Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIRSPRUNG /


MEGA COLON

A. DEFINISI
Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu
penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya
motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya
spinkter rectum berelaksasi.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel-sel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan
(Betz, Cecily & Sowden : 2000). Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah
kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan
kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir  3 Kg, lebih banyak laki – laki
dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ).

B. ETIOLOGI
Kondisi penyakit hirschsprung dapat disebabkan oleh beberapa faktor, menurut
Suryandari (2018), yaitu terdiri dari :
1) Masa kehamilan
Terjadinya gangguan pada proses migrasi sel –sel kristaneuralis yang
menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik.
2) Penyebab genetik
Mutasi genetik adalah salah satu faktor penyebab terjadinya penyakit
hisprung. Mutasi genetik pada Ret proto- onkogen dan sel neurotrofik glial.
3) Kondisi terkait
Sindrom Down, 5 - 15% pasien dengan penyakit hisprung juga mengalami
trisomi 21. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada
tambahan salinan kromosom 21, dengan karakteristik fitur wajah, cacat jantung
bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.
Pada kasus ringan, kondisi hirschprung mungkin tidak terdeteksi sampai
masa anak-anak. Seorang anak lebih berisiko terkena penyakit hirschprung
jika ada riwayat genetik dengan kelainan tersebut. Hirschprung juga sering
dikaitkan dengan penyakit sindrom Down. Anak laki- laki lebih cenderung
mengalami penyakit hirschprung daripada anak perempuan (Stanford
Children’s Health, 2016).
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah
diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan
Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.

C. TANDA DAN GEJALA


Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama
setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan
empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317).
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan
Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total
saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium.
Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi.
Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan
obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan
demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang
khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare
berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ).
Tanda dan gejala yang timbul :
1. Anak – anak
a Konstipasi
b Tinja seperti pita dan berbau busuk
c Distenssi abdomen
d Adanya masa difecal dapat dipalpasi
e Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 ).
2. Komplikasi
a Obstruksi usus
b Konstipasi
c Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
d Entrokolitis
e Struktur anal dan inkontinensial (pos operasi)

Klasifikasi :
Kondisi pada hirschprung dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu terdiri dari :
1. Segmen Pendek
Segmen pendek aganglionisis dimulai dari anus hingga sigmoid, terjadi sekitar 70 %
dan sering ditemukan pada anak laki-laki. Pada tipe segmen pendek yang umum
insidennya 5 kali lebih besar pada laki-laki dibanding dengan perempuan.
1. Segmen Panjang
Daerah aganglionisis bisa melampaui sigmoid, bahkan bisa mengenai seluruh kolon.
Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama.

D. PATOFISIOLOGI
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen
aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga
pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum
tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang
menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian
proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden,
2002:197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal.
Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut,
menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena
terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson,
1995 : 141 ).
PATHWAY
Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi,
kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus

Sel ganglion pada kolon


Tidak ada / sangat sedikit

Kontrol kontraksi dan relaksasi


Peristaltik abnormal

Peristaltik tidak sempurna Spinter rektum tidak dapat


relaksasi

Obstruksi parsial Feses tidak mampu


melewati
spinker ani

Refluks Cairan
Akumulasi benda cair,
udara dan gas

mual dan muntah perasaan penuh


Obstruksi di
- Resiko Resiko/
Colon
ketidakseimbangan cairan Defisit
- Resiko Nutrisi
ketidakseimbangan Konstipasi

Resiko/disfungsi Pelebaran kolon (Mega Colon)


motilitas gastrointestinal

sumber : ( Betz, Cecily & Sowden, 2002 : 196 )


E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan :
a Daerah transisi
b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c Entrokolitis padasegmen yang melebar
d Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam (Darmawan K, 2004 : 17)
2. Biopsi isap
Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel
ganglion pada daerah sub mukosa (Darmawan K, 2004 :17)
3. Biopsi otot rektum
Yaitu pengambilan lapisan otot rektum
4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini
khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase (Darmawan K,2004:
17)
5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus
( Betz, cecily & Sowden, 2002 : 197 )
6. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang
menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang
menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.

