Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

HIRSCHPRUNG
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada stase Keperawatan Anak

ELISABETH MEYTA AMBARSARI

NPM. 220112190071

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXVIII

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2019
A. Definisi
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan paling sering
pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus secara ritmis akan menekan feses
hingga ke rectum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk
mengontrol otot pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses tidak
dapat terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya (Henna N, 2011). Angka kejadian
penyakit Hirschsprung, sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000 kelahiran hidup, dengan
rata-rata 1:5000 kelahiran hidup (Lakshmi,2008). Dengan mayoritas penderita adalah
laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 4:1.

B. Anatomi dan Fisiologi Intestinum Crassum


Intestinum crassum (usus besar) merupakan tabung muscular berongga dengan
panjang sekitar 1,5 m yang terbentang dari sekum sampai kalanis ani. Diameter
intertinum crassum rata-rata sekitar 6,5 cm namun makin dekat anus diameternya
semakin kecil. Intestinum crassum dibagi menjadi sekum, kolon dan rectum. Sekum
memiliki katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum
menempati sekitar 2 atau 3 inci pertama dari kolon. Katup ileosekal mengontrol aliran
kimus dari ileum ke sekum (Proce & Wilson, 2002). Dinding usus besar mempunyai tiga
lapis yaitu lapisan mukosa (bagian dalam), yang berfungsi untuk mencernakan dan
absorpsi makanan, lapisan muskularis (bagian tengah) yang berfungsi untuk menolak
makanan ke bagian bawah, dan lapisan serosa (bagian luar), bagian ini sangat licin
sehingga dinding usus tidak berlengketan satu sama lain di dalam rongga abdomen.
Kolon dibagi lagi menjadi 4 yaitu kolon ascendens, transversum, decendends, dan
sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan
kiri atas berturut-turut yang dinamakan flaksura hepatica dan fleksura lienalis/splenic.
Kolon sigmoid berada setinggi krista iliaka dan membentuk suatu lekukan berbentuk S.
Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rectum.
Posisi ini memengaruhi gaya berat untuk membantu mengalirkan air dari rectum ke
fleksura sigmoid. Bagian utama intestinum crassum yang terakhir dinamakan rectum dan
terbentang dari kolon sigmoid sampai ke anus. Satu inci terakhir dari rectum dinamakan
kanalis ani dan dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus (LeMone & Burke,
2008).

Gambar 1.1 Anatomi Intestinum Crassum

Persarafan kolon dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan pengecualian


sfingter eksterna yang berada di bawah kontrol volunteer. Serabut parasimpatis berjalan
melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal
dari daerah sacral mensuplai bagian distal. Serabut parasimpatis meninggalkan medulla
spinalis melalui saraf splangnikus untuk mencapai kolon. Perangsangan simpatis
menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rectum,
sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan (Ganong,
2001).
Kolon memiliki berbagai fungsi yang seluruhnya berkaitan dengan proses akhir
isi usus. Fungsi kolon yang paling penting adalah reabsorpsi air dan elektrolit yang sudah
hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon mengabsorpsi sekirat 600ml air/hari.
Kapasitas absorpsi kolon adalah sekitar 2000ml/hari. Diare akan terjadi apabila jumlah
ini dilampaui, misalnya karena ada kimus yang berlebih dari ileum. Kolon sigmoid
berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang konsistensinya sudah
padat sampai defekasi berlangsung (Price & Wilson, 2002).

C. Etiologi
Penyakit Hirschsprung adalah kelainan bawaan berupa tidak adanya sel ganglion
parasimpatis usus (pleksus submukosa Meissner dan pleksus mienterikus Auerbach)
mulai dari sfingter anus internal ke arah proksimal dengan panjang segmen tertentu.
Sekitar 90% aganglinosis mengenai daerah rektum dan sigmoid. Aganglionosis ini
meyebabkan gangguan peristaltik sehingga menyebabkan obstruksi saluran cerna.

Gambar 1.2 Plexsus of Intestine

Penyebab penyakit hirschprung tidak diketahui, tetapi ada hubungan dengan kondisi
genetik. Mutasi pada Ret Proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A atau
2B pada penyakit hirschsprung familiar. Gen lain yang berhubungan dengan penyakit
hirschsprung termasuk sel neurotrofik ganglial yang diturunkan dari faktor gen, respon gen
endothelin-B dan gen endothelin-3. Penyakit hirschsprung juga terkait dengan Down
syndrome, sekitar 5-15% dari pasien dengan penyakit hirschsprung juga memiliki trisomi

Gambar 1.3 Perbandingan Kolon Sigmoid dan Rektum Hirschsprung dan Normal
Pathway Penyakit Hirschprung

D. Pathway Etiologi : herediter

Tidak adanya ganglion


(aganglion) pada bagian
segmen rectosigmoid colon
distal

Penyakit Hirschprung

Tidak adanya neuron


meissner dan aurbach di
segmen rectosigmoid

Tidak dapat Peristaltik usus menghilang


mendorong bahan-
bahan yang dicerna
Profulsi feses dalam lumen Obstruksi kronis
terlambat
Penyumbatan pada
lumen usus Distensi usus
Terjadi distensi dan penebalan pada
dinding kolon dibagian proksimal
sehingga timbul gejala obstruktif usus
Penimbunan feses Dinding usus
akut / kronis
mengalami iskemik
disertai iritasi feses
Gangguan Gastrointestinal

