PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak
terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal
tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara
spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses
secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak
adalion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat
menyebabkan dilatasi usus proksimal.
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada
tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya
penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan
menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan
peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion.
Atresia Ani berasal dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, atresia artinya nutrisi atau
makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga clausura.
Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau buntutnya saluran atau
rongga tubuh.
Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses
penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani
memiliki nama lain yaitu Anus imperforata.
1
Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi
saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia bilier terjadi karena proses
inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier
ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau bedah
dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% - 90% bayi dengan atresia
biliaris ekstrahepatik yang menjalani pembedahan ketika usianya kurang dari 10 minggu
dapat dicapai drainase getah empedu (Halamek dan Stevenson, 1997). Meski demikian,
sirosis yang progresif tetap terjadi pada anak, dan sampai 80% - 90% kasus pada akhirnya
akan memerlukan transplantasi hati (Andres, 1996).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1 dalam 25.000
kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial atau genetik kendati ditemukan
predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy dan Suchy, 1996; Whitington, 1996). Di Belanda,
dilaporkan kasus atresia bilier sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari
100.000 kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas
tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari
100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di
Jepang menderita atresia bilier. Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100
institusi, atresia bilier di dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik
(11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita atresia
bilier yang ditangani RS. Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003 tercatat
mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati.
Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270
penderita rawat inap di Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit
kuning gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010).
Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu.
Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam
maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini
tidak diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu
akan terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah.
Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa
berakibat fatal atau sampai terjadi kematian.
2
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi
pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun bila dilakukan setelah
umur 2 bulan. Bagi penderita atresia bilier prosedur yang baik adalah mengganti saluran
empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Selain itu,terdapat beberapa
intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan
yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan
dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. (Donna L. Wong, 2008).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Hisprung
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan
pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat
lahir 3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan
Penyakit hirschprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada
usus, dapat dari kolon sampai usus halus ( Ngastiyah,2005:219)
Jadi megakolon atau hirschprung adalah kelainan tidak adanya sel ganglion dalam rectum
atau bagian rektosigmoid, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh
obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak
ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.
Hisprung atau mega kolon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam
rectum atau bagian rectosigmoid colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan abnormal atau
tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily &Sowden : 2000)
2. Etiologi
Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi ke
dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukoisa untuk berkembang
ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus. Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para
simpatis dari pleksus Auerbach di kolon.
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga
terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom,
4
kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal
pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus
3. Patofisiologi
Penyakit HIrschsprung, atau megakolon konginetal, adalah tidak adanya sel-sel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan
atau tidak adanya peristalsis serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter
rectum tidak dapat berelaksasi, mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus terdorong
ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan dilatasinya
bagian usus yang proximal terhadap daerah itu. Penyakit Hirschsprung diduga terjadi karena
factor-faktor genetic dan factor lingkungan, nmaun etiologi sebenarnya tidak diketahui.
Penyakit hirschsprung dapat muncul pada sembarang usia, walaupun paling sering terjadi
pada neonatus. (Buku Saku, Keperawatan Pediatri, Cecily L. Betz dan Linda A. Sowden,
EGC : 2002)
5
WOC HISPRUNG
Kegagalan sel neuron pada dinding Gagal eksistensi carniokaudal pada myentrik Gagal migrasi sel ganglion pada
usus di masa embrio dan submukosa dinding pleksus perkembangan embrio
konstipasi
MK : Hipovolemi
Proses evakuasi feses
terganggu
Menurut (Buku Saku, Keperawatan Pediatri, Cecily L. Betz dan Linda A. Sowden, EGC :
2002) :
Masa Neonatal
a. Konstipasi
b. Diare berulang
c. Tinja seperti pita, berbau busuk
d. Distensi Abdomen
e. Gagal tumbuh.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap and
mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
b. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah
narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
c. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada penyakit ini
klhas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
d. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.
(Ngatsiyah, 1997 : 139)
a. Foto abdomen (telentang, tegak, telungkup, dekubitus lateral) diagnostik; untuk
mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
b. Enema barium (diagnostic) ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
c. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
d. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refluks sfingter interna dan eksterna.
(Betz, 2002 : 197).
