis pada interaksi TPO-c-Mpl, yang akan mengakibatkan
tingginya kadar TPO.28

2.5 Kejang Akibat Stroke Hemoragik Pada LES

Kejang merupakan komplikasi yang sering terjadi pada stroke hemoragik. Sekitar
50-70% kejang terjadi dalam 24 jam pertama, dan 90% dalam 3 hari pertama
dengan risiko 30 hari secara keseluruhan kejang sekitar 8%. Kejang awal terjadi
dalam 2 minggu dan disebabkan oleh gangguan struktural dan biokimia seluler,
sedangkan kejang lebih 2 minggu dikaitkan dengan gliosis dan perkembangan
sikatriks meningocerebral. Dalam serangkaian 63 pasien dengan ICH di unit
perawatan intensif (ICU) yang memiliki pemantauan EEG dalam waktu 72 jam
masuk, kejang non-konvulsif terdeteksi di 28%, empat kali kejadian kejang yang
teramati. Dalam review retrospektif dari 102 pasien dengan ICH dengan
pemantauan EEG, 19% memiliki kejang konvulsif 13% mengalami kejang
electrographic, dan 5% memiliki keduanya, dengan 94% kejang terdeteksi dalam
72 jam pertama. Subklinis kejang dikaitkan dengan perdarahan yang meluas,
terutama jika mereka berkembang lebih dari 30% di pertama 24 jam atau jika
mereka mencapai korteks, dan juga terkait dengan hasil yang buruk. Frekuensi
status epileptikus yang dilaporkan 0.3–21.4%

Dalam studi sebelumnya dari 1402 pasien dengan ICH, status epileptikus terjadi
pada 11 dari 65 pasien dengan kejang dan merupakan presentasi awal dari ICH
dalam enam tahun 65 pasien ini. Epilepsi (kejang berulang) dilaporkan berkembang
pada 2.5–4% pasien, tetapi Passero dan colleagues melaporkan risiko kejang onset

25
lambat atau epilepsi pada orang yang selamat dari ICH menjadi 5-27%. Kejang
berulang terjadi pada empat dari 14 pasien dalam satu penelitian, meskipun dengan
pemberian pengobatan antiepilepsi.29

Terjadinya stroke hemoragik menyebabkan kerusakan sel neuron, glia dan sawar
darah otak. Kerusakan sel glia akan menyebabkan kelebihan K+ dan glutamat di
celah sinaps karena tidak terhisap sehingga neuron akan mudah tereksitasi. Selain
itu adanya proses inflamasi juga meningkatan proses eksitasi. Adanya
ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan hipereksibilitas
yang pada akhirnya akan menyebabkan kejang. Pada keadaan hipereksibilitas
terjadi peningkatan seksresi glutamat ke celah sinaps yang menyebabkan
peningkatan Ca2+ dalam sel sehingga mengaktifkan enzim intra sel yang berdampak
terjadinya kematian sel. Terjadinya hipereksibilitas satu sel neuron akan
mempengaruhi sel neuron sekitarnya sehingga tercetus aktivitas listrik abnormal
yang bersamaan yang disebut sebagai hipersinkroni.30

Seizure setelah hemoragik stroke dianggap disebabkan oleh iritasi yang disebabkan
oleh produk metabolisme darah. Patofisiologi yang tepat adalah tidak jelas, tetapi
daerah iskemik terkait sekunder pendarahan diduga berperan. Kejang onset lambat
berhubungan dengan perubahan neuronal yang persisten rangsangan dan jaringan
parut gliotik kemungkinan besar yang mendasari sebab. Endapan hemosiderin
diduga menyebabkan iritabilitas setelah stroke hemoragik.31

