Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


ANAK DENGAN HISCHPRUNG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Profesi Departemen Keperawatan Anak


Dalam Proses Pembelajaran Daring

Dosen Pengampu: Ns. Nurona Azizah, M. Biomed

Oleh:

MUGI PRAYITNO

NIM: 190070300011084

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
Laporan Pendahuluan
HIRSCHPRUNG

A. DEFINISI
 Hirschprung : Penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau
bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan
atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz,
Cecily & Sowden : 2000 ).
 Hirschprung : Kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering
pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir  3
Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ).
 Hirschprung : Penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang
disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada
evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.
 Hirschprung : Disebut juga Mega Colon yang dikenalkan pertama kali oleh
Hirschprung tahun 1886. Zuelser dan Wilson, 1948 mengemukakan bahwa
pada dinding usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis.
 Hirschprung : Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan
disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan
meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi
saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal
ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75%
penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh
usus sampai pilorus.

B. KLASIFIKASI HIRSCHPRUNG
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu:
a. Penyakit Hirschprung Segmen Pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70%dari
kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan.
b. Penyakit Hirschprung Segmen Panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau
usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki maupun perempuan.
 Berdasarkan keluasan segmen agangliosinosisnya , yaitu:
1. Hirschprung disesase (HD) klasik (75%), segmen aganglionik tidak melewati
bagian atas segmen sigmoid.
2. Long segment HD (20%)
3. Total colonic aganglionosis (3-12%)
 Beberapa lainnya terjadinya jarang, yaitu:
1. Total intestinal aganglionosis
2. Ultra-short-segment HD (melibatkan rektum distal dibawah lantai pelvis dan
anus (Yoshida, 2004).

C. ETIOLOGI HIRSCHSPRUNG
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan
dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70% terbatas di daerah
rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5% dapat mengenai seluruh
usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada anak
dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus,
gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus. (Budi,
2010).

D. FAKTOR RESIKO HIRSCHPRUNG


 Faktor Genetik
Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A
atau 2B pada penyakit Hirschsprung familiar. Gen lain yang berhubungan
dengan penyakit hirschsprung termasuk neurotrofik glial yang diturunkan dari
faktor gen, reseptor gen endothelin-B dan gen endothelin-3. Penyakit ini juga
terkait dengan Down Syndrome yang terjadi sekitar 5–15% dari pasien dengan
penyakit ini juga memiliki trisomi 21.
 Faktor Lingkungan
 Tidak adanya sel–sel ganglion dalam rectum atau bagian rektorigmoid kolon
 Ketidakmampuan sfingter rectum berelaksasi
E. PATOFISIOLOGI HIRSCHPRUNG
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal.
Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus
besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga
pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum
tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang
menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian
proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon (Betz, Cecily & Sowden,
2002:197). 
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian
usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan
dibagian Colon tersebut melebar (Price, S & Wilson, 1995: 141).
Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding
usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang
bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan
neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang agangloinik terbatas pada
rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa sel-sel ganglion.
Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan
kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak di dapatkan pleksus Meissner
dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang hipertrofi dengan konsentrasi
asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-lapisan otot dan pada submukosa.
Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian usus
yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion parasimpatik
intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang sehingga tetap
sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal yang
normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megakolon. Pada Morbus
Hirschsprung segemen pendek, daerah aganglionik meliputi rectum sampai sigmoid, ini
disebut penyakit Hirschprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak
laki-laki, yaitu 5 kali lebih sering daripada anak perempuan. Bila daerah aganglionik
meluas lebih tinggi dari sigmoid disebut Hirschprung segmen panjang. Bila
aganglionosis mengenai seluruh kolon disebut kolon aganglionik total, dan bila
mengenai kolon dan hamper seluruh usus halus, disebut aganglionosis universal.
Pathway

Absensi ganglion messner


(tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal)

Usus pastis dan daya dorong tidak ada


(tidak adanya evakuasi usus spontan)

