Anda di halaman 1dari 9

PARKINSON: PEMERIKSAAN DAN TATALAKSANA

Penyakit parkinson tahap dini merupakan tantangan diagnostik dengan banyaknya


diagnosis banding yang terdiri dari penyakit yang tidak berkaitan dengan degenerasi substansia
nigraa atau defisiensi dopamine pada striatum. Kriteria klinis UK Parkinson’s Disease Society
Brain Bank (UKPDSBB) yang umum digunakan memiliki keakuratan diagnostik hanya sekitar
80 % saat kunjungan pertama yang diikuti dengan perkembangan penyakit Parkinson tahap dini
pada pasien [65]. Oleh karenanya, pencitraan fungsional dibutuhhkan untuk menkonfirmasi
diagnosis klinis dan untuk memahami patofisiologi yang mendasarinya.
123I - ioflupane single - photon emission computed tomography [SPECT] ( juga dikenal
sebagai DaTscan ) berguna untuk menilai densitas terminal dopaminergik saraf presinaps di
dalam striatum karena dapat membantu membedakan penyakit Parkinson dengan penyakit
tertentu dengan tanpa terjadi defisiensi terminal dopaminergik saraf presinaps [66,67].
18F – DOPAL – 6 – fluoro - 3, 4 - dihydroxyphenylalnine (18F - DOPA) positron
emission tomography scan (PET scan) menilai integritas dopaminergik preninaps dan
menggambarkan secara akurat gangguan monoaminergik pada penyakit Parkinson. Analisis
retrospektif pada 27 pasien yang menjalani pemeriksaan scan 18F – DOPA untuk yang dicurigai
memiliki gangguan motorik dari penyakit Parkinson menunjukkan sensitivitas mencapai 95,4%
(interval kepercayaan (CI) sebesar 95%, 100%-75,3%), spesifisitas sebesar 100% (CI 95%, 100-
59%), nilai prediktif positif sebesar 100% (CI 95%, 100-80,7%), dan nilai prediktif negatif
sebesar 87,5% (CI 95%, 99,5-50,5%) [68].
[123I] N – ω – fluoropropyl - 2β – carbomethoxy - 3β - (4 - iodophenyl) nortropane (FP -
CIT) merupakan agen pencitraan transporter dopamine (DAT) yang selektif dan kuat. Hubungan
antara nilai yang diperoleh dari FP-CIT SPECT dan F-DOPA PET untuk uptake di striatum pada
pasien dengan stadium penyakit Parkinson yang berbeda telah dibutikan [69,70]. Pengangkut
dopamine diturunkan regulasinya sebagai respons awal untuk mengurangi konsentrasi dopamine
endogen dan menghasilkan penurunan ikatan FP-CIT pada fase awal penyakit Parkinson. Oleh
karena itu, FP-CIT mungkin lebih sensitif daripada scan F-DOPA dalam mendeteksi penurunan
dopamine di striatum. Sebuah penelitian yang membandingkan sensitivitas dan spesifisitas dari
uptake di striatum dan putaminal kontralateral berdasarkan penemuan FP-CIT SPECT dan F-
DOPA PET pada penderita Parkinson dan orang sehat terkontrol dan ditemukan mencapai 100%
pada fase awal penyakit tersebut. Pada saat uptake awal dinilai, tingkat spesifisitas FP-CIT
mencapai 100 % tetapi berkurang untuk F-DOPA yaitu mencapai 90 %, sedangkan sensitivitas
sebesar 91 % untuk kedua teknik scanning tersebut [71]. Namun demikian, teknik tersebut hanya
mengandalkan pencitraan dopamine yang tidak cukup untuk mendiagnosis penyakit Parkinson
karena tidak membedakan penyakit Parkinson dari sindrom parkinsonisme lainnya yang
berkaitan dengan degenerasi substansia nigra seperti parkinsonisme atipikal.
Standar pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki peran utama dalam
menegakkan diagnosis penyakit Parkinson; bagaimanapun, MRI 7 Tesla yang dikombinasikan
dengan teknik yang canggih, seperti pencitraan tensor diffuser, saat ini sedang diselidiki untuk
membantu menegakkan diagnosis penyakit Parkinson [72]. MRI membantu mendiagnosis pasien
dengan gejala parkinsonisme, dan juga membantu dalam menunjukkan perubahan spesifik pada
ganglia basalin dan struktur infra-tentorial pada pasien parkinsonisme atipikal [73]. Denervasi
simpatis miokardium, dinilai dengan PET atau SPECT menggunakan pelacakan noradrenergik,
namun bukan pada pasien dengan parkinsonisme atipikal atau yang mirip dengan penyakit
Parkinson lainnya [74].

PEMERIKSAAN CAIRAN SEREBROSPINAL DAN DARAH


Saat ini, tidak ada pemeriksaan dasar cairan serebrospinal (CSF) yang berguna secara
klinis untuk mendiagnosis penyakit Parkinson. Terdapat beberapa penelitian yang menilai kadar
protein dalam CSF ( seperti, kadar perbedaan jenis α-synuclein ) tetapi sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan tersebuut masih rendah [75]. Padahal, rendahnya kadar plasma
apolipoprotein A1 berkaitan dengan tingginya tingkat keparahan gangguan motorik, kegunaanya
sebagai biomarker darah tidak ditetapkan sampai saat ini [76].
Hambatan utama dalam penelitian penyakit Parkinson adalah tidak adanya biomarker
yang tepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis penyakit pada
fase awal atau bahkan tahap prodrominal penyakit, dan tidak ada satu ukuran saat ini yang
memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk biomarker pada penyakit Parkinson [77]. Terapi
modifikasi penyakit akan sangat efektif jika pasien didiagnosis dan diobati selama masa
prodromal ini. Penanda klinis yang mungkin termasuk RBD yang didiagnosis dengan
polisomnografi dan gangguan penciuman dinilai dengan metode standar seperti uji identifikasi
penciuman milik Universitas Pensilvania [61].
PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS
Tujuan utama penelitian pada penyakit Parkinson adalah untuk mengembangkan terapi
modifikasi penyakit yang dapat memperlambat atau menghentikan proses neurodegenerasi,
namun, tidak ada terapi modifikasi penyakit yang definitif untuk mencapai tujuan tersebut.

TERAPI DOPAMINERGIK
American Academy of Neurology (AAN) merekomendasikan untuk memulai salah satu
terapi obat yang tersedia saat pasien mulai memiliki gangguan fungsional [78]. Terapi medis
tersedia untuk pengobatan gejala motorik termasuk levodopa/carbidopa, agonis dopamine (kedua
tipe ergot dan non-ergot), inhibitor monoamine oxidase-B (MAO-B), injeksi agonis dopamine
(apomorphine), inhibitor catechol-O-methyltransferase (COMT), inhibitor reseptor N-methyl-D-
aspartate (NMDA) dan anti kolinergik. Pada tahap lanjut penyakit Parkinson, pemberian obat
dapat ditambahkan melalui jalur alternatif [79-82] (misalnya, infus intrajejunum, injeksi
subkutan atau patch trandermal). Fluktuasi dan dikinesia motorik yang terus-menerus menjadi
indikasi pengobatan dengan deep brain stimulation (DBS).
Terapi dopaminergik sangat efektif pada gejala bradikinesia dan rigiditas tetapi inhibitor
monoamine MAO B termasuk cukup efektif. Agonis dopamine dan levodopa membantu untuk
mengurangi progresi dan disabilitas penyakit. Gejala tremor membaik dengan pemberian obat
antikolinergik seperti trihexyphenidyl tetapi memiliki efek yang buruk dan tidak konsisten
terhadap terapi pengganti dopamine [83,84].

FORMULASI LEVODOPA DAN LEVODOPA TERBARU


Mekanisme gejala motorik utama pada penyakit Parkinson adalah terjadi deplesi dari
dopamine striatum akibat kehilangan neuron dopaminergik pada substansia nigra pars compacta
(SNpc). Pemberian levodopa sebagai pengganti dopamine striatum merupakan pilihan yang
utama dalam pengobatan penyakit Parkinson, oleh karenanya beberapa target tambahan untuk
terapi dopaminergik telah diidentifikasi. Levodopa menjadi terapi gold standar dan hampir
semua pasien membutuhkan obat ini selama masa sakitnya [85].
Penggunaan jangka panjang obat levodopa dipersulit dengan fluktuasi dan diskinesia
motorik. Mekanisme yang mendasarinya masih belum jelas. Salah satu hipotesis yang diterima
adalah keterlibatan mekanisme presinap dan postsinaps yang menyebabkan perangsangan
reseptor dopamine striatum yang tidak fiisiologis, sehingga menyebabkan berbagai respons
gangguan adaptasi neuron [86,87]. Pemberian obat yang tidak menentu akibat waktu paruh
levodopa yang pendek, serta variabilitas dalam absorbsi dan transportasi pada blood-brain barrier
berperan penting dalam perkembangan komplikasi motorik [82].
Bioavailabilitas levodopa dapat ditingkatkan dengan mengembangkan formulasi oral
yang lebih efektif atau dengan merancang jalur pemberian obat yang baru (seperti infus
intestinum, pemberian transkutan dengan pompa mini atau dengan inhalasi). RYTARY/IPX066
merupakan formulasi oral levodopa-carbidoa (LD/CD) baru yang mengkombinasikan antara
LD/CD yang bebas secara cepat dan secara lambat. Hal ini telah disetujui di USA dan Uni
Eropa. IPX066 terdiri dari bentuk mikro LD/CD yang dirancang untuk larut pada berbagai
tingkatan yang membantu absorbsi cepat dan pelepasan levodopa dalam waktu yang lama.
Penelitian menunjukkan pemberian IPX066 memperbaiki gejala-gejala pada pasien dengan
Parkinson tahap dini dan lanjut [88-93]. Perbaikan yang signifikan terhadap skor unified
parkinson’s disease rating scale (UPDRS) telah dilaporkan tanpa perkembangan diskinesia yang
semakin memburuk, menggunakan preparat obat tersebut jika dibandingkan dengan formulasi
levodopa yang lainnya [88-93].
Levodopa-Carbidopa Intestinal Gel (LCIG) merupakan terapi yang disetujui untuk pasien
Parkinson tahap lanjut yang dalam proses perawatan. LCIG diberikan dengan pemasangan
tabung gastronomi endoskopi perkutan (PEG-J), melalui infusion pump portabel. Hal ini
membantu mengurangi tingkat fluktuasi L-dopa-plasma dan dengan demikian mengurangi
komplikasi gejala motorik [80,81,94]. Baru-baru ini, peneliti sedang menilai “Accordion Pill”
(AP09004), pelepasan yang panjang formulasi LD/CD dengan sifat gastroretentif [95-97].
Formulasi Levodopa lainnya saat ini aktif dalam penelitian termasuk ND-0612, ODM-101,
CVT-301 dan cylops. ND-0612 merupakan formulasi paten dari LD/CD yang memungkinkan
pemberian secara subkutan melalui alat patch-pump kecil, dan ODM-101 merupakan formulasi
oral yang baru dari levodopa/carbidopa/enacapone yang mengandung kadar tinggi dari carbidopa
(65 atau 105mg) [98-100]. CVT-301 dan cylops merupakan serbuk inhalasi levodopa. Dan obat
tersebut memiliki onset kerja yang cepat, obat-obat tersebut menjadi pilihan dalam pengobatan
penyakit Parkinson [101,102].
Meskipun tingkatan tertinggi dari perbaikan gejala diperoleh dengan levodopa, namun
untuk menunda komplikasinya, inhibitor MAO-B/agonis dopamine dapat digunakan sebagai
terapi inisial. Penelitian randomized trial dari pasien baru yang didiagnosis Parkinson gagal
menunjukkan manfaat jangka panjang dari terapi hemat levodopa [103]. Bagaimanapun juga,
Penelitian ini memiliki batasan berupa ruang lingkup yang tidak terlalu luas, seperti usia pasien <
60 tahun, yang memiliki risiko tinggi kejadian diskinesia, yang tidak terwakilkan dengan baik
[104].

AGONIS DOPAMIN
Reseptor dopamine terutama menargetkan keluarga reseptor D2. Anggota awal dari
keluarga obat tersebut adalah derivat ergoline. Obat ergoline meningkatkan kekhawatiran
terhadap keamanan jantung dan paru dan agen yang saat ini digunakan adalah obat non-ergoline
seperti pramipexole, ropinirole, apomorphine, piribedil, rotigotine. Agonis dopamine
menyebabkan kurangnya pulsasi pada stimulasi reseptor dopamine striatum dibandingkan
levodopa dan dapat secara nyata mengurangi risiko komplikasi motorik saat digunakan secara
monoterapi awal [84,105,106].
Apomorphine memiliki aktivitas reseptor D1 dan D2 dan memiliki potensi yang sama
dengan levodopa [66]. Infus apomorphine subkutan secara kontinu dapat mengurangi fluktuasi
motorik dan diskinesia yang terinduksi oleh levodopa [107]. Obat lainnya, ritigotine, tersedia
dalam bentuk formulasi patch transdermal yang dapat memberikan obat secara terus-menerus
[79].
Baik levodopa dan agonis dopamine menyebabkan nausea, kantuk di siang hari dan
edema, namun efek samping tersebut lebih sering ditemukan pada agonis dopamine. Agonis
dopamine diketahui dapat menyebabkan gangguan pengendalian impuls dan halusinasi akibat
obat ( terutama pada orang lanjut usia dengan gangguan kognitif), oleh karena itu, obat-obat
tersebut harus dihindari pada kelompok yang berisiko tinggi.

INHIBITOR MAO B
Inhibitor MAO B menyebabkan peningkatan pada konsentrasi dopamine di sinaps dan
perbaikan gejala. Selegiline, inhibitor MAO B irreversibel yang selektif, telah membuktikan
efektivitasnya sebagai tambahan untuk obat levodopa sejak 1970 [108]. Hasil dari penelitian
MONOCOMB menunjukkan pemberian monoterapi selegiline pada fase awal penyakit
Parkinson membantu memperlambat progresi penyakit. Pada penyakit Parkinson tahap lanjut,
selegiline memiliki kualitas hemat levodopa dan cukup dapat ditoleransi dalam pemakaian
jangka panjang [109]. Dalam uji klinis terbaru yang dilakukan pada pasien parkinsion di Jepang,
monoterapi selegiline secara signifikan menurunkan skors UPDRS part I + II + III [110].
Rasagiline, inhibitor MAO B irreversible lainnya, merupakan terapi tambahan yang
terkenal pada pasien dengan gejala fluktuasi motorik [105]. Penelitian case control retrospektif
selama 3 tahun menilai efektivitas inhibitor MAO B pada penyakit Parkinson, dilaporkan bahwa
memiliki kemanjuran yang sama dalam mengontrol gejala motorik pada penderita Parkinson
dengan pemberian terapi yang optimal [111] terapi inhibitor MAO B berkaitan dengan
penurunan kebutuhan levodopa dan menurunkan frekuensi terjadi gejada diskinesia [111].
Safinamide merupakan inhibitor MAO B reversibel dengan sifat antiglutaminergik.
Safinamide membantu peningkatan pengendalian gejala motorik yang berlebihan pada penderita
Parkinson dan memperbaiki kualitas hidup [112]. Pada penelitian randomized control trial
terbaru, saat safinamide digunakan sebagai tambahan untuk obat levodopa, dapat memperbaiki
waktu “on” tanpa menyebabkan diskinesia dan mengurangi insidensi fenomena “wearing off”
[113].

INHIBITOR CATECOHOL-O-METHYL TRANSFERASE


Sediaan levodopa saat ini mengandung carbidopa dan benzerazide untuk mencegah
metabolisme perifer dari dopamine, dan obat ini dapat meningkatkan bioavailibilitas dari
pengobatan sebelumnya. Hal ini mengubah metabolisme perifer levodopa menjadi jalur kedua
yang melibatkan COMT. Penghambatan jalur COMT akan meningkatkan bioavailibilitas dan
waktu-paruh dari levodopa, sehingga dapat membantu pasien dengan gejala fluktuasi motorik
[114]. Penggunaan kombinasi tiga obat levodopa, carbidopa dan inhibitor COMT meningkatkan
waktu “on”, menurunkan waktu “off”, dan secara signifikan meningkatkan kualitas hidup [115].
Penggunaan tolcapone dibatasi karena efek samping obat tersebut. Entacapone, merupakan
alternatif yang lebih aman, saat ini masih tersedia namun efektivitasnya masih rendah. Pada uji
klinis fase ke-2, nebicapone ditemukan lebih efektif dari entacapone dan lebih aman dari
tolcapone [116]. Opicapone, dalam regimen dosis oral sekali sehari, juga telah terbukti
menurunkan waktu “off” dan meningkatkan waktu “on” tanpa menyebabkan gejala diskinesia
pada penderita Parkinson tahap lanjut [117].
TARGET FRAMAKOLOGIS NON-DOPAMINERGIK
Gejala-gejala dari penyakit Parkinson stadium lanjut ( motorik dan nonmotorik )
merespon terapi dopaminergik dengan buruk. Penyebabnya mungkin karena abnormalitas pada
neurotransmitter lainnya seperti asetilkolin, glutamate, norepinefrin atau serotonin [118].
Fluktuasi motorik, diskinesia akibat levodopa, kekakuan saat berjalan, instabilitas postural dan
jatuh, tremor, gangguan menelan dan berbicara merupakan gejala-gejala yang membutuhkan
pengobatan dengan agen non-dopaminergik.
Defisiensi asetilkolin akibat degenerasi neuron kolinergik dapat menyebabkan demensia,
abnormalitas cara berjalan dan jatuh [119]. Uji klinis donepazil dimulai untuk pengobatan gejala
jatuh yang dikaitkan dengan hipotesis adanya sisstem kolinergik yang abnormal pada penyakit
Parkinson yang bertanggung jawab atas seringnya kejadian jatuh [120]. Rivastigmin merupakan
inhibitor kolinesterase yang digunakan untuk penyakit Parkinson dengan demensia [121].
Kegunaan rivastigmin dalam mengobati abnormalitas gaya berjalan dan jatuh berulang masih
sedang dievaluasi [122].
Depresi pada penderita Parkinson bereaksi terhadap semua jenis obat antidepresan dan
terdapat bukti terbatas yang merekomendasikan antidepresan trisiklik dibandingkan inhibitor
reuptake serotonin selektif. Peran obat-obat noradrenergik diperlukan untuk dibuat uji klinis
[123]. Selain quetiapine, neuroleptik atipikal lainnya dapat memperburuk parkinsonisme dengan
cara memblokir reseptor D2 dopamin striatum. Efek serotonik dari clozapine dalam pengobatan
psikosis sangat didukung oleh hasil positif terbaru pimavanserin sebagai penggunaan agonis
invers 5hydroxytryptamine 2A (HT2A) [125].
Amantidine merupakan agonis reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang digunakan
untuk diskinesia akibat levodopa [83,84,105]. Panduan berbeda mengenai efektivitas amantadine
dalam pengobatab diskinesia akibat levodopa. Tinjauan berdasarkan bukti dari Movement
Disorders Society melaporkan bahwa amantadine “efektif” dalam pengobatan diskinesia, namun
panduan American Association of Neurology (AAN) menyimpulkan bahwa amantadine
“mungkin saja efektif” [83.126]. Sebuah uji klinis terbaru menilai efektivitas dan keamanan
ADS-5102 (amantadine) sebanyak 274 mg kapsul yang bebas ( setara 340 mg amantadine
hydrochloride ) untuk diskinesia akibat levodopa dan memperbaiki waktu “off” nya[127]
Penderia Parkinson mengalami gangguan otonom, khususnya pada tahap lanjut. Terapi
farmakologis yang hubungan dengan sistem saraf otonom termasuk penggunaan
mineralkortikoid, fludrokortison serta penggunaa agen adrenergik ( seperti midodrine dan
etilefrine), prekursor noradrenergik ( yaitu droxipoda ) untuk mengobat keluhan hipotensi
ortostatik, anti-muskarinik (seperti oxybutynin, tolterodine atau trsopium klorida) untuk
mengobati inkontinensia urin dan obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gejala konstipasi
[84,123,128].

INHIBITOR KINASE TIROSIN UNTUK PENGOBATAN PENYAKIT PARKINSON


Baru-baru ini, penelitian menunjukkan bahwa kadar dan aktivasi dari kinase tirosin non-
reseptor Abelson (c-Abl) diregulasi di jaringan otak pada pasien Parkinson. Karuppagounder,
dkk. menilai efikasi in vivo dari penetrasi otak, inhibitor kinase tirosin c-Abl, pada penderita
Parkinson akibat 1-metil-4-fenil-1, 2, 3, 6-tetrahidropiridin (MPTP) dan ditemukan bahwa
nilotinib dapat mencegah kehilangan dopamine neuron dan defisit perilaku diikuti intoksikasi
MPTP [129]. Nilotinib menurunkan aktivasi C-Abl, kadar substrat Parkin dan kematian sel
neuron. Imam, dkk. menilai efektivitas INNO-406 ( generasi kedua dari inhibitor kinase Abl) dan
menemukan bahwa INNO-406 mampu mencegah progresi kerusakan neuron dopaminergik
dalam keracunan akibat model tikus C57 dari penyakit Parkinson [130]. Peneliti menunjukkkan
bahwa inhibitor c-Abl (nilotinib, imatinib dan bafetinib) dapat mencegah kehilangan neuron
dopamine, meningkatkan perilaku motorik, menghambat fosforilasi Cdk5, mengatur fosforilasi
α-synuclein dan menurunkan kadar substrat Parkin [131]. Inhibitor c-Abl yang memiliki
permeabilitas otak dapat berfungsi sebagai agen terapetik untuk pengobatan penyakit Parkinson
dan gangguan neurodegeneratif lainnya.

PEMBEDAHAN
Deep Brain Stimulatin (DBS) baik subthalamic nucleus (STN) maupun Globus pallidus
interna (GPi) dikenal sebagai pengobatan pada pasien dengan komplikais motorik [132-134].
Untuk pengobatan gejala tremor, DBS thalamus dapat menjadi pilihan pengobatan. Pembedahan
dipilih saat fluktuasi dan diskinesia motorik menjadi lumpuh meski merupakan reaksi gejala
motorik terhadap levodopa. Waktu rata-rata dilakukan DBS sekitar 10-13 tahun setelah diagnosis
penyakit Parkinson telah dibuat. Penemuan uji klinis EARLYSTIM, randomized control trial
menunjukkan bahwa DBS pada tahap awal penyakit ( durasi penyakit rata-rata 7,5 tahun, dengan
fluktuasi motorik < 3 tahun) dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dan beberapa hasil
penelitian tambahan menilai lebih dari terapi medis yang terbaik [135].
DBS bersifat reversibel dan dapat disesuaikan dengan perkembangan penyakit. Gejala
demensia, psikosis akut dan depresi berat menjadi kriteria eksklusi dari DBS [136]. DBS
bilateral dari STN dapat memperbaiki skor UPDRS II (kegiatan kehidupan sehari-hari) dan
UPDRS III (motorik), dengan rata-rata sekitar 50-60% dibandingkan dengan keadaan medis pre
operasi. Total harian dosis obat dopaminergik berkurang sekitar 60 % setelah dimulai DBS,
gejala diskinesia berkurang sekitar 60-70% . DBS STN berkaitan dengan penurunan kebutuhan
dosis levodopa [139]. Tingkat mortalitas sebesar < 0,5% dan efek samping nya berupa
perdarahan intrakranial atau komplikasi berkaitan dengan alat ( seperti infeksi dan salah
penempatan dan sebagainya ) [140].
Terapi non farmakologi pada pasien Parkinson termasuk berolahraga, edukasi, kelompok
pendukung, terapi bicara dan nutrisi. Bukti dari literatur merekomendasikan penggunaanya pada
tahap awal perjalanan penyakit.

KESIMPULAN
Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit neurodegeneratif yang paling sering
terjadi yang mengenai populasi lansia dan berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas. Kesadaran terhadap manifestasi klinis penyakit, pengobatan dan perjalanan penyakit
jangka lama sangat diperlukan untuk pengobatan kasus tersebut secara optimal. Kemajuan luar
biasa telah dibuat dalam memahami neuropatologi penyakit Parkinson dan perkembangannya di
seluruh sistem saraf. Namun, tidak ada satupun dari pengobatan diatas yang dapat
menyembuhkan penyakit. Penyakit Parkinson menjadi penyakit progresif yang dapat
menyebabkan kecacatan parah akibat peningkatan keparahan gangguan motorik akibat resisten
obat maupun gejala motoriknya. Memodifikasi faktor-faktor yang menyebabkan keparahan
penyakit dan menunda kecatatan perlu untuk ditunjukkan upaya penelitian terbaru pasa masa
kedepan.

Anda mungkin juga menyukai