Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
Di Ajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak
Sakit Kronis Dan Terminal
Dosen pembimbing : Zakiyah Yasin, S.Kep., NS., M.Kep

Disusun Oleh :
Imam Hanafi 719621296

PRODI KEPERAWATAN
FAKUKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WIRARAJA
TAHUN PELAJARAN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat dan rahmatNYA, saya dapat menyelesaikan Makalah ini tepat pada
waktunya. Adapun judul dari makalah adalah ASUHAN KEPERAWATAN
PADA ANAK DENGAN PENYAKIT HIRSCHPRUNG. Dalam
penyusunannya, saya mendapatkan berbagai halangan dan rintangan. Namun,
berkat bantuan dari berbagai pihak, terutama Dosen pembimbing, maka halangan
dan rintangan itu bisa saya atasi dan akhirnya tugas mengenai makalah ini dapat
saya selesaikan.
Penyusunan tugas ini bertujuan untuk memenuhi kriteria penilaian dalam
perkuliahan karena makalah ini sangat berhubungan dengan profesi kami dibidang
keperawatan. Untuk itu, makalah ini disusun untuk dipelajari demi tuntutan
pendidikan.

Sumenep, 27 September 2021


Penulis

Imam Hanafi

2
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Penyakit Hirschprung yang juga dikenal sebagai megakolon aganglionik,
adalah penyakit kongenital yang ditandai tidak adanya sel-sel ganglion
parasimpatik pada sebagian kolon (dan kadang-kadang pada ileum). Keadaan
aganglionosis ini mengakibatkan kurangnya peristaltis pada segmen usus yang
terkena, yang biasanya menyebabkan obstruksi dan kesulitan atau
ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses.
Penyakit Hirschsprung empat kali lebih sering mengenai bayi atau anak
laki-laki daripada perempuan, mengikuti pola familial pada sejumlah kecil
kasus dan cukup sering dijumpai di antara anak-anak yang menderita sindrom
Down.
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti tetapi berkisar
1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta
dan tingkat kelahiran 35 per mil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien
penyakit Hirschsprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUP Cipto Mangun
Kusumo Jakarta. (Kartono, 2004).
Insidensi penyakit Hirschsprung bervariasi sesuai dengan kelompok-
kelompok suku, seperti pada Hispanic 1:10000, Amerika-Kaukasian
1,5:10000, Afro-Amerika 2,1:10000, dan Asia 2,8:10000. Laki-laki lebih
sering terkena dibandingkan perempuan dengan rasio 4:1 (Amiel et al, 2008).
Di Indonesia diperkirakan lahir 1200 bayi dengan Hirschsprung diseases
setiap tahun. Selain itu, jumlah pasien Hirschsprung disease di Banda Aceh
pada tahun 2011 didapatkan pasien sebanyak 76 orang dengan persentase laki-
laki sekitar 73,08% dan perempuan 26,92% (Nasrizani dan Muntadhar, 2012).
Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2010-September
2014 ada sekitar 45 kasus pasien dengan diagnosis Hirschsprung (Elfianto et
al, 2014).

3
1.2. TUJUAN
Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada anak dengan
penyakit Hirschsprung.
1.3. RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit Hirschsprung?

4
BAB II
KONSEP TEORI MEDIS
2.1. DEFINISI
Penyakit Hirschsprung (megakolon aganglionik konginetal) merupakan
obstruksi mekanis yang disebabkan oleh ketidakadekuatan motilitas bagian
usus (Wong, 1997). Penyakit hirschprung yang juga dikenal sebagai
megakolon aganglionik, adalah penyakit kongenital yang ditandai tidak
adanya sel-sel ganglion parasimpatik pada sebagian kolon (dan kadang-
kadang pada ileum). Keadaan aganglionosis ini mengakibatkan kurangnya
peristaltis pada segmen usus yang terkena, yang biasanya menyebabkan
obstruksi dan kesulitan atau ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses.
(Speer, Kathleen Morgan. 2008).
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit
Hirschsprung adalah obstruksi mekanis yang disebabkan oleh
ketidakadekuatan motilitas bagian usus yang ditandai tidak adanya sel-sel
ganglion parasimpatik pada sebagian kolon.

2.2. ETIOLOGI
Etiologi penyakit Hirschsprung belum dipahami sepenuhnya, namun ada
beberapa penyebab yang biasanya terjadi, antara lain :
1. Sering terjadi pada anak dengan Down Syndrome.
2. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
ekstensi kraniokaudal pada myentrik dan submukosa dinding pleksus.
Penyebab Hirschsprung masih belum jelas namun diduga Hirschsprung
terjadi karena kegagalan sel-sel krista neuralis untuk bermigrasi ke dalam
dinding suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon dan rektum.
Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut,
sehingga menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses
dalam lumen terlambat serta dapat menimbulkan terjadinya distensi dan
penebalan dinding kolon di bagian proksimal sehingga timbul gejala obstruktif
usus akut, atau kronik tergantung panjang usus yang mengalami aganglion.

5
2.3. MANIFESTASI
2.3.1 PERIODE BBL
- Kegagalan untuk mengeluarkan mekonium dalam waktu 24 jam
hingga 48 jam sejak lahir.
- Keengganan untuk mengkonsumsi cairan.
- Muntah yang bernoda empedu.
- Distensi abdomen.
2.3.2 BAYI
- Kegagalan tumbuh kembang.
- Konstipasi.
- Distensi abdomen.
- Episode diare dan vomitus.
- Tanda-tanda yang mengancam (yang sering menandai adanya
enterokolitis).
a. Diare yang menyerupai air dan menyemprot.
b. Demam.
c. Keadaan umum yang buruk
2.3.3 ANAK-ANAK
- Konstipasi.
- Feses mirip tambang dan berbau busuk.
- Distensi abdomen.
- Terkadang, terdapat gerakan peristaltis usus yang terlihat.
- Massa feses yang mudah teraba.
- Anak biasanya tampak malnutrisi yang anemik. (gejala pada
anak biasanya lebih kronis).
2.4. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dapat dicerna dapat berjalan
di sepanjang usus karena adanya kondisi ritmis dari otot-otot yang melapisi
usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakkan peristaltik). Kontraksi otot-otot
tersebut dirangsang oleh sekumpulan sarafyang disebut ganglion, yang
terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit hirschprung ganglion atau
pleksus yang memerintah gerakkan peristaltik tidak ada, biasanya hanya

