A. DEFINISI AUTISME
B. ETIOLOGI
Penyebab pasti autisme belum diketahui, tetapi diketahui bahwa penyebabnya san kompleks
dan multifaktorial dan terutama dipengaruhi faktor genetik. Dari berbagai penelitian disimpulkan
bahwa berbagai faktor secara sendiri atau bersama-sama menganggu susunan saraf pusat melalui
mekanisme tertentu, yang akhirnya menghasilkan suatu sindrom gangguan perilaku yang disebut
sebagai atutisme. Berbagai teori yang di. perkirakan menjadi penyebab terjadinya autisme adalah
sebagai berikut:
1. Faktor psikososial
3. Teori imunologi
4. Teori infeksi
Peningkatan angka kejadian autisme terjadi pada anak-anak yang lahir dengan
rubela kungenital, ensefalitis herpes simpleks, dan infeksi sitomegalovirus, sebagai akibat
dari kerusakan otak anak. pernah dilaporkan bahwa overgrowth jamur Calbicans dapat
menyebar ke seluruh ah termasuk otak anak, sehingga mengganggu fungsi otak,
C.albicans juga menge- burkan enzim fosfolipid dan protease yang mengakibatkan
permeabilitas usus me- sinekat, sehingga mudah dilalui protein yang belum sempurna
dipecah seperti gluten Aan kasein. Dikatakan bahwa dengan diet rendah gluten dan
kasein, gejala autisme skan membaik, tetapi teori ini masih belum terbukti kebenarannya.
5. Faktor genetik
Terdapat bukti yang kuat bahwa faktor genetik berperan pada autisme. Pada
pasangan anak kembar satu telor (monozygot), ditemukan kejadian autisme sebesar 36-
95%, sedangkan pada anak kembar 2 telor (dizygot) kejadiannya 0-23%. Pada penelitian
keluarga dari anak yang autisme, diketemukan autisme pada saudara kandungnya 2,5-3%.
Dikatakan pula bahwa autisme adalah salah satu dari kemungkinan yang timbul pada
anak yang secara genetik pada keluarganya terdapat masalah belajar dan komunikasi.
Didapatkan angka kejadian autisme pada fragile-X sekitar 7-20% dan pada tuberous
sclerosis sekitar 17-61%. Pernah dilaporkan sindrom fragile-X yang Tejadi bersamaan
dengan gangguan X-linked autosomal dominan dan tuberous clerosis pada 8-11% kasus
autisme. indrom fragile-X meliputi sekumpulan gejala, seperti retardasi mental ringan
Sampai berat, kesulitan belajar, daya ingat jangka pendek yang buruk, kelainan fisik,
clumsiness, serangan kejang, dan hiper-refleksi. Sering juga ditemukan gangguan
perilaku, seperti hiperaktif, gangguan pemusatan perhatian, impulsif, ansietas, dan
gangguan autistik. Namun, hingga saat ini, hubungan antara autisme dengan sindrom
tragile-X masih diperdebatkan. Komponen genetik autisme cenderung heterogen,
melibatkan sekitar 100 gen. Kelainan Vemua kromosom, kecuali kromosom 14 dan 20.
Diketahui bahwa untuk terjadinya gejala autisme, terlibat gen majemuk yang berinteraksi
dengan berbagai faktor lingkungan sekitar. Kromosom yang sangat terkait dengan
autisme adalah kromosom genetik pada autisme ditemukan pada hampir semua
mitokondria dan 72 q 15q11-13.
