PENDAHULUAN
1
Insiden tahunan SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk
sementara prevalensi SLE di Amerika 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio
jenis kelamin wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi
SLE yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4 % kasus SLE dari total kunjungan
pasien di poliklinik Rheumatologi selama 2010. Morbititas dan mortalitas pasien
SLE masih cukup tinggi. Angka kematian pasien dengan SLE hamper 5 kali lebih
tinggi dibandingkan populasi umum.3
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis berkeinginan menyajikan
masalah ini dalam bentuk sebuah laporan kasus Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
agar dapat menjadi bahan masukan kepada diri penulis dan kita semua dalam
menangani penyakit tersebut.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identifikasi
No. RM : 57.43.36
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir, Usia : 24 Juni 1998 (21 tahun)
Alamat : Jalan Gub. Ha Bastari RT 011/003 8 ULU
Pekerjaan : Part-time
Status perkawinan : Belum menikah
Agama : Islam
MRS : 29/07/2019
Ruangan : Bangsal Penyakit Dalam , ruang infeksi bed G
2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dengan pasien (tanggal 1 Agustus 2019)
I. Keluhan Utama:
Pasien mengeluh demam dan lemas sejak ± 1 minggu SMRS.
3
± 3 bulan yang lalu pasien pernah mengelami keluhan yang sama dan
dirawat di RS selama 2 minggu. Setelah dirawat keluhan pasien hilang.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal. Keluhan timbul
setelah terpapar sinar matahari disangkal.
V. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : Tidak ada.
Riwayat olahraga : Tidak ada.
Riwayat minum-minuman keras : Tidak ada.
4
Keadaan Spesifik:
1. Pemeriksaan Kepala:
- Bentuk kepala : Normochepali
- Rambut : Hitam, mudah rontok
- Muka : Simetris, malar rash (+)
2. Pemeriksaan Mata:
- Exoftalmus : Tidak ada
- Endoftalmus : Tidak ada
- Palpebra : Edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (+/+)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Refleks cahaya (+/+), (3mm/3mm), isokor.
- Gerakan : Bebas
- Lapang Pandang : Luas
3. Pemeriksaan Telinga :
- Liang telinga : Normal
- Serumen : (-/-)
- Sekret : (-/-)
- Nyeri tekan : (-/-)
- Gangguan pendengaran : (-/-)
4. Pemeriksaan Hidung :
- Deformitas : (-)
- Nafas cuping hidung : (-/-)
- Sekret : (-)
- Epistaksis : (-)
- Mukosa hiperemis : (-)
- Septum deviasi : (-)
5
5. Pemeriksaan Mulut dan Tengorokan:
- Mulut : Kering, stomatitis (+)
- Gusi : merah muda, tidak berdarah
- Tonsil : T1-T1
6. Pemeriksaan Leher:
- Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan, lesi pada
kulit (-)
- Palpasi : Pembesaran Tiroid (-), Pembesaran KGB(-)
7. Pemeriksaan Kulit:
Kering, ruam discoid (+), ikterik (-)
8. Pemeriksaan Thorax:
Paru Depan
Inspeksi : Simetris, retraksi (-/-)
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan kiri
Auskultasi : Suara vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-).
Paru Belakang
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang. Paru kanan kiri
Auskultasi : Suara vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-).
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi :
- Batas atas : ICS II linea parasternalis
- Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
- Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
6
Auskultasi : HR: 82 x/menit; BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
9. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar (+) lemas (+), scar (-)
Palpasi : Nyeri epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : tympani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
11. Ekstremitas:
Clubing fingger (-/-), edema (+/+), nyeri sendi (+/+), ruam discoid (+/+).