6
sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan
peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna sehingga terjadi
penyumbatan. (Dasgupta dalam Arief, 2004).
Dengan kondisi tidak adanya ganglion, maka akan memberikan
manifestasi gangguan atau tidak adanya peristaltik sehingga akan terjadi tidak
adanya evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter rektum tidak dapat
berelaksasi secara optimal, kondisi ini dapat mencegah keluarnya feses secara
normal. Isi usus kemudian terdorong ke segmen aganglionik dan terjadi
akumulasifeses di daerah tersebut sehingga memberikan manifestasi dilatasi
usus pada bagian proksimal.
Kondisi penyakit hirschprung memberikan berbagai masalah keperawatan
pada pasien dan memberikan implikasi pada pemberian asuhan keperawatan.

2.5. PENATALAKSANAAN
Terapi utama penyakit Hirschsprung adalah pembedahan untuk
mengangkat bagian usus yang aganglionik agar obstruksi usus dapat
dihilangkan dan motilitas usus serta fungsi sfingter ani interna dapat
dipulihkan kembali. Pada sebagian besar kasus, pembedahan dilakukan dalam
dua tahap.
Pertama, pembedahan membuat ostomi temporer di sebelah proksimal
segmen yang aganglionik untuk menghilangkan obstruksi dan memungkinkan
pemulihan usus yang enervasinya normal serta mengalami dilatasi itu kembali
kepada ukurannya yang normal.
Kedua, pembedahan korektif total biasanya dilakukan ketika berat badan
ketika berat badan anak mencapai kurang lebih 9 kg. Ada beberapa prosedur
pembedahan yang dapat dikerjakan dan prosedur tersebut meliputi prosedur
Swenson, Duhamel, Boley serta Soave. Prosedur pull-through endorektal
Soave, yang merupakan salah satu prosedur yang paling sering dilakukan,
terdiri atas tindakan menarik ujung usus yang normal lewat sleeve muskuler
rektum dan dari situ bagian mukosa aganglionik dibuang. Ostomi biasanya
ditutup pada saat dilakukan prosedur pull-through.
Prognosis. Sebagian besar anak yang menderita penyakit Hirschsprung

7
memerlukan tindakan pembedahan dan bukan terapi medis. Setelah keadaan
umum pasien dibuat stabil dengan pemberian infus cairan dan elektrolit jika
diperlukan, operasi kolostomi temporer dikerjakan dan operasi ini memiliki
angka keberhasilan yang tinggi. Sesudah pelaksanaan operasi pull-through
yang dilakukan kemudian, striktur ani dan inkontinensia merupakan
komplikasi yang potensial terjadi dan memerlukan tindakan lebih lanjut,
meliputi terapi dilatasi atau bowel-retraining.
Penelitian yang dilakukan di Irlandia, mayoritas pasien mengalami
komplikasi enterokolitis berlanjut pada gangguan fungsi usus beberapa tahun
kemudian (Menezes dan Puri, 2006). Selain itu, pada tahun 2010 di kota yang
sama, pasien memiliki fungsi usus normal pasca tindakan operasi pull-through
(Doodnath dan Puri, 2010). Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit
Universitas Zagazig, outcome jangka pendek dan panjang pasca operasi
transanal pull- through terbilang baik. Namun, follow-up jangka panjang
dibutuhkan untuk mengetahui dan mengobati komplikasi dan disfungsi usus.
Enterokolitis yang didapatkan sebelum operasi mennigkatkan insiden pasca
operasi seperti diare, enterokolitis dan ekskoriasi perineum (Saleh et al, 2009).

2.6. PENGOBATAN
Ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk memastikan penyebab
gejala seperti foto rontgen atau biopsi untuk melihat kondisi usus pada anak.
Setelah penyakit hirschsprung dipastikan menjadi penyebab gejala pada anak
ada beberapa pengobatan yang bisa dilakukan, seperti:
1. Prosedur Penarikan Usus
Dokter membuang bagian usus besar yang tidak memiliki saraf dan
menarik usus yang sehat langsung menuju anus.
2. Ostomi
Prosedur ini berjalan sebanyak 2 tahap. Pertama tindakan operasi
untuk membuang bagian usus yang tidak bersaraf dan mengarahkan usus
yang sehat pada lubang baru di bagian perut untuk mengeluarkan feses.
Setelah pasien stabil, biasanya tahap kedua dilakukan dengan menutup

8
lubang di perut dan menyambungnya usus yang sehat langsung menuju
anus.
Lakukan pengobatan secara tepat ketika diagnosis hirschsprung pada
anak sudah ditentukan menjadi penyebab pada gangguan kesehatan anak
misal:
 Antibiotik sistemik diberikan dengan enema untuk mengurangi flora
intestinal.
 Pelunak feses diberikan untuk mengatasi konstipasi.

9
BAB III

KONSEP TEORI KEPERAWATAN

3.1. ASUHAN KEPERAWATAN


3.1.1. Pengkajian
a. Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis
kelamin, agama, alamat, tanggal pengkajian, pemberi
informasi.
b. Keluhan utama
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu
pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung
misalnya, sulit BAB, distensi abdomen, kembung, muntah.
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24
jam setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau
fekal. Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan
tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut.
c. Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi,
riwayat kehamilan, persalinan dan kelahiran, riwayat alergi,
imunisasi.
d. Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan
anak.
e. Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita
apakah ada perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien
mengekspresikannya.
f. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga
yang lain yang menderita Hirschsprung.
g. Riwayat social
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya
dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.
h. Riwayat tumbuh kembang

10
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah
BAB.
i. Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.
3.1.2. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
a. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan
spastis usus dan tidak adanya daya dorong.
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang inadekuat.
c. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
d. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi
abdomen.
Post operasi
a. Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan
pembedahan
b. Nyeri b/d insisi pembedahan.
c. Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan
dan perawatan kolostomi.
3.1.3. Intervensi
Pre operasi
a. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan
spastis usus dan tidak adanya daya dorong.
Tujuan : klien tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan
kriteria defekasi normal, tidak distensi abdomen.
Intervensi :
1) Monitor cairan yang keluar dari kolostomi.
Rasional : Mengetahui warna dan konsistensi feses dan
menentukan rencana selanjutnya.
2) Pantau jumlah cairan kolostomi.
Rasional : Jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan
untuk penggantian cairan.