Spinkter rectum tidak dapat berelaksasi

Isi usus mendorong ke segmen ganglionik

obstruksi

Feses tidak bisa keluar

Distensi abdomen Akumulasi pada usus

Gangguan Rasa Obstipasi tidak ada mekonium


Muntah
Nyaman

Konstipasi
Defisit Resiko
Nutrisi Ketidakseimbangan
Cairan

Perubahan status kesehatan anak

Pembedahan Koping keluarga tidak efektif

Risiko Gangguan Integritas Defisit Pengetahuan


Kulit/ Jaringan
F. MANIFESTASI KLINIS HIRSCHSPRUNG
Stasi Klinik Hischprung
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi akibat dari 
kelumpuhan  usus besar dalam menjalankan fungsinya, sehingga tinja
tidak dapat keluar. Biasanya bayi baru lahir akan mengeluarkan tinja
pertamanya (mekonium) dalam 24 jam pertama. Namun pada bayi yang
menderita penyakit Hisprung, tinja akan keluar terlambat atau bahkan
tidak dapat keluar sama sekali. Selain itu perut bayi juga akan terlihat
menggembung, disertai muntah. Jika dibiarkan lebih lama, berat badan
bayi tidak akan bertambah dan akan terjadi gangguan pertumbuhan
(Budi, 2010).
Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan meconium dalam 24–28
jam pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah
bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000:
317).
Gejala penyakit hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah,
bayi dengan Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis
sebagai berikut. Obstruksi total saat lahir dengan muntaah, distensi
abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi
meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala rigan
berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare,
distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada
colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis
nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang
dapat berdarah (Nelson, 2002: 317).
Gejala sesuai dengan usia anak :
 Masa neonatal
 Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir
 Muntah berisi empedu
 Enggan minum
 Distensi abdomen
 Masa bayi dan kanak-kanak
 Konstipasi
 Diare berulang
 Tinja seperti pita, berbau busuk
 Distensi abdomen
 Gagal tumbuh
Sedangkan menurut Anonim (2010) gejala yang ditemukan pada bayi yang
baru lahir adalah :
1. Dalam rentang waktu 24-48 jam, bayi tidak mengeluarkan Meconium
(kotoran pertama bayi yang berbentuk seperti pasir berwarna hijau
kehitaman)
2. Malas makan
3. Muntah yang berwarna hijau
4. Pembesaran perut (perut menjadi buncit)
Pada masa pertumbuhan (usia 1 -3 tahun):
1. Tidak dapat meningkatkan berat badan
2. Konstipasi (sembelit)
3. Pembesaran perut (perut menjadi buncit)
4. Diare cair yang keluar seperti disemprot
5. Demam dan kelelahan adalah tanda-tanda dari radang usus halus dan
dianggap sebagai keadaan yang serius dan dapat mengancam jiwa.
Pada anak diatas 3 tahun, gejala bersifat kronis:
1. Konstipasi (sembelit)
2. Kotoran berbentuk pita
3. Berbau busuk
4. Pembesaran perut
5. Pergerakan usus yang dapat terlihat oleh mata (seperti gelombang)
6. Menunjukkan gejala kekurangan gizi dan anemia.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK HIRSCHSPRUNG


Pemeriksaan yang dapat dilakukan menurut Ngatsiyah (1997 : 139), yaitu:
1. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat
penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
2. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan
dibawah narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
3. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada
penyakit ini klhas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
4. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.
Selain itu pemeriksaan lain menurut Betz (2002 : 197), yaitu:
1. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
2. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
3. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
4. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan
eksterna.

Pemeriksaan dengan barium enema (Darmawan K, 2004: 17), dengan


pemeriksaan ini akan bisa ditemukan :
a. Daerah transisi
b. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c. Entrokolitis pada segmen yang melebar
d. Terdapat retensi barium setelah 24-48 jam

Menurut Rosa M. Sacharin dalam Prinsip Keperawatan Pediatrik adalah :


1. Pemeriksaan radiologis akan menemukan kelainan pada kolon setelah
enema barium. Radiografi biasa akan memperlihatkan dilatasi pada kolon
diatas segmen aganglionik
2. Biopsi rektal. Ini dilakukan dibawah anestesi umum. Hal ini melibatkan baik
diperolehnya sampel lapisan otot rektum untuk pemeriksaan adanya sel
ganglion dari pleksus auerbach atau biopsi yang lebih superfisial untuk
memperoleh mukosa dan submukosa bagi pemeriksaan pleksus meissner.
Jika dilakukan biopsi dalam, terdapat bahaya adhesi dan infeksi dari jaringan
dalam.
3. Manometri anorektal. Pada uji ini, suatu balon dimasukkan ke dalam rektum
dan dikembangkan. Secara normal dikembangkannya balon menghambat
spincter ani interna. Pada penyakit hirscprung efek inhibisi ini tidak ada. Jika
balon berada dalam usus aganglionik, dapat diidentifikasi gelombang rektal
yang abnormal. Merupakan suatu uji sederhana, tetapi pada neonatus dapat
diperoleh hasil positif maupun negatif palsu.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS HIRSCHPRUNG


