Anda di halaman 1dari 19

AUTISME

A. DEFINISI AUTISME

Menurut PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia m


vang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan 1993 dan merupakan terjemahan es dari ICD-X
(International Classification of Diseases-X) yang diterbitkan WHO 1992 dan DSM-IV, yang
yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan/atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum
usia 3 tahun, dan anak mempunyai fungsi abnormal dalam 3 bidang yaitu interaksi sosial,
komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.

B. ETIOLOGI

Penyebab pasti autisme belum diketahui, tetapi diketahui bahwa penyebabnya san kompleks
dan multifaktorial dan terutama dipengaruhi faktor genetik. Dari berbagai penelitian disimpulkan
bahwa berbagai faktor secara sendiri atau bersama-sama menganggu susunan saraf pusat melalui
mekanisme tertentu, yang akhirnya menghasilkan suatu sindrom gangguan perilaku yang disebut
sebagai atutisme. Berbagai teori yang di. perkirakan menjadi penyebab terjadinya autisme adalah
sebagai berikut:

1. Faktor psikososial

Dahulu diperkirakan penyebab autisme adalah faktor psikogenik, yaitu


pengasuhan yang kaku dan obsesif dalam suasana emosional yang dingin. Pendapat lain
adalah sikap ibu yang kurang memperhatikan anak atau yang tídak
menghendaki/menolak kehadiran anak tersebut, sehingga mengakibatkan penarikan diri
dari anak tersebut Sebagai akibat teori ini, banyak ibu merasa bersalah dan stres. Padahal,
dia juga sudah banyak beban dengan merawat anaknya yang autisme. Namun, sekarang
teori tersebut disanggah. karena tidak terdapat perbedaan situasi keluarga antara anak
yang autisme dengan yang normal.

2. Faktor pranatal, perinatal, dan pascanatal

Komplikasi pranatal, perinatal, dan pascanatal, sering diketemukan pada anak


yang menderita autisme, seperti perdarahan setelah kehamilan trimester pertama serta
mekoneum pada cairan amnion sebagai tanda adanya fetal distres dan preklamsia.
Komplikasi lainnya antara lain adalah penggunaan obat-obatan tertentu pada ibu, infeksi
rubela pada ibu, inkompatibilitas rhesus, fenilketonuria yang tidak diobati. asfiksia atau
gangguan pernapasan lainnya, anemia pada janin, dan kejang pada neonatus. Semua
komplikasi itu menyebabkan gangguan fungsi otak yang diduga sebagai penyebab
autisme.

3. Teori imunologi

Ditemukan antibodi ibu terhadap antigen tertentu yang menyebabkan


penyumbatan sementara aliran darah otak janin. Selain itu, antigen tersebut juga
ditemukan pada sel otak janin, sehingga antibodi ibu dapat merusak jaringan otak janin.
Keadaan tersebut memperkuat teori peranan imunologi pada terjadinya autisme. Penyakit
autoimun seperti diabetes tipe 1, artritis rheumatoid. hipotiroid dan lupus ericematosus
sistemik, banyak ditemukan pada keluarga yang anaknya menderita autisme. Dikatakan
bahwa autisme ditemukan 8,8 kali lebih banyak pada anak yang Teori imunologi tunya
menderita penyakit autoimun

4. Teori infeksi

Peningkatan angka kejadian autisme terjadi pada anak-anak yang lahir dengan
rubela kungenital, ensefalitis herpes simpleks, dan infeksi sitomegalovirus, sebagai akibat
dari kerusakan otak anak. pernah dilaporkan bahwa overgrowth jamur Calbicans dapat
menyebar ke seluruh ah termasuk otak anak, sehingga mengganggu fungsi otak,
C.albicans juga menge- burkan enzim fosfolipid dan protease yang mengakibatkan
permeabilitas usus me- sinekat, sehingga mudah dilalui protein yang belum sempurna
dipecah seperti gluten Aan kasein. Dikatakan bahwa dengan diet rendah gluten dan
kasein, gejala autisme skan membaik, tetapi teori ini masih belum terbukti kebenarannya.

