Anda di halaman 1dari 31

Case Report Session

Tuberkulosis

Oleh:

Galuh Yudhi Widya Saputra 1840312206

Khairunnisa Salsabila 1840312262

Ririn Lausarina 1840312420

Preseptor :

dr. Yessy Susanty Sabri, Sp.P (K) FISR

dr. Afriani, Sp.P

BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL
PADANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan
bakteri Mycobacterium tuberculsosis yang dapat menyerang berbagai organ,
terutama paru. TB diperkirakan sudah ada di dunia sejak 5000 tahun SM, namun
kemajuan dalam penemuan dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam 2
abad terakhir.1
Kemajuan pengendalian TB di dunia pada awalnya terkesan lambat. Pada
1882 Robert Koch berhasil mengidentifikasi Mycobacerium tuberculosis. Pada
1906 vaksin BCG berhasil ditemukan. Lama sesudah itu, mulai ditemuan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT). Pada 1943 Streptomisin ditetapkan sebagai anti TB
pertama yang efektif. Setelah itu ditemukan Thiacetazone dan Asam
Para-aminosalisilat (PAS). Pada 1951 ditemukan Isoniazid (Isonicotinic Acid
Hydrazide; INH), diikuti dengan penemuan Pirazinamid (1952) Cycloserine
(1952), Ethionamide (1956), Rifampicin (1957), dan Ethambutol (1962). Namun
kemajuan pengobatan TB mendapat tantangan dengan bermunculan strain M.
Tuberculosis yang resisten terhadap OAT.1
Laporan dari WHO tahun 2015 menyebutkan terdapat 9,6 juta kasus TB
paru di dunia dan 58% kasus terjadi di daerah Asia Tenggara dan Afrika. Tiga
negara dengan kasus terbanyak adalah India (23%), Indonesia (10%) dan China
(10%). Indonesia berada pada posisi kedua dengan beban TB tertinggi di dunia.
Pengendalian TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan
Belanda namun masih terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang
kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP-4).
Sejak tahun 1969 pengendalian TB dilakukan secara nasional melalui Puskesmas.
Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung (Directly Observed
Treatment Short-Course, DOTS) yang dilaksanakan di Puskesmas secara
bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional diseluruh
Fasyankes terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan
dasar.1
Tata laksana yang kurang tepat dapat menimbulkan komplikasi dari TB
paru. Pneumothoraks merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi. Di
negara berkembang, TB paru merupakan penyebab utama terjadinya
pneumothoraks sekunder yaitu pneumothoraks dengan adanya penyakit dasar
yang menyertai.
TB masih merupakan beban bagi negara berkembang baik dalam segi
diagnosis maupun tatalaksana. Diperlukan kerjasama antar sektor baik kesehatan
maupun pemerintah sebagai pengatur kebijakan mengenai masalah TB.
Tatalaksana yang baik dapat menghindari terjadinya resistensi dan komplikasi
bagi pasien.
1.2 Batasan Masalah
Laporan kasus ini membahas tentang tuberkulosis dan
hidropneumothoraks..
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman tentang tuberkulosis dan hidropneumothoraks.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan laporan kasus ini dengan menggunakan metode diskusi yang
merujuk dari berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis sebagian besar terjadi pada paru yyang
mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20%
selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar.2
2.1.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi kuman TB dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB
terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia.3
WHO melaporkan pada tahun 2013 bahwa diperkirakan terdapat 8,6 juta
kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien
TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada diwilayah Afrika.
Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR
dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012, kasus TB pada
anak diantara seluruh kasus TB secara global menacapai 6% (530.000 pasien TB
anak/ tahun), sedangkan kematian anak yang menderita TB mencapai 74.000
kematian/ tahun.4
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab
kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001
menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama pada
golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit
TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001 terdapat 50.443 penderita BTA
positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga
perempat dari kasus TB ini berusia 15 – 49 tahun.4
2.1.3 Faktor Risiko
Faktor Risiko TB dibagi atas tiga, yaitu1
1. Faktor individu (host)
• Usia. Usia mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit TB.
Anak-anak hingga usia lima tahun memiliki kerentanan yang tinggi. Anak
dengan usia antara lima tahun hingga awal pubertas relatif tahan terhadap
infeksi TB.
• Jenis kelamin. Survei di beberapa negara menunjukkan bahwa lebih banyak
terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan. Akan tetapi penyebab pasti
belum diketahui, apakah disebabkan karena perbedaan gen terkait atau
faktor gaya hidup seperti merokok, atau kemampuan untuk mengakses
layanan kesehatan.
• Daya tahan tubuh. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah,
diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Beberapa faktor lain
yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, yaitu ketergantungan alkohol,
penggunaan narkoba suntik, merokok, diabetes melitus, orang-orang
dengan terapi kortikosteroid, gastrektomi, dan stadium akhir penyakit
ginjal.
2. Faktor kuman (agent)
Konsentrasi kuman yang terhirup dan lamanya waktu kontak seseorang
dengan sumber penularan mempengaruhi kejadian tuberkulosis.
3. Faktor lingkungan (environment)
Ventilasi, pencahayaan, dan kepadatan hunian rumah berhubungan dengan
kejadian tuberkulosis.
2.1.4 Patogenesis
1.TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer.3
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut:
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya. Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat
atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat
bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang
yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan
cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan cara yaitu sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau meninggal Semua kejadian diatas adalah perjalanan
tuberkulosis primer.
2. TUBERKULOSIS POST-PRIMER
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat
menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini,
yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil.3
Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut :
a. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
b. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi
lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk
jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
c. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Nasib kaviti ini:
• Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas
• Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula
aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
• Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed
cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga
kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberculosis post primer dan