Klasifikasi kejang pasca stroke dan pasca stroke epilepsi mengikuti kaidah yaitu
klasifikasi kejang sesuai dengan standar pedoman diagnostik oleh International
League Against Epilepsy dan Status nosologis dari kejang sehubungan dengan
onset dalam dua minggu. Serangan onset dini memiliki puncak dalam 24 jam
setelah stroke. Sekitar 45% dari serangan kejang onset dini terjadi dalam 24 jam
pertama. Namun yang terjadi setelah dua minggu onset stroke disebut sebagai onset
lambat. Serangan onset lambat memiliki puncak dalam 6 hingga 12 bulan setelah
stroke dan memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi hingga 90% baik stroke
iskemik maupunn hemoragik. Epilepsi berkembang di sekitar sepertiga onset dini
dan separuh dari onset lambat.32,33

26
Lokasi perdarahan intraserebral penting untuk menentukan prognosis dan
pengobatan selanjutnya. Perdarahan di daerah pontine memiliki mortalitas
tertinggi, dan perdarahan daerah superfisial mungkin lebih bisa ditangani dengan
operasi. Bergantung pada lokasi, perdarahan dari perdarahan intraserebral dapat
meluas ke sistem ventrikel. Perdarahan intraventrikular bisa terjadi pada sekitar
40% kasus dan prognosis yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar 8% pasien setelah
perdarahan intracerebral, sebagian besar (sekitar 90%) dalam 3 hari pertama. Hasil
konklusi tentang efek kejang seperti itu pada hasil klinis. Penyebab kejang tersebut
tidak diketahui, dan penelitian pada hewan tentang kejang yang disebabkan oleh
perdarahan intraserebral jarang terjadi. Namun, kejang mungkin terkait dengan
peningkatan jumlah glutamat ekstraseluler dan regulation saluran GABA dan
kalium setelah perdarahan intraserebral. Selain itu, trombin intraserebral dapat
enimbulkan aktivitas kejang pada tikus. Apakah kejang mempengaruhi hasil setelah
perdarahan intraserebral masih bisa diperdebatkan.34

2.6 Tatalaksana Stroke Hemoragik Pada SLE dengan Kejang


Pasien stroke hemoragik pada SLE ditangani dengan target untuk melakukan
optimalisasi metabolisme otak meskipun dalam kondisi patologis dan melakukan
koreksi koagulopati, mengontrol tekanan darah dengan tujuan mencegah
perdarahan berlanjut. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan
stabilitas jalan nafas dan pernafasan. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah
memperhatikan stabilisasi hemodinamik dengan tidak menurunkan Cerebral
Perfussion Pressure.10

Tata laksana yang juga perlu diperhatikan adalah memperhatikan adanya tekanan
intra kranial dengan melakukan pemantauan ketat pasien yang beresiko dema
serebri. Perburukan gejala klinis perlu diperhatikan dalam 48 jam setelah serangan
stroke. Hal yang perlu dilakukan pada pasien dengan tekanan intra kranial adalah
meninggikan posisi kepala 30o, menghindari penekanan vena jugularis, mencegah
terjadinya hipertermia, bisa dilakukan osmoterapi dan pemberian diuretik jika tidak
ada kontra indikasi.10

Pengendalian kejang pada pasien bisa diberikan dengan pemberian diazepam bolus
lambat intravena 5-20 mg. setelah itu bisa dilanjutkan dengan fenitoin loading dose

27
15-20 mg/kgBB bolus dengan kecepatan maksimal 50 mg/menit. Tetapi pada
pasien dengan LES dan gangguan ginjal perlu dipertimbangkan pemberian obat lain
selain fenitoin karena efek samping mengganggu ekskresi ginjal, misalnya dengan
pemberian topiramat.10,30,35

2.7 Tinjauan Obat


Clonidine
Candesartan
Amlodipine
CaCO3
Bicnat
Metil prednisolon
Mycophenolic acid
Topiramate
Diazepam
Fenitoin

