Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hirschsprung atau mega kolon kongenital merupakan penyakit yang menyebabkan


gangguan pada saluran pencernaan, tepatnya pada usus besar. Hirschsprung atau mega kolon
congenital juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel
ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang
dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spinkter
rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan,
kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak ada ganglion
dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan
dilatasi usus proksimal. Penyakit hirschprung atau mega kolon congenital dapat terjadi pada
semua usia, namun yang paling sering pada neonatus.

Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch
pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan serta mendeskripsikan mega colon
congenital pada tahun 1863 adalah Harald Hirschsprung. Namun, pada saat itu patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson
dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan
oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion. Penyakit hirschprung
terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hirschsprung di Indonesia tidak diketahui
secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan
lahir 1400 bayi dengan penyakit hirschsprung. Insidens keseluruhan dari penyakit
Hirschsprung 1: 5000 kelahiran hidup. laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan
perempuan dengan perbandingan 4:1. Biasanya, penyakit Hirschsprung terjadi pada bayi
aterm dengan berat lahir 3kg dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai
dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan
kardiovaskuler.

Penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan mengeluarkan
mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan konstipasi.

1
faktor penyebab penyakit Hirschsprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan faktor
lingkungan.

Oleh karena itu, penyakit Hirschsprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan
yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum,
manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan
dan colostomi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisa dari hirshprung
2. Bagaimana klasifikasi hirschprung.
3. Bagaimana etiologi hirschprung.
4. Bagaimana patofisiologi hirschprung.
5. Apakah manifestasi klinis hirschprung.
6. Apakah pemeriksaan medis hirschprung.
7. Bagaimana penatalaksanaan hirschprung.
8. Bagaiaman asuhan keperawatan hirschprung

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi dari hirschprung.

2. Untuk mengetahui klasifikasi hirschprung.

3. Untuk mengetahui etiologi hirschprung.

4. Untuk mengetahui patofisiologi hirschprung.

5. Untuk mengetahui manifestasi klinis hirschprung.

6. Untuk mengetahui pemeriksaan medis hirschprung.

7. Untuk mengetahui penatalaksanaan hirschprung.

8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan hirschprung.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi hirschprung

Hirschsprung (megakolon/aganglionic congenital) adalah anomali kongenital yang


mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian usus (Wong,
1996). Penyakit Hisprung (Hirschprung) adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase
usus (Ariff Mansjoer, dkk. 2000).

Hirschprung adalah kelainan bawaan berupa obstruksi usus akibat dari tidak adanya
sel-sel ganglion parasimpatik pada dinding saluran intestinal lapisan submukosa, dan biasa
terjadi pada calon bagian distal (Fitri Purwanto, 2001).

Hirschprung merupakan suatu kelainan bawaan berupa aganglionosis usus yang


dimulai dari sfingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang bervariasi dan termasuk
anus sampai rektum. Juga dikatakan sebagai kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel
ganglion parasimpatis dari pleksus auerbact di kolon (A. Aziz Alimul Hidayat,2006).

B. Klasifikasi glaukoma

Menurut staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1996). Hirschsprung dibedakan
sesuai dengan panjang segmen yang terkena, hirschsprung dibedakan menjadi dua tipe
berikut :

1. Segmen Pendek

Segmen pendek aganglionisis mulai dari anus sampai sigmoid,terjadi pada sekitar 70%
kasus penyakit Hirschsprung dan tipe ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan
anak perempuan. Pada tipe segmen pendek yang umum, insidennya 5 kali lebih besar pada
laki-laki dibandingkan wanita dan kesempatan saudara laki-laki dari penderita anak untuk
mengalami penyakit ini adalah 1 dari 20 (Sacharin, 1986)

2. Segmen Panjang

Daerah aganglionisis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat mengenai seluruh
kolon atau sampai usus halus. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama, terjadi
pada 1 dari 10 kasus tanpa membedakan jenis kelamin (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, 1996: Sacharin, 1986).

3
C. Etiologi

Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding
usus, mulai dari spingter ani internus kearah proksimal, 70 % terbatas didaerah rektosigmoid,
10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus dan pilorus.

Adapun yang menjadi penyebab hirschsprung atau mega kolon kongenital adalah
diduga karena terjadi faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down
syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi,
kranio kaudal pada myentrik dan submukosa pada dinding plexus.