perjalanan penyembuhannya

2.1.5 Klasifikasi
1. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru) 3
a. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam:
a) Tuberkulosis Paru BTA (+)
• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b) Tuberkulosis Paru BTA (-)
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak
respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
b. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a) Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30
dosis harian)
b) Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya
menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi
aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan berupa Infeksi
sekunder, Infeksi jamur, TB paru kambuh
c) Kasus pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang mendapatkan
pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten
lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
d) Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1
bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif.
e) Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau
gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.
f) Kasus kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang
baik
g) Kasus bekas TB
• Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif
dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih
gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung
• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun
setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologik

2. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU


Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis
sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis
kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan
oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu:
a. TB di luar paru ringan
Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b. TB diluar paru berat
Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Pada pasien TB gejala klinis yang terjadi dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu gejala respiratorik (atau gejala lokal dari organ yang terlibat) dan gejala
sistemik. 4
1. Gejala respiratorik
• Batuk ≥ 3 minggu
• Batuk darah
• Sesak napas
• Nyeri dada
Gejala respiratorik yang dialami oleh pasien sangat bervariasi, dari mulai
tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi yang
mengenai paru pasien. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check
up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.4
2. Gejala Sistemik
 Demam
 Malaise
 Keringat malam
 Anoreksia
 Berat badan menurun
3. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru yang dialami pasien tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa
akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat
gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.4
2.1.7 Diagnosis TB Paru
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan
terdapatnya paling sedikit satu spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai
dengan gambaran histologi TB atau bukti klinis sesuai TB.5
WHO merekomendasi pemeriksaan uji resistensi rifampisin dan atau
isoniazid terhadap kelompok pasien berikut ini pada saat mulai pengobatan:5
 Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten obat banyak didapatkan pada
pasien dengan riwayat gagal terapi.
 Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka yang
tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten obat.
 Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat.
 Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%.
WHO juga merekomendasi uji resistensi obat selama pengobatan berlangsung
pada situasi berikut ini:5
 Pasien baru atau riwayat OAT dengan apusan dahak BTA tetap positif pada
akhir fase intensif maka sebaiknya melakukan apusan dahak BTA pada bulan
berikutnya. Jika hasil apusan BTA tersebut masih positif maka biakan M.
tuberculosis dan uji resistensi obat atau pemeriksaan Xpert MTB/RIF harus
dilakukan.
1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang terjadi dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala lokal dari organ yang terlibat) dan gejala sistemik.4
• Batuk ≥ 3 minggu
• Batuk darah
• Sesak napas
• Nyeri dada
• Demam
• Gejala lainnya malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
2. Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung
luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen
posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,
ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada TB ekstra paru, antara lain :
 Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
 Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi
“cold abses”4
3. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH).4
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan
cara:
• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
• Dahak Pagi ( keesokan harinya )
• Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup
berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut
dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke
laboratorium.4
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas
objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl
0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam
pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim
ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang sesuai
dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti
laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak
dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.4
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:4
• Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya
• Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari
kertas saring sebanyak + 1 ml
• Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung
yang tidak mengandung bahan dahak
• Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman,
misal di dalam dus
• Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik
kecil
• Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan
sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
• Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal pengambilan
dahak
• Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan
cara mikroskopik dan biakan.4
Pemeriksaan mikroskopik:4
 Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan Kinyoun Gabbett
 Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih
dahulu dengan cara sebagai berikut :
a) Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan
tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%
b) Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak mencair
sempurna • Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000
rpm
c) Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator
fenol-merahpada sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya
menjadi merah
d) Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl
2n ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke
kuning-kuningan
e) Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (boleh
juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis )
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila
: 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif 1 kali positif, 2 kali negatif
→ ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik
positif bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif Interpretasi pemeriksaan
mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst atau IUATLD. Bila terdapat fasiliti