28
BAB III
DISKUSI

Pasien pada kasus adalah seorang wanita usia muda 18 tahun datang kerumah sakit
dengan kelemahan sisi kiri mendadak 1 jam SMRS. Defisit neurologis yang
mendadak pada pasien yaitu keluhan kelemahan menunjukkan kemungkinan besar
adalah lesi vaskular. Riwayat penyakit pada pasien adalah SLE, Sindroma nefrotik
dan hipertensi diketahui sejak usia 13 tahun. Selain itu pasien juga menderita gagal
ginjal dan melakukan cuci darah rutin. Hipertensi pada LES dapat terjadi sebagai
komplikasi kelainan ginjal atau sebagai efek samping steroid. Terjadinya hipertensi
pada penyakit ginjal adalah Gangguan sistem renin, angiotensin dan aldosteron.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 170/90mmHg, Nadi 96 kali


permenit, pernafasan 20 kali permenit, suhu 38.4 derajat celcius dan saturasi 98%.
Konjungtiva mata pucat, tidak ikterik, muka terlihat sembab. Pada pemeriksaan
neurologis didapatkan GCS 15 Eye 4, motorik 6, verbal 5. Pemeriksaan nervus
kranialis ada paresis nervus VII dan XII sinistra sentral. Kekuatan motorik tangan
dan kaki kanan normal yaitu 5555, sedangkan tangan dan kaki kiri lebih lemah yaitu
4444. Pada pemeriksaan refleks, didapatkan refleks fisiologis meningkat pada sisi
sebelah kiri dan normal pada sisi kanan. Reflek patologis positif di kaki sebelah kiri
sedangkan kaki sebelah kanan negatif. Sensorik dan otonom pasien dalam batas
normal. Pemeriksaan funduskopi tidak ada kelainan. Pasien riwayat SLE, hipertensi
dan sindrom nefrotik merupakan faktor resiko terjadinya strok termasuk pada usia
muda.

Pada pemeriksaan didapakan refleks fisiologis yang meningkat disebelah kiri yang
disertai dengan munculnya refleks patologis. Motor neuron terdiri atas upper motor
neuron dan lower motor neuron. Pada proses terjadinya refleks terdapat 2 neuron
yang berfungsi yaitu neuron eksitasi dan inhibisi. Neuron inhibisi ini bertugas
mengantarkan impuls dari otak ke organ target. tujuan dari inhibisi ini adalah
mencegah respon hiperaktif terhadap refleks. sedangkan neuron eksitasi
menghantarkan impuls dari spinal cord ke organ target. Saat terjadi kerusakan pada

29
upper motor neuron maka neuron inhibisi tidak dapat menghantarkan impuls ke
organ target sehingga terjadi peningkatan refleks fisiologis dan munculnya refleks
patologis yang normalnya itu dapat di inhibisi.

Pada illustrasi kasus, kesan kelemahan lengan dan tungkai kiri yang tampak
bersamaan dengan adanya kesan mulut mencong ke sisi yang sama, melalui data
tersebut dapat dipikirkan bahwa lesi terletak pada parenkim kanan. Bila melihat
letak lesi yang cukup luas maka dapat dipertimbangkan bahwa sumber perdarahan
pada pasien berasal dari pembuluh darah yang cukup besar.

Berdasarkan hasil pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras tanggal 28 Februari


2018 didapatkan adanya perdarahan intraparenkim lobus frontal kanan dengan
estimasi volume 8,22 cc disertai perifokal edema yang menyempitkan ventrikel
lateralis kanan dan menyebabkan herniasi subfalcine ke kiri sejauh 0,7 cm. Selain
itu pasien juga dilakukan pemeriksaan MRI kepala dengan kontras pada tanggal 2
maret 2018 dan didapatkan hasil lesi dengan intensitas perdarahan subakut-kronik
di lobus frontal kanan yang menyebabkan herniasi subfalcine ke kiri sejauh 0,7 cm
ukuran relatif stqa dengan estimasi volume perdarahan +/- 11,3 cc. Adanya lesi pada
frontal kanan yang sampai pada girus precentralis menyebabkan adanya
hemiparesis yang kontralateral.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil hemoglobin, hematokrit,