Dalam keadaan normal bahan makanan yang dicerna bisa berjalan disepanjang usus
karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut
gerakan peristaltiik). Kontraksi dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion
yang terletak dibawah lapisan otot.

Sedangkan menurut (Amiel, 2001) penyebab hisprung tidak diketahui, tetapi ada
hubungan dengan kondisi genetic Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan
neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung familiar (Edery, 1994). Gen lain
yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang
diturunkan dari factor gen, dari factor gen endhotelin-B, dan gen endothelin -3 (Marches,
2008).Penyakit Hirschprung juga terkait dengan Down syndrome, sekitar 5-15% dari pasien
dengan penyakit Hirschprung juga memiliki trisomi 21 (Rogers, 2001).

D. Patofisiologi

Istilah congenital agang lionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer
dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionik
hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidak adaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik) dan
tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rektum tidak dapat berelaksasi sehingga
mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus
dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega
Colon.

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi
dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses

4
terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal
terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut
melebar.

5
E. PATHWAYS

Aganglionik
saluran cerna

Peristaltik menurun

Perubahan pola eliminasi


(konstipasi)

Akumulasi isi usus

Proliferasi bakteri Dilatasi usus

Pengeluaran endotoksin Feses membusuk produks gas meningkat

inflamasi diare
Mual & muntah Distensi abdomen

Enterokolitis Penekanan pada diafragma


Anoreksia Drainase gaster

Ekspansi paru
Prosedur menurun
Ketidakseimban Resiko
operasi
gan nutrisi < dari kekurangan
kebutuhan volume cairan
tubuh
Pola nafas tidak efektif
Nyeri akut

Imunitas menurun

6
Perubahan Resiko tinggi
tumbuh infeksi
kembang

F. Manifestasi klinis

Gejala dan tanda dapat bermacam-macam berdasarkan keparahan dari kondisi


kadang-kadang mereka muncul segera setelah bayi lahir. Pada saat yang lain mereka
mungkin saja tidak tampak sampai bayi tumbuh menjadi remaja ataupun dewasa.

1. Pada kelahiran baru tanda dapat mencakup :


 Kegagalan dalam dalam mengeluarkan feses dalam hari pertama atau kedua
kelahiran.
 Muntah : mencakup muntahan cairan hijau disebut bile-cairan pencernaan yang
diproduksi di hati.
 Konstipasi atau gas.
 Diare
2. Pada anak-anak yang lebih tua, tanda dapat mencakup :
 Perut yang buncit
 Peningkatan berat badan yang sedikit
 Masalah dalam penyerapan nutrisi, yang mengarah penurunan berat badan, diare atau
keduanyadan penundaan atau pertumbuhan yang lambat
 Infeksi kolon, khususnya anak yang baru lahir atau yang masih muda, yang dapat
mencakup enterocolitis, infeksi serius dengan diare, demam dan muntah dan kadang-
kadang dilatasi kolon yang berbahaya. Pada anak-anak yang lebih tua atau dewasa,
gejala dapat mencakup konstipasi dan nilai rendah dari sel darah merah (anemia)
karena darah hilang dalam feses.

G. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Kimia darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal biasanya dalam
batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi.

7
Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan
elektrolit.

b. Darah rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet
preoperatiof.

c. Profil koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan
pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.

2. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos abdomen dapat menunjukan adanya loop usus yang distensi dengan adanya
udara dalam rectum.

b. Barium enema

 Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum memasukkan


kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada daerah zona transisi.
 Kateter diletakkan didalam anus, tanpa mengembangkan balon, untuk menghindari
kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya peforasi. foto segera diambil setelah
injeksi kontras, dan diambil lagi 24 jam kemudian.
 Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang mengalami
dilatasi merupakan gambaran klasik penyakit Hirschsprung. Akan tetapi temuan
radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpetasi dan sering kali gagal
memperlihatkan zona transisi.Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada
penyakit Hirschsprung adalah adanya retensi
 kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema dilakukan.
3. Biopsi

Biopsi rektum untuk melihat ganglion pleksus submukosa meisner, apakah terdapat
ganglion atau tidak. Pada penyakit hirschprung ganglion ini tidak ditemukan.