radiologik dan gambaran radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif, maka hasil
pemeriksaan dahak 1 kali positif, 2 kali negatif tidak perlu diulang.4
Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan
metode konvensional ialah dengan cara :4
• Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
• Agar base media : Middle brook Melakukan biakan dimaksudkan untuk
mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis
dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi
MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya
pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran
dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul
4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).4
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik
yang dicurigai lesi TB inaktif
• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas Kalsifikasi atau
fibrotik
• Kompleks ranke
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura Luluh Paru
(Destroyed Lung ) : Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan
paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik
luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik
tersebut.
• Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) : a. Lesi
minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua
depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti. b. Lesi luas Bila proses lebih
luas dari lesi minimal.4
5. Pemeriksaan Penunjang
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.4
a. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih
yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu
masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara
pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan
ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu
untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan
dengan cara yang benar dan sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR
positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB,
maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan
dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat.
b. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:4
 Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu
uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses
antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain
adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
 Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini
kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam serum
tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai
yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada
sisir yang dapat dideteksi dengan mudah
 Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji
yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi d. ICT Uji
Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik
untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis
merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang
berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38
kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1
garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 µl
diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati
garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk
garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada
membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh,
para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar
antibodi yang terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai
sebagai pegangan untuk diagnosis
c. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini
adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh
mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan
secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.
d. Pemeriksaan Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta
cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah
e. Pemeriksaan histopatologi jaringan Bahan histopatologi jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB),
trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar
getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi
aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis
ekstra paru Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan
histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil
berupa granuloma dengan perkejuan
f. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam
pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai
indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita,
sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan
penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan
penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya
tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
g. Uji tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi
TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan
sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau
bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada
malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi
positif jika diulang 1 bulan kemudian. Sebenarnya secara tidak langsung
reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang
analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ
yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila
menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis).
Agar tidak terjadi overdiagnosis atau underdiagnosis, pertimbangan dokter dalam
menetapkan pemberian pengobatan berdasarkan pada:
1. keluhan, gejala, dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung ke arah TB
2. kondisi yang memerlukan pengobatan segera seperti meningitis TB, TB
milier, ko-infeksi TB/HIV, dsb.
2.1.8 Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB yang adekuat mengguunakan OAT harus mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi. Obat harus
diberikan dalam dosis yang tepat, ditelan dalam dosis yang teratur, diawasi
langsung oleh PMO (pengawas makan obat). Pengobatan TB dibagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.6
Pada pengobatan tahap awal, OAT diberikan setiap hari untuk
menurunkan jumlah kuman. Untuk semua pasien baru, pengobatan TB harus
diberikan selama 2 bulan. Umumnya, pengobatan yang teratur dan tanpa penyulit,
daya penularan pasien akan menurun secara signifikan dalam 2 minggu
pengobatan. Pada tahap lanjutan, pengobatan bertujuan untuk membunuh sisa
bakteri M.tb hingga pasien benar-benar sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.6
Tabel 1. OAT Lini I
Tabel 2. Dosis OAT

Panduan OAT menurut Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia


adalah:
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Kategori 2 : 2(HRZE)S/9HRZE)/5(HR)3E3
Kategori Anak : (HRZ)/4HR atau 2HRZA(S)/4-10HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien Tb resisten obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisis, kapreomisin, Levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid dan etambutol.6
OAT disediakan dalam dua bentuk yaitu KDT (kombinasi dosis tetap) dan
kombipak. Pada OAT KDT, trdapat 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet yang
disesuaikan dengan BB pasien. Pada paket OAT kombipak, terdiri atas obat leas
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister. OAT kombipak digunakan pada pasien yang terbukti mengalami efek
samping pada OAT KDT sebelumnya. Berikut table untuk masing masing OAT
KDT dan kombipak pada kategori 1 maupun 2.6
Table 3.Panduan OAT KDT kategori 1
Table 4.OAT kombipak kategori 1