7
6. Penatalaksanaan
a. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar
untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga
normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahap pembedahan pertama dengan kolostomi loop atau double barrel
dimana diharapkan tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali
menjadi normal dalam waktu 3-4 bulan . Terdapat prosedur dalampembedahan
diantaranya:
1) Prosedur duhanel biasanya dilakukan terhadap bayi kurang dari 1 tahun dengan cara
penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang usus
aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian
posterior kolon normal yang telah ditarik.
2) Prosedur Swenson membuang bagian aganglionik kemudian menganastomosiskan
end to end pada kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi dan
pemotongan sfingter dilakukan pada bagian posterior.
3) Prosedur soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dengan cara membiarkan
dinding otot dari segmen rectum tetap utuh kemudian kolon yang bersaraf normal
ditarik sampai ke anus tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan
jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.
b. Keperawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
1) Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara
dini
2) Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
3) Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )
4) Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan
malnutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal
ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga
adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan
nutrisi parenteral total ( NPT )
8
Perencanaan pulang dan perawatan dirumah :
1) Ajarkan pada orang tua untuk memantau adanya tanda dan gejala komplikasi
jangka panjan berikut ini.
a) Stenosis dan kontriksi
b) Inkontinensia
c) Pengosongan usus yang tidak adekkuat
2) Ajarkan tentang perawatan kolostomi pada orang tua dan anak.
a) Persiapan kulit
b) Penggunaan alat kolostomi
c) Komplikasi stoma (perdarahan, gagal defekasi, diare meningkat ,
prolaps, feses seperti pita )
d) Perawatan dan pembersihan alat kolostomi
e) Irigasi kolostomi
3) Beri dan kuatkan informasi-informasi tentang penatalaksanaan diet.
a) Makanan rendah sisa
b) Masukan cairan tanpa batas
c) Tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolot dan dehidrasi.
4) Dorong orang tua dan anak untuk mengekspresikan perasaannya tentang
kolostomi.
a) Tampilan
b) Bau
c) Ketidaksesuaian antara anak mereka dengan anak “ideal”
5) Rujuk ke prosedur institusi spesifik untuk informasi yang dapat diberikan
pada orang tua tentang perawatan dirumah.
c. Kolaboratif
Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera dilakukan
kolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada dinding perut yang
disambungkan dengan ujung usus besar. Pengangkatan bagian usus yang terkena dan
penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan pada saat anak berusia 6 bulan
atau lebih. Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis, diberikan
antibiotik.
9
7. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit hirschprung yang
mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang
masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi
permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar
20%.
8. Komplikasi
a. Gawat pernapasan (akut)
b. Enterokolitis (akut)
c. Striktura ani (pascabedah)
d. Inkotinensia (jangka panjang)
1. Pengkajian
Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat,
tanggal pengkajian, pemberi informasi. Antara lain :
a. Anamnesis
Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan
diagnosis medis.Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat
dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen,
kembung, muntah.
1) Keluhan utama Klien
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan
pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen,
kembung, muntah.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah
lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.
Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana
upaya klien mengatasi masalah tersebut.
10
3) Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan,
persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
4) Riwayat Nutrisi
Meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak
5) Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada perasaan
rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.
6) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita
Hirschsprung.
7) Riwayat social
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam
mempertahankan hubungan dengan orang lain.
8) Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.
9) Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem integument
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat dilihat
capilary refil, warna kulit, edema kulit.
2) Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
3) Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi apikal,
frekuensi denyut nadi / apikal.
4) Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
5) Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus, adanya
kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi dan
karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.
11
Pre Operasi
1) Kaji status klinik anak (tanda-tanda vital, asupan dan keluaran)
2) Kaji adanya tanda-tanda perforasi usus.
3) Kaji adanya tanda-tanda enterokolitis
4) Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadap
pembedahan yang akan datang
5) Kaji tingkat nyeri yang dialami anak
Post Operasi
1) Kaji status pascabedah anak (tanda-tanda vital, bising usus, distensi
abdomen)
2) Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi atau kelebihan cairan
3) Kaji adanya komplikasi
4) Kaji adanya tanda-tanda infeksi
5) Kaji tingkat nyeri yang dialami anak
6) Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadap
pengalamannya di rumah sakit dan pembedahan.
7) Kaji kemampuan orang tua dalam menatalaksanakan pengobatan dan
perawatan yang berkelanjutan.