F. PENATALAKSANAAN
1. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus
besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar
sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk
melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar
untuk mengembalikan ukuran normalnya.
b Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak
mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama
( Betz Cecily & Sowden 2002 : 98 )
Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson,
Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling
sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana
mukosa aganglionik telah diubah ( Darmawan K 2004 : 37 )

2. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak
secara dini
b Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )
d Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang
( FKUI, 2000 : 1135 )
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak
dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya
meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema.
Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi
dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT )

G. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA PENDUKUNG


Asuhan keperawatan adalah serangkaian tindakan sistematis
berkesinambungan yang meliputi tindakan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
individu atau kelompok, baik yang aktual maupun potensial kemudian merencanakan
tindakan untuk menugaskan orang lain untuk melaksanakan tindakan keperawatan serta
mengevaluasi keberhasilan dari tindakan. Tahap-tahap proses keperawatanya itu
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan pelaksanaan, pelaksanaan dan evaluasi
kemudian didokumentasikan (Rohmah&Walid,2
a. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan. Pengkajian
merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya
(Rohmah&Walid,2020). Pada tahap pengkajian terdapat beberapa metode
pengumpulan data wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan studi
dokumentasi.
Menurut Muttaqin &Sari (2013) pengkajian pada penyakit hirschprung
terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik dan evaluasi
diagnostik.
1) Keluhan utama yang lazim ditemukan pada anak adalah nyeri
abdomen. Untuk pengkajian nyeri pada anak terdiri atas pengumpulan
data subjektif dan objektif. Keluhan orang tua pada bayinya dapat
berupa muntah-muntah. Keluhan gastro intestinal lain yang
menyertai, seperti distensi abdomen, mual, muntah, dan nyeri kolik
abdomen.
2) Pengkajian riwayat kesehatan sekarang, keluhan orangtua pada bayi
dengan tidak adanya evakuasi mekonium dalam 24 -48 jam pertama
setelah lahir diikuti obstruksi konstipasi, muntah, dan dehidrasi.
Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan
yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis
dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Adanya feses yang
menyemprot pada saat colok dubur merupakan tanda yang khas. Pada
anak, selain tanda pada bayi, anak akan rewel dan keluhan nyeri pada
abdomen. Didapatkan keluhan lainnya berupa kontipasi atau diare
berulang. Pada kondisi kronis, orangtua sering mengeluh anak
mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Anak
mungkin didapatkan mengalami kekurangan kalori – protein. Kondisi
gizi buruk ini merupakan hasil dari anak karena selalu merasa
kenyang, perut tidak nyaman, dan distensi terkait dengan konstipasi
kronis. Dengan berlanjutnya proses penyakit, maka akan terjadi
Entero kolitis. Kondisi enterokolitis dapat berlanjut ke sepsis,
transmural nekrosis usus, dan perforasi.
3) Pada pengkajian riwayat penyakit keluarga sering didapatkan kondisi
yang sama pada generasi terdahulu. Kondisi ini terjadi sekitar 30%
dari kasus.
4) Pengkajian psiko sosial akan didapatkan peningkatan kecemasan,
serta perlunya pemenuhan informasi intervensi keperawatan
dan pengobatan.
5) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinik.
Pada survei umum terlihat lemah atau gelisah. Tanda –tanda vital
biasa didapatkan hipertermi dan takikardi dimana menandakan
terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda
dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau sepsis.
Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipat paha,dan
rektum akan didapatkan:
a. Inspeksi: tanda khas didapatkan adanya distensi abdominal.
Pemeriksaan rektum dan feses akan didapatkan adanya
perubahan feses seperti pita dan berbau busuk.
b. Auskultasi: pada fase awal didapatkan penurunan bising usus,
dan berlanjut dengan hilangnya bising usus.
c. Perkusi: timpani akibat abdominal mengalami kembung.
d. Palpasi: teraba dilatasi kolon pada abdomen.
6) Pengkajian diagnostik yang dapat membantu, meliputi pemeriksaan
laboratorium untuk mendeteksi adanya Leukositosis dan gangguan
elektrolit atau metabolik; foto polos abdomen dengan dua posisi, yaitu
posisi tegak dan posisi berbaring untuk mendeteksi obstruksi
intestinal pola gas usus, sertaUSG untuk mendeteksi kelainan intra
abdominal.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial.
Diagnosa keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien, keluarga dan
komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
2017) . Beberapa diagnosa keperawatan yang muncul antara lain :
1. Konstipasi b,d penurunan motilitas gatrointestinal, aganglionik
2. Disfungsi Motilitas Gastrointestinal b.d malnutrisi
3. Resiko/Defisit nutrisi b.d mual muntah (ketidakmampuan mencerna makanan).
4. Risiko ketidakseimbangan cairan b.d muntah, diare dan pemasukan terbatas
karena mual.
5. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d mual muntah
6. Nausea b.d distensi abdomen
7. Risiko infeksi b.d prosedur pembedahan dan adanya insisi (prosedur invansif).