5. Faktor genetik

Terdapat bukti yang kuat bahwa faktor genetik berperan pada autisme. Pada
pasangan anak kembar satu telor (monozygot), ditemukan kejadian autisme sebesar 36-
95%, sedangkan pada anak kembar 2 telor (dizygot) kejadiannya 0-23%. Pada penelitian
keluarga dari anak yang autisme, diketemukan autisme pada saudara kandungnya 2,5-3%.
Dikatakan pula bahwa autisme adalah salah satu dari kemungkinan yang timbul pada
anak yang secara genetik pada keluarganya terdapat masalah belajar dan komunikasi.
Didapatkan angka kejadian autisme pada fragile-X sekitar 7-20% dan pada tuberous
sclerosis sekitar 17-61%. Pernah dilaporkan sindrom fragile-X yang Tejadi bersamaan
dengan gangguan X-linked autosomal dominan dan tuberous clerosis pada 8-11% kasus
autisme. indrom fragile-X meliputi sekumpulan gejala, seperti retardasi mental ringan
Sampai berat, kesulitan belajar, daya ingat jangka pendek yang buruk, kelainan fisik,
clumsiness, serangan kejang, dan hiper-refleksi. Sering juga ditemukan gangguan
perilaku, seperti hiperaktif, gangguan pemusatan perhatian, impulsif, ansietas, dan
gangguan autistik. Namun, hingga saat ini, hubungan antara autisme dengan sindrom
tragile-X masih diperdebatkan. Komponen genetik autisme cenderung heterogen,
melibatkan sekitar 100 gen. Kelainan Vemua kromosom, kecuali kromosom 14 dan 20.
Diketahui bahwa untuk terjadinya gejala autisme, terlibat gen majemuk yang berinteraksi
dengan berbagai faktor lingkungan sekitar. Kromosom yang sangat terkait dengan
autisme adalah kromosom genetik pada autisme ditemukan pada hampir semua
mitokondria dan 72 q 15q11-13.

6. faktor neuronatomi

Dengan majunya ilmu pengetahuan dan penelitian dalam bidang neurobiologis


dan genetika, telah ditemukan adanya kerusakan yang khas di dalam sistem limbik (pusat
emosi), yaitu pada bagian otak yang disebut hipokampus dan amigdala. Mereka
menemukan bahwa pada anak autisme, neuron di dalam hipokampus dan amigdala sangat
padat dan kecil-kecil. Amigdala mengendalikan fungsi emosi dan agresi. Anak autis pada
umumnya tidak bisa mengendalikan emosinya. Mereka seringkali agresif terhadap orang
lain atau pada diri sendiri; atau mereka sangat pasif seolah-olah tidak mempunyai emosi
Amigdala juga peka terhadap berbagai rangsang sensoris, seperti suara, penglihaun,
penciuman, dan emosi yang berhubungan dengan rasa takut. Penderita autisme seringkali
mengalami gangguan pada hal-hal tersebut di atas. Hipokampus bertanggung jawab
terhadap fungsi belajar dan daya ingat. Kerusakan pada hipokampus menyebabkan
kesulitan menyerap dan mengingat informasi baru dan juga menimbulkan perilaku yang
stereotipik, stimulasi diri, serta hiperaktivine Selain itu, pada penelitian dengan
menggunakan pemeriksaan MRI (Magneic Resonance Imaging), didapatkan lesi pada
lobus temporalis, parietalis, frontalis dan serebelum pada anak autistik. Kelainan di
serebelum ditemukan pada 30-50% anuk. berupa hipoplasia atau hiperplasia pada lobus
ke VI dan ke VII. Ditemukan jumlah sel-sel Purkinye di serebelum sangat sedikit dan
mempunyai kandungan serotonin yang tinggi, Keseimbangan antara neurotransmiter
serotonin dan dopamin sangat diperlukan untuk penyaluran impuls dari neuron satu ke
neuron yang lain. Sementari itu. kerusakan pada lobus frontalis mengakibatkan
terbatasnya perhatian terhadap lingkungan.

7. Faktor neurokimiawi/neurotransmiter

Teori ini mengacu pada ditemukannya peningkatan kadar serotonin pada sepertiga
anak autisme. Sejak itu, peranan neurotransmiter pada autisme mendapat banyak
perhatian. Diduga gangguan fungsi neurotransmiter inilah yang mendasari terjadinya
gangguan fungsi perilaku dan kognitif pada autisme. Neurotransmiter yang diduga
menimbulkan gangguan autisme adalah

a. Serotonin

Hiperserotoninemia didapatkan pada sepertiga anak autistik, separuh anak


autistik dengan retardasi mental, serta pada keluarga anak autistik.

b. Dopamin

Adanya hiperdopaminergik pada susunan saraf pusat diduga sebagai


penyebab hiperaktivitas dan stereotipi pada autisme, Walaupun tidak terdapat
perbedaan antara kadar asam homovalinik cairan serebrospinal dan perifer,
terbukti bahwa penghambatan reseptor dopamin dapat mengurangi gejala
hiperaktivitas dan stereotipi pada beberapa kasus autisme.

