Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

HIRSCHSPRUNG DISEASE

PAPER

Oleh :
Tasya Noer Chaerunisa
20360126

Pembimbing :
dr. Yusril Leman, Sp. B, FINACS

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan
Paper ini dengan judul “Hirschsprung disease”. Penyelesaian Paper ini banyak bantuan
dari berbagai pihak, oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terimakasih yang sangat tulus kepada dr. Yusril Leman, Sp. B, FINACS selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan kesempatan
untuk menyelesaikan paper ini. Penulis menyadari bahwa Paper ini tentu tidak lepas
dari kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan penulis. Maka
sangat diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga paper ini dapat
memberikan manfaat.

Medan,17 November 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi ............................................................................................. 6
2.2 Definisi Hisprung ................................................................................ 8
2.3 Etiologi................................................................................................ 8
2.4 Patogenesis......................................................................................... 9
2.5 Epidemiologi....................................................................................... 9
2.6 Diagnosis............................................................................................. 10
2.7 Manifestasi klinis................................................................................ 10
2.8 Diagnosis Banding............................................................................... 16
2.9 Penatalaksanaan................................................................................. 16
2.10 Komplikasi........................................................................................... 18
2.11 Prognosis............................................................................................ 19

BAB III KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan......................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan

inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang

usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum.

Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus

proksimal ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75%

penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai

pilorus. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun

patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana

Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini

disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion.

Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling

sering pada neonatus, dengan insidens keseluruhan 1:5000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih

banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidens pada kasus-

kasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6%. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit

Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RS Cipto Mangunkusomo Jakarta. Data

Penyakit Hirschprung di Indonesia belum ada. Bila benar insidensnya 1 dari 5.000 kelahiran,

maka dengan jumlah penduduk di Indonesia sekitar 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil,

diperkirakan akan lahir 1400 bayi lahir dengan Penyakit Hirschsprung.

Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan dengan berat

lahir ≥ 3 kg (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat

mengeluarkan tinja. Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah pengeluaran
4
mekonium yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau, dan perut

membuncit keseluruhan.

Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin mengingat

berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa pasien seperti

enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan septikimia yang dapat

menyebabkan kematian. Enterokolitis merupakan komplikasi yang amat berbahaya sehingga

mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak ditangani dengan sempurna. Diagnosis penyakit

ini dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen dengan

enema barium, pemeriksaan manometri, serta pemeriksaan patologi anatomi.

Penatalaksanaan Penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non bedah dan tindakan

bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-komplikasi yang

mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi

defenitif dapat dikerjakan. Tindakan bedah pada penyakit ini terdiri dari tindakan bedah

sementara yang bertujuan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada

kolon yang mempunyai ganglion normal di bagian distal dan tindakan bedah definitif yang

dilakukan antara lain menggunakan prosedur Duhamel, Swenson, Soave, dan Rehbein. 1 Dari

sekian banyak sarana penunjang diagnostik, maka diharapkan pada klinisi untuk segera

mengetahui gejala dan tanda pada penyakit Hirschsprung. Karena penemuan dan penanganan

yang cepat dan tepat dapat mengurangi insidensi Penyakit Hirschsprung di dunia, khususnya

di Indonesia.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3

bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal

terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum

reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior.

Gambar . Rektum dan saluran anal (anal canal).

Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu

masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan

internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna

terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan.

6
Gambar . Pleksus autonomik intrinsik pada usus.

Fungsi Saluran Anal

Pubo-rektal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas penutupan

saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan menimbulkan regangan pada

sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus )

maka diperlukan kontraksi spinkter eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and

sling dapat membedakan antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta dapat

mengeluarkan salah satu tanpa mengeluarkan yang lain.

Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat. Kontinensia adalah

kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada waktu dan tempat yang diinginkan.

Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4

tahapan:

 Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke rektum,

seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks

gastrokolik.
7
 Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex, yakni upaya

anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna secara involunter.

 Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter. Relaksasi

yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat kegagalan kontraksi

spinkter itu sendiri.

Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara volunter

dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga defekasi dapat terjadi.

2.2 Definisi Penyakit Hisprung

Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan

inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang

usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum.

Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus

proksimal ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75%

penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai

pilorus.

2.3 Etiologi

Penyakit Hirschsprung terjadi karena tidak ada pleksus mienterikus Auerbach dan

submukosa Meissener pada rektum dan atau kolon. Neuron enterik berasal dari neural crest

dan bermigrasi secara kaudal bersama dengan serat saraf vagus di sepanjang usus. Sel-sel

ganglion tiba di kolon proksimal pada 8 minggu usia kehamilan dan pada rektum pada 12

minggu usia kehamilan. Kegagalan migrasi neuron enterik pada kolon dan atau rektum ini

akan membentuk segmen aganglionik. Hal ini mengakibatkan penyakit Hirschsprung klinis.

8
2.4 Patogenesis

Perengangan kolon sampai garis tengahnya lebih dari 6 atau 7 cm (megakolon) dapat

terjadi sebagai gangguan kongenital atau didapat. Penyakit Hirschsprung (megakolon

kongenital) terjadi bila, saat perkembangan, migrasi sel yang berasal dari neural crest ke

arah kaudal di sepanjang saluran cerna terhenti di suatu titik sebelum mencapai anus. Oleh

karena itu, terbentuk suatu segmen aganglionik yang tidak memiliki pleksus submukosa

Meissener dan pleksus mienterikus Auerbach. Hal ini menyebabkan obstruksi fugsional dan

peregangan progresif daripada kolon yang terletak proksimal dari segmen yang terkena. Pada

sebagian besar kasus, hanya rektum dan sigmoid yang aganglionik, tetapi pada sekitar

seperlima kasus yang terkena adalah segmen yang lebih panjang, dan bahkan keseluruhan

kolon (walaupun jarang). Secara genetis, penyakit Hirschsprung ini bersifat heterogen, dan

diketahui terdapat beberapa defek berlainan yang menimbulkan akibat yang sama. Sekitar

50% kasus terjadi akibat mutasi di gen RET dan ligan RET, karena merupakan jalur sinyal

yang diperlukan untuk membentuk pleksus saraf mienterikus. Banyak kasus sisanya terjadi

akibat mutasi di endotelin 3 dan reseptor endotelin.

2.5 Epidemiologi

Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara

5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35

permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung.

Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke

RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta.

Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.

Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini

(ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan

9
bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka

yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya

saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks

vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus).

2.6 Diagnosis

Berbagai teknologi tersedia untuk menegakan diagnosis penyakit Hirschsprung.

Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti,

pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rectum, diagnosis

penyakit Hirschsprung pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan.

2.7 Menifestasi Klinis

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia, dan

gejala klinis yang mulai terlihat pada :

(i). Periode Neonatal

Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada neonatus cukup

bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang

terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih

dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Pada lebih dari 90% bayi

normal, mekonium pertama keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada lebih dari 90%

kasus penyakit Hirschsprung mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna

hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup. Swenson (1973) mencatat

angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus sedangkan Kartono mencatat angka 93,5%

untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi

abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Distensi

abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan oleh

10
kelainan lain, seperti atresia ileum dan lain-lain. Muntah yang berwarna hijau disebabkan

oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain dengan gangguan pasase usus,

seperti pada atresia ileum, enterokolitis netrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine.

Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung,

dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis. Sedangkan

enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit

Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia

2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea,

distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3

kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi

meski telah dilakukan kolostomi.

(ii). Anak

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan

gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen.

Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot,

konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak

teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.

Anamnesis

a. Muntah hijau

b. mekonium terlambat keluar lebih dari 24 jam

c. distensi abdomen

d. tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam

11
e. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi

semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.

f. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa,

misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2 minggu dengan riwayat

tidak dapat defekasi

apabila pada masa neonates tidak ditemukan gejala akan bertambah berat dengan

bertambahnya usia pada masa anak-anak dengan gejala :

a. kontsipasi berat

b. pertumbuhan terhambat

c. anoreksia

d. berat badan tidak bertambah

diagnosis akhir dibutuhkan pemeriksaan patologi anatomi dari biopsy rectal yang ditemukan

aganglionik.