7
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 29 Agustus 2019
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hematologi
- Hemoglobin 7,6 g/dl 14,0 – 16,0
- Eritrosit 3.180.000 /ul 4.500.000-5.500.000
- Leukosit 9.500 /ul 5000 – 11.000
- Trombosit 141.000 150.000-400.000
- Retikulosit 8
- Hematokrit 26 % 40-48 %
- Hitung jenis
- Eosinofil 1 0–1
- Basofil 0 1 –3
- Neutrofil batang 1 2–6
- Neutrofil segmen 72 50 – 70
- Limfosit 22 20 – 40
- Monosit 4 2–8
- LED 70 mm/jam < 10 mm/jam
Kimia klinik
- Glukosa sewaktu 122 mg/dl <180 mg/dl
- Ureum 141 mg/dl 20 - 40 mg/dl
- Kreatinin 1.57 mg/dl 0.9 – 1.3 mg/dl
- Natrium 128 mmol/L 135-155 mmol/L
- Kalium 5,31 mmol/L 3,6-6,5 mmol/L
Kimia Darah
- SGOT 71 u/l < 37
- SGPT 18 u/l < 41 u/l
- Protein total 7.67 g/dL 6,7-8,7 g.dL
- Albumin 2,89 g/dL 3,8-5,1
- Globulin 4,78 g/L 1,5-3 d/L
- Urin Acid 8,59 mg/dL 3,4-7 mg/dL
8
2. Pemeriksaan Urin tanggal 30 Agustus 2019
Pemeriksaan Hasil Rujukan
- Warna Kuning
- Kejernihan Jernih
- pH 6 4.5-8
- Berat Jenis 1.015 1-1
- Glukosa Negatif Negatif
- Protein Positif Negatif
- Bilirubin Negatif Negatif
- Urobilinogen Positif Positif
- Darah Negatif Negatif
- Nitrit Negatif Negatif
- Keton Negatif Negatif
- Sedimen
- Eritrosit 0-3
- Leukosit 0-2
- Epitel Negatif
- Silinder Negatif
- Kristal Amorf
Anti- ds-DNA > 3200 < 100 IU/mL Negatif: < 100
9
4. Pemeriksaan Radiologi tanggal 30 Agustus 2019
Interpretasi:
Cor : Normal
Pulmo : Penebalan Fissura inter lobar kanan
Kesan : Loculated effuse minimal kanan
2.5 Resume
± 2 minggu yang lalu pasien mengeluh timbul bercak-bercak kemerahan
di wajah dan seluruh tubuh. Keluhan tidak disertai rasa gatal. Pasien juga
mengeluh badan terasa lemas, tidak nafsu makan, rambut rontok dan bibir
sariawan.
± 1 minggu yang lalu bercak kemerahan menghitam dan permukaannya
menjadi kasar. Pasien mengeluh nyeri pada bagian dada disertai dengan sulit
bernafas. Pasien mengeluh demam yang naik turun, badan terasa sangat lemas,
dan seluruh tubuh terasa nyeri. Pasien juga mengeluh bengkak pada kedua kaki.
BAB dan BAB biasa.
± 3 bulan yang lalu pasien pernah mengelami keluhan yang sama dan
dirawat di RS selama 2 minggu. Setelah dirawat keluhan pasien hilang. Riwayat
10
keluarga dengan keluhan yang sama disangkal. Keluhan timbul setelah terpapar
sinar matahari disangkal.
2.8 Penatalaksanaan
Non Farmakologis
Penjelasan mengenai penyakit dan penyebabnya
Mencegah terpapar sinar UV
Edukasi mengenai tanda-tanda penyakit mengancam nyawa
Istirahat yang cukup
Diet seimbang
Farmakologis
IVFD RL gtt 20 x/mm
Paracetamol 3 x 500 mg
Injeksi metilprednisolon 2 x 62,5 mg
Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr
Injeksi Omeprazol 1 x 40 mg
Injeksi furosemide 1 x 10 mg
Clobazam 1 x 10 mg
Neurodex 2 x 1
Allupurinol 1 x 300 mg
Candistatin drop 3 x 2 cc
2.9 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
11
Quo ad Sanationam : dubia ad malam
2.10 Follow Up
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
2 Agustus Pasien KU: Tampak sakit SLE IVFD RL gtt
2019 mengeluh sedang xx/menit
Pkl. 07 .00 bengkak pada Sens: Compos mentis Paracetamol 3 x
kedua TD: 100/70 mmHg 500 mg
kaki,lemas, N: 79x/menit, reguler, Injeksi
cegukan dan isi dan tegangan cukup metilprednisolon 2
sulit tidur RR: 18 x/menit x 62,5 mg
T: 36,4ºC Injeksi ceftriaxone
Ronkhi (-/-) 2 x 1 gr
edema eksremitas Injeksi Omeprazol