Table 5.Panduan OAT KDT kategori 2

Table 6. Panduan OAT Kombipak kategori 2

1. Hasil Pengobatan TB
Hasil pengobatan TB dapat dilihat pada table berikut
2. Pemantauan Kemajuan dan Hasil Pengobatan TB
Pemantauan kemajuan dan hasil pengbatan pada dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis pada akhir bulan ke-2 dan
ke-5. Untuk pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan pemriksaan dahak dua
kali yaitu sewaktu dan pagi, dinyatakan hasil dahak negatif bila keduanya
menunjukkan hasil negatif. Bila pemeriksaan menunjukkan hasil negatif, maka
pengobatan dapat dilanjutkan ke fase lanjutan dan kembali memeriksa dahak pada
akhir bulan ke-5 dan akhir pengobatan. Bila hasil dahak positif, tetap lanjutkan
pengobatan tanpa pemberian sisipan seperti program sebelumnya. Pasien kemudian
kembali memeriksakan dahak pada 1 bulan setelah fase lanjutan. Bila hasil tetap
masih positif, lakukan uji kepekaan obat. Bila fasilitas tidak mendukung untuk
dilakukannya uji kepekaan obat, maka obat fase lanjutan tetap dilanjutkan dan
kembali melakukan pemeriksaan pada akhir bulan ke-5.6
2.1.9 Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau
dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah batuk darah, pneumotoraks, gagal napas,
gagal jantung, efusi Pleura.7
Mekanisme terjadinya efusi pleura TB bisa dengan beberapa cara:
1. Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan radiologi toraks. Ini
merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB biasanya terjadi 6-12
minggu setelah infeksi primer, pada anak-anak dan orang dewasa muda.
Efusi pleura TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru
sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan terjadi
interaksi dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe
lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan akumulasi
cairan pleura. Cairan efusi umumnya diserap kembali dengan mudah. Namun
terkadang bila terdapat banyak kuman di dalamnya, cairan efusi tersebut dapat
menjadi purulen, sehingga membentuk empiema TB.
2. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut. Jarang,
keadaan seperti ini bisa berlanjut menjadi nanah (empiema). Efusi pleura ini terjadi
akibat proses reaktivasi yang mungkin terjadi jika penderita mengalami imuniti
rendah.
3. Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke dalam rongga
pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara paru dan
dinding dada. TB dari kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah (empiema).
Udara dengan nanah bersamaan disebut piopneumotoraks.
2.1.10 Prognosis
Prognosis TB paru umumnya baik dengan pengobatan yang tepat,
ketersediaan obat dan pengawasan minum obat yang baik. Namun apabila pasien
dengan tb paru tidak diobati setelah lima tahun akan memiliki prognosis :8
 50% meninggal
 25% sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
 25% manjadi kasus kronis yang tetap menular
2.2 Pneumotorak
2.2.1 Definisi Pneumotorak
Pneumotorak adalah suatu keadaan terdapatnya akumulasi udara di rongga
pleura yang dapat menyebabkan kolaps paru. Biasanya, udara yang masuk ke
rongga pleura berasal dari kebocoran paru yang sudah ada kelainan sebelumnya,
dan jarang yang berasal dari luar akibat trauma dinding dada. Pneumotorak
diklasifikasikan menjadi pneumotorak spontan dan pneumotorak traumatik.9
Pneumotorak spontan dikelompokkan menjadi pneumotorak spontan
primer dan pneumotorak spontan sekunder. Pneumotorak spontan primer terjadi
tanpa adanya faktor pencetus pada pasien yang tidak menunjukkan klinis kelainan
