Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

DERMATITIS HERPETIFORMIS

Pembimbing :
Dr. Sofwan S. Rahman, SpKK

Disusun oleh :
Vito Masagus Junaidy (2016 – 061 – 061)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya
RSUD R. Syamsudin, SH Kota Sukabumi
Periode 8 Januari 2018 – 10 Februari 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Dermatitis Herpetiformis”. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas akhir
kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Atma Jaya Jakarta.
Dengan rasa hormat sedalam-dalamnya penulis ingin menyampaikan terima
kasih dari semua pihak atas segala bantuan sehingga referat ini terselesaikan, terutama
kepada Dr Sofwan S.Rahman, SpKK, selaku pembimbing tugas referat di Departemen
Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah R. Syamsudin, SH
Kota Sukabumi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
saran dan kritik dalam penyusunan referat ini, serta kepada seluruh dokter pembimbing
dan seluruh tenaga paramedis yang telah membantu selama proses pembelajaran
kepaniteraan klinik periode 8 Januari 2018 – 10 Februari 2018.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki kekurangan dari
referat ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan atau perkataan
yang tidak berkenan kepada pembaca.
Akhir kata, penulis berharap semoga isi referat ini dapat diambil hikmahnya
dan bermanfaat bagi pembaca sehingga dapat menginspirasi berbagai pihak.

Jakarta, 13 Januari 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................1
KATA PENGANTAR ...............................................................................................2
DAFTAR ISI ..............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................5
2.1. Definisi Dermatitis Herpetiformis.....................................................5
2.2. Etiologi Dermatitis Herpetiformis.....................................................5
2.3. Epidemiologi Dermatitis Herpetiformis............................................5
2.4. Patofisiologi Dermatitis Herpetiformis .............................................6
2.5. Manifestasi Klinis Dermatitis Herpetiformis ....................................8
2.6. Pemeriksaan Penunjang Herpetiformis .............................................11
2.7. Tatalaksana Dermatitis Herpetiformis ..............................................13
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................16

3
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis herpetiformis pertama kali ditemukan oleh Louis Adolphus


Duhring pada tahun 1884 di University of Pennyslvania. Pada tahun 1888
Brocq menjelaskan lesi yang mirip yang di diagnosis dengan “pruritic
polymorphic Dermatitis”. Dermatitis herpetiformis merupakan penyakit
autoimun kronis, yang mengakibatkan lepuhan pada kulit subepidermal dengan
episode berulang.1
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah penyakit pada kulit yang disebabkan
oleh sensitivitas terhadap gluten. Lebih dari 90% pasien terbukti sensitif
terhadap gluten (enteropati sensitif), yang mana dapat dimulai dari limfosit
intraepitel jejunum sampai atrofi total vili usus kecil. Hanya 20% pasien DH
yang memiliki gejala intestinal dari Celiac disease. Penyakit kulit maupun
pada intestinal keduanya berespon terhadap restriksi gluten dan membaik
dengan penggantian diet yang mengandung gluten. Ada hubungan genetik
yang kuat, dengan 90% dari Celiac disease dan pasien DH, yaitu memiliki
HLA kelas II genotipe DQ2, terdiri dari alel DQA1*0501 dan DQB1*02,
dibandingkan dengan 20% pasien dengan kontrol normal.2
Lesi awal berupa papul eritem atau plakat urtikaria. Papul dengan cepat
dapat menjadi vesikel dengan ukuran 1-10 mm. Jarang terdapat bulla yang
besar. Vesikel atau bulla bila tidak pecah menjadi purulen. Biasanya lesi
berbentuk herpetiformis dan simetris, tetapi dapat juga tersebar. Pada stadium
lanjut, mungkin hanya ditemukan krusta pigmentasi, dan skar berkelompok
pada tempat predileksi.3
Kebanyakan distribusi lesi DH pada siku, lutut, bokong, bahu, dan area
sakrum; banyak juga terkena pada area nuchal posterior. Daerah lain yang
sering terkena adalah wajah dan batas rambut. Lesi pada membran mukosa
jarang terjadi, begitu juga dengan telapak tangan dan kaki.3
Remisi spontan dapat terjadi pada 10% pasien, tetapi kebanyakan remisi
yang terjadi berhubungan dengan pengurangan konsumsi gluten. Pengobatan
dengan sulfone memberi respon cepat pada pasien DH anak dan dewasa.1,3