8
H. Penatalaksanaan

1. Pembedahan

Pembedahan pada penyakit hirscprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula


dilakukan kolostomi loop atau double–barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi
dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan). Bila
umur bayi itu antara 6-12 bulan (atau bila beratnya antara 9 dan 10 Kg), satu dari tiga
prosedur berikut dilakukan dengan cara memotong usus aganglionik dan
menganastomosiskan usus yang berganglion ke rectum dengan jarak 1 cm dari anus. Prosedur
Duhamel umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1 tahun. Prosedur ini
terdiri atas penarikan kolon nromal ke arah bawah dan menganastomosiskannya di belakang
anus aganglionik, menciptakan dinding ganda yang terdiri dari selubung aganglionik dan
bagian posterior kolon normal yang ditarik tersebut. Pada prosedur Swenson, bagian kolon
yang aganglionik itu dibuang. Kemudian dilakukan anastomosis end-to-end pada kolon
bergangliondengan saluran anal yang dilatasi. Sfinterotomi dilakukan pada bagian posterior.
Prosedur Soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan prosedur yang
paling banyak dilakukanuntuk mengobati penyakit hirsrcprung. Dinding otot dari segmen
rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus, tempat
dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.

2. Konservatif

Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui pemasangan
sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.

3. Tindakan bedah sementara

Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat
didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum memburuk. Kolostomi
dibuat di kolon berganglion normal yang paling distal.

4. Perawatan

Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :

9
 Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara
dini.
 Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak.
 Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan).
 Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.

Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan mal
nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini
sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet
rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral
total

10
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KASUS HIRSCHPRUNG / MEGA COLON

A. PENGKAJIAN

1. Identitas

Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan
tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada
segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh
kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan
(Ngastiyah, 1997).

2. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering
ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut
kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.

b. Riwayat kesehatan sekarang

Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat
lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering
mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama
beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang
konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau
busuk dapat terjadi

c.Riwayat kesehatan dahulu

Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit Hirschsprung

d.Riwayat kesehatan keluarga

11
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya

3. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis. Pada survey umum
terlihat lemah atau gelisah. TTV biasa didapatkan hipertermi dan takikardi dimana
menandakan terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda dehidrasi dan
demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau sepsis

Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipatan paha, dan rectum akan
didapatkan

a. Inspeksi: Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan rectum dan fese
akan didapatkan adanya perubahan feses seperti pita dan berbau busuk.

b. Auskultasi: Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut dengan
hilangnya bisng usus.

c. Perkusi: Timpani akibat abdominal mengalami kembung.

d. Palpasi: Teraba dilatasi kolon abdominal.

 Sistem kardiovaskuler: Takikardia.


 Sistem pernapasan: Sesak napas, distres pernapasan.
 Sistem pencernaan: Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah
berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus
jari akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya
udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot.
 Sistem saraf : Tidak ada kelainan.
 Sistem lokomotor/musculoskeletal : Gangguan rasa nyaman : nyeri
 Sistem endokrin: Tidak ada kelainan.
 Sistem integument: Akral hangat, hipertermi
 Sistem pendengaran: Tidak ada kelainan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru

2. Nyeri akut b.d inkontinuitas jaringan

12
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d masukan makanan tak adekuat
dan rangsangan muntah.

4. Resiko kekurangan volume cairan b.d muntah, diare dan pemasukan terbatas karena mual.

5. Resiko tinggi infeksi b.d imunitas menurun dan proses penyakit

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru

Tujuan : Pola nafas pasien efektif dalam waktu 2x24 jam.


Kriteria hasil :

1. Frekuensi pernafasan dalam batas normal


2. Irama nafas sesuai yang diharapkan
3. Ekspansi dada simetris
4. Bernafas mudah
5. Keadaan inspirasi
Intervensi utama : Manajemen jalan napas
Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalam, usaha napas)
 Monitor bunti napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing, ronkhi kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan heald-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika
curiga trauma servikal)
 Posisikan semi foler atau foler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Lakkan hiporeksigenasi sebelum penghisapan endoktrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurakan asupan cairan 2000 mill/hari, jika tidak kontra indikasi
 Ajarkan teknik batuk efektif