c. Opiat endogen dalam jumlah banyak. Ditemukan persamaan tingkah laku


antara anak autistik Dikatakan bahwa penderita autisme memproduksi
ensefalin dan beta-endorfin dengan anak dengan ketergantungan opiat, yaitu
terdapat gangguan interaki sosial dan kurang sensitif terhadap rasa sakit.
C. GEJALA KLINIS

Gejala autisme dibagi berdasarkan umur anak, yaitu:

1. Pada masa bayi

Sebenarnya, kalau kita jeli memperhatikan, gejala autistik sudah dapat diamati
pada masa bayi di bawah usia setahun, karena sebagian besar anak autistik berbeda
dari anak yang normal sejak dari lahir. Gejala utama yang khas adalah selalu
membelakangi/ tidak berani menatap mata pengasuhnya untuk menghindari kontak
fisik/kontak mata. Agar tidak diangkat, bayi memperlihatkan sikap yang diam atau
asyik bermain sendiri berjam-jam di ranjangnya tanpa menangis atau membutuhkan
pengasuhnya, sehingga pada awalnya orangtuanya mengira sebagai bayi yang manis
dan mudah diatur. Sebaliknya, sebagian bayi lainnya sering tampak agresif. Pada bayi
yang agresif ini, bayi sering menangis berjam-jam tanpa sebab yang jelas pada waktu
mereka sedang terjaga. Pada beberapa kasus, bayi mulai membentur-benturkan
kepalanya pada ranjangnya, tetapi keadaan ini tidak selalu terjadi. Gejala lainnya
adalah bayi menolak untuk dipeluk/disayang, tidak menyambut ajakan ketika kedua
tangannya diangkat, kurang bisa meniru pembicaraan atau gerakan badan, gagal
menunjukkan suatu objek kepada orang lain, dan kurang responsif terhadap isyarat
sosial seperti kontak mata atau senyuman. Bergumam- yang biasanya muncul
sebelum anak dapat mengucapkan kata-kata-mungkin tidak nampak pada anak
autisme.

2 Pada masa anak

Sekitar setengah anak-anak autistik mengalami perkembangan yang normal


sampai umur satu setengah sampai tiga tahun. Setelah itu, barulah tampak gejala autistik.
Anak-anak ini disebut sebagai regressive autism. Selama masa anak ini, perkembangan
anak autisme di bawah rata-rata anak sebayanya dalam bidang komunikasi, interaksi
sosial, kognitif, dan gangguan perilaku mulai tampak.
a. Gangguan perilaku

Gangguan perilaku tersebut antara lain adalah stimulasi diri (gerakan aneh
yang diulang-ulang atau perilaku yang tanpa tujuan, seperti menggoyang-
goyangkan tubuhnya ke depan dan belakang, tepuk-tepuk tangan, dll.),
mencederai diri sendiri (menggigit-gigit tangannya, melukai diri, membentur-
benturkan kepalanya), timbul masalah tidur dan makan, tidak sensitif terhadap
rasa nyeri, hiper/hipoaktivitas, gangguan pemusatan perhatian. Terutama pada
masa anak dini, kadang-kadang terdapat kelekatan yang aneh terhadap benda
yang tidak lembut. Karakteristik lainnya pada anak autistik adalah insistence on
sameness atau perilaku perseverative, yaitu sikap yang sangat rutin (ada
perubahan sedikit saja, anak akan marah dan tantrum). Anak dapat memaksakan
suatu kegiatan yang rutin seperti dalam suatu upacara; dapat terjadi preokupasi
yang stereotipik dengan perhatian yang khusus terhadap tanggal, rute, dan
jadwal; sering terdapat stereotipik motorik; sering memperhatikan secara khusus
unsur sampingan suatu benda (seperti bau atau rasa terdapat penolakan terhadap
perubahan dari rutinitas atau tata ruang di lingkungannya, Contoh rutinitas
tersebut adalah memakai baju dengan urutan yang sama seperti tangan kiri harus
dimasukkan terlebih dahulu, pergi ke sekolah melalui rute yang sama. Salah satu
alasan rutinitas tersebut adalah bahwa anak autisme tidak mempunyai
kemampuan untuk mengerti dan mengatasi perubahan situasi