11
3) Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi.
Rasional : Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola
defekasi terganggu.
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang inadekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat
mentoleransi diet sesuai kebutuhan secara parenteal atau per
oral.
Intervensi :
1) Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
2) Pantau pemasukan makanan selama perawatan.
Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan
1300-3400 kalori.
3) Pantau atau timbang berat badan.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan
c. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria
tidak mengalami dehidrasi, turgor kulit normal.
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda dehidrasi.
Rasional : Mengetahui kondisi dan menentukan langkah
selanjutnya.
2) Monitor cairan yang masuk dan keluar.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh.
3) Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan.
Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi.
d. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi
abdomen.
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria
tenang, tidak menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur.
Intervensi :

12
1) Kaji terhadap tanda nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah
selanjutnya.
2) Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus,
ketenangan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa
nyeri.
3) Kolaborsi dengan dokter pemberian obat analgesik sesuai
program.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya
pada sistem saraf pusat.

 Post operasi

a. Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan


pembedahan

Tujuan : memberikan perawatan perbaikan kulit setelah


dilakukan operasi.

1) kaji insisi pembedahan, bengkak dan drainage.

2) Berikan perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.

3) Oleskan krim jika perlu.

b. Nyeri b/d insisi pembedahan

Tujuan :Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria


tenang, tidak menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur.

1) Observasi dan monitoring tanda skala nyeri.

Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah


selanjutnya.

2) Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti teknik pijat


punggung dansentuhan.

13
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
3) Kolaborasi dalam pemberian analgetik apabila
dimungkinkan.

Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya


pada sistem saraf pusat

c. Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan


dan perawatan kolostomi.

Tujuan : pengetahuan keluarga pasien tentang cara menangani


kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan kolostomi
tambah adekuat.

Intervensi :

1) Kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi yang dialami


perawatan di rumah dan pengobatan.

2) Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan perasaan,


kecemasan dan perhatian tentang

3) Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses kesembuhan.

4) Ajarkan pada anak dengan membuat gambar-gambar


sebagai ilustrasi misalnya bagaimana dilakukan irigasi dan
kolostomi.

5) Ajarkan perawatan ostomi segera setelah pembedahan dan


lakukan supervisi saat orang tua melakukan perawatan ostomi.

3.1.4. Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan keperawatan adalah realisasi
rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kegiatan dalam pelaksanaa juga meliputi pengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon klien sebelum dan sesudah
pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah dan
Walid, 2012).

14
3.1.5. Evaluasi
Pre operasi Hirschsprung
a. Pola eliminasi berfungsi normal.
b. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c. Kebutuhan cairan dapat terpenuhi.
d. Nyeri pada abdomen teratasi.
Post operasi Hirschsprung
a. Integritas kulit lebih baik.
b. Nyeri berkurang atau hilang.
c. Pengetahuan meningkat tentang perawatan pembedahan
terutama pembedahan kolon.

3.2. WOC

15
KONSEP STRESS HOSPITALISASI

A. Pengertian Stress Hospitalisasi

Stress adalah suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan


yang dialami sebagai suatu hal yang menantang, mengancam, atau merusak
keseimbangan atau ekuilibrum seseorang (Suddarth, 2002). Stres adalah
reaksi tubuh terhadap perubahan situasi yang menimbulkan tekanan,
ketegangan, dan emosi (Sunaryo, 2004).

Hospitalisasi adalah suata proses dimana karena alasan tertentu atau


darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di RS untuk menjalani terapi
perawatan hingga kembali ke rumah (Supartini, 2004). Menurut WHO,
hospitalisasi adalah pengalaman yang mengancam ketika anak menjadi
hospitalisasi karena stressor yang dihadapi dapat menimbulkan perasaan tidak
aman.

Stress hospitalisasi adalah reaksi yang harus dihadapi seperti lingkungan


yang asing, pemberi asuhan yang tidak dikenal, dan kehilangan kemandirian
(Wong, 2003). Stres hospitalisasi adalah reaksi tubuh yang menimbulkan
perasaan tidak nyaman dan tidak aman saat menjalani terapi atau perawatan
di rumah sakit.

B. Stressor Hospitalisasi

Stressor hospitalisasi menurut Hockenbery &Wilson (2009), yaitu:

a. Cemas karena perpisahan Kanak-kanak (toddler) belum mampu


berkomunikasi dengan mengunakan bahasa yang memadai dan
pengertian terhadap realita terbatas. Perpisahan antara anak dengan
ibu akan menimbulkan rasa kehilangan dan lingkungan yang asing
akan mengakibatkan perasaan tidak nyaman dan rasa cemas. Respon
perilaku anak akibat perpisahan dibagi dalam 3 tahap:

1) Tahap Protes (Phase of Protest)

Tahap ini dapat diobservasi saat anak menangis kuat,


menjerit, dan memanggil ibunya atau berperilaku agresif;

16
menendang, mengigit, memukul, mencubit, mencoba untuk
membuat orang tuanya tetap tinggal dan menolak perhatian orang
lain. Anak menyerang secara verbal dengan meneriakan kata
“pergi”. Perilaku tersebut akan terus berlanjut dan berhenti hanya
bila anak merasa kelelahan. Pendekatan dengan orang asing yang
tergesa-gesa akan meningkatkan protes.

2) Tahap Putus Asa (Phase of Despair)

Tahap ini anak terlihat tegang, tangisnya berkurang, tidak


aktif, kurang berminat untuk bermain, tidak nafsu makan,
menarik diri, tidak mau berkomunikasi, sedih, apatis, dan regresi
(mengompol atau menghisap jari). Pada tahap ini anak menolak
makan, minum, atau bergerak.