Tujuan pentalaksanaan medis
 Penanganan komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi
 Penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif
dilakukan, Pembersihan kolon
 Memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
Varietas Ringan
1. Laksativa, enemata minyak zaitun dan salin washout. (Air tidak boleh
digunakan karena bahan absorpsi air yang mengarah pada intoksi air. Hal
ini disebabkan difusi yang cepat usus yang mengalami dilatasi air dalam
keadaan sirkulasi.)
2. Anak harus masuk rumah sakit hanya jika feses menyebabkan obstruksi.
3. Tindak lanjut dan supervisi seksama dan akhirnya intervensi bedah.

Konfirmasi kasus dengan gejala sedang dan parah


1. Intervensi bedah. Ini terdiri dari pengangkatan dari segmen usus aganglionik
yang mengalami obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan
dengan teknik pull-through dan dapat dicapai dengan prosedur tahap
pertama, tahap kedua atau tahap ketiga. Pada prosedur tahap kedua dan
tahap ketiga, rekto-sigmoidoskopi didahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi
ditutup dalam prosedur tahap kedua.
2. Persiapan pra bedah :
a. Lavase kolon
b. Antibiotika
c. Infus intravena
d. Tuba nasogastrik
e. Perawatan prabedah rutin
3. Penatalaksanaan pasca bedah :
a. Rutin
b. Perawatan luka
c. Perawatan kolostomi
d. Observasi, distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis, ileus paralitik
dan peningkatan suhu.
4. Dukungan orang tua. Kolostomi harus memiliki perhatian kepada anak dan
mengetahui bagaimana menangani anak dengan suatu kolostomi, observasi
apa yang perlu dilakukan, bagamana membersihkan stoma, dan bagaimana
mengenakan kantung kolostomi.

Proses pengobatan dengan pembedahan :


 Medis (operasi) ada 2 tahap:
1. Temporari ostomy
2. Pembedahan koreksi
 Perawatan (tergantung usia), peride neonatal:
1. Membantu ortu mengetahui kelainan kongenital pada anak secara dini.
2. Mempererat ikatan antara orang tua dan anak
3. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis
(pembedahan)
4. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana
pulang( FKUI, 2000 : 1135)
Prosedur bedah
a. Prosedur Swenson
Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan untuk
menangani penyakit Hirschsprung. Segmen aganglionik direseksi hingga
kolon sigmoid kemudian anastomosis oblique dilakukan antara kolon normal
dengan rektum bagian distal
b. Prosedur Duhamel
Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai
modifikasi prosedur Swenson. Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal
digunakan dan beberapa bagian rektum yang aganglionik dipertahankan.
Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum dijahit. Usus
bagian proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal (diantara
rektum dan sakrum), kemudian end-to-side anastomosis dilakukan pada
rektum yang tersisa
c. Prosedur Soave
Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang
mukosa dan submukosa dari rektum dan menarik usus ganglionik ke arah
ujung muskuler rektum aganglionik. Awalnya, operasi ini tidak termasuk
anastomosis formal, tergantung dari pembentukan jaringan parut antara
segmen yang ditarik dan usus yang aganglionik. Prosedur ini kemudian
dimodifikasi oleh Boley dengan membuat anastomosis primer pada anus.
DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Konstipasi berhubungan dengan aganglionik atau obstruksi ketidakmampuan


Kolon mengevakuasi feces (penyakit Hisprung)
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengabsorpsi
nutrien
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif tentang
penyakit Hischprung ditandai dengan ibu pasien menanyakan masalah
penyakit anaknya
4. Resiko gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan perubahan
status nutrisi dikarenakan penyakit hischprung