b. Gangguan interaksi sosial

Gangguan interaksi social antara lain adalah tidak ada reaksi bila anak
dipanggil sehingga orangtua mengira anaknya tuli. Anak serang menyendiri, tidak
tertarik bergaul/bermain dengan anak lain, tidak mampu memahami aturan-aturan
yang berlaku, dan menghindari kontak mata. Walaupun mereka berminat untuk
mengadakan hubungan dengan temannya, seringkali terjadi hambatan karena ia
kurang memiliki kesadaran sosial. Hal ini pula yang menyebabkan mereka tidak
bisa memahami ekspresi wajah atau pun mengekspresikan perasaannya baik
secara vokal maupun dengan ekspresi wajah yang baik. Dengan demikian, ia tidak
mempunyai empati terhadap orang lain yang sangat dibutuhkan dalam interaksi
sosial. Dikatakan penderita hidup di dunianya sendiri. Perhatiannya pada orang
lain sebatas memakainya sebagai alat untuk mencapai tujuan, misalnya
mengambil tangan ibunya untuk memperbaiki mainannya yang rusak. Anak
tampak acuh tak acuh terhadap pendekatan yang dilakukan orangtuanya. Ada pula
anak yang menghindari sentuhan fisik, dengan cara membuat tubuhnya kaku, lari,
stres saar disentuh, atau bahkan tidak bereaksi kalau disentuh. Namun, ada pula
anak yang justru merasa cemas bila berpisah dengan orangtuanya dan akan
menempel terus. Seringkali anak menunjukkan perhatian yang kurang terhadap
orang lain, misalnya tidak peduli bila seseorang memasuki kamarnya.

c. Gangguan komunikasi

Sekitar 40-50% anak autis tidak memiliki kemampuan berkomunikasi, baik


verba maupun nonverbal. Gangguan ini nampak pada kurangnya penggunaan
bahasa untuk kegiatan sosial, seperti kendala dalam permainan imaginatif dan
imitasi; buruknya keserasian dan kurangnya interaksi timbal balik dalam
percakapan; buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif kurangnya
kreativitas dan fantasi pada proses berpikir; kurangnya respons emosional terhadap
ungkapan verbal dan not verbal orang lain; kendala dalam menggunakan irama dan
tekanan modulasi komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan
atau mengartikan komunikasi lisan, Pada anak autistik perkembangan kemampuan
berbahasa sangat lambat atau tidak ada sama sekali. Kata-kata yang dikeluarkan
tidak dapat dimengerti (bahasa planet). meniru tanpa mengetahui artinya (ekolali),
dan nada suaranya monoton seperti robot. Anak tidak dapat menyampaikan
keinginannya dengan kata-kata atau dengan bahasa isyarat. Sukar memahami arti
kata-kata yang baru mereka dengar dan tidak dapat menggunakan bahasa dalam
konteks yang benar. Anak sering mengulang kata- kata yang baru/pernah didengar
tanpa maksud untuk berkomunikasi. Bila bertanya. mereka sering menggunakan
kata ganti orang yang terbalik, misalnya menyebut dirinya "kamu" dan menyebuy
orang lain "saya". Komunikasi nonverbal lewat ekspresi wajah dan gerakan tubuh
seringkali tidak diketemukan pada anak autisme. Anak autis sulit, menggunakan
bahasa tubuh untukberkomunikasi, seperti menggelengkan kepala, melambaikan
tangan, mengangkat alas. Biasanya tidak menunjuk atau memakai gerakan tubuh
untuk menyampaikan maksudnya, tetapi mengambil tangan orang lain untuk
menunjuk objek yang dituju.

d. gangguan kognitif

Semua tingkatan IQ dapat diketemukan pada anak autis, tetapi sekitar


sekitar 70% anak autistik mengalami retardasi mental; derajat retardasi mental
sejalan dengan beratnya gejala autisme. Kemampuan memahami apa yang
dipikirkan orang sangat rendah, dan kondisi ini menetap sepanjang hidupnya.
Kreativitasnya sangat terbatas. Gangguan kognitif pada anak autis tidak terjadi
pada semua sektor perkembangan kognitif, karena ada sebagian kecil anak autis
mempunyai kemampuan yang luar biasa, misalnya dalam bidang musik,
matematik, kemampuan visuo-spatial, di samping kekurangannya yang berat di
bidang lain. Anak ini disebut sebagai autistic savant (dulu disebut idiot savant)

e. Respons abnormal terhadap perangsangan indera

Pada anak autistik, mungkin terjadi respons yang hipo-/hipersensitif


terhadap perangsangan dan rangsangan penglihatan, pendengaran, perasentuhan,
penciuman,

f. Gangguan emosi

Beberapa anak menunjukkan perubahan perasaan yang tiba-tiba (mungkin


tertawa atau menangis) tanpa alasan yang jelas. Kadang-kadang timbul rasa takut
yang sangat terhadap objek yang sebenarnya tidak menakutkan atau terdapat
keterikatan pada benda-benda tertentu, atau ada cemas/depresi berat terhadap
perpisahan. Anak juga menunjukkan respons yang kurang terhadap emosi orang
lain dan tidak bisa menunjukkan empati, schingga tidak terdapat respons timbal
balik sosio-emo-sional
SINDROM DOWN