3) Tahap Menolak

Tahap ini secara samar-samar anak menerima perpisahan,


mulai tertarik dengan apa yang ada disekitarnya, dan membina
hubungan dangkal dengan orang lain. Anak mulai kelihatan 8
gembira. Tahapan ini biasanya terjadi setelah perpisahan yang
lama dengan orang tua.

b. Kehilangan Kontrol Anak-anak mampu menunjukkan kestabilan


dalam mengontrol diri. Namun akibat sakit dan dirawat di rumah
sakit, anak akan kehilangan kebebasan pandangan egosentris dalam
mengembangkan otonominya. Hal ini akan menimbulkan regresi.
Anak akan menjadi cepat marah dan agresif. Jika terjadi
ketergantungan dalam jangka waktu lama (karena penyakit kronis),
maka anak akan kehilangan otonominya dan pada akhirnya akan
menarik diri dari hubungan interpersonal (Susilaningrum, Nursalam,
& Utami, 2013).

c. Luka pada Tubuh dan Rasa Sakit ( Rasa Nyeri )

17
Berdasarkan hasil pengamatan, anak akan cemas apabila dilakukan
pemeriksaan telinga, hidung, mulut, atau suhu pada rectal. Reaksi
anak terhadap tindakan yang tidak menyakitkan sama seperti tindakan
yang sangat menyakitkan. Anak akan bereaksi terhadap rasa nyeri
dengan menyeringaikan wajah, menangis, mengatupkan gigi, mengigit
bibir, membuka mata dengan lebar, atau melakukan tindakan yang
agresif seperti menggigit, menendang, memukul, atau berlari keluar.

Pada akhir periode kanak-kanak, anak biasanya sudah mampu


mengomunikasikan rasa nyeri yang mereka alami dan menunjukkan
lokasi nyeri. Namun, kemampuan mereka dalam menggambarkan
bentuk dan intensitas nyeri belum berkembang. (Susilaningrum,
Nursalam, & Utami, 2013).

C. Reaksi Terhadap Hospitalisasi

Anak usia sekolah memiliki mekanisme pertahanan utama formasi, yaitu


mekanisme pertahanan yang tidak disadari. Anak usia sekolah dapat bereaksi
terhadap perpisahan dengan menunjukkan kesendirian, kebosanan, isolasi,
dan depresi. Anak juga dapat menunjukkan agresi, iritabilitas, serta
ketidakmampuan berhubungan dengan saudara kandung dan teman sebaya.
Perasaan kehilangan kendali dikaitkan dengan rasa ketergantungan anak
dengan orang lain dan gangguan peran dalam keluarga. Takut cedera dan
nyeri tubuh merupakan akibat dari rasa takut terhadap penyakit, kecacatan,
dan kematian (Muscari, 2001).

Anak harus mengatasi berbagai sumber stres. Pada saat perawatan,


seringkali anak mengembangkan perilaku atau strategi dalam menghadapi
penyakit yang dideritanya. Perilaku ini merupakan salah satu cara anak untuk
beradaptasi terhadap penyakitnya. Beberapa perilaku, antara lain:

a. Avoidance Anak berusaha menghindar dari situasi membuatnya tertekan.

b. Distraction Anak mengalihkan perhatian dari pikiran atau sumber yang


membuatnya tertekan. Perilaku yang dapat dilakukan anak yaitu

18
membaca buku cerita saat di rumah sakit, menonton televisi saat
dipasang infuse, atau bermain mainan yang disukai.

c. Active Anak berusaha mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu


secara aktif, misalnya menanyakan kondisinya, bersikap kooperatif
terhadap tenaga medis, minum obat secara teratur, beristirahat sesuai
anjuran yang diberikan.

d. Support Seeking Anak mencari dukungan dari orang lain untuk


melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Misalnya anak
minta ditemani selama dirawat di rumah sakit.

D. Penanganan Stress Hospitalisasi

Penanganan stres hospitalisasi pada anak usia sekolah dapat dilakukan


dengan mengurangi atau mencegah dampak perpisahan, mencegah perasaan
kehilangan kendali, dan mengurangi rasa takut terhadap rasa nyeri dan
perlukaan tubuh (Supartini, 2014).

a. Upaya mengurangi atau mencegah dampak perpisahan.

1) Libatkan orang tua dalam berperan aktif pada perawatan sang


anak dengan melakukan rooming in selam 24 jam.

2) Beri kesempatan orang tua untuk melihat sang anak jika


rooming in tidak memungkinkan.

3) Moditifikasi ruang perawatan dengan nuansa anak.

4) Memfasilitasi ruang belajar beserta buku-buku pelajaran anak


(perpustakaan). Pada usia sekolah anak mulai mengalami
imajinasi. Alat permainan yang dapat diberikan berupa
permainan teka-teki, buku bacaan, alat untuk menggambar,
alat musik seperti harmonika. Dan pada usia remaja, anak
mulai mencurahkan kreativitas yang dimilikinya, maka alat
permainan yang dapat diberikan adalah permainan catur, alat

19
untuk menggambar seperti cat air, kanvas, kertas, majalah
anak-anak atau remaja, dan buku cerita (Hardjadinata, 2009).

5) Beri kesempatan anak mempertahankan kegiatan sekolah.

b. Upaya mencegah perasaan kehilangan kendali.

1) Tidak membatasi pergerakan fisik jika anak kooperatif.

2) Buat jadwal kegiatan prosedur terapi, latihan, bermain, dan


aktifitas lain.

3) Intervensi keperawatan difokuskan pada upaya mengurangi


ketergantungan dengan memberi kesempatan pada anak
mengambil keputusan, dan melibatkan oang tua dalam
perencanaan asuhan keperawatan.

c. Upaya untuk meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa
nyeri:

1) Persiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan


prosedur dan menjalaskan apa yang akan dilakukan.

2) Lakukan permainan sebelum melakukan persiapan fisik,


misalnya bercerita, menggambar, menonton video yang
berkaitan dengan terapi yang akan dilakukan.

3) Orang tua mempertimbangkan untuk mendampingi anak saat


dilakukan prosedur yang menimbulkan nyeri.

4) Tunjukkan sikap empati.

5) Lakukan persiapan pasca operasi.