INTERVENSI

1. Konstipasi berhubungan dengan aganglionik atau obstruksi ketidakmampuan


Kolon mengevakuasi feces (penyakit Hisprung)
Luaran Keperawatan (Eliminasi Fekal / L.04033)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan
pengeluaran feses mudah dan konsistensi, frekuensi serta bentuk feses
normal membaik
Kriteria Hasil :

NILAI TINGKAT
Kontrol pengeluaran feses 1 Menurun
2 Cukup Menurun
3 Sedang
4 Cukup Meningkat
5 Meningkat

Keluhan defekasi lama dan sulit 1 Meningkat


Mengejan saat defekasi 2 Cukup Meningkat
Distensi abdomen 3 Sedang
Terasa massa pada rektal 4 Cukup Menurun
Urgency 5 Menurun
Nyeri abdomen
Kram abdomen

Konsistensi feses 1 Memburuk


Frekuensi defekasi 2 Cukup Memburuk
Peristaltik usus 3 Sedang
4 Cukup Membaik
5 Membaik
Intervensi Keperawatan (SIKI):
Manajemen Eliminasi Fekal (I.04151)
O (Observasi):
 Identifikasi masalah usus dan penggunaan obat pencahar
 Identifikasi pengobatan yang berefek pada kondisi gastrointestinal
 Monitor buang air besar (misal warna, frekuensi, konsistensi, volume)
 Monitor tanda dan gejala diare, konstipasi atau impaksi
T (Terapeutik):
 Berikan air hangat setelah makan
 Jadwalkan waktu defekasi bersama pasien
 Sediakan makanan tinggi serat
E (Edukasi):
 Jelaskan jenis makanan yang membantu meningkatkan keteraturan
peristaltik usus
 Anjurkan mencatat warna, frekuensi, konsistensi,volume feses,
 Ankurkan menngkatkan aktifitas fisik, sesuai toleransi
 Anjurkan pengurangan asupan makanan yang meningkatkan
pembentukan gas
 Anjurkan mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi serat
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan, jika tidak ada kontra indikasi
K (Kolaborasi):
 Kolaborasi pemberian obat supositoria anal, jika perlu

2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengabsorpsi


nutrien
Luaran Keperawatan (Status Nutrisi / L.03031)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan
status nutrisi bayi membaik
Kriteria Hasil :
NILAI TINGKAT
Berat badan 1 Menurun
Panjang badan 2 Cukup Menurun Intervensi
3 Sedang
4 Cukup Meningkat
5 Meningkat

Kulit kuning 1 Meningkat


Sklera kuning 2 Cukup Meningkat
Membran mukosa kuning 3 Sedang
Prematuritas 4 Cukup Menurun
Bayi cengeng 5 Menurun
Pucat
Kesulitan makan
Alergi makanan

Pola makan Memburuk


Tebal lipatan kulit tebal Cukup Memburuk
Proses tumbuh kembang Sedang
Lapisan lemak Cukup Membaik
Membaik
Keperawatan (SIKI):
Manajemen Nutrisi (I.03119)
O (Observasi):
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
T (Terapeutik):
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (misal: piramida makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan protein
 Berikan suplemen makanan,jika perlu
 Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan
oral dapat ditoleransi
E (Edukasi):
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang di programkan

K (Kolaborasi):
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (misal pereda
nyeri, anti emetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang di butuhkan, jika perlu

3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif tentang


penyakit Hischprung ditandai dengan ibu pasien menanyakan masalah
penyakit anaknya
Luaran Keperawatan (Tingkat Pengetahuan / L.12111)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan
tingkat pengetahuan orang tua bayi / keluarga tentang penyakit anaknya
menjadi lebih adekuat
Kriteria Hasil :

NILAI TINGKAT
Perilaku sesuai anjuran 1 Menurun
Verbalisasi minat dalam belajar 2 Cukup Menurun
Kemampuan menjelaskan pengetahuan 3 Sedang
tentang suatu topik 4 Cukup Meningkat
Kemampuan menggambarkan pengalaman 5 Meningkat
sebelumnya yang sesuai dengan topik
Perilaku sesuai dengan pengetahuan

Pertanyaan tentang masalah 1 Meningkat


Persepsi yang keliru terhadap masalah 2 Cukup Meningkat
Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat 3 Sedang
4 Cukup Menurun
5 Menurun

Perilaku 1 Memburuk
2 Cukup Memburuk
3 Sedang
4 Cukup Membaik
5 Membaik

Intervensi Keperawatan (SIKI):