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah suatu penyakit multisistem kronik yang
manifestasi klinis primernya adalah pada kulit, berupa erupsi pruritik luas yang terdiri
atas kombinasi yang bervariasi dari lesi bulosa, eritematosa, vesikular,
papulovesikular, papular, simetris, dan berkelompok, yang kadang sembuh dengan
hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dan dapat pula jaringan parut, dimana gambaran
vesikelnya seperti gambaran herpes simplex, sehingga dinamakan “herpetiformis”.
Dermatitis herpetiformis merupakan manifestasi kulit dari Celiac disease, dan
berhubungan dengan adanya sensitivitas terhadap gluten. Sinonim dermatitis
herpetiformis adalah Duhring’s Disease.4
2.2. Etiologi

Dari namanya, banyak yang mengira DH disebabkan oleh beberapa bentuk


virus herpes. Hal ini tidak benar, karena DH tidak ada hubungannya dengan herpes.
Kelainan yang utama merupakan adanya vesikel yang berkelompok, sehingga disebut
herpetiformis, yang berarti seperti herpes zoster.3,4
Etiologi DH belum diketahui secara pasti, namun dermatitis herpetiformis
terjadi pada orang dengan Celiac disease. Celiac disease (sinonim : celiac sprue,
intoleransi gluten, atau enteropati gluten sensitif) adalah kelainan autoimun yang
ditandai dengan intoleransi terhadap gluten. Gluten adalah protein yang ditemukan
dalam gandum, gandum hitam, dan barley. Kadang juga ditemukan pada gandum yang
telah diolah pada tanaman yang menangani biji-bijian lainnya.5
Di antara penderita DH, 77%-87% memiliki antigen HLA B8 dan hampir 90%
memiliki antigen HLA DW3. Petanda HLA ini dihubungkan dengan penyakit
autoimun dan merupakan tanda respon imun berlebih terhadap beberapa antigen dan
menyebabkan terjadinya kompleks imun. DH lebih sering terjadi pada pasien yang
memiliki riwayat keluarga penyakit serupa, sehingga dicurigai terkait secara genetik.2,4
2.3. Epidemiologi

Dermatitis herpetiformis relatif jarang terjadi, dengan kejadian di Eropa utara


berkisar 11,5 dan 75,0 per 100.000 populasi. Celiac disease lebih sering terjadi,
dengan angka kejadian di Eropa sekitar 1%. Selain itu, celiac disease sering tidak

5
bergejala, dengan rasio gejala terhadap penyakit asimtomatik pada 1: 5. Umumnya,
dermatitis herpetiformis sering salah di diagnosis oleh non-dermatologis. National
Institutes of Health memperkirakan bahwa lebih dari 95 persen kasus salah didiagnosis.
Akan tetapi, terdapat keterbatasan data yang akurat untuk mengukur tingkat
misdiagnosisis pada penelitian ini. Celiac disease, di sisi lain, karena presentasi non-
spesifiknya sering kali terlewatkan diagnosisnya pada perawatan primer.6
National Institutes of Health (NIH) menyatakan 15 sampai 25 persen orang
dengan Celiac disease memiliki DH. Selain gejala pada kulit, Celiac disease juga bisa
menyebabkan rasa sakit perut yang intens, konstipasi, mual, dan muntah. Orang
dengan DH biasanya tidak memiliki gejala usus. Namun, bahkan jika mereka tidak
mengalami gejala usus, 80 persen atau lebih orang dengan DH masih memiliki
kerusakan usus, terutama jika mereka makan makanan yang tinggi gluten, menurut
National Foundation for Celiac Awareness (NFCA).6
2.4. Patofisiologi

Pengetahuan yang ada saat ini tentang patogenesis DH didasarkan pada sejumlah
observasi klinis dan laboratorium. Sampai saat ini, sebuah model binatang dari
gangguan ini belum dikembangkan. Beberapa hal yang berkaitan dengan patogenesis
DH adalah :
 Hubungan genetik yang sangat kuat dengan HLA DQ * genotipe, 0501 A1
B1 * 02 (yang mengkode heterodimers HLA-DQ2) dan juga gen non-HLA
yang tidak teridentifikasi.
 Beberapa derajat gluten-sensitive enteropathy pada biopsi usus kecil di
hampir semua pasien, disertai dengan stimulasi sistem imun mukosa usus.
 Deposit butiran IgA di dermis pars papilare kulit (ini sangat penting untuk
diagnosis dan terjadi pada tempat peradangan akhirnya).
 Infiltrasi neutrofil di papilla dermis.
 Perbaikan gejala yang sangat baik dengan terapi dapson.2,3