6. faktor neuronatomi
7. Faktor neurokimiawi/neurotransmiter
Teori ini mengacu pada ditemukannya peningkatan kadar serotonin pada sepertiga
anak autisme. Sejak itu, peranan neurotransmiter pada autisme mendapat banyak
perhatian. Diduga gangguan fungsi neurotransmiter inilah yang mendasari terjadinya
gangguan fungsi perilaku dan kognitif pada autisme. Neurotransmiter yang diduga
menimbulkan gangguan autisme adalah
a. Serotonin
b. Dopamin
Sebenarnya, kalau kita jeli memperhatikan, gejala autistik sudah dapat diamati
pada masa bayi di bawah usia setahun, karena sebagian besar anak autistik berbeda
dari anak yang normal sejak dari lahir. Gejala utama yang khas adalah selalu
membelakangi/ tidak berani menatap mata pengasuhnya untuk menghindari kontak
fisik/kontak mata. Agar tidak diangkat, bayi memperlihatkan sikap yang diam atau
asyik bermain sendiri berjam-jam di ranjangnya tanpa menangis atau membutuhkan
pengasuhnya, sehingga pada awalnya orangtuanya mengira sebagai bayi yang manis
dan mudah diatur. Sebaliknya, sebagian bayi lainnya sering tampak agresif. Pada bayi
yang agresif ini, bayi sering menangis berjam-jam tanpa sebab yang jelas pada waktu
mereka sedang terjaga. Pada beberapa kasus, bayi mulai membentur-benturkan
kepalanya pada ranjangnya, tetapi keadaan ini tidak selalu terjadi. Gejala lainnya
adalah bayi menolak untuk dipeluk/disayang, tidak menyambut ajakan ketika kedua
tangannya diangkat, kurang bisa meniru pembicaraan atau gerakan badan, gagal
menunjukkan suatu objek kepada orang lain, dan kurang responsif terhadap isyarat
sosial seperti kontak mata atau senyuman. Bergumam- yang biasanya muncul
sebelum anak dapat mengucapkan kata-kata-mungkin tidak nampak pada anak
autisme.
Gangguan perilaku tersebut antara lain adalah stimulasi diri (gerakan aneh
yang diulang-ulang atau perilaku yang tanpa tujuan, seperti menggoyang-
goyangkan tubuhnya ke depan dan belakang, tepuk-tepuk tangan, dll.),
mencederai diri sendiri (menggigit-gigit tangannya, melukai diri, membentur-
benturkan kepalanya), timbul masalah tidur dan makan, tidak sensitif terhadap
rasa nyeri, hiper/hipoaktivitas, gangguan pemusatan perhatian. Terutama pada
masa anak dini, kadang-kadang terdapat kelekatan yang aneh terhadap benda
yang tidak lembut. Karakteristik lainnya pada anak autistik adalah insistence on
sameness atau perilaku perseverative, yaitu sikap yang sangat rutin (ada
perubahan sedikit saja, anak akan marah dan tantrum). Anak dapat memaksakan
suatu kegiatan yang rutin seperti dalam suatu upacara; dapat terjadi preokupasi
yang stereotipik dengan perhatian yang khusus terhadap tanggal, rute, dan
jadwal; sering terdapat stereotipik motorik; sering memperhatikan secara khusus
unsur sampingan suatu benda (seperti bau atau rasa terdapat penolakan terhadap
perubahan dari rutinitas atau tata ruang di lingkungannya, Contoh rutinitas
tersebut adalah memakai baju dengan urutan yang sama seperti tangan kiri harus
dimasukkan terlebih dahulu, pergi ke sekolah melalui rute yang sama. Salah satu
alasan rutinitas tersebut adalah bahwa anak autisme tidak mempunyai
kemampuan untuk mengerti dan mengatasi perubahan situasi
Gangguan interaksi social antara lain adalah tidak ada reaksi bila anak
dipanggil sehingga orangtua mengira anaknya tuli. Anak serang menyendiri, tidak
tertarik bergaul/bermain dengan anak lain, tidak mampu memahami aturan-aturan
yang berlaku, dan menghindari kontak mata. Walaupun mereka berminat untuk
mengadakan hubungan dengan temannya, seringkali terjadi hambatan karena ia
kurang memiliki kesadaran sosial. Hal ini pula yang menyebabkan mereka tidak
bisa memahami ekspresi wajah atau pun mengekspresikan perasaannya baik
secara vokal maupun dengan ekspresi wajah yang baik. Dengan demikian, ia tidak
mempunyai empati terhadap orang lain yang sangat dibutuhkan dalam interaksi
sosial. Dikatakan penderita hidup di dunianya sendiri. Perhatiannya pada orang
lain sebatas memakainya sebagai alat untuk mencapai tujuan, misalnya
mengambil tangan ibunya untuk memperbaiki mainannya yang rusak. Anak
tampak acuh tak acuh terhadap pendekatan yang dilakukan orangtuanya. Ada pula
anak yang menghindari sentuhan fisik, dengan cara membuat tubuhnya kaku, lari,
stres saar disentuh, atau bahkan tidak bereaksi kalau disentuh. Namun, ada pula
anak yang justru merasa cemas bila berpisah dengan orangtuanya dan akan
menempel terus. Seringkali anak menunjukkan perhatian yang kurang terhadap
orang lain, misalnya tidak peduli bila seseorang memasuki kamarnya.