I. TUJUAN RENCANA KEPERAWATAN DAN KRITERIA HASIL


Perencanaan Keperawatan Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk
mencegah, mengurangi, dan mengatasi masalah–masalah yang telah diidentifikasi dalam
diagnosa keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana perawat mampu
menetapkan menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien (Rohmah &Walid, 2020).
Luaran (outcome) keperawatan merupakan aspek–aspek yang dapat diobservasi dan diukur
meliputi kondisi, perilaku atau dari persepsi pasien, keluarga atau komunitas sebagai respon
terhadap intervensi keperawatan. Luaran keperawatan menunjukkan status Diagnosa
keperawatan setelah dilakukan intervensi keperawatan (TIM Pokja SLKI DPP PPNI, 2019).
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang
diharapkan, sedangkan tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang
dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan (Tim Pokja
SIKI DPP PPNI, 2018).
Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, dan
mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosa keperawatan. Desain
perencanaan menggambarkan sejauh mana perawat mampu menetapkan menyelesaikan
masalah dengan efektifitas dan efisi
a. Dx. Konstipasi b.d penurunan motilitas gastrointestinal, aganglionik
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama.....x.....hari/jam
diharapkan eleminasi fekal membaik dengan kriteria hasil:
 Kontrol pengeluaran feses membaik
 Keluhan defekasi lama dan sulit menurun
 Distensi abdomen menurun
 Konsistensi feses membaik
 Frekuensi defekasi membaik
 Peristaltik usus membaik

b. Dx. Disfungsi Motilitas Gastrointestinal b.d malnutrisi


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan .....x.....Jam/hari
diharapkan Motilitas Gastrointestinal membaik dengan kriteria hasil :
 Nyeri Menurun
 Kram abdomen menurun
 Mual menurun
 Regurgitasi menurun
 Distensi andomen menurun
 Suara peristaltik meningkat

c. Dx. Resiko/Defisit nutrisi b.d mual muntah (ketidakmampuan mencerna


makanan).
Tujuan : Setelah diakukan tindakan keperawatan .....x.....jam/hari
diharapkan status nutrisi membaik dengan kriteria hasil :
 Porsi makan yang dihabiskan meningkat
 Perasaan cepat kenyang menurun
 Nyeri abdomen menurun
 Diare menurun

d. Dx. Risiko ketidakseimbangan cairan b.d muntah, diare dan pemasukan


terbatas karena mual.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama....x....jam
diharapkan keseimbangan cairan meningkat dengan kriteria hasil:
 Asupan cairan meningkat
 Keluaran urin meningkat
 Kelembaban membran mukosa meningkat
 Dehidrasi menurun
 Tekanan darah membaik
 Mata cekung membaik
 Turgor kulit membaik

I. INTERVENSI DAN RASIONAL


Intervensi atau pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga
meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien sebelum
dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah &
Walid, 2019).
Menurut Nursalam (2018) ada 3 jenis tindakan keperawatan:

1. Independen (Mandiri) Tindakan keperawatan Independen adalah suatu


kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari
dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
2. Interdependen (kolaborasi) adalah suatu tindakan keperawatan menjelaskan
suatu kegiatan yang memerlukan suatu kerjasama dengan tenaga kesehatan
lainnya, misalnya tenaga sosial, ahligizi, fisioterapi dan dokter.
3. Dependen (ketergantungan atau rujukan) adalah tindakan yang berhubungan
dengan pelaksanaan rencana tindakan medis. Tindakan ini menandakan suatu
cara dimana tindakan medis dilaksanakan.
Intervensi dan rasinalisasi pada tindakan keperawatan dengaan
permasalahan pada kasus hirsprung diantaranya :