Pemeriksaan Fisik

a. Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi

b. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan

menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak

sudah kempes lagi

12
Pemeriksaan Penunjang

Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit

Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak

rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.

Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah

barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:

1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi.

2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi.

3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit

Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48

jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium

yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan

Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di

daerah rektum dan sigmoid.

Biopsy Rectal

 Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah dengan biopsy

rectal full-thickness.

 Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata karena

aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat tersebut.

 Kekurangan pemeriksaan ini yaitu kemungkinan terjadinya perdarahan dan

pembentukan jaringan parut dan penggunaan anastesia umum selama prosedur ini

dilakukan.
13
Simple Suction Rectal Biopsy

 Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik mengambil

jaringan untuk pemeriksaan histologist

 Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau silinder khusus

memotong jaringan yang diinginkan.

Manometri Anorektal

 Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internal sphincter setelah

distensi lumen rektal. Refleks inhibitorik normal ini diperkirakan tidak ditemukan

pada pasien penyakit Hirschsprung.

 Swenson pertama kali menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960, dilakukan

perbaikan akan tetapi kurang disukai karena memiliki banyak keterbatasan. Status

fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali penting. Hasil positif palsu yang

telah dilaporkan mencapai 62% kasus, dan negatif palsu dilaporkan sebanyak 24%

dari kasus.

 Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang dipertanyakan, manometri anorektal

jarang digunakan di Amerika Serikat

 Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan mudah dilakukan diatas tempat

tidur pasien.

 Akan tetapi, menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung secara patologis dari

sampel yang diambil dengan simple suction rectal biopsy lebih sulit dibandingkan

pada jaringan yang diambil dengan teknik full-thickness biopsy

14
 Kemudahan mendiagnosis telah diperbaharui dengan penggunaan pewarnaan

asetilkolinesterase, yang secara cepat mewarnai serat saraf yang hipertropi sepanjang

lamina propria dan muskularis propria pada jaringan.

Penemuan Histologis

Baik pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak

ditemukan pada lapisan muskuler dinding usus. Serat saraf yang mengalami hipertropi yang

terlihat dengan pewarnaan asetilkolinesterase juga ditemukan sepanjang lamina propria dan

muskularis propria. Sekarang ini telah terdapat pemeriksaan imunohistokimia dengan

calretinin yang juga telah digunakan untuk pemeriksaan histologis usus aganglionik, dan

terdapat penelitian yang telah menyimpulkan bahwa pemeriksaan ini kemungkinan lebih

akurat dibandingkan asetilkolinesterase dalam mendeteksi aganglionosis.

2.8 Diagnosis Banding.

Kegagalan bayi cukup bulan yang sihat mengeluarkan mekonium pada waktu 24 jam

pertama setelah lahir dapat dicurigai adanya obstruksi pada usus bayi tersebut. Diagnosis

banding untuk obtsruksi usus besar adalah seperti penyakit Hirschprung sendiri dan beberapa

penyakit lain seperti malformasi anorektal dan Meconium Plug syndrome. Untuk

membedakan ketiga jenis penyakit ini, maka harus dilakukan pemeriksaan radiologi yang

tepat. Pada foto polos penderita dengan kelainan Meconium Plug syndrome, tampak distensi

daripada bagian usus kecil dan usus besar yang mengisi seluruh bagian abdomen, namun

tidak terlihat air fluid level. Sementara pada pemeriksaan barium enema, akan tampak

gambaran meconium plug. Pemeriksaan ini dikatakan memiliki efek terapeutik apabila

mekonium keluar dengan sendirinya setelah beberapa waktu kemudian. Pada sebagian bayi,

stimulasi pada bagian rektum dengan menggunakan termometer rektal, pemeriksaan rectal

touché, dan pemberian saline enema biasanya akan menginduksi keluarnya mekonium

15
terebut. Bagaimanapun, bayi dengan kelainan organik seperti penyakit Hirschsprung ini juga

terkadang akan mengeluarkan meconium plug dan selanjutnya akan menjadi normal untuk

sementara. Oleh karena ini, harus dilakukan observasi secara terus menerus untuk bayi yang

meskipun telah mengeluarkan meconium plug mereka. Apabila gejala obstruksi menetap,

maka pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan.

2.9 Penatalaksanaan

Pengobatan medis

Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:

1. Penanganan komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi,

Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan elektrolit,

menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi sistemik, seperti sepsis. Maka

dari itu, hidrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian

antibiotik intravena memiliki peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.

2. Penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan,

Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube berlubang

besar dan cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah terjadinya ketidak seimbangan

elektrolit. Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotik prophylaksis telah menjadi

prosedur untuk mengurangi resiko terjadinya enterocolitis

16
3. untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi. Injeksi BOTOX pada

sphincter interna terbukti memicu pola pergerakan usus yang normal pada pasien post-

operatif.

Tindakan bedah

Beberapa prosedur definitif telah digunakan, kesemuanya telah memberikan hasil yang

sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3 jenis teknik yang sering

digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave. Apapun teknik yang dilakukan,

membersihan kolon sebelum operasi definitif sangat penting.

1. Prosedur Swenson

 Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan untuk

menangani penyakit Hirschsprung

 Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian anastomosis oblique

dilakukan antara kolon normal dengan rektum bagian distal

2. Prosedur Duhamel

 Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi

prosedur Swenson

 Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa bagian rektum

yang aganglionik dipertahankan.

 Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum dijahit. Usus bagian

proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal (diantara rektum dan sakrum),

kemudian end-to-side anastomosis dilakukan pada rektum yang tersisa

17
3. Prosedur Soave

 Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang mukosa

dan submukosa dari rektum dan menarik usus ganglionik ke arah ujung muskuler

rektum aganglionik.

 Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari

pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang aganglionik.

Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan membuat anastomosis primer

pada anus.

2.10 Komplikasi

1. Enterokolitis

Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat berakibat kematian.

Mekanisme timbulnya enterokolitis karena adanya obstruksi parsial. Obstruksi usus

pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganglionik

yang tersisa masih spastic. Manifestasi klinik dari enterokolitis berupa distensi

abdomen diikuti tanda obstruksi seperti; muntah hijau, feses keluar secara eksplosif

cair dan berbau busuk. Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi parah yang

dapat menyebabkan nekrosis dan perforasi

2. Kebocoran Anastomose

Kebocoran dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose,

vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan

abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang

dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Terjadi peningkatan suhu tubuh terdapat

infiltrat atau abses rongga pelvis.

18
3. Stenosis

Stenosis dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka di daerah anastomse,

infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang

dipergunakan. Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi, distensi

abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.

2.11 Prognosis
Secara umum prognosis baik. 90% pasien yang segera dilakukan tindakan

pembedahan akan mengalami penyembuhan

19
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
1. Penyakit Hirschprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang ditandai dengan

tidak danya sel ganglion (aganglionik) parasimpatik pada pleksus mesentrikus

aurbach dan pleksus submukosa meissner mengaikbatkan terhambatnya gerakan

peristaltik sehingga terjadi obstruksi fungsional dan hipertrofi serta dilatasi dari

kolon proksimal.

2. Gejala klinis pada masa neonatus berupa pengeluaran mekonium yang terlambat,

muntah hijau, distensi abdomen. Sedangkan pada masa anak-anak berupa konstipasi

berat dan kurang asupan gizi.

3. Pemeriksaan penunjang radiologi foto polos abdomen dan barium enema penting

dalam mengeakkan diagnosis berupa gambaran kolon yang mengalami dilatasi serta

pemeriksaan biopsy rectal yang ditemukan secara histology tidak ditemukannya sel-

sel ganglion (aganglionik).

4. Penatalaksanaan berupa tindakan pengobatan dan pembedahan dengan membuang

bagian kolon yang aganglion dengan beberapa prosedur yaitu Swenson, Duhamel,

soave

5. Komplikasi penyakit hisrschprung yang paling berat adalah enetrokolitis, diikuti

dengan kebocoran anastomose, stenosis.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Budi Irawan , Bab 1 dan Bab 2 dalam; Pengamatan fungsi anorektal pada penderita

penyakit Hirschprung pasca operasi pull- through .Bagian ilmu bedah fakultas kedokteran

Universitas Sumatera Utara 2003. Halaman 1,3,4,5,6,7,8,9,10,11 dan 15.

2. Samuel Nurko MD, MPH, Hirschprung Disease dalam; American Motility Society

(AMS) and the International Foundation For Functional Gastrointestinal Disorders

(IFFGD)

3. Hye Jin Kim, MD, Ah Young Kim,MD, Choong Wok Lee, MD, Chang Sik Yu, MD,Jung

Sun Kim, MD, Pyo Nyun Kim,MD, Moon Cayu Lee, MD and Hyun Kwon Ha, MD

.Hirschprung Disease and Hypoaganglionosis In Adults. May 2008.

4. Kumar Abbas, and Fausto Mitchell, Chapter 15, Developmental Anomalies dalam Robin

Pathologic Basis of Disease 8th Edition 2005. Halaman 601.

5. Puri and M.Hollwarth dalam ; Pediatric Surgery. Springer-Verby Berlin 2006. Halaman

275.

6. Frank H. Netter, MD ;Atlas of Netter 4th Edition 2006. Plate 312, Plate 369, plate 371,

dan plate 386

7. Holly L Neville, MD; Chief Editor: Carmen Cuffari, MD. Penyakit Hirschprung

Pediatric, updated on Jul 13, 2010.. Diundah www.emedicine.com

8. Pediatric Surgical Problem, Chapter 18.Colon and Rectal Surgery.Marwin L.Corman.

Edisi ke 5. Lippincott Williams and Wilkins 2005. Halaman 559 dan 560.

9. Pediatric Radiology , Chapter 52 ,Pediatric Abdomen and PelvisFundamentals of

Diagnostic Radiology dalam 3rd Edition ditulis oleh William E. Brant MD, FACR dan

Clyde A. Helms MD. Halaman 1293.

21
10. Ciro Yoshida, Jr, MD ; Hirschprung Disease Imaging, dalam Medscape Referrence, Drug.

Disease and Procedure updated on May 25,2011. Diundah dari www.emedicine.

medscape.com

11. Teresa Berrocal, MD, Manuel Lamas, MD, Julia Gutierrez, MD, Isabel Torres, MD,

Consuelo Prieto, MD, and Maria Luisa del Hoyo, MD. Congenital anomalies of the small

intestine, colon, and rectum. Diundah dari Radiographics.rsna.org. September 1999.

12. Alberto Pena dan Marc A Levitt, Surgical Therapy of Hirschprung Disease dalam

Constipation Etiology, Evaluation and Management. Ditulis oleh; Steven Wexner dan

Graeme S. Duthie. Springer- Verlag London Limited 2006. Pediatric Surgical Problem

Chapter 18 dalam Colon and Rectal Surgery ditulis oleh Marwin L.Corman. Edisi ke 5.

Lippincott Williams and Wilkins 2005.

13. Penatalaksanaan Pasien dengan penyakit Hirschprung, diundah di

www.infokedokteran.com.

14. Vera Loening-Baucke ,MD and Ken Kimura,MD, Failur to Pass meconium: Diagnosing

Neonatal Intestinal Obstruction 1999, diundah dari website www.American Family

Physician.com

15. Megacolon Kongenital/Hirschprung Disease , 2010 diundah dari website

www.infokedokteran UGM.com.

16. Alpha Fardah A, IG.M Reza Gunadi Ranuin Sulajanto Marto Sudarno, Penyakit

Hirschprung , 2011 diundah dari www.pediatric.com.

17. Jon A. Vanderhoof And Rosemary J. Young, Chapter 130, Hirschprung Disease dalam

Current Pedaitric Therapy 18th Edition. Saundey 2006.

22

Anda mungkin juga menyukai