Predisposisi Genetik
Gen spesifik HLA yang mengkode molekul yang berinteraksi dengan
reseptor sel T, yang dipercaya berhubungan dengan gliadin. Gliadin adalah
fraksi alkohol yang larut dalam gluten dan diyakini sebagai komponen
antigenik. Asosiasi gen HLA ini sama untuk pasien dengan Celiac Disease (CD)

6
dan bermanifestasi di kulit sebagai DH. Gen yang mengkode DQ2 (A1 * 0501,
B1 * 02) heterodimer dimiliki oleh 90% dari pasien CD dan DH. Gen yang
mengkode DQ8 (A1 * 03, B1 * 03) heterodimer dimiliki oleh 10% pasien DH.
Telah ditetapkan bahwa kurang dari 50% dari predisposisi genetik pada CD
dan DH adalah karena gen HLA tertentu.2,3,7

Gluten-sensitive enteropathy (GSE)


Pada biopsi usus kecil, lebih dari 90% pasien DH menunjukkan gambaran
GSE. Kelainan usus yang muncul disebabkan oleh gluten, suatu protein yang
terdapat dalam gandum dan hibrida dari biji-bijian. Spektrum keterlibatan usus
pada GSE mulai dari atrofi minimal dari jejunum dengan infiltrasi limfositik
intraepitel sampai pada atrofi total vili dari usus kecil. Enteropati ini sering
tidak merata dan mungkin memerlukan beberapa sampel usus kecil untuk
diagnosis. Malabsorpsi simtomatik terjadi pada 20% pasien dengan DH.4,7

Gambar 1. Patogenesis dari Dermatitis Herpetiformis

Gandum diproses oleh enzim pencernaan menjadi peptide gliadin, yang


kemudian diangkut secara utuh melintasi epitel mukosa. Dalam lamina propria,
jaringan transglutaminase (TG2) melakukan deamidasi residu glutamin dalam
peptida gliadin dan menjadi kovalen cross-linked untuk peptida gliadin melalui
obligasi isopeptidyl (terbentuk antara glutamin-gliadin dan residu lisin TG2).
Sel T helper (CD4+) dalam lamina propria mengenali peptida gliadin deamidasi

7
dibawa oleh molekul HLA-DQ2 atau -DQ8 pada antigen-presenting sel, yang
mengakibatkan diproduksinya sitokin Th1 dan matrix metaloproteinase yang
menyebabkan kerusakan sel epitel mukosa dan remodeling jaringan. Selain itu,
sel B TG2-spesifik mengambil kompleks TG2-gliadin dan mempresentasikan
pada sel T helper gliadin-spesifik, yang merangsang sel B untuk memproduksi
IgA anti-TG2. IgA anti-TG2 yang melintas dalam sirkulasi bereaksi dengan
transglutaminase epidermis (TG3) dan membentuk kompleks imun. Deposisi
kompleks imun IgA-TG3 di papila dermis kulit menyebabkan kemotaksis
neutrofil, pembelahan proteolitik dari lamina lucida, dan timbulnya lesi
subepidermal.3,7

Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan memiliki peran penting dalam perkembangan celiac
disease, termasuk efek perlindungan dari menyusui dan pengenalan pada
gluten dalam proses pemberian makan. Pengenalan awal gluten sebelum umur
4 bulan dikaitkan dengan peningkatan risiko perkembangan penyakit dan
pengenalan gluten setelah umur 7 bulan memiliki resiko yang sangat kecil.
Pengenalan gluten selama proses menyusui dapat menjadi faktor pelindung
yang penting dalam meminimalkan risiko celiac disease. Terjadinya infeksi
pencernaan tertentu pada bayi, seperti infeksi rotavirus, juga meningkatkan
risiko celiac disease.8

2.5. Manifestasi Klinis


Awitan biasanya bertahap selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan,
tetapi kadang-kadang dalam beberapa jam atau hari. Lesi awal berupa papul
eritem atau plakat urtikaria. Papul dengan cepat dapat menjadi vesikel dengan
ukuran 1-10 mm. Jarang terdapat bulla yang besar. Vesikel atau bulla bila tidak
pecah menjadi purulen. Biasanya lesi berbentuk herpetiformis dan simetris,
tetapi dapat juga tersebar. Pada stadium lanjut, mungkin hanya ditemukan
krusta pigmentasi, dan skar berkelompok pada tempat predileksi.
Kebanyakan distribusi lesi DH pada siku, lutut, bokong, bahu, dan area
sakrum; banyak juga terkena pada area nuchal posterior. Daerah lain yang
sering terkena adalah wajah dan batas rambut. Lesi pada membran mukosa
jarang terjadi, begitu juga dengan telapak tangan dan kaki.3,9,10