pada paru. Sebagian besar dari pasien ini terdapat kelainan berupa pecahnya
alveolus subpleura yang tampak pada CT scan. Sedangkan pneumotorak spontan
sekunder terjadi akibat komplikasi dari penyakit paru yang mendasari, yang
paling sering adalah PPOK. Pneumotorak traumatik terjadi akibat trauma tumpul
atau trauma tembus yang merusak paru , bronkus, atau esofagus.9,10
2.2.2 Epidemiologi
Pneumotorak spontan primer biasanya terjadi pada laki-laki perokok
dengan usia 20-40 tahun. Insidennya sekitar 18-28 kasus dari 100,000 penduduk
laki-laki dan 1,2-6 kasus dari 100,000 penduduk perempuan, dengan rasio antara
laki-laki dengan perempuan adalah 5:1. Walaupun perempuan lebih jarang
menderita pneumotorak dibanding laki-laki, namun pneumotorak spontan
sekunder pada perempuan terjadi 2-5 tahun lebih cepat dibanding laki-laki.9
Pneumotorak spontan sekunder biasanya lebih parah dari pneumotorak
spontan primer, karena sesuai pengertiannya pada pasien tersebut sudah ada
kelainan yang mendasari pada parunya. Insiden pneumotorak spontan sekunder
adalah sekitar 6,3/100.000 penduduk setiap tahun pada laki-laki dan 2.0/100.000
pada perempuan. Umur rata-rata pasiennya adalah 15-20 tahun lebih tua
dibanding pasien pneumotorak spontan primer.9
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Pneumotorak spontan primer (PSP) terjadi tanpa adanya kelainan primer
pada paru, mungkin saja terdapat patologi pada paru yang mendasari. Pengertian
yang lebih tepatnya adalah PSP terjadi pada pasien yang tidak ada kelainan pada
paru yang terdeteksi. Hal ini karena PSP sering berkaitan dengan pecahnya blep
atau bula subpleural dibagian apikal lobus superior.9
Faktor yang menyebabkan munculnya bleb atau bula subpleura masih
belum diketahui pasti, namun diperkirakan berkaitan dengan inflamasi saluran
napas. Inflamasi saluran napas akibat merokok berkontribusi dalam menyebabkan
munculnya bleb subpleura. Bronkiolitis pada perokok juga berkontribusi dalam
menyebabkan terjadinya PSP. Beberapa etiologi lainnya adalah abnormalitas
jaringan ikat (seperti sindroma marfan), abnormalitas bronkial dan overdistensi
alveoli.9
Tekanan pleura lebih negatif dibagian apeks. Tingkat kenegatifan ini juga
berkaitan dengan tinggi atau panjang paru seseorang, semakin tinggi seseorang
maka semakin panjang parunya dan tekanan dibagian apeks semakin negatif.
Udara akan mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, sehingga orang yang
lebih tinggi memiliki risiko PSP.9
PSP dilaporkan juga berkaitan dengan genetik, yaitu diturunkan melalui
gen autosom dominan namun beberapa penelitian lain melaporkan PSP
diturunkan melalui autosom resesif atau X-linked.
Pneumotorak spontan sekunder (PSS) dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit paru, namun yang paling sering adalah PPOK. Etiologi PSS adalah
sebagai berikut:
1. Penyakit paru obstruktif
- PPOK
- Asma
2. Penyakit interstisial paru
- Fibrosis paru idiopatik
- Pneumonitis interstisial non spesifik
- Granuloma eosinofilik
- Sarcoidosis
- Granulomatosis sel langerhan
- Fibrosis atau pneumonitis radiasi
3. Infeksi
- Pneumonia jerovici
- Tuberkulosis
- Pneumonia bakterial akut
4. Keganasan
- Karsinoma primer paru
- Tumor metastasis
- Komplikasi kemoterapi
5. Kelainan jaringan ikat
- Artritis reumatoid
- Ankilosing spondilitis
- Sindroma Ehler-Danlos
- Polimiositis
- Skleroderma
Pneumotorak spontan sekunder akibat TB lebih banyak terjadi bila
terdapatnya cavitas, namun sedikit terjadi pada TB aktif.
2.2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Tekanan dalam rongga pleura lebih negatif dibanding tekanan alvoli.