bawah (+/+) 1 x 40 mg
Injeksi furosemide
1 x 10 mg
Clobazam 1 x 10
mg
Neurodex 2 x 1
Allupurinol 1 x 300
mg
Candistatin drop 3
x 2 cc
3 Agustus Pasien KU: Tampak sakit SLE IVFD RL gtt
2019 mengatakan sedang xx/menit
Pkl. 07 .00 bengkak pada Sens: Compos mentis Injeksi
kedua kaki TD: 110/70 mmHg metilprednisolon 2
berkurang, N: 72 x/menit, reguler, x 62,5 mg
lemas, isi dan tegangan cukup Injeksi ceftriaxone
cegukan (+) RR: 20x/menit 2 x 1 gr
T: 36,3ºC
12
edema ekstremitas Injeksi Omeprazol
bawah (+/+) 1 x 40 mg
Injeksi furosemide
1 x 10 mg
Clobazam 1 x 10
mg
Neurodex 2 x 1
Allupurinol 1 x 300
mg
Candistatin drop 3
x 2 cc
CPZ 1 x 50 mg
5 Agustus Bengkak pada KU: Tampak sakit SLE IVFD RL gtt
2019 kedua kaki (-), sedang xx/menit
Pkl. 07.00 cegukan (-), Sens: Compos mentis Injeksi
nyeri saat TD: 110/70 mmHg metilprednisolon 2
menggerakan N: 78 x/menit, reguler, x 31,25 mg
badan isi dan tegangan cukup Injeksi ceftriaxone
RR: 18x/menit 2 x 1 gr
T: 36,7ºC Injeksi Omeprazol
edema ekstremitas 1 x 40 mg
bawah (-/-) Injeksi furosemide
1 x 10 mg
Clobazam 1 x 10
mg
Neurodex 2 x 1
Allupurinol 1 x 300
mg
Candistatin drop 3
x 2 cc
CPZ 1 x 50 mg
13
6 Agustus Pasien KU: Tampak sakit SLE IVFD RL gtt
2019 mengeluh sedang xx/menit
Pkl 07.00 nyeri dada saat Sens: Compos mentis Injeksi
menarik nafas Konjungtiva anemis metilprednisolon 2
(+/+) x 31,25 mg
TD: 100/70 mmHg Injeksi ceftriaxone
N: 93 x/menit, reguler, 2 x 1 gr
isi dan tegangan cukup Injeksi Omeprazol
RR: 22x/menit 1 x 40 mg
T: 37,1ºC Injeksi furosemide
edema ekstremitas 1 x 10 mg
bawah (-/-) Clobazam 1 x 10
mg
Neurodex 2 x 1
Allupurinol 1 x 300
mg
Candistatin drop 3
x 2 cc
CPZ 1 x 50 mg
Tranfusi PRC 3
kolf
7 Agustus Nyeri dada (-), Sens: Compos mentis SLE IVFD RL gtt
2019 bengkak kedua TD: 100/70 mmHg xx/menit
kaki (-) N: 93 x/menit, reguler, Injeksi
isi dan tegangan cukup metilprednisolon 2
RR: 22x/menit x 31,25 mg
T: 37,1ºC Injeksi ceftriaxone
edema ekstremitas 2 x 1 gr
bawah (-/-) Injeksi Omeprazol
1 x 40 mg
14
Injeksi furosemide
1 x 10 mg
Clobazam 1 x 10
mg
Neurodex 2 x 1
Allupurinol 1 x 300
mg
Candistatin drop 3
x 2 cc
CPZ 1 x 50 mg
Tranfusi PRC 3
kolf
Anti ds-DNA Test
(+)
15
Gambar 2.2 Manifestasi Klinis Malar rash pada pasien Tn. S
Gambar 2.3 Ruam Diskoid dan edema pada kedua kaki pasien
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit
rematik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi.
Prevalensi pada berbagai populasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE
lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, China, dan
mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit.3
Insiden tahunan SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk sementara prevalensi SLE di Amerika 52 kasus per 100.000
penduduk, dengan rasio jenis kelamin wanita dan laki-laki antara 9-14:1.
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup seluruh wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1,4 % kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Rheumatologi selama 2010. Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih
cukup tinggi. Angka kematian pasien dengan SLE hamper 5 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum.2,3
SLE terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada
usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita: laki-laki 5:1.
