Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberi kekuatan dan
kesempatan kepada kami, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan waktu
yang di harapkan walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana, dimana makalah
ini membahas tentang penyakit Graves dan semoga makalah ini dapat
meningkatkan pengetahuan kita khususnya tentang bagaimana dan apa bahaya dari
penyakit Graves.
Dengan adanya makalah ini, mudah-mudahan dapat
membantu meningkatkan minat baca dan belajar teman- teman. selain itu kami
juga berharap semua dapat mengetahui dan memahami tentang materi ini, karena
akan meningkatkan mutu individu kita.
Kami sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
sangat minim,sehingga saran dari dosen pengajar serta kritikan dari teman-teman
masih kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Kami ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
DAFTAR ISI
(Daftar isi diberi label halaman huruf ‘ii’ (lanjutan dari halaman
kata pengantar, bukan angka)
BAB 1
PEENDAHULUAN
Sementara, menurut Dr soemarto penyakit grave atau basedow muncul akibat adanya
gangguan autoimun pada kelenjar tiroid, yang disertai adanya immunoglobulin yang
merangsang tiroid. Sedangkan menurut Suzanne C. Smeltzer, hipertiroidisme
merupakan suatu keadaan dimana terjadi hubungan kompleks anatara fisiologis dan
biokimiawi, sehingga suatu jaringan meberikan hormon tiroid berlebihan.
1. Faktor genetik
Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara mengelompok dalam
keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek sehari-sehari sering ditemukan
pengelompokkan penyakit graves dalam satu keluarga atau keluarga besarnya
dalam beberapa generasi. Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH
yang abnormal. Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk
penderita penyakit gaves diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.
Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan dalam penyakit graves.
Pertama gen dari HLA, yang kedua gen yang berhubungan dengan alotipe IgG
rantai berat (IgG heavy chain) yang disebut Gm. Pada orang kulit putih (Eropa)
hubungan erat terlihat antara penyakit graves dan HLA-B8 dan HLA-D3
sedangakan pada orang Jepang HLA-Bw35 dan DW13, untuk Cina HLA-BW 4
dan di Filipina seperti dilaporkan oleh Pascasio erat dengan HLA-B13 dengan risk-
ration 5,1. Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu
memproduksi immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan dalam
mengatur fungsi limfosit T-supresor dan T-helper dalam memroduksi TSAb, dan
Gm menunjukkan kemampuan limfosit B untuk membuat TSAb.
2. Faktor imunologis
Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ spesifik, yang
ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar tiroid (thyroid stimulating
antibody atau TSAb). Teori imunologis penyakit graves :
a. Persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif.
b. Diwariskannya HLA khusus dang en lain yang berespon immunologic khusus.
c. Rendahnya sel T dengan fungsi suppressor.
d. Adanya cross reacting epitope.
e. Adanya ekspresi HLA yang tidak tepat.
f. Adanya klon sel T atau B yang mengalami mutase
g. Stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel T.
h. Adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.
Ehrlich menyatakan bahwa dalam keadaan normal sistem imun tidak bereaksi
atau memproduksi antibodi yang tertuju pada komponen tubuh sendiri yang disebut
mempunyai toleransi imunologik terhadap komponen diri. Apabila toleransi ini
gagal dan sistem imun mulai bereaksi terhadap komponen diri maka mulailah
proses yang disebut autoimmunity. Akibatnya ialah bahwa antibodi atau sel
bereaksi terhadap komponen tubuh, dan terjadilah penyakit. Toleransi sempurna
terjadi selama periode prenatal. Toleransi diri ini dapat berubah atau gagal sebagai
akibat dari berbagai faktor, misalnya gangguan faktor imunologik, virologik,
hormonal dan faktor lain, sedangkan faktor-faktor tersebut dapat berefek
secara tunggal maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya autoantibodi dapat
menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan sebaliknya seringkali
autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan. Pada penyakit graves anti-self-
antibody dan cell mediated response, yang biasanya ditekan, justru
dilipatgandakan. Reaksinya mencakup meningkatnya TSAb, Anti TgAb, Anti
TPO-Ab, reaksi antibody terhadap jaringan orbita, TBII dan respons CMI (Cell
Mediated Immunoglobulin). Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan
karena TSAb. Setelah terikat dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai
agonis TSH dan merangsang adenilat siklase dan cAMP. Diperkirakan ada seribu
reseptor TSH pada setiap sel tiroid. Kecuali berbeda karena efeknya yang lama,
efek seluler yang ditimbulkannya identic dengan efek TSH yang berasal dari
hipofisis. TSAb ini dapat menembus plasenta dan transfer pasif ini mampu
menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun neonatal, tetapi hanya berlangsung
selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi. Biasanya pengaruhnya akan
hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan. Pada penyakit graves terjadi kegagalan
sistem imun umum. Terbentuknya TSAb dapat disebabkan oleh:
a. Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibody yang
dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan yang banyak
diteliti adalah organisme Yersinia enterocolica. Beberapa subtipe organisme ini
mempunyai binding sites untuk TSH, dan beberapa pasien dengan penyakit
graves juga menunjukkan antibody terhadap anti-Yersinia.
b. Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal
komponen tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi antigenik,
sehingga bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan TSAb.
c. Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama dirahim
tidak deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb harus dirangsang dan
mengalami diferensiasi menjadi antibodysecreting cells yang secara terus-
menerus distimulasi. Aktivasi, pengembangan dan kelanjutannya mungkin
terjadi karena rangsangan interleukin atau sitokin lain yang diproduksi oleh sel
T helper inducer. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit graves adalah
kondisi autoimmun dimana terbentuk antibody terhadap reseptor TSH.
Penyakit graves adalah gangguan multifaktorial, susceptibilitas genetik
berinteraksi dengan faktor endogen dan faktor lingkungan untuk menjadi
penyakit. Termasuk dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR juga gen non HLA
seperti TNF-β, CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan gen reseptor
TSH. Penyakit graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa faktor infeksi.
3. Trauma Psikis.
Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan konversi dari T3
ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan akibatnya produksi hormon tiroid
justru turun. Secara teoritis stress mengubah fungsi limfosit T supresor atau T
helper, meningkatkan respon imun dan memungkinkan terjadinya penyakit graves.
Baik stress akut maupun kronik menimbulkan supresi sistem imun lewat non
antigen specific mechanism, diduga karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel
immun.
4. Radiasi Tiroid eksternal.
Dilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah mengalami radioterapi
daerah leher karena proses keganasan. Secara teoritis radiasi ini yang merusak
kelenjar tiroid dan menyebabkan hipotiroidisme, dapat melepaskan antigen serta
menyulut penyakit tiroid autoimmun. Iradiasi memberi efek bermacam-macam
pada subset sel T, yang mendorong disregulasi imun.
5. Chorionic Gonadothropin Hormon.
Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan oleh jaringan
trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG, tetapi secara imunologik
cross-react dengan TSH manusia. Diduga bahan ini ialah hCG (yang mempunyai
sub unuit alfa yang sama dengan TSH) atau derivat hCG yang desialated. Efek
yang menyerupai efek TSH pun dikeluarkan oleh karsinoma testis embrional
(seminoma testis). Secara klinis gejala tirotoksikosis ini terlihat pada hyperemesis
gravidarum, dimana T4 dan juga T3 dapat meningkat disertai menurunnya TSH,
kalau hebat maka klinis terlihat tanda hipertiroidisme juga. Apabila muntahnya
berhenti maka kadar hormon tiroid diatas kembali normal (Philiphus, 2017).
Hipertiroidisme pada penyakit graves disertai dengan eksoftalmus . hal ini disebabkan
karena otot-otot ekstraokuler mengalami karena peningkatan produksi dari hidrofilik
glycosaminoglycans (GAGs) pada jaringan orbita. Terjadi juga infiltrasi dari sel-sel
imunokompeten (yang didominasi oleh limposit T, makropag, dan limfosit B), yaitu
golongan limfosit T tersering adalah CD4+. Limfosit T akan mengenali antigen yang
dikeluarkan oleh tiroid dan orbita, lalu melakukan infiltrasi pada jaringan orbita dan
perisimium otot-otot eksta okuler. Proses ini difasilitasi oleh adhesion molecules dan
berhubungan dengan aktivitas penyakit. Setelah infiltrasi dari limfosit T maka resptor
limposit T pada CD4+ akan mengenali antigen dan akan menyekresi sitokinin yang
akan memperkuat reaksi imun yang terjadi dengan mengaktifkan limfosit T CD4+dan
memproduksi sel B.