leukosit yang rendah dibawah nilai normal yaitu Hb 7,09 g/dl, hematokrit 22,6%,
leukosit 3.830 dan trombosit 46.600 /ul. Pada LES terjadinya trombositopenia
disebabkan oleh destruksi trombosit mediasi imun. Mekanisme yang terjadi adalah
imunoglobulin terikat pada trombosit , diikuti oleh fagositosis di limpa. Trombosit
yang rendah bisa menjadi penyebab terjadinya perdarahan dimana saja termasuk
perdarahan di otak.

Pada pasien ini sempat mengalami kejang yang disebabkan adanya lesi akibat
perdarahan pada korteks serebri yaitu pada lobus frontal kanan. Pasien
mendapatkan terapi topiramate

30
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien,
maka pasien didiagnosa dengan Hemiparesis sinistra, paresis N.VII sinistra sentral,
paresis N.XII sinistra sentral ec stroke hemoragik

Prognosis pada pasien ini dibagi menjadi tiga. Prognosis ad vitam pasien dubia ad
malam dikarenakan kondisi pasien dengan penyakit dasar LES, sindrom nefrotik,
CKD on HD. Prognosis ad fungsionam pasien dubia. Hal ini dikarenakan pasien
masih belum dapat melakukan aktifitas sehari – hari dengan mandiri karena lemah.
Prognosis ad sanasionam pasien dubia ad malam.

Kesimpulan

1. Kkk
2. Mnmnvm
3. Bdjf
4. hjgfkghk

31
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper
D.L. Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies;
2012. H 2724-35.
3. Wijaya L.K. Diagnosis dan Penatalaksanaan Neuropsikiatrik Sistemik Lupus
Eritematosus. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A.W et al editor. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke enam. Jakarta. Internal Publishing. 2014: 3384-
3391.
4. Chiu C.C, Huang C.C, Chan W.L, Chung C.M, et al. Increased Risk of
Ischemic Stroke in Patients with Systemic Lupus Erythematosus: A
Nationwide Population-based Study. Intern Med 51: 17-21, 2012 DOI:
10.2169/internalmedicine.51.6154
5. Baehr M, Frotscher M, editors. Suplai Darah dan Gangguan Vaskular Sistem
Saraf Pusat. In: Diagnosis Topik Neurologi DUUS: Anatomi, Fisiologi,
Tanda, Gejala. 4th edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2014. p.
472–435.
6. Caplan LR. Caplan’s Stroke A Clinical Approach. 4th Edition. Philadephia :
Elsevier Inc ; 2009. p 43-60.
7. Blumenfeld H. Neuroanatomy Through Clinical Cases. Second Edition.
Sunderland ; 2010.
8. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, et
al. An updated definition of stroke for the 21st century: A statement for
healthcare professionals from the American heart association/American stroke
association. Stroke. 2013;44(7):2064–89
9. Joon S, Kim TJ, Yoon B. Epidemiology, Risk Factors, and Clinical Features
of Intracerebral Hemorrhage: An Update. Journal of Stroke 2017;19(1):3-10