Faktor genetik, imunologik, dan hormonal serta lingkungan diduga berperan
penting.1
17
3.1.3 Faktor-Faktor yang Berperan pada SLE
1. Faktor Genetik
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik
(25%) dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan
frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE dibandingkan dengan
control sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik
tertentu, menguatkan dugaan bahwa factor genetic berperan dalam
pathogenesis SLE.1
Faktor genetik meningkatkan adanya penemuan autoimun
dibandingkan dengan populasi lain. Kecenderungan meningkatnya
SLE yang terjadi pada anak kembar identik menggambarkan
adanya kemungkinan faktor genetik yang berperan dalam penyakit
ini. Gen-gen yang memiliki resiko tinggi terjadinya SLE terutama
Human Leukocyte Antigen-DR2 ( HLA-DR2) yang menunjukan
sel-sel yang mampu memberikan antigen/ zat asing ke sel darah
putih, HLA-DR3 yang mengurus gen struktural yang
memproduksi berbagai jenis unsur penting pada darah dan jaringan
sel lupus, dan biasa terdapat linkage SLE pada kromosom 1. 1
2. Faktor Imunologi
Pada SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem
imun, yaitu :1
a. Gangguan Respon Imun
SLE ditandai oleh banyaknya gangguan dalam sistem
imun yang meliputi sel B dan sel T, yang mengakibatkan aktivasi
sel B poliklonal, peningkatan sel yang memproduksi antibody,
hipergameglobulinemia, produksi autoantibodi dan pembentukan
kompleks imun. Bantuan dari sel T yang berlebihan dan tidak
terkonrol terhadap diferensiasi aktivasi sel B pembentukan
autoantibodi adalah hasil akhir dari jalur ini. Self antigen seperti
kompleks protein-DNA dan protein-RNA dapat menginduksi
produksi autoantibodi. Antigen dari luar (environmental antigen)
dan self antigen ditangkap oleh antigen presenting cell (APC)
18
professional atau terikat pada permukaan sel B sehingga
menginduksi produksi antibody.
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC
(Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada
sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun
fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T. 1
b. Autoantibodi
Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah
produksi autoantibodi. Antibodi ini ditujukan kepada sel
molecules yang terdapat pada nucleus, sitoplasma, dan
permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti igG dan
factor koagulasi. Antibodi Antinuclear (ANA) adalah antibody
yang paling banyak ditemukan pada penderita SLE (95%).
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE. 1
Konsentrasi testoteron yang plasma yang rendah dan
meningkatnya konsentrasi luteinizing hormone (LH) ditemukan pada
beberapa pasien SLE laki-laki maupun perempuan mungkin
bertangguang jawab terhadap perubahan perubahan respon imun.
Konsentrasi progesterone didapatkan lebih rendah pada penderita SLE
perempuan.
Prolaktin adalah hormone yang terutama berasal dari kelenjar
hipofisis anterior, diketahui menstimulasi respon imun humoral dan
seluler, yang diduga berperanan dalam pathogenesis SLE. Prolactin
19
diketahui menstimulasi sel T, sel natural killer (NK)m=, makrofag,
neutrophil, sel hemo-poietik CD34+ dan sel dendritic presentasi antigen.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari: 1
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr
Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella. 1
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi
di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh
darah. 1
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini
dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang
dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE
pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal. 1
3.1.4 Patogenesis
Etiologi dan patogenesis SLE belum diketahui dengan jelas.
Meskipun demikian, terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat
multifaktor, dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan
hormonal terhadap respon imun.1
SLE mempresentasikan gejala yang berbeda dari penyakit lainnya.