Invasi bakteri
Mual, muntah, kembung

Terjadi peningkatan
anoreksia Lemas, lemah cairan dan elektrolit

Perubahan nutrisi : Intoleran aktivitas Feses encer


kurang dari kebutuhan
tubuh
Diare
Cairan tidak seimbang

Risiko gangguan pola Risiko asidosis Ketidakseimbangan Kurang vol. cairan


napas metabolic asam basa
E. Manifestasi Klinis
Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu:
1. Periode neonates
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang
terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen. Terdapat 90% lebih
kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan mekonium
pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan mekonium setelah 24
jam pertama (24-48 jam). Muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen biasanya
dapat berkurang apabila mekonium dapat dikeluarkan segera. Bayi yang
mengonsumsi ASI lebih jarang mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat
yang ringan karena tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan
mengakibatkan feses jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan mudah (Kessman,
2008).
2. Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada beberapa kasus
dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak (Lakhsmi,
2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi kronis,
gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat pada
dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang
berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang komplit, perforasi sekum, fecal
impaction atau enterocolitis akut yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga
dapat terjadi (Kessman, 2008).

Tanda lain yang dapat ditemui pada penyakit Hirschsprung adalah :

1. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi


2. Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi kotoran
3. Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen
4. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal yang
padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot keluar dengan bau
feses dan gas yang busuk.
5. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus,
punggung dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi
peritonitis (Kessman, 2008; Lakhsmi, 2008)

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi
Memastikan keberadaan sel ganglion pada segmen yang terinfeksi, merupakan
langkah penting dalam mendiagnosis penyakit Hirschsprung. Ada beberapa
teknik, yang dapat digunakan untuk mengambil sampel jaringan rektum. Hasil
yang didapatkan akan lebih akurat, apabila spesimen/sampel adekuat dan diambil
oleh ahli patologi yang berpengalaman. Apabila pada jaringan ditemukan sel
ganglion, maka diagnosis penyakit Hirschsprung dieksklusi. Namun pelaksanaan
biopsi cenderung berisiko, untuk itu dapat di pilih teknik lain yang kurang
invasive, seperti Barium enema dan anorektal manometri, untuk menunjang
diagnosis(Lorijn,2006;Schulten,2011). Jenis biopsy diantaranya :

 Biopsi isap, yakni mengambil mukosa submukosa dengan alat penghisap dan
mencari sel ganglion pada daerah submukosa.

 Biopsi oto rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan di


bawah narkos,. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
 Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada penyakit
ini khas terdapat peningkatan aktifitas enzim asetilkolin enterase.

 Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus (Ngastiyah,


1997)
 Biopsi rectal untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion

2. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto polos, dapat dijumpai gambaran distensi gas pada usus, tanda obstruksi
usus (Lakhsmi, 2008) Pemeriksaan yang digunakan sebagai standar untuk
menentukan diagnosis Hirschsprung adalah contrast enema atau barium enema.
Pada bayi dengan penyakit Hirschsprung, zona transisi dari kolon bagian distal
yang tidak dilatasi mudah terdeteksi (Ramanath,2008). Pada total aganglionsis
colon, penampakan kolon normal. Barium enema kurang membantu penegakan
diagnosis apabila dilakukan pada bayi, karena zona transisi sering tidak tampak.
Gambaran penyakit Hirschsprung yang sering tampak, antara lain; terdapat
penyempitan di bagian rectum proksimal dengan panjang yang bervariasi;
terdapat zona transisi dari daerah yang menyempit (narrow zone) sampai ke
daerah dilatasi; terlihat pelebaran lumen di bagian proksimal zona transisi
(Schulten,2011).

3. Pemeriksaan Anorectal Manometry


Pada individu normal, distensi pada ampula rectum menyebabkan relaksasi
sfingter internal anal. Efek ini dipicu oleh saraf intrinsic pada jaringan rectal,
absensi/kelainan pada saraf internal ini ditemukan pada pasien yang terdiagnosis
penyakit Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa diduplikasi ke dalam
laboratorium motilitas dengan menggunakan metode yang disebut anorectal
manometry. Selama anorektal manometri, balon fleksibel didekatkan pada
sfingter anal. Normalnya pada saat balon dari posisi kembang didekatkan pada
sfingter anal, tekanan dari balon akan menyebabkan sfingter anal relaksasi, mirip
seperti distensi pada ampula rectum manusia. Namun pada pasien dengan
penyakit Hirschsprung sfingter anal tidak bereaksi terhadap tekanan pada balon.
Pada bayi baru lahir, keakuratan anorektal manometri dapat mencapai 100%
(Schulten,2011)
G. Penatalaksanaan
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion a-ganglionik di usus
besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar
sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal. Ada dua tahap pembedahan
pertama dengan kolostomi loop atau double barrel dimana diharapkan tonus dan ukuran
usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali menjadi normal dalam waktu 3-4 bulan .
Terdapat prosedur dalampembedahan diantaranya:
a) Prosedur duhanel
Biasanya dilakukan terhadap bayi kurang dari 1 tahun dengan cara penarikan kolon
normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik,
membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal
yang telah ditarik.
b) Prosedur Swenson
Membuang bagian aganglionik kemudian menganastomosiskan end to end pada kolon
yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi dan pemotongan sfingter
dilakukan pada bagian posterior.
c) Prosedur soave
Dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dengan cara membiarkan dinding otot dari
segmen rectum tetap utuh kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke
anus tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot
rektosigmoid yang tersisa.