13
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukoltik, jika perlu
Intervensi pendukung
 dukungan kepatuhan program pengobatan
Observasi
 Identitas keputahan menjalani program pengobatan
Terapeutik
 Komitmen menjanani program pengobatan dengan baik
 Buat jadwal pendampingan keluarga untuk berdampingan menemani pasien
selama menjalani program pengobatan, jika perlu
 Dokumentasi aktifitas selama menjalani proses pengobatan
 Diskusikan hal-hal yang dapat mendukung atau menhambat berjalannya program
pengobatan
 Libatkan keluarga untuk mendukung program pengobatan yang dijalani
Edukasi
 Informasikan program pengobatanan yang harus dijalani
 Informasikan pengobatan yang akan diperoleh jika teratur menjalani program
pengobatan
 Anjurkan keluarga untuk mendampingi dan merawat pasien selama menjalani
program pengobatan
 Anjurkan pasien dan keluarga melakukan konsultasi kepelayanan kesehatan
terdekat, jika perlu

 edukasi pengukuran respirasi


observasi
 identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
Terapeutik
 sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
 jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
 berikan ksempatan untuk bertanya
 dokumentasikan hasil pengukuran respirasi
edukasi
 jelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan

14
 ajarkan cara menghitung respirasi dengan mengamati naik turunnya dada saat
bernapas
 ajarkan cara menghitung respirasi selama 30 detik dan kalikan dengan 2 atau
hitungan selama 30 detik jikarespirasi tidak teratur.

2. Nyeri akut b.d inkontinuitas jaringan


Tujuan : nyeri dapat berkurang/hilang
Kriteria hasil :

1. Mengenali faktor penyebab


2. Menggunakan metode pencegahan
3. Menggunakan metode pencegahan non analgetik untuk
mengurangi nyeri.
4. Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan
5. Mengenali gejala – gejala nyeri
Intervensi utama : Manajemen Nyeri
Observasi
 Identifikasi lokasi, lokal karakteristik durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri nonverbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
 Monitor efek samping pengguanaan anal getik

Terapeutik

 Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hipnosis, akupresus, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat atau dingin, terapi bermain)
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Ruangam, pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitas istirahat dan tidur
 Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pembilihan strategi meredahkan nyeri

Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meradahkan nyeri

15
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu

Intervensi pendukung

 Edukasi Manajemen Nyeri


Observasi
 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi

Terapeutik

 Sediakan materi dan media pendidian kesehatan


 Jadwalakan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
 Berikan kesempatan untuk bertanya

Edukasi

 Jelaskan penyebab, periode, dan strategi meredahkan nyeri


 Anjurakan memonitor nteri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

 Pemantauan Nyeri
Observasi
 Identifikasi faktor pencetus dan peredah nyeri
 Monitor kualitas nyeri (mis. Terasa tajam, tumpul, di remas-remas, ditimpa beban
berat
 Monitor lokasi penyebaran nyeri
 Monitor intensitas nyeri dengan menggunakan skala
 Monitor durasi dan frekuensi nyeri
Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan nyeri sesuai dengan kodisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


 Informasikan hasil pemantauan jika perlu

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d masukan makanan tak
adekuat dan rangsangan muntah.

16
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat teratasi.
Kriteria hasil :

1. Stamina
2. Tenaga
3. Kekuatan menggenggam
4. Penyembuhan jaringan
5. Daya tahan tubuh
6. Pertumbuhan
Intervensi utama : Manajemen nutrisi
Observasi
 identifikasi status nutrisi
 identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 identifikasi makanan yang disukai
 identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
 identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
 monitor asupan makanan
 monitor berat badan
 monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
 lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
 fasilitas menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 hentikan pemberian makanan melalui selang nasogatrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika perlu
 Anjurkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis.pereda nyeri,antiemetik),jika
perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhkan,jika perlu

Intervensi pendukung :