32
10. Mesiano T, Harris S, Rasyid A, Hidayat R, Kurniawan M. Stroke Hemoragik.
In: Anindhita T, Wiartaman W, editors. Buku Ajar Neurologi. 1st ed. Jakarta:
Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017. p. 514–526.
11. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas
Airlangga; 2007. h 235-41.
12. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed. Jakarta:
EGC; 2009.
13. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical
features. Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.
14. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011
15. Kuhn A, Bonsmann G, Anders H, Herzer P, Tenbrock K, Schneider M. The
Diagnosis and Treatment of Systemic Lupus Erythematosus. Deutsches
Aerzteblatt Online. 2015.
16. Timlin H and Petri M. Transient ischemic attack and stroke in systemic lupus
erythematosus. Lupus (2013) 22, 1251–1258
17. Mikdashi J, Handwerger B, Langenberg P, et al. Baseline Disease Activity,
Hyperlipidemia, and Hypertension Are Predictive Factors for Ischemic Stroke
and Stroke Severity in Systemic Lupus Erythematosus. Stroke. 2007;38:281-
285. Downloaded from http://stroke.ahajournals.org/ on June 27, 2015
18. Krishnan E. Stroke subtypes among young patients with systemic lupus
erythematosus. Am J Med 2005;118:1415.
19. Holmqvist M, Simard JF, Asplund K, et al. Stroke in systemic lupus
erythematosus: a metaanalysis of population-based cohort studies. RMD open
2015;1:e000168. doi:10.1136/rmdopen-2015-000168
20. Jakubovic R, Aviv RI. 2012. Intracerebral hemorrhage: toward physiological
imaging of hemorrhage risk in acute and chronic bleeding. J frontier in
neurology. Vol 3:1-11
21. Izak M, Bussel JB. Management of thrombocytopenia and James B. New York,
USA; doi:10.12703/P6-45

33
22. Webb NJA, Brogan PA, Baildam EM. Renal manifestation of systemic
disorders. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, Clinical paediatric nephrology.
Edisi ke-3. New York: Oxford University Press; 2003. Hlm. 381- 403.
23. Jennekens FGI, Kater L. The central nervous system in systemic lupus
erythematosus. Part 2. Pathogenetic mechanisms of clinical syndromes: a
literature investigation. Rheumatology 2002; 41:619-30
24. Martakusumah H. Terapi Induksi pada Lupus Nephritis. SubBag Ginjal
Hipertensi. Bandung: Bag Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr Hasan
Sadikin Bandung; 2011
25. Hadtstein C, Schaefer F. Hypertension in children with chronic kidney disease:
pathophysiology and management. Pediatr Nephrol. 2008;23:363-371.
26. Janoudi N, Bardisi ES. Haematological Manifestations in Systemic Lupus
Erythematosus. Croatia. InTech. 2012: 363-393.
27. Sasidharan PK, Bindya M, Kumar KGS. HematologicalManifestations of SLE
at Initial Presentation: Is It Underestimated?. International Scholarly Research
Network. ISRN Hematology . 2012.
28. Al-Shahi R, Mason JC, Rao R et al.Systemic Lupus Erythematosus
Thrombocytopenia Microangiopathic Haemolytic Anemia and Anti CD25
Antibodies.British Journal of Rheumatology.1997;36:794-798.
29. Claassen J, Jette N, Chum F, et al. Electrographic seizures and periodic
discharges after intracerebral hemorrhage. Neurology 2007;69: 1356–65.
30. Octaviana F, Budikayanti A, Wiratman W, Indrawati LA, Syebab Z. Bangkitan
dan Epilepsi. In: Anindhita T, Wiartaman W, editors. Buku Ajar Neurologi. 1st
ed. Jakarta: Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017. p. 75-106
31. Silverman IE, Restrepo L, Mathews GC. Poststroke seizures. Arch Neurol
2002;59:195–201.
32. Burn J, Dennis M, Bamford J, et al. Epileptic seizures after a first stroke: the
Oxfordshire community stroke project. BMJ 1997;315:1582–7.
33. International League Against Epilepsy. Commission on Classification and
Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised
classification of epilepsies and epileptic syndromes. Epilepia 1989;30:389–99.

34
34. Balami JS, Buchan AM. Complications of intracerebral haemorrhage. Lancet Neurol
2012; 11: 101–18.
35. Shorvon S. Handbook of Epilepsy Treatment. Somerset: Wiley; 2010. P. 117

35

Anda mungkin juga menyukai