H. Pengkajian
1. Anamnesis
 Keluhan Utama
Sering didapatkan adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang
pertama, mekonium keluar >24 jam; adanya muntah bilious (berwarna hijau),
perut kembung, gangguan defekasi/ konstipasi kronis, konsistensi feses yg
encer, gagal tumbuh (pada anak-anak), berat badan tidak berubah bahkan
cenderung menurun, nafsu makan menurun; ibu mengalami polyhidramnion;
adanya riwayat keluarga. (Hidayat M,2009; Lorijn,2006).
 Riwayat Kesehatan Sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah
lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal. Tanyakan sudah berapa
lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi
masalah tersebut.
 Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Apakah sebelumnya pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan,
persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, serta imunisasi.
 Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ditemui ibu mengalami polyhidramnion serta tanyakan kpada orang
tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita Hirschsprung.
2. Pemeriksaan fisik
Pada survei umum terlihat lemah atau gelisah. TTV biasa didapatkan hipertermi
dan takikardi dimana menandakan terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya
perforasi. Tanda dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau sepsis.
Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipat paha, dan rektum akan
didapatkan.:
a. Inspeksi : tanda khas didapatkan adanya distensi abdominal. Pemeriksaan
rektum dan fases akan didapatkan adanya perubahan fases seperti pita dan
berbau busuk. Terlihat perut kembung atau membuncit di seluruh lapang
pandang. Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada
dinding abdomen.
b. Auskultasi : pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, berlanjut
dengan hilangnya bising usus.
c. Perkusi : timpani akibat abdominal mengalami kembung.
d. Palpasi : teraba dilatasi kolon pada abdominal

I. Potensial Komplikasi
1. Perforasi usus
2. Ketidakseimbangan elektrolit
3. Defisiensi gizi
4. Enterokolitis.
5. Syok hipovolemik.
6. Sepsis (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2014)

J. Penatalaksanaan Medis
 Diet rendah serat, tinggi kalori dan protein
 Dapat digunakan nutrisi parenteral total (NPT)
K. Asuhan Keperawatan
1. Gangguan eliminasi : konstipasi
Intervensi keperawatan :
 Catat jumlah, konsistensi dan warna BAB terakhir
 Monitoring tanda-tanda konstipasi
 Anjurkan keluarga untuk mencatat warna, jumlah, dan frekuensi BAB
 Berikan suposturia bila perlu
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Intervensi keperawatan :
 Kaji napsu makan
 Lakukan pemeriksaan abdomen, adanya distensi, hipoperistaltik
 Dokumentasikan input-output. Berikan cairan per oral/ IV sesuai program
 Sajikan makanan favorit anak, dan berikan dalam jumlah sedikit namun
sering
 Atur posisi anak dengan nyaman (semi fowler)
 Timbang BB setiap hari pada skala yang sama
3. Kekurangan volume cairan
Intervensi keperawatan :
 Dokumentasi intake dan output
 Monitor status hidrasi ( membrane mukosa, nadi, ortostatik, TD)
 Monitor hasil laboratorium yang menunjukkan retensi cairan
 Monitor keadaan hemodinamik
 Monitor vital sign
 Monitor status nutrisi
DAFTAR PUSTAKA

Henna, N et all. 2011. Children With clinical Presentations of Hirschsprung’s Disease-A


Clinicopathological Experience. Biomedica; 27: 1-4
Hidayat,M et all. 2009. Anorectal Function of Hirschsprung’s Patient after Definitive Surgery.
The Indonesian Journal of Medical Science; 2: 77-85
Izadi, M et all. 2007. Clinical manifestations of Hirschsprung’s disease: A 6- year course
review on admitted patients in Guilan, North Province of Iran. Iranian Cardiovascular
Research Journal; 1: 25-31
Kessmann; J. 2006. Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management. American Family
Physician; 74: 1319-1322
Lakshmi, P; James, W. 2008. Hirschsprung’s Disease. Hershey Medical Center; 44-46
Oldham, KT, et all. Principles and Practice of Pediatric Surgery 4th edt. Dalam Hirschsprung
Disease. Lippincott Williams & Wilkins. 2005. p 1343-1360
Prakash, M. 2011. Hirschsprung’s Disease Scientific Update. SQU Medical Journal; 11: 138-
145
Puri, P; Shinkai, T. 2004. Pathogenesis of Hirschsprung’s Disease and It’s Variant : Recent
Progress.University College Dublin; 13: 18-24

Anda mungkin juga menyukai