A. defenisi sindrom down

Pada 1866, John Langdon Haydon Down pertama kali mendeskripsikan gambaran
fisik dan masalah kesehatan yang sesuai dengan gambaran sindrom Down. Lejeune dan
Jacobs, pada 1959. pertama kali menemukan bahwa kelainan ini disebabkan oleh Trisomi
21. Trisomi ini memiliki 3 tipe. Pertama, adalah tipe nondisjunction atau pada saat oosit
bermeiosis, tipe ini merupakan kelainan terbanyak (94%) pada sindrom Down. Kedua,
adalah tipe translokasi, yakni sebagian atau seluruh kromosom ekstra 21 bergabung
dengan kromosom lainnya (kromosom 14, atau 15, atau 21, atau 22), tipe ini mencakup
3.5% kasus. Ketiga, adalah tipe mosaik, yaitu campuran antara diploid normal dan sel
yang mengalami trisomi 21, pada tipe ini terjadi nondisjunction selama mitosis pada awal
embriogenesis, tipe ini meliputi 2,5% kasus. Tipe pertama sangat berhubungan dengan
meningkatnya umur ibu saat terjadinya konsepsi. Pada tipe kedua tidak ditemukan
pengaruh umur, sekitar 75% translokasi terjadi secara de novo, dan sekitar 25% terjadi
secara familial atau diturunkan. Tipe ke tiga yaitu tipe mosaik, biasanya mempunyai
gambaran fenotip yang sedikit lebih baik dibanding dengan trisomi 21 atau translokasi
kromosom 21.

B. ETIOLOGI

abad sebelumnya, banyak hipotesis penyebab sindrom Down, tetapi sejak


temukan pada 1959, perhatian lebih dipusatkan pada kelainan kromosom. Kelainan
kromosom tersebut kemungkinan disebabkan oleh:

1. genetik Pada translokasi, 25% bersifat familial. Bukti yang mendukung teori ini
didasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan bahwa ada
peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom
Down. Bila terdapat translokasi pada kedua orangtua, sebaiknya dilakukan studi
familial tambahan dan konseling untuk menentukan adanya karier atau tidak. Kalau
orangtuanya adalah karier, anggota keluarga lainnya juga harus diperiksa, sehingga
akan teridentifikasi risiko sindrom Down. Tipe nondisjunction juga diperkirakan
berhubungan dengan genetik.
2. Umur ibu. Setelah umur lebih dari 30 tahun, risiko sindrom Down mulai meningkat,
dari 1:800 menjadi 1:32 pada umur 45 tahun, terutama pada tipe nondisjunction.
Peningkatan insiden ini berhubungan dengan perubahan endokrin, terutama hormon
seks, antara lain meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandos-
teron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor
hormon, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormone) dan FSH
Follicular Stimulating Hormone) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause.

3. Radiaasi, Pengaruh radiasi masih kontroversial, Suatu literatur menyebutkan bahwa


30 meningkatkan predisposisi nondisjunction pada sindrom Down ini. Sekitar 30%
ibu yang melahirkan anak sindrom Down, pernah mengalami radiasi di daerah perut
sebelum terjadinya konsepsi, tetapi peneliti lain tidak menemukan hubungan tersebut.

4. Infeksi. Virus diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya sindrom Down, tctapi
sampai saat ini belum dapat dibuktikan bagaimana virus dapat menyebabkan
terjadinya nondisjunction pada kromosom 21.

5. Autoimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid
diduga berhubungan dengan sindrom Down. Falkow, 1996, secara konsisten
mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak
dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang umurnya sama.