Tekanan intrapleura yang negatif tidak sama pada semua rongga pleura, terdapat
gradien sebesar 0,25 cmH2O untuk setiap 1 cm jarak vertikal. Pada bagian apeks,
tekanan lebih negatif dari bagian basal. Perbedaan tekanan inilah yang
menyebabkan distensi alveoli yang berada di apeks secara berlebihan. Apabila
terdapat penghubung antara alveoli dengan rongga pleura, maka udara akan
mengalir menuju rongga pleura sampai tekanan alveoli dan intrapleura sama.9,10
Udara yang berada di rongga pleura akan dikeluarkan melalui proses difusi
dari rongga pleura menuju aliran vena. Laju absorbsi ini tergantung pada beberapa
variabel yaitu; gradien tekanan antara rongga pleura dengan aliran vena,
permiabilitas permukaan pleura, luas kontak antara udara dengan permukaan
pleura, dan properti untuk difusi.9
PSP terjadi karena pecahnya bleb atau bula yang diperkirakan karena over
distensi alveoli. Udara dapat merobek selaput bronkovaskular dibagian medial,
sehingga menyebabkan pneumomediastinum yang akan diikutidengan emfisema
dan pneumotorak. Udara juga dapat merobek bagian perifer dari paru, diseksi
perifer ini akan menyebabkan udara masuk ke rongga pleura.9
Konsekuensi dari pneumotorak adalah berkurangnya kapasitas vital paru
dan berkurangnya PaO2. Kapasitas paru total, kapasitas residual fungsional dan
kapasitas difusi juga berkurang namun tidak sebanyak penurunan kapasitas vital.
Udara yang berada di rongga pleura menyebabkan hilangnya gradien pada
tekanan intrapleura dan volume paru regional, sehingga ventilasi didaerah tersebut
seragam.9,10
Pada orang sehat, penurunan kapasitas vital dan PaO2 dapat ditoleransi
dengan baik. Pada pasien yang disertai kelainan yang mendasari pada paru,
penurunan kapasitas vital akan menyebabkan hipoksemia yang signifika,
hipoventilasi alveoli, dan asidosis respiratorik. Ketika udara dalam rongga pleura
dikeluarkan maka PaO2 akan meningkat lagi.9,10
Pada pneumotorak spontan sekunder akibat TB, terjadi ruptur lesi paru
yang berada dekat dengan pleura, sehingga terdapat akses antara paru dan rongga
pleura. Sehingga udara saat inspirasi dapat masuk ke rongga pleura. Berbeda
dengan PSP, pada PSS keadaan pasien tampak serius dan dapat mengancam
nyawa.10
2.2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Biasanya ditemukan anamnesis yang khas, yaitu rasa nyeri pada dada seperti
ditusuk, disertai sesak nafas dan kadang-kadang disertai dengan batuk batuk. Rasa
nyeri dan sesak nafas ini makin lama dapat berkurang atau bertambah hebat. Berat
ringannya perasaan sesak nafas ini tergantung dari derajat penguncupan paru, dan
apakah paru dalam keadaan sakit atau tidak. Pada penderita dengan COPD,
pneumotoraks yang minimal sekali pun akan menimbulkan sesak nafas yang hebat.
Sakit dada biasanya datang tiba-tiba seperti ditusuk-tusuk setempat pada sisi paru
yang terkena, kadang-kadang menyebar ke arah bahu, hipokondrium dan skapula.
Rasa sakit bertambah waktu bernafas dan batuk. Sakit dada biasanya akan
berangsur-angsur hilang dalam waktu satu sampai empat hari.11,12
Batuk-batuk biasanya merupakan keluhan yang jarang bila tidak disertai
penyakit paru lain; biasanya tidak berlangsung lama dan tidak produktif.
Keluhan.keluhan tersebut di atas dapat terjadi bersama-sama atau sendiri sendiri,
bahkan ada penderita pneumotoraks yang tidak mempunyai keluhan sama sekali.
Pada penderita pneumotoraks ventil, rasa nyeri dan sesak nafas ini makin lama makin
hebat, penderita gelisah, sianosis, akhirnya dapat mengalami syok karena gangguan
aliran darah akibat penekanan udara pada pembuluh darah dimediastinum. 11,12,13