Edukasi Kesehatan (I.12383)
O (Observasi):
 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menrima informasi
 Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan
motivasi perilaku hidup bersih dan sehat

T (Terapeutik):
 Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
 Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
 Berikan kesempatan untuk bertanya
E (Edukasi):
 Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan
 Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
 Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat

4. Resiko gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan perubahan


status nutrisi dikarenakan penyakit hischprung
Luaran Keperawatan (Integritas kulit dan jaringan / L.14125)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan
integritas kullt dan jaringan tidak terjadi
Kriteria Hasil :

NILAI TINGKAT
Elastisitas 1 Menurun
Hidrasi 2 Cukup Menurun
Perfusi jaringan 3 Sedang
4 Cukup Meningkat
5 Meningkat

Kerusakan jaringan 1 Meningkat


Kerusakan lapisan kulit 2 Cukup Meningkat
Nyeri 3 Sedang
Perdarahan 4 Cukup Menurun
Intervensi
Kemerahan 5 Menurun
Hematoma Keperawatan
Pigmentasi abnormal (SIKI):
Jaringan parut
Nekrosis Pengaturan
Abrasio kornea Posisi (I.01019)

Suhu kulit 1 Memburuk O


Sensasi 2 Cukup Memburuk (Observasi):
Tekstur 3 Sedang
Pertumbuhan rambut 4 Cukup Membaik
5 Membaik
 Monitor status oksigenasi sebelum dan sesudah mengubah posisi
 Monitor alat traksi agar selalu tepat
T (Terapeutik):
 Tempatkan pada matras / tempat tidur terapeutik yang tepat
 Tempatkan pada posisi terapeutik
 Tempatkan obyek yang sering digunakan dalam jangkauan
 Tempatkan bel atau lampu panggilan dalam jangkauan
 Sediakan matras yang kokoh / padat
 Atur posisi tidur yang disukai, jika tidak kontra indikasi
 Atur posisi untuk mengurangi sesak (misal semi fowler)
 Atur posisi yang meningkatkan drainage
 Posisikan pada kesejajaran tubuh yang tepat
 Imobilisasi dan topang bagian tubuh yang cedera dengan tepat
 Tinggikan bagian tubuh yang sakit dengan tepat
 Tinggikan anggota gerak 20° atau lebih diatas level jantung
 Tinggikan tempat tidur bagian kepala
 Berikan bantal yang tepat pada leher
 Berikan topangan pada area edema (misal bantal dibawah lengan
dan skrotum)
 Posisikan untuk mempermudah ventilasi / perfusi (misal tengkurap/
good lung down)
 Motivasi melakukan ROM aktif atau pasif
 Motivasi terlibat dalam perubahan posisi, sesuai kebutuhan
 Hindari menempatkan pada posisi yang dapat meningkatkan nyeri
 Hindari menempatkan stump amputasi pada posisi fleksi
 Hindari posisi yang menimbulkan ketegangan pada luka
 Minimalkan gesekan dan tarikan saat mengubah posisi
 Ubah posisi setiap 2 jam
 Ubah posisi dengan teknik log roll
 Pertahankan posisi dan integritas traksi
 Jadwalkan secara tertulis untuk perubahan posisi
E (Edukasi):
 Informasikan saat akan dilakukan perubahan posisi
 Ajarkan cara menggunakan postur yang baik dan mekanika tubuh
yang baik selama melakukan perubahan posisi
K (Kolaborasi):
 Kolaborasi pemberian premidikasi sebelum mengubah posisi, jika
perlu
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Edisi ke-3. Jakarta : EGC.

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto

Kliegman, Arvin. 2010. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15, Jilid II.
Jakarta : EGC, 1316-1319

Mansjoer Arief, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika,


Setiowulan Wiwiek, 2000. Penyakit Hirschsprung. Dalam : Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius FK UI,
380-381.

Muttaqin, arif. 2010. Asuhan keperawatan system gastrointestinal. Jakarta:


Salemba Medika

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 2016. Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia, Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (revisi).
Jakarta, DPP PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 2018. Standar Luaran Keperawatan


Indonesia, Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta, DPP
PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 2018. Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia, Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta,
DPP PPNI

Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (Penyakit


Hirschsprung) .Behrmann

Anda mungkin juga menyukai