 Pemantauan nutrisi

17
Observasi
 Identifikasi factor yang mempengaruhi asupan gizi (mis. Pengetahuan,
ketersediakan makanan, agama/kepercayaan, budaya, menguyah tidaj adekuat,
gangguan menelan , penggunaan obat-obatan atau pascaoperasi)
 Identifikasi kelainan pada kulit (mis. Memar berlebihan, luka yang sulit sembuh,
dan pendarahan)
 Identifikasi kelainan pada rambut (mis. Kering, tipis, kasar, dan mudah patah)
 Identifikasi pola makan (mis. Kesukaan/ketidaksukaan makanan, konsumsi
makanana cepat saji, makanan buru-buru)
 Identifikasi kelainan pada kuku (mis. Berbentuk sendok, retak, mudah patah dan
bergerigi)
 Identifikasi kemampuan menelan (mis. Fungsi motorik wajah, refleks menelan,
refleks gag)
 Identifikasi kelianan rongga mulut (mis. Peradangan, gusi berdarah, bibir kering,
retak, luka)
 Identifikasi kelaianan eliminasi (mis. Diare, darah, lendir, dan eliminasi tidak
teratur)
 Monitor mual dan muntah
 Monitor asupan oral
 Monitor warna konjungtiva
 Monitor hasil laboratorium (mis. Kadar kolestrol, albumin serum, transferring,
kreatinin, hemoglobin, hematoktir, dan elektrolit darah)
Terapeutik
 Timbang berat badan
 Ukur atropometrik komposisi tubuh (mis. Indeks massa tubuh, pengukuran
pinggang, dan ukuran lipatan kulit)
 Ukuran perubahan berat badan
 Atur interval waktu pemantauan sesauai dengan kondisi pasien
 Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

18
 Manajeman gangguan makanan

Observasi
 Monitor asupan dan keluarnya makanan dan cairan serta kebutuhan kalori
Terapeutik
 Timbang berat badan secara rutin
 Diskusikan perilaku makan dan jumlah aktivitas fisik (termasuk olahraga) yang
sesuai
 Lakukan kontrak perilaku (mis. Target berat badan, tenggung jawab perilaku)
 Dampingi kekamar mandi untuk pengamatan perilaku memuntahkan kembali
makanan
 Berikan pengutan positif terhadap keberhasilan target dan perubahan perilaku
 Berikan konsekuensi jika tidak mencapai target sesuai kontrak
 Rencanakan program pengobatan untuk perawatan dirumah (mis. Medis,
konseling)
Edukasi
 Anjurkan membuat catatan harian tentang perasaan dan situasi pemicu pengeluaran
makanan (mis. Pengeluaran yang disengaja, muntah, aktivitas berlebihan)
 Ajarakan pengaturan diet yang tepat
 Ajarkan keterampilan koping untuk penyelesaian masalah perilaku makan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang berat badan, kebutuhan kalori dan pilihan
makanan

4. Resiko kekurangan volume cairan b.d muntah, diare dan pemasukan terbatas karena
mual.
Tujuan : volume cairan terpenuhi
Kriteria hasil :

1.Keseimbangan intake dan output 24 jam


2.Berat badan stabil
3.Tidak ada mata cekung
4.Kelembaban kulit dalam batas normal
5.Membran mukosa lembab
Intervensi utama : Manajemen cairan

19
Observasi

 Monitor status hidrasi (misalnya, frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian
kapiler, kelembapan mukosa,turgor kulit, tekanan darah)
 Monitor berat badan harian
 Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialysis
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (misalnya hematocrit, Na, K, Cl, berat
ejnis urine, BUN)
 Monitor status hemodinamik (misalnya MAP, CVP, PAP, PCWP jika tersedia).
Terapeautik
 Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
 Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
 Berikan cairan intravana,jika perlu
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian diuretic,jika perlu

Intervensi pendukung

 Pemantauan elektrolit
Observasi
 Identifikasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit
 Monitor kadar elektrolit serum
 Monitor mual, muntah dan diare
 Monitor kehilangan cairan, jika perlu
 Monitor tanda dan gejala hipokalemia (mis. Kelemahan otot, interval QT
memanjang, gelombang T atau terbalik, depresi segmen ST, gelombung U,
kelelahan, perestasia, penurunan refleks, aneroksia, konstipasi, motilitas usus
menurun, pusing, depresi penapasan)
 Monitor tanda dan gejala hiperkalemia, (mis. Peka rangsangan, gelisah, mual,
muntah, takikardi, mengarah ke bradikardi, fibrilasi/takikadri ventrikel, gelombang
T tinggi, gelombang P datar, komplek QRS tumpul, blok jantung mengarah asistol)
 Monitor tanda dan gejala hiponatremia (mis. Disorientasi, otot berkedut, sakir
kepala, membrane mukosa kering, hipotensi postural, kejang, latergi, penurunan
kesadaran)
 Monitor tanda dan gejala hipematermia (mis. Haus, demam, mual, muntah, gelisah,
peka rangsangan, membrane mukosa kering, takikardi, hipotensi, latergi, konfusi,
kejang)

