TERAPI DOPAMINERGIK
American Academy of Neurology (AAN) merekomendasikan untuk memulai salah satu
terapi obat yang tersedia saat pasien mulai memiliki gangguan fungsional [78]. Terapi medis
tersedia untuk pengobatan gejala motorik termasuk levodopa/carbidopa, agonis dopamine (kedua
tipe ergot dan non-ergot), inhibitor monoamine oxidase-B (MAO-B), injeksi agonis dopamine
(apomorphine), inhibitor catechol-O-methyltransferase (COMT), inhibitor reseptor N-methyl-D-
aspartate (NMDA) dan anti kolinergik. Pada tahap lanjut penyakit Parkinson, pemberian obat
dapat ditambahkan melalui jalur alternatif [79-82] (misalnya, infus intrajejunum, injeksi
subkutan atau patch trandermal). Fluktuasi dan dikinesia motorik yang terus-menerus menjadi
indikasi pengobatan dengan deep brain stimulation (DBS).
Terapi dopaminergik sangat efektif pada gejala bradikinesia dan rigiditas tetapi inhibitor
monoamine MAO B termasuk cukup efektif. Agonis dopamine dan levodopa membantu untuk
mengurangi progresi dan disabilitas penyakit. Gejala tremor membaik dengan pemberian obat
antikolinergik seperti trihexyphenidyl tetapi memiliki efek yang buruk dan tidak konsisten
terhadap terapi pengganti dopamine [83,84].
AGONIS DOPAMIN
Reseptor dopamine terutama menargetkan keluarga reseptor D2. Anggota awal dari
keluarga obat tersebut adalah derivat ergoline. Obat ergoline meningkatkan kekhawatiran
terhadap keamanan jantung dan paru dan agen yang saat ini digunakan adalah obat non-ergoline
seperti pramipexole, ropinirole, apomorphine, piribedil, rotigotine. Agonis dopamine
menyebabkan kurangnya pulsasi pada stimulasi reseptor dopamine striatum dibandingkan
levodopa dan dapat secara nyata mengurangi risiko komplikasi motorik saat digunakan secara
monoterapi awal [84,105,106].
Apomorphine memiliki aktivitas reseptor D1 dan D2 dan memiliki potensi yang sama
dengan levodopa [66]. Infus apomorphine subkutan secara kontinu dapat mengurangi fluktuasi
motorik dan diskinesia yang terinduksi oleh levodopa [107]. Obat lainnya, ritigotine, tersedia
dalam bentuk formulasi patch transdermal yang dapat memberikan obat secara terus-menerus
[79].
Baik levodopa dan agonis dopamine menyebabkan nausea, kantuk di siang hari dan
edema, namun efek samping tersebut lebih sering ditemukan pada agonis dopamine. Agonis
dopamine diketahui dapat menyebabkan gangguan pengendalian impuls dan halusinasi akibat
obat ( terutama pada orang lanjut usia dengan gangguan kognitif), oleh karena itu, obat-obat
tersebut harus dihindari pada kelompok yang berisiko tinggi.
INHIBITOR MAO B
Inhibitor MAO B menyebabkan peningkatan pada konsentrasi dopamine di sinaps dan
perbaikan gejala. Selegiline, inhibitor MAO B irreversibel yang selektif, telah membuktikan
efektivitasnya sebagai tambahan untuk obat levodopa sejak 1970 [108]. Hasil dari penelitian
MONOCOMB menunjukkan pemberian monoterapi selegiline pada fase awal penyakit
Parkinson membantu memperlambat progresi penyakit. Pada penyakit Parkinson tahap lanjut,
selegiline memiliki kualitas hemat levodopa dan cukup dapat ditoleransi dalam pemakaian
jangka panjang [109]. Dalam uji klinis terbaru yang dilakukan pada pasien parkinsion di Jepang,
monoterapi selegiline secara signifikan menurunkan skors UPDRS part I + II + III [110].
Rasagiline, inhibitor MAO B irreversible lainnya, merupakan terapi tambahan yang
terkenal pada pasien dengan gejala fluktuasi motorik [105]. Penelitian case control retrospektif
selama 3 tahun menilai efektivitas inhibitor MAO B pada penyakit Parkinson, dilaporkan bahwa
memiliki kemanjuran yang sama dalam mengontrol gejala motorik pada penderita Parkinson
dengan pemberian terapi yang optimal [111] terapi inhibitor MAO B berkaitan dengan
penurunan kebutuhan levodopa dan menurunkan frekuensi terjadi gejada diskinesia [111].
Safinamide merupakan inhibitor MAO B reversibel dengan sifat antiglutaminergik.
Safinamide membantu peningkatan pengendalian gejala motorik yang berlebihan pada penderita
Parkinson dan memperbaiki kualitas hidup [112]. Pada penelitian randomized control trial
terbaru, saat safinamide digunakan sebagai tambahan untuk obat levodopa, dapat memperbaiki
waktu “on” tanpa menyebabkan diskinesia dan mengurangi insidensi fenomena “wearing off”
[113].
PEMBEDAHAN
Deep Brain Stimulatin (DBS) baik subthalamic nucleus (STN) maupun Globus pallidus
interna (GPi) dikenal sebagai pengobatan pada pasien dengan komplikais motorik [132-134].
Untuk pengobatan gejala tremor, DBS thalamus dapat menjadi pilihan pengobatan. Pembedahan
dipilih saat fluktuasi dan diskinesia motorik menjadi lumpuh meski merupakan reaksi gejala
motorik terhadap levodopa. Waktu rata-rata dilakukan DBS sekitar 10-13 tahun setelah diagnosis
penyakit Parkinson telah dibuat. Penemuan uji klinis EARLYSTIM, randomized control trial
menunjukkan bahwa DBS pada tahap awal penyakit ( durasi penyakit rata-rata 7,5 tahun, dengan
fluktuasi motorik < 3 tahun) dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dan beberapa hasil
penelitian tambahan menilai lebih dari terapi medis yang terbaik [135].
DBS bersifat reversibel dan dapat disesuaikan dengan perkembangan penyakit. Gejala
demensia, psikosis akut dan depresi berat menjadi kriteria eksklusi dari DBS [136]. DBS
bilateral dari STN dapat memperbaiki skor UPDRS II (kegiatan kehidupan sehari-hari) dan
UPDRS III (motorik), dengan rata-rata sekitar 50-60% dibandingkan dengan keadaan medis pre
operasi. Total harian dosis obat dopaminergik berkurang sekitar 60 % setelah dimulai DBS,
gejala diskinesia berkurang sekitar 60-70% . DBS STN berkaitan dengan penurunan kebutuhan
dosis levodopa [139]. Tingkat mortalitas sebesar < 0,5% dan efek samping nya berupa
perdarahan intrakranial atau komplikasi berkaitan dengan alat ( seperti infeksi dan salah
penempatan dan sebagainya ) [140].
Terapi non farmakologi pada pasien Parkinson termasuk berolahraga, edukasi, kelompok
pendukung, terapi bicara dan nutrisi. Bukti dari literatur merekomendasikan penggunaanya pada
tahap awal perjalanan penyakit.
KESIMPULAN
Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit neurodegeneratif yang paling sering
terjadi yang mengenai populasi lansia dan berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas. Kesadaran terhadap manifestasi klinis penyakit, pengobatan dan perjalanan penyakit
jangka lama sangat diperlukan untuk pengobatan kasus tersebut secara optimal. Kemajuan luar
biasa telah dibuat dalam memahami neuropatologi penyakit Parkinson dan perkembangannya di
seluruh sistem saraf. Namun, tidak ada satupun dari pengobatan diatas yang dapat
menyembuhkan penyakit. Penyakit Parkinson menjadi penyakit progresif yang dapat
menyebabkan kecacatan parah akibat peningkatan keparahan gangguan motorik akibat resisten
obat maupun gejala motoriknya. Memodifikasi faktor-faktor yang menyebabkan keparahan
penyakit dan menunda kecatatan perlu untuk ditunjukkan upaya penelitian terbaru pasa masa
kedepan.