a) Inspeksi, mungkin terlihat sesak nafas, pergerakan dada berkurang, batuk


batuk, sianosis serta iktus kordis tergeser kearah yang sehat.
b) Palpasi, mungkin dijumpai spatium interkostalis yang melebar fremitus
melemah, trakea tergeser ke arah yang sehat dan iktus kordis tidak teraba
atau tergeser ke arah yang sehat.
c) Perkusi; Mungkin dijumpai sonor, hipersonor sampai timpani.
d) Auskultasi; mungkin dijumpai suara nafas yang melemah, sampai
menghilang.
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Rontgen foto toraks. Pada
rontgen foto toraks P.A akan terlihat garis penguncupan paru yang halus seperti
rambut. Apabila pneumotoraks disertai dengan adanya cairan di dalam rongga pleura,
akan tampak gambaran garis datar yang merupakan batas udara dan cairan. Sebaiknya
rontgen foto toraks dibuat dalam keadaan ekspirasi maksimal.11,12,13

4.Diagnosis Banding
1. Emfisema pulmonum
2.Kavitas raksasa
3. Kista paru
4. Infarkjantung
5. Infark paru
6. Pleuritis
7. Abses paru dengan kavitas

5. Komplikasi
1. Infeksi sekunder sehingga dapat menimbulkan pleuritis, empiema,
hidropneumotoraks.
2. Gangguan hemodinamika
Pada pneumotoraks yang hebat, seluruh mediastinum dan jantung dapat
tergeser ke arah yang sehat dan mengakibatkan penurunan kardiak "output", sehingga
dengan demikian dapat menimbulkan syok kardiogenik.
3. Emfisema, dapat berupa emfisema kutis atau emfisema mediastinalis

2.2.6 Penatalaksanaan
Setelah diagnosis pneumotoraks dapat ditegakkan, langkah selanjutnya
yang terpenting adalah melakukan observasi yang cermat. Oleh karena itu
penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit, mengingat sifat fistula pneumotorak
dapat berubah sewaktu-waktu yaitu dari pneumotoraks terbuka menjadi tertutup
ataupun ventil. Sehingga tidak jarang penderita yang tampaknya tidak apa-apa
tiba-tiba menjadi gawat karena terjadi pneumotoraks ventil atau perdarahan yang
hebat. Kalau kita mempunyai alat pneumotoraks, dengan mudah kita dapat
menentukan jenis pneumotoraks apakah terbuka, tertutup, atau ventil. Apabila
penderita datang dengan sesak nafas, apalagi kalau sesak nafas makin lama makin
bertambah kita harus segera mengambil tindakan. Tindakan yang lazim dikerjakan
ialah pemasangan WSD (Water Seal Drainage). Apabila penderita sesak sekali
sebelum WSD dapat dipasang, kita harus segera menusukkan jarum ke dalam
rongga pleura. Tindakan sederhana ini akan dapat menolong dan menyelamatkan
jiwa penderita. Bila alat-alat WSD tidak ada, dapat kita gunakan infus set, dimana
jarumnya ditusukkan ke dalam rongga pleura ditempat yang paling sonor waktu
diperkusi. Sedangkan ujung selang infus yang lainnya dimasukkan ke dalam botol
yang berisi air.
Pneumotoraks tertutup yang tidak terlalu luas (Kurang dari 20% paru yang
kolaps) dapat dirawat secara konservatif, tetapi pada umumnya untuk
mempercepat pengembangan paru lebih baik dipasang WSD.11 Pneumotoraks
terbuka dapat dirawat secara konservatif dengan mengusahakan penutupan fistula
dengan cara memasukkan darah atau glukosa hipertonis kedalam rongga pleura
sebagai pleurodesi. Ada juga para ahli yang mengobati pneumotoraks terbuka
dengan memasang WSD disertai penghisap terus menerus.11,12
DAFTAR PUSTAKA

1 Infodatin. Tuberkulosis, Temukan Obati Sampai Sembuh [serial online].


Jakarta: Pusadatin, 2014.
2 Darmanto D. Respirologi, respiratory medicine. Jakarta: EGC, 2009.
3 PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia.
Jakarta: PDPI, 2014.
4 Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2014.
5 Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran:
Tatalaksana Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, 2013.
6 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
7 PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia.
Jakarta: PDPI, 2006.
8 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun
2005. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 2005.
9 Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM,Pack AI.
Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorder. Volume 2. Fourth ed. Mc Graw
Hill. New York. 2008
10 Bourke SJ. Lecture Note On Respiratory Medicine. 6th ed. Black Well. USA.
2003. Albert RK, Spiro SG, Jett JR. Clinical Respiratory Medicine. Third ed.
Mosby Elsevier. China. 2008
11 Djojodibroto, D. Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik. Dalam:
Respirologi (Respiratory Medicine). EGC.
12 Shamaei M, Tabarsi P, Pojhan S, Ghorbani L, Baghaei P, Marjani M, et al.,
Tuberculosis-Associated Secondary Pneumothorax: A retrospective Study of
53 Patient. Respiratory Care. 2011; 56(3). 298-302.
13 Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.

Anda mungkin juga menyukai