2. Diagnosa keperawatan
Pre operasi
a. Konstipasi berhubungan dengan mekanik : megakollon
b. Defisit pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal dengan sumber
informasi
c. Hipovolemi b.d kehilangan volume caian secara aktif
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan anak
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan absorbsi usus
Post operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
12
3. Rencana Keperawatan
Pre Operasi
Diagnosis Tujuan Intervensi
Konstipasi Setelah dilakukan tindakan Bowel management
berhubungan keperawatan selama 1x24 jam 1. Catat BAB terakhir
dengan mekanik : diharapkan Konstipasi dapat
2. Memonitor tanda konstipasi
megakollon teratasi dg kriteria sbb:
1. Faeses lunak 3. Anjurkan keluarga untuk
mencatat warna, jumlah,
2. Anak tidak kesakitan saat frekuensi BAB.
BAB.
4. Berikan supositoria jika perlu.
Bowel irrigation
1. Jelaskan tujuan dari irigasi
rektum.
2. Check order terapi.
3. Jelaskan prosedur pada orangtua
pasien.
4. Berikan posisi yang sesuai.
5. Cek suhu cairan sesuai suhu
tubuh.
6. Berikan jelly sebelum rektal
dimasukkan.
7. Monitor effect dari irigasi.
Persiapan preoperatif
1. Jelaskan persiapan yang harus
dilakukan.
2. Lakukan pemeriksaan
laboratorium: darah rutin,
elektrolit, AGD.
3. Transfusi darah bila perlu
Ansietas Setelah dilakukan tindakan Anxiety reduction
berhubungan keperawatan selama 1x24 jam 1. Jelaskan semua prosedur yang
dengan perubahan diharapkan Ansietas dapat akan dilakukan.
13
dalam status teratasi dg kriteria sbb: 2. Kaji pemahaman orangtua
kesehatan anak 1. Ibu terlihat lebih tenang terhadap kondisi anak, tindakan
2. Ibu dapat bertoleransi yang akan dilakukan pada anak.
dengan keadaan anak 3. Anjurkan orang tua untuk berada
dekat dengan anak.
4. Bantu pasien mengungkapkan
ketegangan dan kecemasan
Defisit Orang tua tahu mengenai Teaching: proses penyakit
pengetahuan perawatan anak dengan 1. Kaji pengetahuan pasien tentang
berhubungan kriteria: penyakit.
dengan tidak 1. Mampu menjelaskan 2. Jelaskan tentang penyakit,
mengenal dengan penyakit, prosedur tindakan dan cara
sumber informasi prosedur operasi perawatan bersama dengan
2. Mampu menyebutkan dokter.
tindakan keperawatan 3. Informasikan jadwal rencana
yang harus dilakukan. operasi: waktu, tanggal, dan
3. Mampu menyebutkan cara tempat operasi, lama operasi.
perawatan 4. Jelaskan kegiatan praoperasi :
anestesi, diet, pemeriksaan lab,
pemasangan infus, tempat tunggu
keluarga.
5. Jelaskan medikasi yang diberikan
sebelum operasi: tujuan, efek
samping.
Health education:
1. Jelaskan tindakan keperawatan
yang akan dilakukan.
2. Jelaskan mengenai penyakit,
prosedur tindakan dan cara
perawatan dengan dokter.
3. Lakukan diskusi dengan keluarga
pasien dengan penyakit yang
14
sama.
4. Jelaskan cara perawatan post
operatif
Ketidakseimbangan Status nutrisi baik, dengan 1. Kaji nafsu makan,
nutrisi kurang dari kriteria: lakukanpemeriksaan
kebutuhan tubuh 1. Diet seimbang, intake abdomen,adanya distensi,
berhubungan adekuat. hipoperistaltik.
dengan penurunan 2. BB normal. 2. Ukur intake dan output, berikan
absorbsi usus 3. Nilai lab darah normal: per oral / cairan intravenasesuai
HB, Albumin, GDR. program (hidrasi adalah masalah
yang paling penting selama masa
anak-anak).
3. Sajikan makanan favorit anak,
dan berikan sedikit tapi sering.
4. Atur anak pada posisi yang
nyaman (fowler)
5. Timbang BB tiap hari pada skala
yang sama
Hipovolemi b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen cairan
kehilangan volume keperawatan selama 1x24 jam 1. Timbang berat badan tiap hari
diharapkan Status hidrasi
caian secara aktif 2. Kelola catatan intake dan output
dapat teratasi dg kriteria sbb:
3. Monitor status hidrasi (membran
1. Menunjukkan urine output
mukosa, nadi adekuat, ortostatik)
normal
4. Monitor hasil laboratorium yang
2. Menunjukkan TD, nadi
menunjukkan retensi cairan
dan suhu dbn
5. Monitor keadaan hemodinamik
3. Turgor kulit, kelembaban
6. Monitor vital sign
mukosa dbn.