E. Mengukur Stres Hospitalisasi

Mengukur stress hospitalisasi menggunakan instrument DASS 21


(Depression Anxiety Stress Scale) dengan 21 pertanyaan. Terdapat 7
pertanyaan untuk depresi, 7 pertanyaan untuk kecemasan, dan 7 pertanyaan

20
untuk stres. Pernyataan yang sesuai untuk mengukur tingkat stres terdapat
pada pernyataan nomor 1, 6, 8, 11, 12, 14, dan 18. Skor pada masing-masing
pernyataan adalah 0-3. Nilai total dapat dihitung dengan menjumlahkan
keseluruhan skor yang diperoleh dari masing-masing pernyataan. Data yang
diperoleh dari penjumlahan hasil pengisian kuesioner untuk skala stres
dimasukkan ke dalam lima tingkatan yaitu: normal, ringan, sedang, berat, dan
sangat berat. Dikatakan normal apabila skor 0-7, ringan apabila skor 8-9,
sedang apabila skor 10-12, berat apabila skor 13-16, dan sangat berat apabila
skor ≥17.

21
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Kasus
Bapak R dan Ibu S mempunyai anak perempuan yang bernama E berusia 5
bulan. Klien masuk rumah sakit tanggal 11 September 2017. Keluhan utama
klien saat masuk RS adalah perut membuncit sulit BAB sejak 5 hari yang lalu
sebelum masuk rumah sakit. Pada saat masuk RS orangtua klien mengeluh
klien BAB cair 4-6x/hari, turgor kulit elastis, mukosa mulut kering.
Riwayat kehamilan dan kelahiran klien antara lain pada masa prenatal ibu
klien rutin kontrol ke bidan setiap 1 bulan sekali, ibu klien mengatakan selama
hamil tidak menderita penyakit tertentu dan tidak mengalami muntah
berulang, masa intranatal klien dilahirkan spontan dibidan dengan berat lahir
3800 gram langsung menangis ,sedangkan pada masa post natal klien
mendapatkan ASI dan mempunyai riwayat BAB 2-4 hari sekali.
Riwayat kesehatan sebelumnya klien BAB 4 hari sekali, belum pernah
dirawat di RS, jika sakit klien hanya berobat ke puskesmas tetapi orangtua
tidak tahu jenis obat yang dikonsumsi, klien belum pernah dilakukan tindakan
operasi, tidak pernah mengalami kecelakaan, tidak mempunyai alergi, klien
belum mendapat imunisasi BCG ketika klien berusia 1 minggu.
Pada awal masuk tanggal 11 September 2017 selain dilakukan
pemeriksaan USG dan foto polos abdomen, klien juga dilakukan pemasangan
O2 dengan nasal kanul 1.5 liter/menit. Klien juga dilakukan pemeriksaan
barium enema pada tanggal 15 September 2017 diperoleh hasil hemoglobin
(Hb) 8,4 g/dl hematokrit 26% leukosit dalam batas normal, trombosit 570
ribu/ul sehingga klien mendapatkan transfusi PRC sejumlah 2x50 cc dengan
cara pemberian serial selama 2 hari dan Hb post transfusi 12,1 g/dl. Klien
menjalani operasi kolostomi pada tanggal 22 September 2017.
Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 23 September 2017 orang tua
mengatakan takut memegang dan membersihkan kantong stoma, belum tahu
bagaimana perawatan stoma. Orang tua mengatakan bahwa ingin tahu berat
badan anaknya setelah dioperasai, BAB anaknya cair warna coklat. Berat
badan klien pada saat masuk rumah sakit 5400 gram, saat ini 4500 gram,
panjang badan 56cm, dengan menggunakan chart grow didapatkan z-score

22
BB/TB-2SD. Status cairan klien baik dibuktikan dengan turgor elastis, CRT
kurang dari 3 detik dan mukosa bibir lembab. Tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid, arteri karotis teraba berdenyut teratur dan kuat, dan trachea berada
digaris tengah. Klien mendapatkan obat-obatan antara lain IVFD Kaen 3B 10
tetes/menit (makro), cefotaxime 2x175mg intravena dan Farmadol 3x55 mg
intravena. Hasil pemeriksaan pada tanggal 12 Septmeber 2017 diperoleh Hb
14,5 g/dl Ht 45% leukosit 20,4 ribu/ul dan trombosit 426 ribu/ul. Hasil
pemeriksaan secara umum menunjukkan bahwa klien tidak tampak rewel,
aktif, kesadaran compos metis, Nadi 124x/menit, suhu 36,7OC, frekuensi nafas
28x/menit. Tinggi badan saat ini 56cm, berat badan 4,5 kg, lingkar kepala 38
cm, lingkar lengan atas 10cm, lingkar dada 34cm. Dari hasil pemeriksaan fisik
head to toe diperoleh data bahwa kepala dalam b atas normal tidak ditemukan
jejas sutura sudah menutup tidak teraba benjolan. Septum hidung utuh tidak
ada sekret, tidak ada pernafasan cuping hidung. Sklera tidak ikhterik,
konjungtiva tidak anemis, reflek cahaya positif, bibir tampak kemerahan, tidak
sianosis, gigi belum tumbuh, tidak tampak jamur. Telinga bersih tidak tampak
sekret dan tidak tampak perdarahan, tidak teraba pembesaran kelenjar di area
leher. Dada simetris, tidak tampak retraksi dadal, irama jantung reguler tidak
terdengar suara abnormal, suara nafas vesikuler tidak terdapat suara abnormal.
Tidak ada distensi abdomen, bising usus 6x/mnt, tidak teraba benjolan atau
massa. Stoma berwarna kemerahan, tampak lemak, tinggi 4cm, lebar 4cm,
produksi cair warna kecoklatan bercampur darah, bau khas, daerah sekitar
stoma tidak kemerahan, tidak ada tanda-tanda iritasi periostoma. Genitalia
bersih, jamur tidak tampak, tidak lecet, BAK 3x dengan pampers, warna
kuning jernih. Ekstermitas tidak tampak edema, tidak sianosis , akral hangat,
CRT kurang dari 3 detik.
B. Pengkajian
1) Identitas Klien

1. Nama/Nama panggilan : An E
2. Tempat tgl lahir/usia : 5 bulan
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. A g a m a : Islam