c. Gangguan komunikasi
d. gangguan kognitif
f. Gangguan emosi
Pada 1866, John Langdon Haydon Down pertama kali mendeskripsikan gambaran
fisik dan masalah kesehatan yang sesuai dengan gambaran sindrom Down. Lejeune dan
Jacobs, pada 1959. pertama kali menemukan bahwa kelainan ini disebabkan oleh Trisomi
21. Trisomi ini memiliki 3 tipe. Pertama, adalah tipe nondisjunction atau pada saat oosit
bermeiosis, tipe ini merupakan kelainan terbanyak (94%) pada sindrom Down. Kedua,
adalah tipe translokasi, yakni sebagian atau seluruh kromosom ekstra 21 bergabung
dengan kromosom lainnya (kromosom 14, atau 15, atau 21, atau 22), tipe ini mencakup
3.5% kasus. Ketiga, adalah tipe mosaik, yaitu campuran antara diploid normal dan sel
yang mengalami trisomi 21, pada tipe ini terjadi nondisjunction selama mitosis pada awal
embriogenesis, tipe ini meliputi 2,5% kasus. Tipe pertama sangat berhubungan dengan
meningkatnya umur ibu saat terjadinya konsepsi. Pada tipe kedua tidak ditemukan
pengaruh umur, sekitar 75% translokasi terjadi secara de novo, dan sekitar 25% terjadi
secara familial atau diturunkan. Tipe ke tiga yaitu tipe mosaik, biasanya mempunyai
gambaran fenotip yang sedikit lebih baik dibanding dengan trisomi 21 atau translokasi
kromosom 21.
B. ETIOLOGI
1. genetik Pada translokasi, 25% bersifat familial. Bukti yang mendukung teori ini
didasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan bahwa ada
peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom
Down. Bila terdapat translokasi pada kedua orangtua, sebaiknya dilakukan studi
familial tambahan dan konseling untuk menentukan adanya karier atau tidak. Kalau
orangtuanya adalah karier, anggota keluarga lainnya juga harus diperiksa, sehingga
akan teridentifikasi risiko sindrom Down. Tipe nondisjunction juga diperkirakan
berhubungan dengan genetik.
2. Umur ibu. Setelah umur lebih dari 30 tahun, risiko sindrom Down mulai meningkat,
dari 1:800 menjadi 1:32 pada umur 45 tahun, terutama pada tipe nondisjunction.
Peningkatan insiden ini berhubungan dengan perubahan endokrin, terutama hormon
seks, antara lain meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandos-
teron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor
hormon, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormone) dan FSH
Follicular Stimulating Hormone) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause.
4. Infeksi. Virus diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya sindrom Down, tctapi
sampai saat ini belum dapat dibuktikan bagaimana virus dapat menyebabkan
terjadinya nondisjunction pada kromosom 21.
5. Autoimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid
diduga berhubungan dengan sindrom Down. Falkow, 1996, secara konsisten
mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak
dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang umurnya sama.
C. PATOGENESIS
Sindrom Down merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh lebih dari 350
yang terdapat pada ekstrakromosom 21. Mekanisme yang menyebabkan muncul berbagai
fenotip saat lahir maupun ketika dalam perkembangan ini sangat bervariasi masih
menimbulkan perdebatan. Hipotesis yang banyak dianut adalah adanya salinan ekstra
pada bagian proksimal 21q22.3 yang mengakibatkan munculnya fenotip retardasi mental,
gambaran wajah khas kelainan pada tangan, dan kelainan jantung kongenital. Analisis
molekuler menunjukkan bahwa area 21q22.1-q22.3 mengandung gen yang bertanggung
jawab atas kelainan jantung kongenital yang ditemukan pada sindrom Down. Gen yang
baru terungkap (DSCR1) dan diidentifikasi pada area 21q22.1-q22.2 terlibat pada
pemunculan kelainan pada otak dan jantung, yang menyebabkan kelainan jantung dan
retardasi mental. Penelitian Roper RJ, 2006 pada model tikus, menunjukkan bahwa
hipotesis gen tunggal sebagai satu-satunya patofisiologi munculnya fenotip sindrom
Down adalah lemah. Fenotip sindrom lebih mungkin disebabkan oleh interaksi multipel
gen. Mekanisme gen dapat berupa : dosis tunggal gen (single dosage sensitive), interaksi
majemuk (multiple dosage sensitive), variasi alel, heterotrisomi, dan perubahan minimal
pada gen. Hipotesis kemungkinan mekanisme sindrom Down terhadap munculnya
fenotip
D. GEJALA KLINIS
Anak pengidap sindrom Down memiliki berbagai kelainan mental dan malformasi
karena ada bahan ekstragenetik dari kromosom 21. Fenotipnya bervariasi, tetapi
umumnya didapat gambaran konstitusional yang cukup bagi klinisi yang berpengalaman
untuk menduga Sindrom Down. Kumpulan manifestasi klinis ini dapat dilihat pada Tabel
42.1. Derajat gangguan mental bervariasi antara ringan (IQ=50-70), sedang (IQ=35-50),
dan kadang berat (IQ=20-35). Peningkatan risiko kelainan jantung kongenital adalah
50%; leukemia, <1%; kehilangan pendengaran, 75%; otitis media, 50%-70%; penyakit
Hirschprung, <1%; atresia saluran cerna, 12%; penyakit mata, 60% [antara lain, katarak
(15%) dan gangguan refraksi berat (50%)]; dislokasi pinggul dapatan, 6%; apnea
obstruktif, 50%-75%; dan gangguan hormon tiroid, 15%. Fungsi sosial anak dengan
sindrom Down sering lebih baik daripada kecerdasan intelegensianya.