7. Monitor tanda- tanda kelebihan
4. Mampu menjelaskan yang
atau kekurangan volume cairan
dapat dilakukan untuk
8. Administrasi terapi Intra vena
mengatasi kehilangan
9. Monitor status nutrisi
cairan
10. Berikan cairan dan intake oral.
15
Monitor cairan
1. Kaji jumlah dan jenis intake
cairan dan kebiasaan eliminasi
2. Kaji faktor resiko terjadinya
ketidakseimbangan cairan
3. Monitor intake dan output
4. Monitor serum, dan elektrolit
5. Jaga keakurtan pencatatan intake
dan output
6. Administrasi pemberian cairan
Managemen hipovolemi
1. Monitor status cairan termasuk
intake dan output
2. Jaga kepatenan terpi intra vena
3. Monitor kehilangan cairan
4. Monitor hasil laboratorium
5. Hitung kebutuhan cairan
6. Administrasi pemberian cairan
hipotonik/isotonik
7. Observasi indikasi dehidrasi
8. Kelola pemberian intake oral
9. Monitor tanda dan gejala over
hidration
Post Operasi
16
tubuh rileks verbal
3. Tanda vital Normal 3. Berikan posisi yang nyaman
4. Anjurkan ortu untuk memberikan
pelukan agar anak merasa nyaman
dan tenang.
5. Tingkatkan istirahat
Teaching
1. Jelaskan pada ortu tentang proses
terjadinya nyeri
2. Pertahankan imobilisasi bagian
yang sakit
3. Evaluasi keluhan nyeri atau
ketidaknyamanan
4. Perhatikan lokasi nyeri.
Administrasi analgetik
1. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat.
2. Cek program medis tentang jenis
obat, dosis dan frekuensi
pemberian
3. Ikuti 5 benar sebelum
memberikan obat
4. Cek riwayat alergi
5. Monitor tanda vital sebelum dan
sesudah pemberian obat
6. Dokumentasikan pemberian obat
Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Infektion control
berhubungan keperawatan selama 1x24 jam 1. Terapkan kewaspadaan universal
diharapkan Resiko Infeksi
dengan prosedur cuci tangan sebelum dan sesudah
dapat teratasi dg kriteria sbb:
invasif melakukan tindakan keperawatan.
1. Bebas dari
17
tanda-tanda infeksi 2. Gunakan sarung tangan setiap
2. Tanda vital dalam batas melakukan tindakan.
normal 3. Berikan personal hygiene yang
baik.
Proteksi infeksi
1. Monitor tanda-tanda infeksi lokal
maupun sistemik.
2. Monitor hasil lab: wbc, granulosit
dan hasi lab yang lain.
3. Batasi pengunjung
4. Inspeksi kondisi luka insisi
operasi.
Ostomy care
1. Bantu dan ajarkan keluarga pasien
untuk melakukan perawatan
kolostomi
2. Monitor insisi stoma.
3. Pantau dan dampinggi keluarga
saat merawat kolostomi
4. Irigasi stoma sesuai indikasi.
5. Monitor produk stoma
6. Ganti kantong kolostomi setiap
kotor.
Medikasi terapi
1. Beri antibiotik sesuai program
2. Tingkatkan nutrisi
3. Monitor keefektifan terapi.
Health education
1. Ajarkan pada orang tua tentang
18
tanda-tanda infeksi.
2. Ajarkan cara mencegah infeksi.
3. Ajarkan cara perawatan colostomi
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi
anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002)
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna.
Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM)
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau
makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura.
Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya
saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian
karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran
tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki
nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan
tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:
c. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-macam
jarak dari peritoneum
19
2. Etiologi
a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur
3. Patofisiologi
a. Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur
20
c. Rendah → rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan
ujung rectum paling jauh 1 cm.
Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina/perineum
Pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius
21
22
4. Manifestasi Klinis
c. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
d. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada
fistula).
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
a. Asidosis hiperkioremia.
23
h. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)
(Ngustiyah, 1997 : 248)
6. Klasifikasi
c. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
7. Penatalaksanaan Medis
a. Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan
kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya.
Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti
perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum
abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan
pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk
membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga
memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik
status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong rectal
melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup
kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang
minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel
b. Pengobatan
24
1) Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
8. Pemeriksaan Penunjang
b. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel
mekonium.
2) Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir
dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus
impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti
tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
3) Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala
dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga
25
pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan
udara tertinggi dapat diukur.
1. Pengkajian
a. Biodata klien
b. Riwayat keperawatan
c. Riwayat psikologis
1) BB lahir abnormal
e. Riwayat sosial
Hubungan sosial
f. Pemeriksaan fisik
2. Diagnosa Keperawatan
a. Dx Pre Operasi
26
1) Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b. Dx Post Operasi
3. Rencana Keperawatan
27
7. Pola tidur membaik analgetik
9. Fungsi berkemih
membaik
28
Tingkat Ansietas dengan KH : ansietas berubah
3. Dispnea menurun
29
Kenyamanan dengan KH : frekuensi nyeri
6. Kolaborasi pemberian
analgetik
2. Verbalisasi perubahan
gaya hidup menurun
30
1. Nafsu makan meningkat 3. Monitor diet dan kebutuhan
cairan
2. Muntah menurun
31
2. Dispnea menurun jalan napas
5. PO2 membaik
6. Sianosis membaik
7. Pola Napas
5. Ventilasi menurun
32
E. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Atresia Bilier
Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau
intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006).
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang
akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian.
(Chandrasoma & Taylor,2005).
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari
duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten
dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan
splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland
2002: 206).
Atresia Billier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau
tidak berkembang secara normal. Atresia biliaris adalah kelainan konginetal yang
ditandai dengan obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran empedu. Atresia
bilier merupakan suatu defek congenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau
obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik. Pada
atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini
bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa
berakibat fatal.
Tipe- tipe atresia biliaris, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
33
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi
akhir-akhir ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto
enterostoma hati radikal. Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif.
b. Tipe II : atresia pada saluran empedu dapat terlihat, dengan sumbatan saluran
empedu ditemukan pada porta hepatis.
d. Tepi IIb : umumnya duktus biliaris dan duktus hepatic tidak ada.
e. Tipe III : lebih mengacu pada terputusnya duktus hepatic kanan dan kiri
sampai pada porta hepatic. Bentuk atresia ini adalah umum terjadi, sekitar
lebih dari 90% kasus
2. Etiologi
Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat proses
inflamasi yang destruktif. Atresia billiaris terjadi karena adanya perkembangan
abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab
terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun
penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga karena kelainan kongenital,
didapat dari proses-proses peradangan, atau kemungkinan infeksi virus dalam
intrauterine.
Penyebab atresia masih kontroversial, beberapa ahli percaya bahwa hal ini terjadi
akibat infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai duktus biliaris
ekstrahepatik, duktus intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris komplit yang
mengenai seluruh system menyebabkan kematian yang tinggi. Hati menunjukan
34
gambaran obstruksi hebat duktus biliaris yang besar dengan sirosis biliaris sekunder.
Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada masa bayi. Terapi bedah dapat berhasil pada
kasus atresia parsial. Pada kasus atresia yang mengenai duktus intrahepatik,
transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan.
Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris adalah bukan
merupakan penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak diturunkan dari keluarga.
Atreia billiaris paling sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang terjadi saat
bayi dalam kandungan. Kemungkinan hal yang dapat memicu terjadinya atresia
billiaris diantaranya: infeksi virus atau bakteri, gangguan dalam system kekebalan
tubuh, komponen empedu yang abnormal, kesalahan dalam perkembangan hati dan
saluran empedu.
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
e. Hati membesar.
f. Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1) Gangguan pertumbuhan
2) Gatal-gatal
3) Rewel
35
4) Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang
mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
4. Patofisiologi
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan
ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin.
Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja
berwarna pucat seperti kapur.
36
5. WOC
37
6. Komplikasi dan Prognosis
b. Progresif serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh
prosedur pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penggumpalan.
d. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak
dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
e. Hipertensi portal
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi fibrosis
hepatic sering terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif,
meskipun 30 – 50 % pasien mungkin tetap anikterik. Angka harapan hidup
transplantasi jangka pendek sekitar 75 %. Menurut Carlassone &
Bensonsson (1977) menyatakan bahwa operasi atresia billiaris tipe
38
“noncorrectable” adalah buruk sekali sebelum adanya operasi Kasai, tetapi
sampai sekarang hanya sedikit penderita yang dapat disembuhkan. Bila
pasase empedu tidak dikoreksi, 50 % anak akan meninggal pada tahun
pertama kehidupan, 25 % pada tahun ke dua, dan sisanya pada usia 8-9
tahun. Penderita meninggal akibat kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan
hipertensi portal.