8
Gejala bervariasi tergantung intensitas, kebanyakan pasien mengeluhkan
gatal yang hebat dan rasa terbakar. Diagnosis DH dipikirkan jika adanya
keluhan dengan rasa terbakar. Semakin berat pruritus, maka biasanya timbul
ekskoriasi. Erupsi biasanya terjadi dengan dasar eritematous dan dapat berupa
papula, papulovesikuler, vesikobullosa, bulla, atau urtikaria. Adanya bintik
pigmentasi pada region lumbosacral dapat dicurigai sebagai DH.4,8
Gatal dan rasa terbakar biasanya berat, dan kualitas paroksimalnya
diprovokasi oleh garukan pada lokasi yang berdarah. Remisi spontan
berlangsung selama seminggu dan meninggalkan luka baru yang kasar yang
merupakan karakteristik penyakit tersebut.
DH pada anak-anak mirip seperti pada orang dewasa, memiliki gambaran
histologi yang identik dan temuan immunofloresen, dan memiliki insidensi
tinggi pada HLA B8 dan DR3 dan biopsy jejunum abnormal. Telapak tangan
melepuh dan berwarna kecoklatan, hemoragik, makula purpura didapatkan
lebih sering dibanding orang dewasa.2,8

a b
Gambar 2. a) vesikel. b) vesikulopapul

9
a b
Gambar 3. a) papulovesikel eritematous dan erosi pada siku. b) vesikel dan
papula yang berkelompok pada lutut disertai krusta hemoragik

Gambar 4. Papulovesikel berkelompok pada leher dan kulit

Gambar 5. Bulla pada siku

10
Gambar 6. Distribusi lesi pada dermatitis herpetiformis

Celiac disease dengan atrofi vili dan intoleransi gluten dapat terjadi
bersamaan dengan dermatitis herpetiformis. 70-100% pasien dengan DH
memiliki kelainan pada mukosa jejunum, tetapi kebanyakan bersifat
asimtomatis. Jika diberikan diet tinggi gluten, sebenarnya semua pasien DH
akan memberikan gejala yang tidak dapat dibedakan dengan celiac disease,
dan DH terjadi pada 25% pasien dengan celiac disease.3,11

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Biopsi mukosa usus halus menunjukkan adanya atrofi vili parsial pada
70-80% pasien DH. Biopsi pada lesi baru DH menunjukkan vesikel pada
bagian subepidermal dan adanya kumpulan sel-sel inflamasi pada ujung-ujung
papilla. Perubahan awal yang diperhatikan pada ujung papilla dermis adanya
edema, focal fibrin, dan mikroabses netrofil. Mikroabses netrofil merupakan
penanda DH, biasanya juga terdapat eosinofil.3,9,12
Pemeriksaan direct immunifluorescent menunjukkan adanya IgA di ujung-
ujung papilla di sekitar lesi. Ditemukannya IgA pada papilla dermis merupakan
tanda spesifik untuk DH.4,12

11
\
Gambar 7. Biopsi pada lesi awal DH menunjukkan kumpulan eosinofil dan
netrofil pada papilla dermis dan vesikulasi pada subepidermal

Gambar 8. Direct immunofluorescent. Deposisi granular IgA pada papilla


dermis

Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan serologis pada penderita DH.


Sebuah panel tes serologis digunakan untuk mendeteksi gluten-sensitif
enteropathy (GSE). Tiga antibodi ditujukan ke jaringan ikat atau komponen
permukaan fibrin otot polos:

12
1. A-EmA  Antiendomysial antibody (IgA)
2. AGA  Antigliadin antibody (IgG atau pooled Ig)
3. R1-ARA  Antireticulin antibody (IgA)

A-EmA memiliki spesifisitas sampai 100% untuk celiac disease, dengan


sensitifitas sebesar 85% untuk orang dewasa yang tidak diobati dan 90% pada
childhood celiac disease. Hal ini dapat menetap dalam titer rendah pada 10-25%
pasien dengan diet bebas gluten, meskipun histologinya normal. Tes AGA
memiliki sensitivitas yang baik (68-76%), tetapi juga dapat ditemukan pada 10-
20% pasien dengan penyakit lain pada mukosa usus kecil. Tes AGA sangat
membantu dalam pemantauan GSE. R1-ARA memiliki spesifitas yang lebih
tinggi disbanding AGA pada pasien anak, tetapi sensitivitasnya relatif rendah
(<40-50%).3,13,14