SLE memiliki spektrum gejala yang luas dan mencakup banyak sistem
20
organ. Walaupun gejalanya tidak dapat dikenali secara spesifik, namun
yang paling sering terjadi pada SLE adalah diproduksinya autoantibodi
secara abnormal dan berlebihan serta terjadinya pembentukan imun
kompleks. Produksi autoantibodi yang berlebihan merupakan akibat dari
terjadinya hiperaktivitas sel B. hiperaktivitas sel B ini dapat dipicu oleh
hilangnya immune self tolerance, tingginya kadar zat-zat yang bersifat
antigenik baik yang bersumber dari lingkungan ataupun self-antigen yang
dipresentasikan oleh sel B ke sel B lain melalui spesifik antigen presenting
cell, terjadinya perubahan sel T helper tipe 1 menjadi sel T helper tipe 2
yang mendorong sel B untuk memproduksi antibody, serta terjadi kerusakan
pada supresor sel B. selain itu, kerusakan yang terjadi pada proses regulator
imun juga dapat menyebabkan SLE yang meliputi limfosit T, sitokin
(interleukins, interferon-y tumor necrosis factor-a, transforming growth
factor-B), dan natural killer cells. Secara lebih jelas patofisiologi SLE
tersaji dalam bagan berikut ini:
21
3.1.5 Manifestasi Klinis
SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat
eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti
kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf, kardiovaskular, serta rongga mulut.4
a. Manifestasi Umum
Manifestasi konstitusional yang sering dijumpai adalah
kelelahan pada penderita SLE dan biasanya mendahului manifestasi
klinis lainnya. Kelelahan ini sulit untuk dinilai karena banyak
kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya
anemia, meningkatnya beban fisik dan konflik kejiwaan. Kelelahan
yang disebabkan oleh aktifitas penyakit SLE dapat diketahui dengan
pemeriksaan penunjang, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Pada
kelelahan akibat SLE memberikan respons terhadap pemberian
steroid atau latihan. 1
Manifestasi lainnya adalah demam, yang dapat mencapai
>40°C tanpa bukti infeksi seperti leukositosis dan biasanya tidak
disertai dengan menggigil. Selanjutnya, penurunan berat badan juga
dapat terjadi akibat demam dan menurunnya nafsu makan atau
akibat gejala gastrointestinal. 1
b. Manifestasi Kulit
Para peneliti membagi lesi kulit lupus menjadi tiga
kelompok tersendiri yaitu :
e. Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita
SLE, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai
organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan. Secara
klinis keluhan terjadi pada esofagus, mesenterik vaskulitis,
inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.
Disfagia (kesulitan menelan) merupakan keluhan yang biasanya
24
menonjol pada saat penderita dalam keadaan tertekan dan
sifatnya episodik, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya
kelainan pada esofagus, kecuali gangguan motilitas. 1
Keluhan dispepsia (rasa tidak nyaman di perut bagian atas
atau dada) yang dijumpai sekitar 50% penderita SLE dan nyeri
perut juga dilaporkan berkaitan dengan radang pada peritoneum,
yang dibuktikan dengan pemeriksaan autopsi. 1
Mialgia terjadi pada 70% penderita sedangkan miositis pada
5-10% penderita SLE. Selain itu osteopenia dan osteoporosis
sering terjadi berupa radang kronik karena aktivitas SLE serta
obat-obatan yang dikonsumsi penderita SLE.
f. Manifestasi Paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik
sehingga foto toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien
LES dengan batuk, sesak nafas atau kelainan respirasi lainnya.1
Manifestasi pada paru-paru dapat terjadi baik berupa
radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru,
hipertensi pulmonal, perdarahan paru, atau shrinking lung
syndrome. 1
Pleuritis dan efusi pleura juga merupakan gejala yang
sering ditemukan pada penderita SLE, sedangkan hipertensi
pulmonal jarang terjadi, sindroma distres pernapasan dan
perdarahan intraalveolar masif adalah manifestasi berat SLE yang
jarang terjadi, namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. 1
g. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis merupakan manifestasi yang paling umum
terjadi dan merupakan termasuk dalam manifestasi derajat sedang.
Manifestasi yang lebih berat adalah miokarditis dan endokarditis
Libman-Sacks yaitu endokarditis non-infeksi (Non Bacteril
Thrombic Endokarditis/NBTE). Miokarditis menyebabkan
aritmia, kematian mendadak, dan/atau gagal jantung. 1
Gambaran klinis perikarditis dapat berupa nyeri dada pada
25
perubahan posisi, nyeri bertambah bila tidur terlentang atau dengan
inspirasi lokasi pada prekordium atau substernal, seringkali disertai
demam. Tanda klinik lain seperti suara jantung melemah, gesekan
pericardium, hipotensi dan pulsus paradoksus.1
Pada pemeriksaan tambahan diperlukan pemeriksaan EKG,
rontgen thorax dan ekokardiografi. Pada EKG dapat ditemukan
depresi dan melebarnya PR segmen, ST segmen konkaf ke atas dan
kadang gelombang T inversi, elektrik alternant serta berkurangnya
voltase gelombang QRS bila ditemukan efusi cairan pleura yang
cukup banyak. Pada ekokardiografi akan terlihat jelas jumlah cairan
dan tanda- tanda cardiac tamponade.1
Gangguan miokardium juga didapatkan 10% kasus biasanya
didapatkan disfungsi ventrikel, penyakit jantung iskemik, aritmia,
gangguan konduksi atau blok jantung serta kardiomegali yang tidak
dapat diterangkan oleh sebab lain atau tanpa gagal jantung.