C. PATOGENESIS

Sindrom Down merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh lebih dari 350
yang terdapat pada ekstrakromosom 21. Mekanisme yang menyebabkan muncul berbagai
fenotip saat lahir maupun ketika dalam perkembangan ini sangat bervariasi masih
menimbulkan perdebatan. Hipotesis yang banyak dianut adalah adanya salinan ekstra
pada bagian proksimal 21q22.3 yang mengakibatkan munculnya fenotip retardasi mental,
gambaran wajah khas kelainan pada tangan, dan kelainan jantung kongenital. Analisis
molekuler menunjukkan bahwa area 21q22.1-q22.3 mengandung gen yang bertanggung
jawab atas kelainan jantung kongenital yang ditemukan pada sindrom Down. Gen yang
baru terungkap (DSCR1) dan diidentifikasi pada area 21q22.1-q22.2 terlibat pada
pemunculan kelainan pada otak dan jantung, yang menyebabkan kelainan jantung dan
retardasi mental. Penelitian Roper RJ, 2006 pada model tikus, menunjukkan bahwa
hipotesis gen tunggal sebagai satu-satunya patofisiologi munculnya fenotip sindrom
Down adalah lemah. Fenotip sindrom lebih mungkin disebabkan oleh interaksi multipel
gen. Mekanisme gen dapat berupa : dosis tunggal gen (single dosage sensitive), interaksi
majemuk (multiple dosage sensitive), variasi alel, heterotrisomi, dan perubahan minimal
pada gen. Hipotesis kemungkinan mekanisme sindrom Down terhadap munculnya
fenotip

D. GEJALA KLINIS

Anak pengidap sindrom Down memiliki berbagai kelainan mental dan malformasi
karena ada bahan ekstragenetik dari kromosom 21. Fenotipnya bervariasi, tetapi
umumnya didapat gambaran konstitusional yang cukup bagi klinisi yang berpengalaman
untuk menduga Sindrom Down. Kumpulan manifestasi klinis ini dapat dilihat pada Tabel
42.1. Derajat gangguan mental bervariasi antara ringan (IQ=50-70), sedang (IQ=35-50),
dan kadang berat (IQ=20-35). Peningkatan risiko kelainan jantung kongenital adalah
50%; leukemia, <1%; kehilangan pendengaran, 75%; otitis media, 50%-70%; penyakit
Hirschprung, <1%; atresia saluran cerna, 12%; penyakit mata, 60% [antara lain, katarak
(15%) dan gangguan refraksi berat (50%)]; dislokasi pinggul dapatan, 6%; apnea
obstruktif, 50%-75%; dan gangguan hormon tiroid, 15%. Fungsi sosial anak dengan
sindrom Down sering lebih baik daripada kecerdasan intelegensianya.
RETARDASI MENTAL

A. DEFINISI RETERDASI MENTAL

Retardasi mental adalah kemampuan mental yang tidak mencukupi. Curter CH


(dikutip dari Toback C) mengatakan bahwa retardasi mental adalah suatu kondisi yang
ditandai oleh intelegensi yang rendah yang menyebabkan ketidakmampuan individu
untuk belajar dan beradapsi terhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan yang
dianggap normal. Menurut Melly Budhiman (1991), seseorang dikatakan retardasi
mental, bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Fungsi intelektual umum di bawah normal

2. Terdapat kendala pada perilaku adaptif social

3. Gejalanya timbul dalam masa perkembangan, yaitu di bawah usia 18 tahun.

Menurut Liptak GS (1996), yang dimaksud dengan retardasi mental adalah anak
yang mempunyai IQ di bawah 70/75, onset sebelum 18 tahun, dan terdapat keterbatasan
pada keterampilan adaptif (yaitu keterbatasan dalam berkomunikasi, menolong diri
sendiri, home living, keterampilan sosial, bermasyarakat, mengarahkan diri, kesehatan,
keamanan, fungsi akademik, menggunakan waktu luang dan bekerja).

Menurut Sebastian SC (2002), retardasi mental adalah keterlambatan


perkembangan yang dimulai pada masa anak, yang ditandai oleh inteligensi/kemampuan
kognitif di bawah normal dan terdapat kendala pada perilaku adaptif sosial.Definisi
retardasi mental menurut American Association on Mental Retardation (AAMR) adalah:
"fungsi intelektual umum secara bermakna di bawah normal, disertai adanya keterbatasan
pada 2 fungsi adaptif atau lebih, yaitu komunikasi, menolong diri sendiri, keterampilan
sosial, mengarahkan diri, keterampilan akademik, bekerja, menggunakan waktu luang,
kesehatan dan atau keamanan; keterbatasan ini timbul sebelum umur 18 tahun."