2.7. Tatalaksana
Terapi yang utama pada pasien DH adalah dengan diet bebas gluten. Ini
melibatkan penghapusan gandum dan makanan yang terbuat dari biji-bijian
dari diet pasien DH. Mungkin diperlukan dua atau lebih tahun untuk deposit
IgA bawah kulit untuk benar-benar jelas.4,15
Diet gluten-free (GF) adalah komitmen seumur hidup dan tidak boleh
dimulai sebelum ada diagnosis pasti DH. Memulai diet tanpa pemeriksaan
lengkap tidak disarankan dan kemudian membuat diagnosis sulit. Tes untuk
mengkonfirmasi DH dapat menunjukkan hasil negatif jika seseorang berada di
diet GF untuk jangka waktu tertentu. Untuk diagnosis yang valid, gluten perlu
dikonsumsi kembali oleh pasien selama beberapa minggu sebelum
pemeriksaan lengkap. DH adalah suatu penyakit keturunan autoimun sehingga
konfirmasi DH akan membantu generasi mendatang sadar akan risiko dalam
keluarga.16
Obat pilihan untuk DH ialah preparat sulfon, yakni DDS
(diaminodifenilsulfon). Pilihan kedua yakni sulfapiridin.4
 Dapsone
Dosis DDS 200-300 mg/hari. Dicoba dulu 200 mg/hari. Jika ada perbaikan
akan tampak dalam 3-4 hari. Bila belum ada perbaikan, dosis dapat

13
dinaikkan. Efek sampingnya ialah agranulositosis, anemia hemolitik, dan
methemoglobinemia. Kecuali itu juga neuritis perifer dan bersifat
hepatotoksik. Dengan dosis 100 mg sehari umumnya tidak ada efek samping.
Yang harus diperiksa adalah kadar Hb, jumlah leukosit, dan hitung jenis,
sebelum pengobatan dan 2 minggu sekali. Jika klinis menunjukkan tanda-
tanda anemia atau sianosis segera dilakukan pemeriksaan laboratorium. Jika
terdapat defisiensi G6PD, maka merupakan kontraindikasi karena dapat
terjadi anemia hemolitik. Bila telah sembuh dosis diturunkan perlahan-lahan
setiap minggu hingga 50 mg sehari, kemudian 2 hari sekali, lalu menjadi
seminggu 1x.4,17
 Sulfapiridin
Sulfapiridin sukar didapat karena jarang diproduksi sebab efek
toksiknya lebih banyak dibandingkan dengan preparat sulfa yang lain. Obat
tersebut kemungkinan akan menyebabkan terjadinya nefrolithiasis karena
sukar larut dalam air. Efek samping hematologic seperti pada dapson, hanya
lebih ringan. Khasiatnya kurang dibandingkan dapson. Dosisnya antara 1-4
gram sehari.4