Dx.1
Intervensi Utama : Manajemen Konstipasi
Tindakan :
Observasi :
 Periksa tanda dan gejala konstipasi
Rasional Untuk memperoleh data yang akurat dan sesuai
 Periksa pergerakan usus, karakteristik feses (konsistensi, bentuk, volume dan
warna)
Rasional : Menilai kesesuaian data dengan kondisi pasien yang real
 Identifikasi faktor resiko kontipasi
Rasional : Untuk menghindarkan dari permasalahan yang lebih berat
Terapiutik :
 Lakukan evakuasi feses secara manual, jika perlu
Rasional : untuk meningkatkan rasa kenyamanan
 Berikan enema atau irigasi, jika perlu
Rasional : Membantu mengeluarkan feses secara mudah
Edukasi:
 Jelaskan etiologi masalah dan alasan tindakan
Rasional : mencegah miskomunikasi antara keluarga/pasien dengan pemberi
layanan
 Ajarkan cara mengatasi konstipasi/impaksi
Rasional : Agar jika timbul permasalahan yang sama dikemudian hari keluarga
dapat bertindak secara mandiri sebelum mencari bantuan.
Kolaborasi :
 Konsultasikan dengan tim medis tentang penurunan/peningkauatn frekuensi suara
usus

Intervensi Pendukung : Insersi Selang Nasogastrik


Tindakan :
Observasi :
 Identifikasi indikasi pemasangan NGT
Rasional : Memastikan bahwa tindakan yang akan dilakukan dan benar sesuai
kondisi
 Monitor tanda bahaya pernafasan
Rasional : Untuk mencegas aspirasi saat pemasangan NGT
Terapiutik :
 Letakkan perlak di dada
Rasional : Untuk menjaga kebersihan saat pemberian tindakan
 Tentukan panjang selang dengan mengukur dari ujung hidung ke telinga lalu ke
prosesus Xipoideus
Rasional : Untuk menetahui panjang selang sesuai kebutuhan
 Tandai panjang selang
 Pertimbangkan penambahan 5 cm untuk memastikan masuk ke lambung
Rasional : pemasangan yang kependekan/kepanjangan akan menciptakan rasa
tidak nyaman pada pasien
 Periksa kepatenan lubang hidung
 Lumasi ujung selang 15-20 cm dengan gel
Rasional : untuk meminimalisir terjadinya iritasi
 Pasang spuit dan aspirasi isi lampung, jika isi tdk keluar masukkan selang 2,5-5
cm dan coba aspirasi kembali
 Masukkan udara 30 ml/sesuai kebutuhan dan dengarkan bunyi udara dalam
lambung dengan stetoskop
Rasional : Memastikan bahwa selang sudah benar masuk ke Lambung
 Fiksasi selang NGT ke hidung pasien dengan plester hipoalergik
 Posisikan semi fowler
Rasional : Untuk mencegah selang terlepas dan menciptakan rasa nyaman
Edukasi :
 Jelaskan prosedur dan tujuan kepada keluarga dan pasien
 Informasikan kemungkinan ketidaknyamanan pada hidung dan kemungkinan
muntah
 Anjurkan mengangkat kepala, pegang selang dengan ujung mengarah ke bawah
dan masukkan perlahan ke dalam lubang hidung
 Anjurkan menundukkan kepala saat selang mencapai nasofaring putar selang 180
derajat ke arah lubang hidung yang berlawanan.
 Anjurkan menelan saat selang dimasukkan
Rasional : Memasang dengan tehnik yang benar dapat mengurangi kecemasan
dan meningkatkan kenyamanan di saat ketidaknyamanan terasa.
2. Dx.2
Intervensi Pendukung : Pemberian Enema
Tindakan :
Observasi :
 Identifikasi alasan pemberian enema
 Identifikasi kontra indikasi enema (glaukoma peningkatan TIK)
Rasional : Memastikan bahwa telah sesuai dengan indikasi tindakan enema
 Monitor karakter kotoran dan larutan (warna, jumlah dan penampilan)
 Monitor respon terhadap prosedur termasuk tanda-tanda intoleransi (perdarahan
dubur, distensi, sakit perut, palpitasi, diaphoresis, pucat dan sesak nafas, diare,
konstipasi dan impaksi)
Rasional : Untuk menjaga keselamatan pasien dari tindakan yang diberikan
Terapiutik :
 Berikan privasi
 Berikan posisi yang tepat (dorsal rekumben unt anak dan sims untuk dewasa)
Rasional : Untuk menciptakan rasa nyaman dan aman
 Berikan perlak dibawah pinggul dan bokong
 Berikan selimut mandi dan buka hanya area rectum
Rasional :untuk menjaga kebersihan dan kerapihan saat tindakan
 Berikan suhu yang hangat pada larutan irigasi
Rasional : membantu meningkatkan rangsang usus dalam upaya eleminasi
 Atur ketinggian tabung enema 30-45 cm (enema tinggi), 30 cm (enema reguler),
7,5 cm untuk enema rendah
 Masukkan cairan enema
 Minta pasien menahan cairan selama 2-10 menit
 Fasilitasi membersihkan perineum
Rasional : supaya cairan irigasi dapat bekerja dengan baik
Edukasi :
 Jelaskan prosedur ke keluarga, pasien sensasi yang diharapkan selama dan
sesudah prosedur
 Anjurkan menarik nafas dalam sebelum cairan masuk
Rasional : Untuk menciptakan rasa aman dan rileks.
3. Dx. 4
Intervensi Utama : Pemantauan Cairan
Tindakan :
Observasi :
 Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
 Monitor frekuensi nafas
 Monitor berat badan
 Monitor waktu pengisian kalpiler
 Monitor elastisitas/turgor kulit
 Monitor jumlah, warna dan berat jenis urine
 Monitor kadar albumin dan protein
 Monitor intake-output cairan
 Identifikasi tanda-tanda hipovolemia
 Identifikasi tanda-tanda hipervolemia
Rasional : Untuk menilai adanya peningkatan/penurunan dari hasil tindakan yang
diharapkan
Terapiutik :
 Atur interval waktu pemantauan sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Rasional : Pemantauan yang berlebih dapat nenggangu istirahat pasien sehingga
pasien merasa tidak nyaman
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Rasional : Untuk mencegah adanya miskomuniksi antara keluarga/pasien dengan
pemberi layanan.