7. Penatalaksanaam
a. Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin yaitu:
b. Terapi Bedah
39
empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah
lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
8. Pemeriksaan diagnostic
b. Pemeriksaan urin
c. Pemeriksaan feses
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam
tinja berkurang karena adanya sumbatan.
d. Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan
pengambilan jaringan hati.
e. USG abdomen
Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda Triangular
cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
40
F. Asuhan Keperawatan Pada Atresia Bilier
1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal ini
dilakukan sebagai standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji
keadaan pasien. Umumnya Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan.
Atresia bilier dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada
anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2 minggu
sampai 2 bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit dan mata
bayi yang baru lahir. Jaundice terjadi karena darah bayi mengandung kelebihan
bilirubin, pigmen berwarna kuning pada sel darah merah.
Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice yang terjadi dalam 2 minggu
atau 2 bulan lebih, apabila anak buang air besar tinja atau feses berwarna pucat.
Anak juga mengalami distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus. Anak
tidak mau minum dan kadang disertai letargi (kelemahan).
Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah dengan
kekebalan tubuh. Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu ektrahepatik.
yang akhirnya menimbulkan masalah dan menjadi factor penyebab terjadinya
Atresia Biliaris ini.
Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT, Hepatitis,
dan Polio.
41
e. Riwayat Perinatal
1) Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita infeksi
penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella
2) Intra natal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi
virus atau bakteri selama proses persalinan.
3) Post natal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal
hygiene saat merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan peralatan makan dan
peralatan bayi lainnya juga kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya pada ibu
pernah menderita penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS, kanker, diabetes
mellitus, dan infeksi virus rubella. Akibat dari penyakit yang di derita ibu ini,
maka tubuh anak dapat menjadi lebih rentan terhadap penyakit atresia biliaris.
Selain itu terdapat kemungkinan adanya kelainan kongenital yang memicu
terjadinya penyakit atresia biliaris ini.
42
kurang optimal karena terjadi kelainan pada organ hati dan empedunya sehingga
akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya.
Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak yaitu pola
kebersihan yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci tangan saat
merawat atau menetekkan bayinya. Selain itu, kebersihan botol atau putting
ketika menyusui bayi juga kurang diperhatikan.
2) Pola Sirkulasi : Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah
ditandai dengan takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera
kulit dan membrane mukosa
3) Pola Eliminasi : Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu
terdapat distensi abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang
berwarna gelap dan pekat. Feses berwarna dempul, steatorea. Diare dan
konstipasi pada anak dengan atresia biliaris dapat terjadi.
4) Pola Nutrisi : Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai dengan
anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran terhadap
lemak dan makanan pembentuk gas dan biasanya disertai regurgitasi
berulang.
5) Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai pengetahuan orang tua
terhadap penyakit yang diderita klien
6) Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak terhadap
pengobatan dan perawatan yang akan dilakukan.
43
7) Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam
merawat dan mengobati anak dengan atresia biliaris.
10) Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar
penyakit pada anaknya dapat sembuh dengan cepat.
j. Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
5) Hati membesar.
6) Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a) Gangguan pertumbuhan
b) Gatal-gatal
c) Rewel
44
7) Pemeriksaan Fisik
Nadi : takikardi
Telinga : bersih
Lidah : normal
c) Dada
45
Perkusi : Jantung : dullness
Paru : sonor
d) Abdomen
Perkusi : sonor
e) Kulit
f) Ekstremitas
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko Infeksi
3. Rencana Keperawatan
46
jam diharapkan Resiko 1. Monitor tanda dan
Infeksi dapat teratasi gejala infeksi
dengan kriteria sbb:
2. Cuci tangan sebelum
1. Demam menurun dan sesudah kontak
dengan pasien dan
2. Kemerahan menurun
lingkungan pasien
3. Nyeri menurun
3. Pertahankan teknik
4. Gangguan kognitif aseptic pada pasien
menurun beresiko tinggi infeksi
47
membaik pada kulit
6. Identifikasi kelainan
eliminasi
9. Hitung perubahan BB
48
meningkat sesuai usia berinteraksi dengan
anak lain
4. Pola tidur meningkat
5. Pertahankan
kenyamanan anak
49
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau
intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006).