23
5. Pendidikan :-
6. Alamat : Jalan Reksobayan no 23
7. Tgl masuk : 11 September 2017
8. Tgl pengkajian : 23 September 2017
9. Diagnosa medik : Colostomy Hisprung
2) Penanggung Jawab

a. N a m a : Bapak R
b. U s i a : 35 Tahun
c. Pendidikan :-
d. Pekerjaan : Guru
e. A g a m a : Islam
f. Alamat : Jalan Reksobayan no 23
C. Riwayat Penyakit
1) Keluhan utama saat masuk RS :
Keluarga pasien mengatatan bahwa perut pasien membuncit sulit BAB
sejak 5 hari yang lalu.
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Saat masuk RS orangtua pasien mengeluh klien BAB cair 4-
6x/hari, turgor kulit elastis, mukosa mulut kering.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan riwayat kesehatan sebelumnya pasien
BAB 4 hari sekali, belum pernah dirawat di RS, jika sakit pasien
hanya berobat ke puskesmas tetapi orangtua tidak tahu jenis obat yang
dikonsumsi, pasien belum pernah dilakukan tindakan operasi, tidak
pernah mengalami kecelakaan, tidak mempunyai alergi, pasien belum
mendapat imunisasi BCG ketika klien berusia 1 minggu.
c. Riwayat Kehamilan
a) Pemeriksaan rutin : rutin kontrol ke bidan setiap 1 bulan sekali
b) Penyakit yang diderita selama hamil : tidak pernah
c) Keluhan saat hamil : tidak ada
d) Obat/ vitamin yang dikonsumsi : tidak pernah
e) Riwayat minum jamu : tidak pernah

24
f) Riwayat dipijat : tidak pernah
d. Riwayat Persalinan
a) Cara persalinan : spontan
b) Tempat : polides
c) Penolong : bidan
d) Kondisi ketuban : warna jernih
e) Letak : bujur
f) BB/TB/LK/LD : 3 800 gram/ TB 56 cm/ TB LK 38 cm/ LD 34cm
e. Riwayat Post Natal
Pasien langsung menangis, mendapatkan ASI dan pasien
mempunyai riwayat BAB 2-4 hari sekali.
f. Diagnosa medik pada saat MRS, pemeriksaan penunjang dan tindakan
yang telah di lakukan, mulai dari pasien MRS (UGD/Poli, sampai
diambil kasus kelolaan.
Masalah atau Dx medis pada saat MRS : Colostomi Hisprung
Tindakan yang telah dilakukan di Poliklinik atau UGD Pasien datang
ke rumah sakit dianter orangtua telah dilakukan tanda- tanda vital
(nadi, pernafasan, dan suhu-, pemeriksaan fisik, pemeriksaan USG,
dan foto polos abdomen.
2) Catatan Penanganan Kasus (Dimulai saat pasien di rawat di ruang
rawat sampai pengambilan kasus kelolaan).
- Tanggal 11 September 2017
Telah dilakukan pemeriksaan USG dan foto polos abdomen.
- Tanggal 12 Septemb er 2017
Diperoleh Hb 14,5 g/dl Ht 45% leukosit 20,4 ribu/ul dan
trombosit 426 ribu/ul.
- Tanggal 15 Septemb er 2017
Diperoleh hasil hemoglobin (Hb- 8,4 g/dl hematokrit 26%
leukosit dalam batas normal, trombosit 570 ribu/ul sehingga klien
mendapatkan transfusi PRC sejumlah 2x50 cc dengan cara pemberian
serial selama 2 hari dan Hb post transfusi 12,1 g/dl dan pasien juga
dilakukan pemeriksaan barium enema.

25
D. Riwayat Imunisasi
Pasien belum mendapat imunisasi BCG ketika pasien berusia 1 minggu.
E. Pengkajian Keperawatan
(Bandingkan kondisi saat klien di rumah /sebelum masuk RS dan saat klien
dirawat di RS)
a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan.
Pengetahuan tentang penyakit/perawatan.
Keluarga pasien tidak mengetahui tentang penyakit anaknya,
sedangkan selama ini kalau anaknya sakit hanya di priksakan ke
puskesmas. Ibu pasien tidak mengetahui jenis obat yang dikonsumsi oleh
pasien. Orang tua mengatakan takut memegang dan membersihkan
kantong stoma, belum tahu bagaimana perawatan stoma.
b. Pola nutrisi
Bentuk atau jenis nutrisi yang diberikan : cair (ASI)
c. Pola Eliminasi
1) Buang air besar
SMRS : BAB 4 hari sekali
MRS : BAB cair 4-6x/hari, berwarna coklat
2) Buang air kecil
SMRS : BAK 4x/ hari, konsistensi cair, berwarna kuning
menggunakan popok.
MRS : BAK 3x/ hari, konsistensi cair, berwarna kuning
menggunakan pampers.

d. Pola aktivitas dan latihan

Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4

Makan/minum 
Mandi 
Toileting 
Berpakaian 
Mobilitas di tempat tidur 

26
Berpindah 
Ambulasi/ROM 
0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan
alat, 4: tergantung total.

Oksigenasi : Pasien terpasang 02 nasal kanul 1,5 liter/menit.

e. Pola tidur dan istirahat

(lama tidur, gangguan tidur, pengawasaan saat bangun tidur)

SMRS : ± 16-18 jam, sering terbangun dan rewel

MRS : ± 10-14 jam, pasien rewel, sering menangis, kesadaran compos


metis

f. Pola perceptual

(penglihatan, pendengaran, pengecap, sensasi) : -

g. Pola persepsi diri

(pandangan klien tentang sakitnya, kecemasan, konsep diri) : -

h. Pola seksualitas dan reproduksi

(fertilitas, libido, menstruasi, kontrasepsi, dll) : -

i. Pola peran-hubungan

(komunikasi, hubungan dengan orang lain, kemampuan keuangan) : -

j. Pola managemen koping-stres

(perubahan terbesar dalam hidup pada akhir-akhir ini, dll)

Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien tidak tampak rewel, aktif,


kesadaran compos metis.

k. Sistem nilai dan keyakinan

(pandangan klien tentang agama, kegiatan keagamaan, dll)

27
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien beragama islam. Dan keluarga
pasien yakin kepada Allah akan memberikan kesembuhan kepada
anaknya.

F. Pemeriksaan Fisik (Head To Toe)


a. Keadaan umum
Postur : normal
Kesadaran : compos metis
TD :-
P : 28 x/menit
N : 124 x/menit
S : 36,7 C
BB/TB/LK/LD : 4500 gram/ 56 cm/ 38 cm/ 34 cm
b. Kepala dan rambut
Kepala dalam batas normal tidak ditemukan jejas sutura sudah menutup
tidak teraba benjolan. Keadaan rambut hitam, lurus.
c. Mata
Sklera tidak ikhterik, konjungtiva tidak anemis, reflek cahaya positif.
d. Hidung
Septum hidung utuh tidak ada sekret, tidak ada pernafasan cuping
hidung.
e. Telinga
Telinga bersih tidak tampak sekret dan tidak tampak perdarahan.
f. Mulut
Bibir tampak kemerahan, tidak sianosis, gigi belum tumbuh, tidak
tampak jamur, dan tidak teraba pembesaran kelenjar di area leher.
g. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, arteri karotis teraba berdenyut
teratur dan kuat, dan trachea berada digaris tengah.
h. Thorak/jantung/paru
I : Dada simetris
P : tidak tampak retraksi dadal
P : irama jantung reguler tidak terdengar suara abnormal

28
A : suara jantung I & II tunggal, kuat, regular, mur-mur
i. Thorak/paru
I : Dada simetris
P : tidak tampak retraksi dadal
P : suara sonor
A : suara nafas vesikuler tidak terdapat suara abnormal
j. Abdomen
I : tidak ada distensi abdomen
A : bising usus 6x/menit
P : tidak teraba benjolan atau massa
P : suara tympani
k. Kelamin dan anus
Stoma berwarna kemerahan, tampak lemak, tinggi 4cm, lebar 4cm,
produksi cair warna kecoklatan bercampur darah, bau khas, daerah
sekitar stoma tidak kemerahan, tidak ada tanda-tanda iritasi periostoma.
Genitalia bersih, jamur tidak tampak, tidak lecet, BAK 3x dengan
pampers, warna kuning jernih.
l. Ekstremitas (termasuk keadaan kulit, kekuatan)
Status cairan klien baik dibuktikan dengan turgor elastis, CRT
kurang dari 3 detik dan mukosa bibir lembab. Ekstermitas tidak tampak
edema, tidak sianosis, akral hangat.
G. Data Penunjang
a. Tanggal 11 september 2017
Telah dilaksanakan pemeriksaan USG dan foto polos abdomen.
b. Tanggal 12 septemebr 2017
Diperoleh HB 24,5 g/dl Ht 45% leukosit 20,4 ribu/ul dan trombosit 426
ribu/ul.
c. Tanggal 15 september 2017
Diperoleh hasil hemoglobin (Hb) 8,4 g/dl hematokrit 26% leukosit dalam
batas normal, trombosit 570 ribu/ul sehingga klien mendapatkan transfusi
PRC sejumlah 2x50 cc dengan cara pemberian serial selama 2 hari dan
Hb post transfusi 12,1 g/dl dan pasien juga dilakukan pemeriksaan

29
barium enema.
H. Terapi Saat Ini

No Nama Obat Dosis Indikasi Kontradiksi

1. IVFD Kaen 10 Menyalurkan atau Hiperkalemia, oliguria,


3B tetes/menit memelihara pany Addison, luka
(makro) keseimbangan air dan bakar berat dan
elektrolit pada azotemia. Kelebihan
keadaan dimana Na, sindrom
asupan makanan per- malabsorpsi glukosa-
oral tidak mencukupi galaktosa. Cedera hati
atau tidak mungkin. yang berat, aritmia
jantung

2. Cefotaxime 2x175mg Untuk pengobatan Hipersensitivitas


(intravena) infeksi serius yang terhadap obat atau
disebabkan oleh komponen obat ini.
mikroorganisme yang
sensitife, saperti
pada : infeksi saluran
pernafasan bagian
bawah, infeksi saluran
kemih dan kelamin,
infeksi ginekologikal,
bakteremia/
septikemia, infeksi
kulit dan jaringan
lunak, infeksi intra-
abdominal, infeksi
tulang atau sendi, dan
infeksi system syaraf
pusat.

3. Farmadol 3x55mg Sakit kepala, demam, Insufisiensi


nyeri otot, dan sakit

30
(intravena) gigi. hepatoselular berat.
Untuk pengobatan
jangka pendek nyeri
sedang (terutama
sesudah op) dan
demam. Jika
pemberian secara IV
sangat diperlukan
secara klinis untuk
mengobati nyeri,
hipertermia.

I. Analisis Data

Tanggal Data Etiologi Masalah


23 Ds : keluarga pasien Agen cedera Nyeri akut
fisik (D.0077)
Septembe mengatakan pasien
r 2017 sering nangis dan
rewel
P : terdapat luka
operasi di abdomen
kanan
Q : pasien terus
menangis
R : pasien menangis
ketika luka operasi
tersentuh
S : dilihat dari wajah
ada di skala 4
T : dirasakan tiba-tiba
Do :
- Pasien tampak
rewel dan
menangis
J. Wajah pucat
ketika nyeri muncul

31
Ds : - K. Prosedur L. Resiko
invasif infeksi (D.0142)
Do :
- Tampak terdapat
kantong stoma
- Adanya luka
kolostomi di
abdomen
Ds : keluarga pasien N. Faktor O. Kerusaka
mekanik n integritas kulit
mengatakan terdapat
(D.0139)
luka operasi di
bagiam perut kanan.
M. Do : tampak
terpasang kantong

Diagnosa keperawatan

1. Nyeri akut b.d agen cedera fisik

2. Resiko infeksi b.d prosedure invansive

3. Kerusakan integritas kulit b.d faktor mekanik

32
Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Keperawa
tan
1. Nyeri akut Pengalaman Nyeri akan berkurang - Kaji respon nyeri dengan - Pendekatan komprehensif
berhubungan sensorik/emosion ditandai dengan penurunan melakukan PQRST. untuk menentukan rencana
dengan agen
al yang berkaitan intensitas kolik abdomen, - Lakukan manajemen nyeri intervensi.
cedera fisik
dengan skala nyeri 0-1 dari (0-5), keperawatan: Istirahatkan - Istirahat secara fisiologis
kerusakan dapat mengidentifikasikan pasien pada saat nyeri akan menunjukan
jaringan aktivitas yang muncul. kebutuhan oksigen yang
aktual/fungsional meningkatkan atau - Atur posisi fisiologis. diperlukan untuk memenuhi
dengan onset menurunkan nyeri, anak - Beri oksigen nasal. kebutuhan metabolisme
mendadak/lamba tidak rewel. basal.
t dan - Posisi semifowler dengan
berintensitas fleksi pada ektremitas bwah
ringan hingga dapat mengurangi tegangan
berat dan otot abdomen dan juga pada
konstan kondisi pasca bedah dengan
adanya insisi sehingga
dapat menurunkan stimulus
nyeri.
- Pada fase nyeri hebat skala
nyeri 3 (0-5), pemberian
oksigen nasal 3 liter/menit
dapat meningkatkan
oksigen sehingga akan
menurunkan nyeri sekunder
dari iskemia pada intestinal.
Resiko Insisi pada anak akan - Ganti kantong ostomi segera - Mengganti kantong ostomi
infeksi memulih dengan normal jika bocor atau diduga bocor. mencegah kontak yang
berhubung yang ditandai oleh tidak - Apabila kantong ostomi lama anatara insisi dan feses
an dengan ada tanda atau gejala menutup insisi, ganti kantong sehingga membantu
prosedure eritema, indurasi, atau ostomi setiap hari sampai mencegah kerusakan kulit.
invansive drainase dan suhu tubuh insisi menjadi pulih. - Mengganti kantong ostomi
kurang dari 37,8°C setiap hari memungkinkan
deteksi dini terjadinya
kontaminasi, dan
tandatanda infeksi serta
mendukung terapi yang
telah diprogramkan.
Kerusakan Anak tidak akan - Gunakan kantong ostomi - Pemasangan yang tepat dan
integritas kulit memperlihatkan tanda- berukuran pas dengan barrier penggunaan barrier kulit
berhubungan
tanda kerusakan kulit yang kulit yang efektif (misalnya, melindungi rasa periostoma
dengan faktor
mekanik ditandai oleh kulit tetap Hollihesive, Stomahesive, dari efek korosif dari feses.
utuh sekitar tempat atau Comfed) untuk Memeberi bahan pelindung
kolostomi, atau are melindungi kulit dari kontak tanpa sebuah kantong
ileostomy yang bebas dari langsung dengan feses. biasanya mengakibatkna
kemerahan atau iritasi. - Ganti kantong ostomi kapan kerusakan kulit.
pun kantong bocor atau - Kebocoran menyebabkan
diduga bocor. feses dapat bersentuhan
- Kosongkan kantong ostomi dengan kulit, meningkatkan
kapan pun kantong penuh risiko kerusakan kuli.
misalnya telah terisi - Membiarkan kantong
sebanyak seperempat hingga terisisi penuh meningkatkan
sepertiga bagian. risiko kebocoran, karena
berat feses dapat menarik
perekat dari kulit
Catatan Perkembangan

Nama pasien : An E No RM :

Umur : 5 bulan Dx Keperawatan :


Hirschprung

Hari Dx Ja Implementasi TTD/N Evaluasi


/Tgl Keperawatan m ama

Nyeri Akut  Mengkaji respon nyeri. S : Ibu pasien mengatakan bahwa


 Mengistirahatkan pasien saat merasa anaknya tidak lagi sering menangis
nyeri dan rewel
 Mengatur posisi fisiologis O : Skala nyeri 0

 Memberikan oksigen nasal A : Masalah teratasi


P : Intervensi dihentikan
Resiko Infeksi  Mengganti kantong ostomi segera S:-
ketika bocor O : Kantong ostomi tetap normal,
 Mengganti kantong ostomi setiap hari pasien aman
sampai insisi menjadi pulih A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
Kerusakan  Menggunakan kantong ostomi S : Keluarga pasien mengatakan
Integrasi Kulit berukuran pas dengan barrier kulit luka operasi sudah membaik
yang efektif. O : Kantong ostomi pas
 Mengganti kantong ostomi kapan pun A : Masalah terastasi
kantong bocor atau diduga bocor. P : Intervensi dihentikan
 Mengkosongkan kantong ostomi
kapan pun kantong penuh.
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Penyakit hirschprung yang juga dikenal sebagai megakolon aganglionik,


adalah penyakit kongenital yang ditandai tidak adanya sel-sel ganglion
parasimpatik pada sebagian kolon (dan kadang-kadang pada ileum). Penyakit
ini belum dipahami sepenuhnya, namun penyebab terjadinya penyakit ini
biasanya sering terjadi pada anak dengan Down Syndrome atau bisa
disebabkan karena kegagalan sel neural pada masa embrion dalam dinding
usus.

Manifestasi klinis Hirschsprung berupa konstipasi, diare berulang, tinja


seperti pita, berbau busuk, distensi abdomen dan gagal tumbuh. Komplikasi
berupa gawat pernapasan (akut), enterokolitis (akut), striktura ani
(pascabedah), dan inkontinensia (jangka panjang).

4.2. Saran

Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan


masalah, baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah
pertumbuhan dan perkembangan anak dengan penyakit Hirschsprung yaitu
terletak pada kebiasaan buang air besar. Orang tua yang mengusahakan agar
anaknya bisa buang besar dengan cara yang awam akan menimbulkan masalah
baru bagi bayi/anak. Penatalaksanaan yang benar seperti tindakan pembedahan
pada kasus penyakit Hirschsprung harus dipahami dengan benar oleh seluruh
pihak, baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tercapainya tujuan yang
diharapkan perlu terjalin hubungan kerjasama yang baik antara pasien,
keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi
kemungkinan yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

https://pdfcoffee.com/askep-hirschprung-pdf-free.html
https://123dok.com/document/qormv40q-asuhan-keperawatan-anak-dengan-
hisprung.html
https://www.scribd.com/doc/246418747/Laporan-Hysprung
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/6822/6346
https://www.scribd.com/doc/230777585/referat-hirschsprung

Anda mungkin juga menyukai