14
BAB III
KESIMPULAN

Dermatitis herpetiformis (DH) adalah manifestasi pada kulit yang disebabkan


oleh sensitivitas terhadap gluten. Lebih dari 90% pasien terbukti sensitif terhadap
gluten, yang mana dapat dimulai dari limfosit intraepitel jejunum sampai atrofi total
vili usus kecil. Dermatitis herpetiformis terjadi pada orang dengan Celiac disease.
Celiac disease adalah kelainan autoimun yang ditandai dengan intoleransi terhadap
gluten. Gluten adalah protein yang ditemukan dalam gandum, gandum hitam, dan
barley. Hanya 20% pasien DH yang memiliki gejala intestinal dari Celiac disease.
Penyakit kulit maupun pada intestinal keduanya berespon terhadap restriksi gluten dan
membaik dengan penggantian diet yang mengandung gluten. Ada hubungan genetik
yang kuat, dengan 90% dari Celiac disease dan pasien DH, yaitu memiliki HLA kelas
II genotipe DQ2, terdiri dari alel DQA1*0501 dan DQB1*02, dibandingkan dengan
20% pasien dengan kontrol normal.
Lesi awal berupa papul eritem atau plakat urtikaria. Papul dengan cepat dapat
menjadi vesikel dengan ukuran 1-10 mm. Jarang terdapat bulla yang besar. Vesikel
atau bulla bila tidak pecah menjadi purulen. Biasanya lesi berbentuk herpetiformis dan
simetris, tetapi dapat juga tersebar. Pada stadium lanjut, mungkin hanya ditemukan
krusta pigmentasi, dan skar berkelompok pada tempat predileksi. Kebanyakan
distribusi lesi DH pada siku, lutut, bokong, bahu, dan area sakrum; banyak juga terkena
pada area nuchal posterior. Daerah lain yang sering terkena adalah wajah dan batas
rambut. Lesi pada membran mukosa jarang terjadi, begitu juga dengan telapak tangan
dan kaki.
Terapi yang utama pada pasien DH adalah dengan diet bebas gluten. Diet ini
melibatkan penghapusan gandum dan makanan yang terbuat dari biji-bijian dari diet
pasien DH. Untuk terapi farmakologis dapat diberikan Dapsone (DDS) 200-300
mg/hari. Efek sampingnya ialah agranulositosis, anemia hemolitik, dan
methemoglobinemia. Yang harus diperiksa adalah kadar Hb, jumlah leukosit, dan
hitung jenis, sebelum pengobatan dan 2 minggu sekali. Jika klinis menunjukkan tanda-
tanda anemia atau sianosis segera dilakukan pemeriksaan laboratorium. Jika terdapat
defisiensi G6PD, maka merupakan kontraindikasi karena dapat terjadi anemia
hemolitik.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. herpetiformis: Celiac disease of the skin. report of two cases. Our Dermatology
Online, 9(1), 44-47.
2. Martino, B. D., Macchi, H., Celeste, V. R., María Lorena, R. D., & Barboza,
G. (2018). Dermatitis herpetiformis: from the genetics to the development of
skin lessions
3. Lowell A, Katz Z, Glichrest B. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine
8th. 2015. Mc Grawhill
4. Linuwih S, Bramono K. buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi
ketujuh. 2016. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Miller JL, Zaman SA, Hall R. Editor board: Wells MJ, Nunley JR. Chief Editor:
Elston DM. Dermatitis herpetiformis. Updated: Mar 31, 2016. Disponible en:
http://emedicine.medscape.com/ article/1062640.
6. Jakes, A. D., Bradley, S., & Donlevy, L. (2014). Dermatitis herpetiformis.
BMJ : British Medical Journal (Online), 348
7. Bonciani D, Verdelli A, Bonciolini V, D´Errico A, Antiga E, Fabbri P, et al.
Dermatitis herpetiformis: from the genetics to the development of skin lesions.
Clin Develop Immunol. 2012:1-5
8. Nakajima, K. (2012). Recent advances in dermatitis herpetiformis. Clinical &
Developmental Immunology, 914162.
9. Da Silva Kotze L. Dermatitis herpetiformis, the celiac disease of the skin. Arq
Gastroenterol. 2013;50:231
10. CaproniM,AntigaE,MelaniL,FabbriP.Guidelinesforthediagnosisandtreatment
of dermatitisherpetiformis.JEurAcadDermatolVenereol2009;23:633-8.
11. Miller JL, Zaman SA, Hall R. Editor board: Wells MJ, Nunley JR. Chief Editor:
Elston DM. Dermatitis herpetiformis. Updated: Mar 31, 2016. Disponible en:
http://emedicine.medscape.com/ article/1062640.
12. Caproni M, Antiga E, Melani L, Fabbri P. Guidelines for the diagnosis and
treatment of dermatitis herpetiformis. JEADV. 2009;23:633-8.
13. D. Bolotin and V. Petronic-Rosic, “Dermatitis herpetiformis: part I.
Epidemiology, pathogenesis, and clinical presentation,” Journal of the
American Academy of Dermatology, vol. 64, no. 6, pp. 1017–1024, 2011.

16
14. Alonso L, Gibson LE, Rogers RS. Clinical, pathological and
immunopathologic features of dermatitis herpetiformis: review of the Mayo
Clinic Experience. Int J Dermatol. 2007;46:910-19
15. Plotnikova N, Miller JL. Dermatitis herpetiformis. Skin Therapy Lett.
2013;18:1-3.
16. Antiga E, Caproni M. The diagnosis and treatment of dermatitis herpetiformis.
Clin Cosmet Investig Dermatol. 2015;8:257–65
17. Alessio A, Catassic C. Cureent approaches to diagnosis and treatment of celiac
disease: an evolving spectrum. Gastroenterology. 2011;120:636-51

17

Anda mungkin juga menyukai