B. KLASIFIKASI

Terdapat bermacam-macam klasifikasi retardasi mental, yaitu:


1. Klasifikasi menurut American Association Mental Deficiency (AAMD) dan WHO
dapat dilihat pada Tabel 43.1.

2. Menurut Melly Budhiman, 1991

a. Retardasi mental tipe klinik

Pada retardasi mental tipe klinik ini mudah dideteksi sejak dini, karena kelainan
fisik maupun mentalnya cukup berat. Penyebabnya sering adalah kelainan organik.
Kebanyakan anak ini perlu perawatan yang terus menerus dan kelainan ini dapat terjadi
pada kelas sosial tinggi atau pun rendah. Orangtua anak penderita retardasi mental tipe
klinik ini cepat mencari pertolongan karena mereka melihat sendiri kelainan pada
anaknya.

b. Retardasi mental tipe sosiobudaya

Biasanya, kelainan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan ternyata
tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak normal, sehingga tipe ini
disebut juga retardasi enam jam, karena begitu mereka keluar sekolah, mereka dapat
bermain seperti anak-anak normal lainnya. Tipe ini kebanyakan berasal dari golongan
sosial ekonomi rendah. Para orangtua anak tipe ini tidak melihat ada kelainan pada
anaknya. Mereka mengetahui kalau anaknya retardasi mental dari gurunya atau dari
psikolog, karena anaknya gagal naik kelas beberapa kali

3. klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan

Kategori IQ pendidikan Bimbingan Prevalen


Ringan 55-70 Mampu Kadang-kadang 0,9%-2,7%
mendidik
Sedang 40-54 Mampu melatih Terbatas
Berat 25-39 Tidak mampu Ekstensif 0,3%-0,4%
latih
Sangat berat <25 Tidak mampu Tidak mampu
latih dilatih
Retardasi mental tipe ringan masih mampu didik, retardasi mental tipe sedang
mampu latih, sedangkan retardasi mental tipe berat dan dan bimbingan seumur hidupnya.
Bimbingan untuk retardasi mental tergantung pada tingkat kemandirian anak. Pada
retardasi mental berat, anak perlu bimbingan secara intensif, sedangkan yang sangat berat
perlu bimbingan "pervasif".

4. Klasifikasi berdasarkan ada dan tidaknya komorbid

a. Retardasi mental dengan kelainan dismorfik sangat berat memerlukan


pengawasan Lebih mudah untuk menegakkan diagnosis pada tipe ini.

b. Retardasi mental tanpa kelainan dismorfik

C. ETIOLOGI
Faktor-faktor yang potensial menjadi penyebab retardasi mental

1. Non-organik

a. Kemiskinan dan keluarga yang tidak harmonis

b. Faktor sosiokultural

c. Interaksi anak dan pengasuh yang tidak baik

d. Penelantaran anak

2. Organik

2.1. Faktor prakonsepsi

a. Abnormalitas single gene (penyakit-penyakit metabolic.

b. kelainan neuro- cutaneous) - Kelainan kromosom (X-linked, translokasi,


fragile-X)

c. Sindrom polygenic familial

2.2 Faktor pranatal


Gangguan pertumbuhan otak trimester I

1. Kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 13, mosaik, dan lainnya

2. Infeksi intrauteri, misalnya TORCH, HIV (Human immunodeficiency


virus)

3. Zat-zat teratogen (alkohol, radiasi, rokok, kokain, logam berat, dan


lainnya

4. Disfungsi plasenta

5. Kelainan kongenital dari otak (idiopatik)

Gangguan pertumbuhan otak trimester II dan III

1. Infeksi intrauteri, misalnya TORCH, HIV

2. Zat-zat teratogen

3. Ibu: diabetes melitus, PKU (Phenylketonuria)

4. Toksemia gravidarum

5. Disfungsi plasenta Ibu malnutrisi

2.2. Faktor perinatal

1. Sangat prematur

2. Asfiksia neonatorum, HIE (hipaxic ischemic encephalopathy)

3. Trauma lahir: perdarahan intra kranial

4. Meningitis

5. Kelainan metabolik: hipoglikemia, hiperbilirubinemia

2.3. Faktor pascanatal

1. Trauma berat pada kepala/susunan saraf pusat


2. Gangguan perkembangan otak: hidrosefalus, lissencephaly

3. Neurotoksin, misalnya logam berat CVA (Cerebrovascular accident)

4. Anoksia, misalnya tenggelam

5. Metabolik

Menurut sebastian Cs (2001) dan harum KH (2002) penyebab reterdasi mental sebagai
berikut.