Endokarditis pada LES walaupun jarang dapat mengenai katup
jantung berupa stenosis atau insufisiensi katup jantung serta
vegetasi katup jantung. Hal ini dapat dilihat pada ekokardiografi
sebagai Libman Sack endocarditis, pada pembuluh dara koroner
dapat berupa aterosklerosis karena vaskulitis pada pembuluh dara
koroner tersebut. 1
h. Manifestasi Hematologi
Kelainan pada darah seringkali ditemukan pada SLE.
Anemia dan trombositopenia, kelainan hematologi yang sering
terjadi pada perjalanan penyakit SLE, biasanya bukan merupakan
kondisi yang fatal, namun pada beberapa penderita dapat terjadi
gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen yang
agresif. 1
Prevalensi penderita SLE yang menderita anemia yaitu 5-19% yang
merupakan anemia hemolitik autoimun (AHA), pada umumnya
adalah anemia derajat sedang. Beberapa sindrom klinik terjadi,
masing-masing diperantarai oleh autoantibodi (IgG atau Ig M) yang
26
berbeda yang menyerang sel darah merah, sehingga sel darah merah
lebih cepat dirusak dan jumlahnya berkurang di sirkulasi. 2
3.1.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of
Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE
jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria
tersebut5
27
No Kriteria Batasan
28
9. Gangguan hematologi a. Anemia hemolitik dengan
retikulositosis
b. Leukopenia < 4000/uL
c. Limfopenia < 1500/uL
d. Trombositopenia< 100,000/uL
10. Gangguan imunologi a. antiDNA meningkat
b. anti Sm meningkat
c. antibodi antifosfolipid: IgG IgM
antikardiolipin meningkat, tes
koagulasi lupus (+) dengan metode
standar, hasil (+) palsu dan
dibuktikan dengan pemeriksaan
imobilisasi T.pallidum 6 bulan
kemudian atau fluoresensi absorsi
antibodi
11. Antibodi antinuklear Titer ANA meningkat dari normal
(ANA)
30
pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada
penderita SLE menujukkan ada atau tidak adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia: erytrocytesedimentation rate
(ESR) mengalami peningkatan selama penyakit aktif, Coombs test mungkin
positif, level IgG mungkin tinggi, rasio albumin-globulin terbalik, dan serum
globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE
menunjukkan adanya proteiunuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan
ditemukannya sel darah pada urin. 4
PT, aPTT pada sindrom antifosfolipid. 4
Foto polos toraks.4
Sindrom Sjogren
Fibromalgia
3.1.9 Penatalaksanaan
Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan
berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE
:4
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat
dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat
hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE,
antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan
31
penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti
melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung,
memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya
osteoporosis. 4
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang
dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup,
sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian
melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. 4
c. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE
terdiri dari NSAID (Non Steroid Anti-Inflamation Drugs),
antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi lain sesuai
manifestasi klinis yang dialami. 4
1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE
pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa
sakit pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin,
ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat
menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti
mual, muntah, diare dan perdarahan lambung. 4
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama
dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah
atau tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian
penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral,
injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh : Metilprednisolon.
Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi,
namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama. 4
Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relative
tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif.
32
Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang
berat seperti pada vasculitis yang luas, nephritis lupus, lupus cerebral.
Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri
dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis,
meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan
gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face. 4
3. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri
dari hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon
lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek
samping pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE
dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam
tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada
mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga
selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien
dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan
untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan. 4
4. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk
menekan sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat
immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti
azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate,
cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab. 4
Tabel 3. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Diapakai pada SLE
33
sakit kepala, urin AST/ALT
meningitis,
nefrotoksik,
dislipidemi, profil
osteonekrosis, lipid,
hiperglisemia, DXA,
katarak, Tekanan
oesteoporosis darah
Hidroksikloroku
in* mg/kg sakit kepala, pada setiap 3‐6
mg/hari dengan
defisiensi G6PD
berat interval.