20
 Monitor tanda dan gejala hipokalasemia (mis. Peka rangsangan, tanda Chvostek
[spasme otot wajah] tanda Trousseau [spasme karpal], kram otot, interval QT
memnanjang)
 Monitor tanda gejala hipomagnesemia (mis. Depresi pernapasan, apatis, tanda
Chvostek, Trousseau, konfusi, distrimia)
 Monitor tanda gejala hipermagnesium (mis. Kelemahan otot, hiporefleks,
bradikardi, depresi SSP, latergi, koma, depresi)
Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan Tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

 Pemantauan tanda vital


Observasi
 Monitor tekanan darah
 Monitor nadi (mis. Frekuensi, kekuatan, irama)
 Monitor pernapasan (mis. Frekuensi, delaman)
 Monitor suhu tubuh
 Monitor oksimetri nadi
 Monitor tekan nadi (selisih TDS dan TTD )
 Identifikasi penyebab perubahan tanda vital
Terapeutik
 Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan memprosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

5. Resiko tinggi infeksi b.d imunitas menurun dan proses penyakit

Tujuan : Anak tidak mengalami komplikasi infeksi selama perawatan


di RS

21
Kriteria hasil :

1. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi


2. Menjelaskan proses penularan penyakit
3. Menjelaskan faktor yang mempengaruhi penularan serta
penatalaksanaannya
4. Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya
infeksi
5. Menunjukan perilaku hidup sehat
Intervensi utama : pencegahan infeksi
Observasi
 Monitor tanda dan gejala infeksi lokasi dan sistemik
Terapeutik
 Batasi jumlah pengu njung
 Berikan perawatan kulit pada area edema
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 Ajarkan etika batuk
 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
 Anjurkan meningkatan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemebrian immunisasi jika perlu
Intervensi pendukung
 dukungan perawatan diri : mandi
Observasi
 Identikasi usia dan budaya dalam membantu kebersihan diri
 Identifikasi jenis bantuan yang dibutuhkan
 Monitor kebersihan tubuh (mis. Rambut, mulut, kulit, kuku)
 Monitor integrasi kulit

22
Teraputik
 Sediakan peralatan mandi (mis. Sabun, sikat gigi, shampoo, pelembab kulit)
 Sediakan lingkungan aman dan nyaman
 Fasilitasi mengosok gigi, sesuai kebutuhan
 Pertahankan kebiasaan kebersihan diri
 Berikan bantauan sesuai tingkat kemandirian
Edukasi
 Jelaskan manfaat mandi dan dampak tidak mandi terhadap kesehatan
 Ajarkan kepada keluarga cara memandikan pasien, jiak perlu

 pemantauan tanda vital


Observasi
 Monitor tekanan darah
 Monitor nadi (mis. Frekuensi, kekuatan, irama)
 Monitor pernapasan (mis. Frekuensi, delaman)
 Monitor suhu tubuh
 Monitor oksimetri nadi
 Monitor tekan nadi (selisih TDS dan TTD )
 Identifikasi penyebab perubahan tanda vital
Terapeutik
 Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan memprosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

D. Evaluasi
1. Pola napas efektif
2. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
3.
4. Kebutuhan cairan pasien terpenuhi
5. Tidak adanya tanda-tanda atau reksi infeksi.

23
BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik
masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan perkembangan anak
dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air besar. Orang tua yang
mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar dengan cara yang awam akan menimbulkan
masalah baru bagi bayi/anak. Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus
difahami dengan benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk
tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara
pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi
kemungkinan yang terjadi.
B.     SARAN
Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang
penyakit hsaprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Padilla, Hari. 2017; STANDAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN INDONESIA. Jakart selatan


:Dewan pengurus pusat. Sabtu,05 desember 2020.
Padilla, Hari. 2018 ; STANDAR INTERENSI KEPERAWATAN INDONESIA. Jakarta selatan;
Dewan pengurus pusat. Sabtu,05 desember 2020.
Anonim. 2003. Mengenal Penyakit Hirschsprung (Aganglionic Megacolon).

Budi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Penyakit Hisprung.

Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto

25

Anda mungkin juga menyukai