B. Saran
50
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Sowden, 2002, Keperawatan Pediatric Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3.
Jakarta : EGC.
Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta :Penebar
Swadaya
Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang
berkepanjangan.
Wong, D.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC
SDKI
SLKI
SIKI
51
ANALISA KASUS
A. Kasus Hisprung
Bayi laki-laki umur 3 hari datang dengan keluhan tidak bisa BAB sejak dilahirkan.
Pasien lahir spontan, bayi membiru setelah dibawa ke rumah, pasien demam dan perutnya
membesar, tidak bisa BAB. Perut menjadi kembung (+), muntah (-), BAK normal. pasien
dibawa ke RS , oleh dokter spesialis anak, pasien dikonsulkan ke bagian bedah, diinfus,
diinjeksi obat-obatan, dipasang rectal tube, dilakukan spooling, dan dilakukan pemeriksaan
colon in loop. Terdapat riwayat keterlambatan keluarnya mekoneum (+) 3 hari. BB 2900 gr.
Suhu 36,8◦ celcius ,nadi 110 x/menit, RR 30 x/menit.
Kata kunci
c. Demam
e. Dipasang rectal tube, dilakukan spooling, dan dilakukan pemeriksaan colon in loop
Pertanyaan :
JAWABAN : Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan
paling sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus secara ritmis akan
menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf (sel ganglion) yang
berfungsi untuk mengontrol otot pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini
mengakibatkan feses tidak dapat terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya (Henna N,
2011).
52
2. Apakah bayi lahir bewarna biru ada kaitannya dengan hisprung?
JAWABAN: Ada. Pada kasus hisprung ini, bayi akan mengalami obstruksi pada usus
besar yang menyebabkan bayi mengalami perut membesar dan distensi abdomen yang
memungkinkan menekan sistem pernafasan pada bayi, akibatnya terjadi gangguan pola
nafas, sehingga bayi akan mengalami kekurangan oksigen yang menyebabkan bayi
menjadi syanosis atau biru.
JAWABAN : Secara fisiologis, usus besar berfungsi untuk menyerap air, vitamin, dan
elektrolit. Selain itu, usus besar juga berfungsi untuk menyimpan feses, dan
mendorongnya keluar. Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom. Inervasi
usus besar sangat berkaitan dengan sel ganglion pada submukosa (Meissner’s) dan
pleksus myenteric (Aurbach’s) pada usus besar bagian distal. Sedangkan pada kasus
hisprung sel ganglion tersebut tidak ada sehingga feses tidak dapat terdorong keluar dan
mengakibatkan obstruksi usus sehingga terjadillah distensi abdomen dan menyebabkan
perut menjadi kembung dan membesar.
JAWABAN : Distensi usus dapat mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada dinding
usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Infeksi oleh kuman dapat
terjadi pada jaringan iskemik nekrosis dan perforasi dan dapat menyebabkan enterokolitis.
Infeksi oleh kuman tersebut yang dapat menyebabkan bayi mengalami demam.
JAWABAN : rectal tube dan spooloing berguna untuk membantu pasien untuk
pembersihan kolon, sehingga feses yang terperangkap di usus besar dapat di keluarkan,
namun rectal tube ini harus dilakukan berulang-ulang. Sedangkan colon in loop adalah
pemeriksaan radiografi kolon menggunakan kontras yang dimasukkan secara anal,
tujuannya untuk mengetahui dimana letak keberadaan feses yang menumpuk di dalam
kolon.
53
6. Apakah ada hubungannya keterlambatan keluarnya mekonium dengan kejadian hisprung
pada anak?
Seorang bayi laki-laki lahir 20 jam SMRS di rumah dengan bantuan bidan , bayi lahir
cukup bulan, dengan berat badan 3 kg. Saat lahir pasien langsunng menangis . Saat lahir
pasien tidak mengelurkan meconium dan saat diperiksa pasien tidak memiliki anus, kemudian
pasien juga mengalami perut kembung dan telihat mengalami sesak nafas. Denyut jantung
151x menit. Suhu 36,8’C. Respirasi 46xmenit . Kulit Tidak pucat, kemerahan pada
kuku-kuku ekstrimitas, tidak juga kuning.
Kata kunci :
c. Perut kembung
d. Sesak nafas
Pertanyaan :
JAWABAN : Karna disebabkan oleh gangguan usus, feses tersumbat, atau kelainan pada
saluran cerna sehingga pada pasien atresia ani tidak mengeluarkan mekonium
54
2. Apa yang menyebabkan pada pasien atresia ani tidak memiliki anus?
JAWABAN : Normalnya, lubang anus, saluran kemih, dan kelamin janin terbentuk saat
kehamilan mencapai usia tujuh hingga delapan minggu melalui proses pembelahan dan
pemisahan dinding-dinding pencernaan janin. Bila masa perkembangan janin ini
mengalami gangguan, kondisi inilah yang menyebabkan atresia ani.
JAWABAN : Sebab normalnya, bayi yang baru saja lahir akan melakukan buang air
besar (BAB) dalam 24 jam pertama setelah dilahirkan. Namun jika tidak, akan membuat
perut bayi menjadi kembung dan membesar lalu disusul dengan gejala muntah. Karna
terjadinya penumpukan cairan, sehingga menyebabkan perut bayi kembung.
JAWABAN : normalnya, bayi yang baru saja lahir akan melakukan buang air besar
(BAB) dalam 24 jam pertama setelah dilahirkan. Namun jika tidak, akan membuat perut
bayi menjadi kembung dan membesar lalu disusul dengan gejala muntah. Hal ini akan
menjadi lebih berbahaya bagi keselamatan bayi jika cairan muntah masuk ke dalam
saluran pernafasan yang mengakibatkan bayi mengalami sesak nafas dan berujung pada
kematian.
An. M (laki-laki, 7 bulan 4 hari) dibawa ke Rumah Sakit dengan keluhan 1 bulan pasca
kelahiran sedikit demi sedikit kulit tampak berwarna kuning, tinja berwarna pucat, air kencing
berwarna gelap, demam 38,4 celcius , perut membesar dan selalu rewel. Dari hasil
pemeriksaan diketahui adanya hipertensi vena porta, peningkatan kadar bilirubin dan hasil
Rontgen didapatkan adanya pembesaran hati.
Kata kunci
55
d. Perut membesar
e. Anak rewel
g. Pembesaran hati
Pertanyaan :
JAWABAN : Atresia bilier adalah penyakit saluran empedu langka yang hanya
menyerang bayi. Saluran empedu pada hati, disebut juga dengan duktus hepatikus,
berfungsi untuk menghancurkan lemak, menyerap vitamin larut lemak, serta membawa
racun dan produk sisa keluar tubuh.Pada atresia bilier, saluran tersebut membengkak dan
menjadi tersumbat. Akibatnya, cairan empedu meningkat di hati dan menyebabkan
kerusakan hati. Hal ini membuat hati sulit membuang racun dalam tubuh.Sehingga kulit
bayi tampak menguning.
JAWABAN : Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin
yang masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses.
3. Apa yang menyebabkan air kencing bewarna gelap pad atresia biliaris?
JAWABAN : Karna tingginya tingkat bilirubin sehingga bisa menyebabkan warna urine
yang menjadi gelap.
JAWABAN : Pada Atresia Billiary terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke
kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati. Sirosis hati
inilah yang menyebabkan perut membesar pada penderitanya
JAWABAN : Penyakit kuning pada bayi umumnya dimulai dari bagian wajah, kulit
wajah, dan bagian putih mata bayi yang menguning. Warna kuning tersebut kemudian
56
akan merembet ke bagian dada, perut, tangan dan kakinya.Bayi dengan kondisi ini
biasanya sering tampak mengantuk, lemas, rewel, dan sulit menyusui.
JAWABAN : Blibirubin adalah produk limbah yang diproduksi ketika sel darah merah
dipecah. Normalnya, bilirubin akan mengalami kerusakan di hati dan dikeluarkan lewat
feses. Namun, hati yang kurang berkembang tak dapat menyaring bilirubin secepat yang
dihasilkan sehingga mengakibatkan kelebihan bilirubin.
7. Apakah ada hubungan atresia biliaris dengan pembesaran hati pada anak?
JAWABAN : Ada, Atresia bilier adalah kondisi tertutupnya saluran empedu pada bayi
yang baru lahir. Pada bayi dengan atresia bilier, cairan empedu tidak bisa mengalir ke
usus karena tertutupnya saluran tersebut. Akibatnya, cairan empedu menumpuk di dalam
hati.
57