Intervensi Pendukung : Insersi Intravena


Tindakan :
Observasi :
 Identifikasi vena yang akan diinsersi
Terapiutik :
 Atur posisi senyaman mungkin
 Pertimbangkan faktor pemilihan pembuluh darah vena
 Hindari memilih lokasi yang terdapat fistula
Rasional : pasien merasa aman nyaman dengan tindakan yang akan dilakukan
 Pilih jarum yang sesuai berdasarkan tujuan
 Berikan analgesik topikal k/p
Rasional : mengurangi rasa nyeri yang timbul
 Pasang tourniquet 3-4 inci diatas tempat tusukan
 Bersihkan area dengan desinfektan
Rasional : untuk mencegah infeksi
 Masukkan jarum sesuai prosedur gunakan jarum dengan fitur pencegahan cedera
 Tentukan penempatan yang benar dengan mengamati darah diruang flash/dalam
tabung
Rasional : memastikan bahwa jarum telah terpasang dengan baik dan benar
 Buka tourniquet sesegera mungkin
 Pastikan plester jarum terpasang dengan benar
 Sambungkan kateter intravena ke tabung infus
 Berikan plester transparan di tempat kanula IV jika tersedia
 Berikan label IV dengan tanggal dan waktu
 Pertahankan kewaspadaan universal
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
 Anjurkan tidak menggerakkan tubuh saat dilakukan insersi
Rasional : dapat melukai angguta tubuh lainnya
 Anjurkan membuka tutup tangan beberapa kali k/p
Rasional : agar pembuluh darah lebih tampak kerana terisi darah cukup banyak
 Anjurkan orang tua untuk memegang dan menghibur anak k/p
Rasional : mengurangi kecemasan anak

J. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi keperawata nmenurut Rohmah & Walid, (2020) penilaian dengan cara
membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati)dengan tujuan dan
kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Tujuan evaluasi adalah untuk
mengakhiri rencana tindakan keperawatan, memodifikasi rencana tindakan keperawatan,
meneruskan rencana tindakan keperawatan. Menurut Rohmah & Walid (2020) evaluasi
dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1. Evaluasi proses (Formatif):
 Evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan
 Berorientasi pada etiologi
 Dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang dilakukan
tercapai.
2. Evaluasi hasil (Sumatif):
 Evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan secara
paripurna.
 Berorientasi pada masalah keperawatan.
 Menjelaskan keberhasilan/tidak keberhasilan
 Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan
kerangka waktu yang ditetapkan. untuk memudahkan perawat
mengevaluasi atau memantau perkembangan klien, digunakan SOAP.

Pengertian SOAP adalah sebagai berikut :


 S: Subyektif Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan
setelah dilakukan tindakan keperawatan
 O: Objektif Data objektif adalah data berdasarkan hasil pengukuran atau
observasi perawat secara langsung kepada klien, data yang dirasakan klien
setelah dilakukan tindakan keperawatan.
 A: Assesment Interpretasi dari data subjektif dan data objektif. Assesment
merupakan suatu masalah Diagnosa keperawatan yang masih terjadi akibat
perubahan status kesehatan klien yang telah teridentifikasi datanya dalam
data subjektif dan objektif
 P: Perencanaan Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan,
dihentikan, dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan
keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.

Tindakan yang telah menunjukkan hasil yang memuaskan dan


tidak memerlukan tindakan ulang pada umumnya dihentikan. Tindakan
yang perlu dilanjutkan adalah tindakan yang masih kompeten untuk
menyelesaikan masalah klien dan membutuhkan waktu untuk mencapai
keberhasilannya. Tindakan yang perlu dimodifikasi adalah tindakan
yang dirasa dapat membantu menyelesaikan masalah klien, tetapi perlu
ditingkatkan kualitasnya atau mempunyai alternatif pilihan yang lain
diduga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan.
Sedangkan rencana tindakan yang perlu baru atau sebelumnya tidak
ada yang ditentukan bila timbul masalah baru atau rencana tindakan
yang ada sudah tidak kompeten lagi untuk menyelesaikan masalah
yang ada.
Dokumentasi keperawatan merupakan bukti pencatatan dan
pelaporan yang diberikan, yang dimiliki perawat dalam melakukan
catatan perawat yang berguna untuk kepentingan klien, perawat, tim
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan dan dasar
komunikasi yang akurat dan lengkap secara tertulis dengan tanggung
jawab perawat (Hidayat, 2019).
Kegunaan dokumentasi adalah:
 Sebagai alat komunikasi antara anggota perawat dan anggota tim
lainnya.
 Sebagai dokumentasi resmi dalam sistem pelayanan kesehatan.
 Dapat digunakan sebagai bahan peneliti dalam bidang keperawatan.
 Sebagai alat yang digunakan dalam bidang pendidikan keperawatan
 Sebagai alat pertanggungjawaban asuhan keperawatan yang diberikan
terhadap pasien
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, S. (1995). Patofisiologi. Jakarta: EGC


2. Arief Mansjoer( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Jakarta : Media
Aesculapius FKUI
3. Betz, Cecily & Sowden. ( 2002 ). Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa Jan
Tambayong. Jakarta : EGC
4. Darmawan K ( 2004 ). Penyakit Hirschsprung. Jakarta : sagung Seto.
5. Hambleton, G ( 1995 ). Manual Ilmu Kesehatan Anak di RS. Alih bahasa Hartono dkk.
Jakarta : Bina Rupa Aksara
6. Nelson, W. ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta :
EGC
7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta :
Infomedika Jakarta.
8. Suherman. ( 2000 ). Buku Saku Perkembanagn Anak. Jakarta : EGC
9. Suryadi dan Yuliani, R ( 2001 ) Asuhan Keperwatan Pada Anak. Jakarta : CV. Sagung
Seto
10. Wong, Donna ( 2004 ). Keperawatan Pediatrik. Alih Bahasa Monica Ester. Jakarta :
EGC
11. Yupi, S. (2004). Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC
12. Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1
Cetakan II
13. Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, Edisi 1
Cetakan II
14. Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Edisi 1
Cetakan II

19

Anda mungkin juga menyukai