34
Siklofosfamid Per oral: Mielosupresif, Darah Gejala Darah tepi
selama 1 seumur
jam. hidup.
Mikofenolate mg/kg BB, tekanan darah, fungsi oil (bila obat lengkap
per hari gangguan fungsi tepi fungsi hati dan LFT, Darah
35
tergantung menurun, urin Gejala
1000 – leukopenia.
2.000 mg
tepi terutama
lengkap, leukosit
lengkap. jenisnya.
Dosis Sedang > 7,5 mg tetapi < 30 mg prednisone atau setara per
hari
Dosis Tinggi >30 mg,- 100 mg prednisone atau setara per hari
Dosis sangat tinggi > 100 mg prednisone atau setara per hari
Terapi Pulse > 250 mg prednisone atau setara perhari untuk 1 hari
atau beberapa hari
36
3.1.10 Prognosis
Studi di Eropa pada 1000 pasien SLE menunjukkan 92% dengan
terapi optimal memiliki survival rate 10 tahun, dan menurun 88% pada
pasien dengan nefropati. Usia rata-rata kematian 44 tahun, dan usia tertua
untuk kematian 81 tahun. Penyebab kematian terbesar adalah lupus nefritis.
5
Tidak ada kata sembuh untuk SLE, remisi komplit pun jarang
terjadi. Oleh karena itu perlu diperhatikan untuk mengendalikan serangan
akut dan mengatur strategi sehingga dapat mensupresi terjadinya kerusakan
target organ.5
37
BAB IV
ANALISA KASUS
Keterlibatan ginjal pada penderita SLE sering disebut dengan lupus neftritis
yang dibagi kedalam 6 kelas, yaitu : 1
Kelas I Belum ada kelainan atau ringan
Kelas II Kelainan ringan atau minimal, antibodi anti-dsDNA mungkin
meningkat, kadar komplemen turun, sedimen urin inaktif,
hipertensi jarang, proteinuria <1 gram/24 jam, kreatinin serum dan
GFR biasanya normal.
Kelas III Sering terdapat hipertensi dan sedimen urin aktif. Proteinuria >1
gram/24 jam, 25-30% menunjukkan sindrom nefrotik. Mayoritas
pasien menunjukkan peningkatan serum kreatinin
Kelas IV Gambaran klinis lebih berat dan aktif dengan proteinuria >1
gram/24 jam. Hampir 50% pasien menunjukkan sindrom nefrotik.
Kelas V Didapatkan 40% pasien dengan proteinuria <3 g/24 jam dan 20%
proteinuria <1 gram/24 jam. 60% pasien memiliki kadar
komplemen yang rendah dan peningkatan titer antibody anti-
dsDNA. Sedimen urin aktif, hipertensi dan disfungsi renal pada
hamper seluruh pasien. Nefropati membranosa dapat muncul
dengan manifestasi proteinuria berat dan sindrom nefrotik idiopatik
sebelum munculnya gejala klinis dan laboratoris yang lain.
Kelas VI Disebut juga End-stage lupus nephritis, disebabkan kerusakan yang
terjadi sudah kronis dan jumlah nefron yang berfungsi sudah
banyak berkurang. Pasien terkadang masih menunjukkan
mikrohematuria dan proteinuria. Mayoritas pasien terdapat
hipertensi dan penurunan Laju Filtrasi Glomerolus (LFG). Kadar
antibodi anti-dsDNA dan komplemen serum biasanya justru
normal.
39
Dari pemeriksaan radiologi rontgen thorax didapatkan hasil tidak terdapat
kelainan pada jantung, pada paru-paru didapatkan hasil penebalan fissura inter lobar
kanan dengan kesan : loculated effuse minimal kanan.