1. Pranatal

a. Chramasomal aberrations

a) Sindrom Down 05%% kasus sindrom Down disebabkan trisomi 21, sisanya
disebabkan oleh translokasi dan mosaik.

b) Delesi Contoh, sindrom cri-du-chat disebabkan dilesi pada kromosom 5p3

c) Sindrom malformasi akibat mikrodilesi Contoh, sindrom Prader-Willi


(paternal origin) dan Angelman (maternal origin) terjadi mikrodelesi pada
kromosom 15ql1-12, terdapat perbedaan fenotip karena mekanisme imprinting

b.Disorders with autosomal-dominant inheritance

Contoh adalah tuberous sclerosis yang disebabkan mutasi gen pada


pembentuk- an lapisan ektodermal dari fetus. Bila diagnosis ruberous sclerosis
ditegakkan. kedua orangtuanya harus diperiksa, karena risiko kejadian dapat
berulang 50% pada setiap kehamilan.

c. Disorders with autosamal-recessive inheritance

Sebagian besar penyakit metabolik mengikuti kategori ini. Contohnya


adalah phenylketonuria (PKU), penyakit metabolik yang banyak diketahui.
Gangguan ini pertama kali diketahui pada tahun 1934 oleh Folling pada anak
dengan retardasi mental.
d. X-linked mental retardation

Fragile X syndrome merupakan pernyebab kedua retardasi mental, setelah


sindrom Down. Kelainan kromosom terjadi pada lokasi Xq27.3.

e. Infeksi maternal

1. Infeksi rubela pada bulan pertama kehamilan, dapat memengaruhi


organogenesis fetus (50%). Infeksi pada bulan ketiga kehamilan
mengakibatkan gangguan perkembangan ferus (15%). Kelainan akibat infeksi
rubela be rupa retardasi mental, mikrosefali, gangguan pendengaran,
katarak,kelainan jantung bawaan.

2. Infeksi sitomegalovirus kongenital dapat menyebabkan mikrosetal, gangguan


pendengaran sensorineural, dan retardasi psikomotor.

3. Toksoplasmosis kongenital mengakibatkan 20% bayi yang terinfeksi


mengalami kelainan hidrosefalus, mikrosefali, gangguan perkembangan
psikomotor, mata, dan pendengaran.

4. HIV kongenital dapat menyebabkan ensefalopati, yang ditandai oleh


mikrosefali, kelainan neurologi progresif, retardasi mental, dan gangguan
perilaku.

f. Zat-zat racun

Zat teratogen yang terpenting pada ibu hamil adalah etanol, yang dapat
menyebabkan fetal alcohol syndrame (FAS). Alkohol menyebabkan 3 kelainan
rama yaitu: 1. Gambaran dismorfik (bila terpajan pada tahap organogenesis); 2.
Retardasi pertumbuhan pranatal dan pascanatal; 3. Disfungsi susunan saraf pusat
(SSP), termasuk retardasi mental ringan atau sedang, perkembangan motorik
lambat, hiperaktivitas. Beratnya kelainan tergantung pada jumlah alkohol yang
dikonsumsi.

g. Toksemia kehamilan dan insufisiensi plasenta


Intrauterine growth retardation (IUGR) banyak penyebabnya. Penyebab
yang penting adalah toksemia kehamilan yang dapat mengakibatkan kelainan
pada SSP. Prematuritas dan terutama IUGR merupakan predisposisi komplikasi
perinatal, yang bisa memengaruhi SSP dan menimbulkan masalah perkem-
bangan lainnya.

2. Perinatal

a. Infeksi

Infeksi pada periode neonatal dapat menyebabkan sekucle perkembangan,


misalnya herpes simpleks tipe 2 yang dapat menyebabkan ensefalitis dan sekuelenya.
Infeksi bakteri yang menyebabkan sepsis dan meningitis dapar mengakibatkan
hidrosefalus.

b. Masalah kelahiran

Asfiksia berat, prematuritas, trauma lahir, dan gejala-gejala neurologis pada


masa bayi harus diwaspadai sebagai faktor risiko retardasi mental.

c. Masalah perinatal lainnya

Misalnya, pada retinopathy of prematurity (fibroplasia retrolental) karan


makaian oksigen 100% pada bayi prematur, selain mengakibatkan kebutaan juga
dapat mengakibatkan kerusakan SSP dan retardasi mental. Demikian pula,
hiperbilirubinemia dapat menyebabkan kern ikterus dan retardasi mental.

3. Pascanatal

a. Infeksi, misalnya ensefalitis dan meningitis.

b. Zat-zat racun, misalnya keracunan logam-logam berat.

c. Penyebab pascanatal lainnya Misalnya tumor ganas pada otak, trauma kepala
pada kecelakaan, hampir tenggelam (near-drowning)
d. Masalah psikososial. Misalnya, deprivasi maternal, kurang stimulasi, kemis-
kinan, dan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai