BAB I
PENDAHULUAN
melakukan analisis pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2 Karena
itu penting diketahui penagakan diagnosa yang tepat ileus dan peritonitis untuk
penatalaksanaan yang tepat
1.2 Rumusan Masalah
Apa definisi ileus obstruksi dan peritonitis?
Bagaimana patofisiologi ileus obstruksi dan peritonitis?
Bagaimana penegakan diagnosa ileus obstruksi dan peritonitis?
Bagaimana penatalaksanaan ileus obstruksi dan peritonitis?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui definisiileus obstruksi dan peritonitis
Untuk mengetahui patofisiologi ileus obstruksi dan peritonitis
Untuk mengetahui penegakan diagnosa ileus obstruksi dan peritonitis
Untuk mengetahui penatalaksanaan ileus obstruksi dan peritonitis
1.4 Manfaat
Bagi Pembaca
- Sebagai tambahan ilmu dan pengetahuan tentang ileus obstruksi dan peritonitis.
Bagi Penulis
- Menambah pengetahuan ileus obstruksi dan peritonitisdan menambah pengalaman
menulis agar lebih baik
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
regio iliaca dan lumbalis kanan. Setelah mencapai hati, kolon ascendens membelok ke kiri,
membentuk fleksura koli dekstra (fleksura hepatik). Kolon transversum menyilang abdomen
pada regio umbilikalis dari fleksura koli dekstra sampai fleksura koli sinistra. Kolon
transversum, waktu mencapai daerah limpa, membengkok ke bawah, membentuk fleksura
koli sinistra (fleksura lienalis) untuk kemudian menjadi kolon descendens. Kolon sigmoid
mulai pada pintu atas panggul. Kolon sigmoid merupakan lanjutan kolon descendens. Ia
tergantung ke bawah dalam rongga pelvis dalam bentuk lengkungan. Kolon sigmoid bersatu
dengan rektum di depan sakrum. Rektum menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rektum
ke atas dilanjutkan oleh kolon sigmoid dan berjalan turun di depan sekum, meninggalkan
pelvis dengan menembus dasar pelvis. Disisni rektum melanjutkan diri sebagai anus dalan
perineum11.
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang terdiri dari 2
lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot yang terutama berperan
pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian
mengalami distensi oleh makanan, dinding usus halus akan berkontraksi secara lokal. Tiap
kontraksi ini melibatkan segmen usus halus sekitar 1 sampai 4 cm. Pada saat satu segmen
usus halus yang berkontraksi mengalami relaksasi, segmen lainnya segera akan memulai
kontraksi. Jika usus halus berelaksasi, makanan akan kembali ke posisi semula. Gerakan ini
5
berulang terus sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan mengadakan
hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya terjadi absorbsi12.
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang lambat yang merupakan
basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran cerna. Proses kontraksi segmentasi
berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada duodenum dan sekitar 7 kali/menit pada ileum.
Gerakan peristaltik pada usus halus mendorong makanan menuju ke arah kolon dengan
kecepatan 0,5 sampai 2 cm/detik, dimana pada bagian proksimal lebih cepat daripada bagian
distal. Gerakan peristaltik ini sangat lemah dan biasanya menghilang setelah berlangsung
sekitar 3 sampai 5 cm12.
Aktifitas gerakan peristaltik akan meningkat setelah makan. Hal ini sebagian besar
disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum sehingga menimbulkan refleks peristaltik
yang akan menyebar ke dinding usus halus. Selain itu, hormon gastrin, CCK, serotonin, dan
insulin juga meningkatkan pergerakan usus halus. Sebaliknya sekretin dan glukagon
menghambat pergerakan usus halus12.
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila tekanan di dalam
caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka kontraksi sfingter ileocaecal akan
meningkat dan gerakan peristaltik ileum akan berkurang sehingga memperlambat
pengosongan ileum. Bila terjadi peradangan pada caecum atau pada appendiks maka sfingter
ileocaecal akan mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis sehingga pengosonga
ileum sangat terhambat12.
2.1.2 Peritoneum
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian
belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian
bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke
dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial,
kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis
internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium,
yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah
terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan
oleh linea alba.2,13Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah
terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah
pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan
intra abdominal.13
6
Gambar 2.2 :Tampak anterior ototdinding abdomen dan penampang melintang otot
abdomen2
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh. Peritoneum
terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang melapisi dinding rongga
abdominal dan berhubungandengan fascia muscular, dan peritoneum visceral, yang
menyelaputi semua organ yang berada di dalm rongga itu. Peritoneum
parietalemempunyaikomponen somatic dan visceral yang memungkinkanlokalisasi yang
berbahaya dan menimbulkandefans muscular dan nyeri lepas.2,13 Ruang yang bisa terdapat di
antara dua lapis ini disebut ruang peritoneal atau cavitas peritonealis. Ruang di luarnya
disebut Spatium Extraperitoneale. Di dalam cavitas peritonealis terdapat cairan peritoneum
yang berfungsi sebagai pelumas sehingga alat-alat dapat bergerak tanpa menimbulkan
gesekan yang berarti. Cairan peritoneum yang diproduksi berlebihan pada kelainan tertentu
disebut sebagai asites (hydroperitoneum).2Luas peritoneum kira-kira 1,8 meter2, sama dengan
luas permukaan kulit orang dewasa. Fungsi peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki
membran basal semipermiabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit, makro, maupum
mikro sel. Oleh karena itu peritoneum punya kemampuan untuk digunakan sebagai media
cuci darah yaitu peritoneal dialisis dan menyerap cairan otak pada operasi ventrikulo
peritoneal shunting dalam kasus hidrochepalus.14,15
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
7
Ileus adalah suatu kondisi dimana terdapat gangguan pasase (jalannya makanan) di
usus yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan. Ileus terutama dibagi dua
berdasarkan penyebabnya, yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik2
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena
adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga
menyebabkan penyempitan atau penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan
pasase lumen usus terganggu.Ileus obstruktif disebut juga ileus mekani.
Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstruktif dibedakan atas14:
Letak tinggi: duodenum sampai jejunum
Letak rendah: kolon – sigmoid – rectum
9
Obstruksi letak tinggi dan letak rendah di batasi oleh iliocaecal junction
Berdasarkan stadiumnya, ileus obstruktif dibedakan atas:
Parsial: menyumbat sebagian lumen
Simple/komplit: menyumbat seluruh lumen
Strangulasi: simple dengan jepitan vasa
2.2.2 Etiologi
2.2.3 Patofisiologi
Semua etiologi ileus menyebabkan usus di bagian distal kolaps, sementara bagian proksimal
berdilatasi. Usus yang tersumbat awalnya berperistaltik lebih keras sebagai usaha alamiah dan
akhirnya pasase usus jadi melemah dan hilang. Distensi usus terbentukakibat akumulasi
cairan dan gas akibatgerakan peristaltic yang meningkat. Distensi usus yang
terusmenerusakibatobstruksiakan menjalar ke daerah proksimal dan
dapatmenyebabkankembung. Distensi yang menyeluruh menyebabkan pembuluh darah
tertekan sehingga suplai darah berkurang (iskemik) dan menyebabkan nekrosis hingga
perforasi16,17.
Usaha usus untuk berperistaltik disaat adanya sumbatan menghasilkan nyeri kolik abdomen
dan penumpukan kuman dalam usus. Penumpukancairan, gas, dan makananakanmerangsang
timbulnyamuntah. Pada obstruksi usus dengan strangulasi, terdapat penjepitan yang
menyebabkan gangguan peredaran darah sehingga terjadi iskemia, nekrosis kemudian
gangren. Gangren ini kemudian menyebabkan tanda toksis yang terjadi pada sepsis yaitu
takikardia, syok septik dengan leukositosis17,18.
Pengaruh obstruksi kolon tidak sehebat pengaruh pada obstruksi usus halus karena pada
obstruksi kolon, kecuali pada volvulus, hampir tidak pernah terjadi strangulasi. Kolon
merupakan alat penyimpanan feses sehingga secara relatif fungsi kolon sebagai alat penyerap
sedikit sekali. Oleh karena itu kehilangan cairan dan elektrolit berjalan lambat pada obstruksi
kolon distal17,18.
11
Dinding usus halus kuat dan tebal, karena itu tidak timbul distensi berlebihan atau ruptur
sedangkan dinding usus besar tipis, sehingga mudah distensi. Dinding caecum merupakan
bagian kolon yang paling tipis, karena itu dapat terjadi ruptur bila terlalu tegang. Bila terjadi
ruptur maka akan timbul perforasi yang memperberat keadaan pasien18
2.2.4 Diagnosis
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada fase lanjut bising
usus dan peristaltik melemah sampai hilang.
obstruksi. Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi
usus halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon17.
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan obstruksi usus ditujukan untuk memperbaiki gangguan fisiologis yang
disebabkan oleh penyumbatan dan menghilangkan sumber penyumbatan. Hal pertama yang
dilakukan adalah resusitasi cairan intravena dengan cairan isotonik seperti NaCl 0,9 %.
Karena pada pasien ini diduga mengalami muntah. Penggunaan kateter kandung kemih untuk
memonitor output urin dengan ketat adalah persyaratan minimum untuk mengukur kecukupan
resusitasi20.
Antibiotik digunakan untuk mengobati dan mencegah pertumbuhan bakteri dalam usus dan
translokasi di dinding usus. Antibiotik yang dipilh untuk organisme gram negatif dan
anaerob20.
Selain itu pasien perlu dilakukan pemasangan sonde lambung, dipuasakan, serta dilakukan
tindakan bedah diperlukan bila terjadi strangulasi, obstruksi totalis, hernia inkarserata, dan
tidak ada perbaikan pada pengobatan konservatif. Pada umumnya dikenal 4 macam (cara)
tindakan bedah yang dikerjakan pada obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana
untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-
strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
14
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian usus
yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung usus
untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinomacolon,
invaginasi strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif bertahap, baik
oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca
sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi
usus dan anastomosis6.
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan keseimbangan elektrolit
dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang dapat menyebabkan peritonitis, sepsis, dan
kematian6.
2.3 Peritonitis
2.3.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptik pada
selaput organ perut (peritoneum). Peritonium merupakan selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Lokasi peritonitis dapat terlokalisir
atau difus dan riwayat akut maupun kronis. peritonitis juga salah satu penyebab tersering dari
akut abdomen yang merupakan suatu kegawatan abdomen. 22 Gawat abdomen dapat
disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya, ileus
obstruktif, iskemia, dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cedera langsung atau
tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.17
2.3.2 Klasifikasi dan Etiologi
a. Peritonitis Primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga
peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) yang banyak terjadi pada sirosis hepatis dengan asites, nefrosis, SLE,
bronkopnemonia dan TBC paru, dan pyelonefritis. Biasanya disebabkan oleh kuman
Streptokokus.8
b. Peritonitis Sekunder
15
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi traktus gastrointestinal
atau traktus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis
yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini.
Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob
dalam menimbulkan infeksi.8
Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti:
Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar, lien,
kehamilan extra tuba yang pecah
Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah, ruptur buli dan
ginjal.
Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum
peritoneal. 8
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus
yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. 9
2.3.4 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga
abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,
perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia
serta tingkat kesehatan penderita secara umum.21
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal
peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri
abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada
cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum
parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi,
berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat
menjadi syok.21
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit
dengan pemeriksaan fisik.Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel
darah dan urinalisis.Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari
20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat
infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya.13
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh
polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak
menunjukkan peningkatan yang nyata. Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan
darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan.13
Pemeriksaan juga dapat dilakukan pada cairan peritoneal dengan menggunakan
Diagnostic Peritoneal Lavage. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung
banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi
dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan
granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat.13
18
Gambar 2.8 Foto Polos Thorax dengan Gambaran Udara dibawah Diafragma
Foto polos abdomen pada peritonitis dapat dilakukan dalam 3 posisi Pada dugaan
perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda
utama radiologi adalah:
Posisi tidur (Supine), didapatkan preperitoneal fat menghilang, psoas line menghilang, dan
kekaburan pada cavum abdomen
19
Posisi duduk atau berdiri (semi erect), di dapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan
sabit ( semilunar shadow).
Posisi LLD, didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut yang paling tinggi.
Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding
abdomen.21
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos
abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG.
Gambar 2.9 Foto Polos LLD Peritonitis, Tampak Udara pada Daerah Perut Paling
Tinggi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi yang dikira.
Tujuannya untuk :
- menghilangkan kausa peritonitis
- mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang mengalami inflamasi atau
ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami perforasi).
- Peritoneal lavage
Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Re-laparotomi mempunyai
peran yang penting pada penanganan pasien dengan peritonitis sekunder, dimana setelah
laparotomi primer ber-efek memburuk atau timbul sepsis. Re-operasi dapat dilakukan sesuai
kebutuhan. Relaparotomi yang terencana biasanya dibuat dengan membuka dinding abdomen
dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah eviserasi. 13
Laparoskopi
Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam absorbsi
karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami inflamasi, belum dapat
dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan appendicitis akut dan perforasi ulkus
duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada kasus perforasi kolon, tetapi angka konversi ke
laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi pada laparoskopi.13
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan
antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat
memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan secara
parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek
tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan
aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok
obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua
cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme
pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri.13
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal
dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan
tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara
luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak
dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.
23
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase
diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.13
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a. Komplikasi dini
Septikemia dan syok septik
Syok hipovolemik
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi
sistem
Abses residual intraperitoneal
b. Komplikasi lanjut
Adhesi (perlengketan)
Obstruksi intestinal rekuren.21
2.3.9 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,
keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan
awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau
apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien
yang terdiagnosis lebih awal.21
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ileus merupakan suatu keadaan gagalnya pasase usus akibat gangguan peristaltik
yang terhenti atau tehambat/obstruksi. Ilus dibagi menajdi dua yaitu ileus paralitik dan
ileus obstruktif. Ileus paralitik adalah ganguan pasase usus akibat paralisis sistem saraf
autonomy yang berfungsi untuk kontraksi otot polos usus yaitu saraf parasimpatis dan
traktivasinya saraf simpatis. Pemeriksaan radiologi pada ileus paralititk akan
menunjukkan adanya dilatasi usus secara menyeluruh dari gaster sampai
rektumdengangambaranair fluid level yang segaris. Ileus obstruksi merupakan
penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena adanya daya mekanik yang
bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan penyumbatan lumen
usus. Pemeriksaan radiologi pada ileus obstruktif akan tampak dilatasi usus di
proksimal sumbatan dan kolaps usus di bagian distal sumbatan, tampakherring bone
sign, soil spring sign, dan air fluid level yang berbentukstep ladder.
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptik
pada selaput organ perut (peritoneum).berdasarkan penyebabnya, peritonitis
diklasifikasikan menjadi peritonitis primer, sekunder, dan tersier. Gejala klinis yang
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita
Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
2. Hamami, AH., Pieter, J., Riwanto, I., Tjambolang, T., dan Ahmadsyah, I. Usus Halus,
apendiks, kolon, dan anorektum. 2014. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor:
Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC.
3. Warsiningsih, 2016. Peritonitis dan Ileus. Bahan Ajar. FK UNHAS, Makasar
13. Schwartz, Shires, Spencer. 2006.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493
14. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah, Ed.7, alih
bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
15. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita
Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta
16. David A lisle. 2005.Imaginingfor student : Gastrointestinal System. 2nd edition, New
York : Oxford University press inc.
27
17. Samsuhidajat, R.; Dahlan, Murnizat; Jusi, Djang. 2017. Gawat Abdomen. Dalam Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi 4. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC
18. Djumhana, Ali. 2001. Buku Ajaran Penyakit Dalam,jilid II. Edisi III. Depaertemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UKI. Jakarta
20. Patrick G. Jackson, MD, and Manish Raiji, MD, 2011. Evaluation and Management of
Intestinal Obstruction.Am Fam Physician. 2011 Jan 15;83(2):159-165.
21. Doherty, G.M., Current Diagnosis & Treatment. 2010, USA : McGraw Hill Company.
22. Japanese, A., Zahari, A., Rusjdi, SR. Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis Akut
di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016.