RETARDASI MENTAL
Menurut Liptak GS (1996), yang dimaksud dengan retardasi mental adalah anak
yang mempunyai IQ di bawah 70/75, onset sebelum 18 tahun, dan terdapat keterbatasan
pada keterampilan adaptif (yaitu keterbatasan dalam berkomunikasi, menolong diri
sendiri, home living, keterampilan sosial, bermasyarakat, mengarahkan diri, kesehatan,
keamanan, fungsi akademik, menggunakan waktu luang dan bekerja).
B. KLASIFIKASI
Pada retardasi mental tipe klinik ini mudah dideteksi sejak dini, karena kelainan
fisik maupun mentalnya cukup berat. Penyebabnya sering adalah kelainan organik.
Kebanyakan anak ini perlu perawatan yang terus menerus dan kelainan ini dapat terjadi
pada kelas sosial tinggi atau pun rendah. Orangtua anak penderita retardasi mental tipe
klinik ini cepat mencari pertolongan karena mereka melihat sendiri kelainan pada
anaknya.
Biasanya, kelainan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan ternyata
tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak normal, sehingga tipe ini
disebut juga retardasi enam jam, karena begitu mereka keluar sekolah, mereka dapat
bermain seperti anak-anak normal lainnya. Tipe ini kebanyakan berasal dari golongan
sosial ekonomi rendah. Para orangtua anak tipe ini tidak melihat ada kelainan pada
anaknya. Mereka mengetahui kalau anaknya retardasi mental dari gurunya atau dari
psikolog, karena anaknya gagal naik kelas beberapa kali
C. ETIOLOGI
Faktor-faktor yang potensial menjadi penyebab retardasi mental
1. Non-organik
b. Faktor sosiokultural
d. Penelantaran anak
2. Organik
4. Disfungsi plasenta
2. Zat-zat teratogen
4. Toksemia gravidarum
1. Sangat prematur
4. Meningitis
5. Metabolik
Menurut sebastian Cs (2001) dan harum KH (2002) penyebab reterdasi mental sebagai
berikut.
1. Pranatal
a. Chramasomal aberrations
a) Sindrom Down 05%% kasus sindrom Down disebabkan trisomi 21, sisanya
disebabkan oleh translokasi dan mosaik.
e. Infeksi maternal
f. Zat-zat racun
Zat teratogen yang terpenting pada ibu hamil adalah etanol, yang dapat
menyebabkan fetal alcohol syndrame (FAS). Alkohol menyebabkan 3 kelainan
rama yaitu: 1. Gambaran dismorfik (bila terpajan pada tahap organogenesis); 2.
Retardasi pertumbuhan pranatal dan pascanatal; 3. Disfungsi susunan saraf pusat
(SSP), termasuk retardasi mental ringan atau sedang, perkembangan motorik
lambat, hiperaktivitas. Beratnya kelainan tergantung pada jumlah alkohol yang
dikonsumsi.
2. Perinatal
a. Infeksi
b. Masalah kelahiran
3. Pascanatal
c. Penyebab pascanatal lainnya Misalnya tumor ganas pada otak, trauma kepala
pada kecelakaan, hampir tenggelam (near-drowning)
d. Masalah psikososial. Misalnya, deprivasi maternal, kurang stimulasi, kemis-
kinan, dan lainnya.