Sitokinin sendiri merangsang terbentunya molekul-molekul major histocompability
complex class II (MHC class II) dan heat shock protein 72 2 (HSP 72) yang berperan
penting pada pengenalan antigen. Sitokinin juga merangsang fibrolas untuk
membentuk dan menyekresi GAGs yang akan menarik cairan menuju ke ruang retro-
orbita, sehingga terjadi pembekakan periorbita, proptosis, dan pembengkakan otot-otot
ekstaokuler. Fibrolas di orbita menyebabkan reaksi imun ini berjalan terus dengan jalan
melindungi sel T yang menginfiltrasi orbita dari terjadinya apoptosis. Sel-sel
preadiposit yang merupakan bagian dari fibroblast orbita ini dibawah pengaruh
hormone akan mengalami deferensiasi menjadi sel-sel adifosit dan menyebabkan
peningkatan volume jaringan lemak retro-orbita.
Gejala pada oftalmopati graves adalah perubahan pada kelopak mata (retraksi pada
kelopak mata atas) dapat terjadi oleh karena beberapa mekanisme, (efipora, fotofobia,
nyeri reroorbita), proptosis (eksoftalmus>2mm), gangguan pada kornea dan dispungsi
nervus optikus (Yogiantoro, D.dkk.,2006). Hormone yang dihasilkan akibat disfungsi
hipertiroidisme .
1. Terapi obat.
Karbimazol menurunkan sitesis hormone tiroid dosis awal 40-60 mg/hari,
kemudian dikurangi sampai tergapai dosis pemeliharaan. Dosisnya
dititrasikan sesuai dengan fungsi tiroid dan dilanjutkan selama 18 bulan.
Pendekatan alternative adalah memberikan karbimazol doisis tinggi
bersama T4 untuk menghindari hipertiroid (technic block and replace).
Karbimazol menyebabkan agranulositosis. Pada 0,1% kasus harus segera
dihentikan apabila muncul sakit tenggorokan atau demama
2. Pengobatan dengan yodium radioaktif.
Indikasinya untuk pasien umur 35 tahun/lebih, hipertiroidisme yang
kambuh setelah di operasi, goiter multinodular toksik, dan tidak mampu/
tidak mau pengobatan dengan obat anti tiroid.
3. Pembedahan.
Tiroidektomi untuk struma multinodular, adenoma toksik atau relaps
penyakit graves seelah terapi anti tiroid. Risikonya kecil termasuk
kelumpuhan vita suara, hipotiroid, dan hipoparatiroid.
4. Terapi optalmopati akibat tiroid.
a. Suportif: posisi kepala lebih tinggi dari pada kaki, air mata buatan, kaca
mata prisma untuk mengatasi diplopia
b. Definitif: terapi dengan steroid dosis tinggi dan imunosupresan lain
(untuk dekompresi bola mata), dekompresi bola mata dengan bedah
atau radioterapi bola mata.
3.2 Saran
Sebagai manusia yang arif, maka kita hendaknya dapat selalu bersyukur atas
anugerah kesehatan yang diberika Allah kepada kita. Salah satu cara yang bisa kita
lakukan adalah dengan senantiasa menjaga anugerah tersebut dengan cara selalu
mengkonsumsi makanan yang bersih, sehat, dan bergizi, senantiasa menjaga
kebersihan, menjaga pola tidur yang teratur, mengelola stress dengan baik dan
sebagainya
DAFTAR RUJUKAN
Ariani, D. (2016). Ny.Z Usia 47 Tahun dengan Penyakit Graves . Jurnal Medula Unila,
Vol. 4, No. 3, Januari 2016.
Philiphus, U. (2017). Grave Disease.