Kelainan paru-paru pada SLE seringkali bersifat subklinik sehingga foto
toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien SLE dengan batuk, sesak nafas
atau kelainan respirasi lainnya.1 Pleuritis dan efusi pleura juga merupakan gejala
yang sering ditemukan pada penderita SLE, sedangkan hipertensi pulmonal jarang
terjadi, sindroma distres pernapasan dan perdarahan intraalveolar masif adalah
manifestasi berat SLE yang jarang terjadi, namun mempunyai angka mortalitas
yang tinggi.1
Pasien Tn. S dilakukan pemeriksaan Anti ds-DNA. Dari pemeriksaan ds-
DNA test yang dilakukan pada pasien didapatkan hasil > 3.200 (positif) dan dapat
dipastikan pasien didiagnosis dengan penyakit Sistemik Lupus Eritematosis (SLE),
nilai rujukan normal Anti-ds DNA adalah < 100. Diagnosis banding rheumatoid
artiritis dapat disingkirkan. Berdasarkan teori, Antibodi anti ds-DNA merupakan
tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitas hamper
100 %. Titer anti-ds-DNA yang tinggi hamper menunjukan diagnosis SLE
dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat
terjadi pasien yang bukan SLE.
Penegakan diagnosis SLE pada pasien ini berdasarkan kombinasi antara
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan manifestasi laboratorium yang menunjukan
kelainan yaitu multisistem. Terpenuhnya 4 dari 11 kriteria dari the American
Collage of Rheumatology 1997 memperkuat penegakan diagnosis Sistemik Lupus
Eritematosus dan menyingkirkan diagnosis banding yang lainnya:5
No Kriteria Batasan
40
folikel. Pada SLE lanjut ditemukan
parut atrofi.
41
10. Gangguan imunologi d. antiDNA meningkat
e. anti Sm meningkat
f. antibodi antifosfolipid: IgG IgM
antikardiolipin meningkat, tes
koagulasi lupus (+) dengan
metode standar, hasil (+) palsu
dan dibuktikan dengan
pemeriksaan imobilisasi
T.pallidum 6 bulan kemudian
atau fluoresensi absorsi antibodi
11. Antibodi antinuklear Titer ANA meningkat dari normal
(ANA)
Pada pasien ini didiagnosis sebagai SLE karena telah memenuhi 4 dari
11 kriteria ACR antara lain, ruam malar rash, ruam discoid rash, ulkus oral,
pleuritis, gangguan renal, gangguan hematologi, dan pemeriksaan imunologi Anti
ds-DNA yang memiliki hasil positif.
Penatalaksanaan non-farmakologis pada pasien diberikan penjelasan
mengenai penyakitnya dan penyebabnya. Selain itu pasien juga disarankan untuk
mencegah terpapar sinar UV, diberikan edukasi mengenai tanda-tanda penyakit
mengancam nyawa, istirahat yang cukup, diet seimbang, dan latihan jasmani.
Penatalaksanaan farmakologi yang diberikan adalah metilprednisolon 2
x 62,5. Pemberian kortikosteroid pada pasien ini bertujuan untuk mengontrol gejala
dan menekan produksi autoantibodi. Pemberian paracetamol 3 x 500 mg untuk
antipiretik sekaligus analgetik, kemudian pemberian injeksi cefriakxone 2 x 1 gr,
injeksi omeprazole 1 x 40 mg, injeksi furosemide 1 x 10 mg, clobazam 1 x 10 mg,
neurodex 2 x 1, allupurinol 1 x 300 mg, candistatin drop 3 x 2 cc sebagai terapi
suportif sesuai dengan komplikasi organ yang terkena.
Berdasarkan teori, pengobatan yang rutin digunakan adalah obat-obatan
dari golongan kortikosteroid. Sedangkan penggunaan jenis obat-obatan lainnya
digunakan sebagai terapi tambahan pada SLE jika terapi kortikosteroid saja
tidak cukup untuk menekan gejala SLE yang muncul. Pemberian kombinasi obat
42
simtomatik dan terapi suportif sesuai dengan komplikasi organ yang terkena:
jantung, paru, gastrointestinal, ginjal, neurologi, dan hematologi.
43
BAB V
KESIMPULAN
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Suarjana, IN. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2014. Hal: 3331-3342
2. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik, Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta. 2011.
3. Manson JJ, Rahman A. Systemic lupus erythematosus. Orphanet
Encyclopedia.2005.
4. Kasjmir, YI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.2014. Hal: 2773-2779
5. American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus research.
Education. Atlanta:Rheumatology; 2012.
45
Lampiran
46