DERMATITIS HERPETIFORMIS
Pembimbing :
Dr. Sofwan S. Rahman, SpKK
Disusun oleh :
Vito Masagus Junaidy (2016 – 061 – 061)
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Dermatitis Herpetiformis”. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas akhir
kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Atma Jaya Jakarta.
Dengan rasa hormat sedalam-dalamnya penulis ingin menyampaikan terima
kasih dari semua pihak atas segala bantuan sehingga referat ini terselesaikan, terutama
kepada Dr Sofwan S.Rahman, SpKK, selaku pembimbing tugas referat di Departemen
Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah R. Syamsudin, SH
Kota Sukabumi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
saran dan kritik dalam penyusunan referat ini, serta kepada seluruh dokter pembimbing
dan seluruh tenaga paramedis yang telah membantu selama proses pembelajaran
kepaniteraan klinik periode 8 Januari 2018 – 10 Februari 2018.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki kekurangan dari
referat ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan atau perkataan
yang tidak berkenan kepada pembaca.
Akhir kata, penulis berharap semoga isi referat ini dapat diambil hikmahnya
dan bermanfaat bagi pembaca sehingga dapat menginspirasi berbagai pihak.
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................1
KATA PENGANTAR ...............................................................................................2
DAFTAR ISI ..............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................5
2.1. Definisi Dermatitis Herpetiformis.....................................................5
2.2. Etiologi Dermatitis Herpetiformis.....................................................5
2.3. Epidemiologi Dermatitis Herpetiformis............................................5
2.4. Patofisiologi Dermatitis Herpetiformis .............................................6
2.5. Manifestasi Klinis Dermatitis Herpetiformis ....................................8
2.6. Pemeriksaan Penunjang Herpetiformis .............................................11
2.7. Tatalaksana Dermatitis Herpetiformis ..............................................13
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................16
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah suatu penyakit multisistem kronik yang
manifestasi klinis primernya adalah pada kulit, berupa erupsi pruritik luas yang terdiri
atas kombinasi yang bervariasi dari lesi bulosa, eritematosa, vesikular,
papulovesikular, papular, simetris, dan berkelompok, yang kadang sembuh dengan
hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dan dapat pula jaringan parut, dimana gambaran
vesikelnya seperti gambaran herpes simplex, sehingga dinamakan “herpetiformis”.
Dermatitis herpetiformis merupakan manifestasi kulit dari Celiac disease, dan
berhubungan dengan adanya sensitivitas terhadap gluten. Sinonim dermatitis
herpetiformis adalah Duhring’s Disease.4
2.2. Etiologi
5
bergejala, dengan rasio gejala terhadap penyakit asimtomatik pada 1: 5. Umumnya,
dermatitis herpetiformis sering salah di diagnosis oleh non-dermatologis. National
Institutes of Health memperkirakan bahwa lebih dari 95 persen kasus salah didiagnosis.
Akan tetapi, terdapat keterbatasan data yang akurat untuk mengukur tingkat
misdiagnosisis pada penelitian ini. Celiac disease, di sisi lain, karena presentasi non-
spesifiknya sering kali terlewatkan diagnosisnya pada perawatan primer.6
National Institutes of Health (NIH) menyatakan 15 sampai 25 persen orang
dengan Celiac disease memiliki DH. Selain gejala pada kulit, Celiac disease juga bisa
menyebabkan rasa sakit perut yang intens, konstipasi, mual, dan muntah. Orang
dengan DH biasanya tidak memiliki gejala usus. Namun, bahkan jika mereka tidak
mengalami gejala usus, 80 persen atau lebih orang dengan DH masih memiliki
kerusakan usus, terutama jika mereka makan makanan yang tinggi gluten, menurut
National Foundation for Celiac Awareness (NFCA).6
2.4. Patofisiologi
Pengetahuan yang ada saat ini tentang patogenesis DH didasarkan pada sejumlah
observasi klinis dan laboratorium. Sampai saat ini, sebuah model binatang dari
gangguan ini belum dikembangkan. Beberapa hal yang berkaitan dengan patogenesis
DH adalah :
Hubungan genetik yang sangat kuat dengan HLA DQ * genotipe, 0501 A1
B1 * 02 (yang mengkode heterodimers HLA-DQ2) dan juga gen non-HLA
yang tidak teridentifikasi.
Beberapa derajat gluten-sensitive enteropathy pada biopsi usus kecil di
hampir semua pasien, disertai dengan stimulasi sistem imun mukosa usus.
Deposit butiran IgA di dermis pars papilare kulit (ini sangat penting untuk
diagnosis dan terjadi pada tempat peradangan akhirnya).
Infiltrasi neutrofil di papilla dermis.
Perbaikan gejala yang sangat baik dengan terapi dapson.2,3
Predisposisi Genetik
Gen spesifik HLA yang mengkode molekul yang berinteraksi dengan
reseptor sel T, yang dipercaya berhubungan dengan gliadin. Gliadin adalah
fraksi alkohol yang larut dalam gluten dan diyakini sebagai komponen
antigenik. Asosiasi gen HLA ini sama untuk pasien dengan Celiac Disease (CD)
6
dan bermanifestasi di kulit sebagai DH. Gen yang mengkode DQ2 (A1 * 0501,
B1 * 02) heterodimer dimiliki oleh 90% dari pasien CD dan DH. Gen yang
mengkode DQ8 (A1 * 03, B1 * 03) heterodimer dimiliki oleh 10% pasien DH.
Telah ditetapkan bahwa kurang dari 50% dari predisposisi genetik pada CD
dan DH adalah karena gen HLA tertentu.2,3,7
7
dibawa oleh molekul HLA-DQ2 atau -DQ8 pada antigen-presenting sel, yang
mengakibatkan diproduksinya sitokin Th1 dan matrix metaloproteinase yang
menyebabkan kerusakan sel epitel mukosa dan remodeling jaringan. Selain itu,
sel B TG2-spesifik mengambil kompleks TG2-gliadin dan mempresentasikan
pada sel T helper gliadin-spesifik, yang merangsang sel B untuk memproduksi
IgA anti-TG2. IgA anti-TG2 yang melintas dalam sirkulasi bereaksi dengan
transglutaminase epidermis (TG3) dan membentuk kompleks imun. Deposisi
kompleks imun IgA-TG3 di papila dermis kulit menyebabkan kemotaksis
neutrofil, pembelahan proteolitik dari lamina lucida, dan timbulnya lesi
subepidermal.3,7
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan memiliki peran penting dalam perkembangan celiac
disease, termasuk efek perlindungan dari menyusui dan pengenalan pada
gluten dalam proses pemberian makan. Pengenalan awal gluten sebelum umur
4 bulan dikaitkan dengan peningkatan risiko perkembangan penyakit dan
pengenalan gluten setelah umur 7 bulan memiliki resiko yang sangat kecil.
Pengenalan gluten selama proses menyusui dapat menjadi faktor pelindung
yang penting dalam meminimalkan risiko celiac disease. Terjadinya infeksi
pencernaan tertentu pada bayi, seperti infeksi rotavirus, juga meningkatkan
risiko celiac disease.8
8
Gejala bervariasi tergantung intensitas, kebanyakan pasien mengeluhkan
gatal yang hebat dan rasa terbakar. Diagnosis DH dipikirkan jika adanya
keluhan dengan rasa terbakar. Semakin berat pruritus, maka biasanya timbul
ekskoriasi. Erupsi biasanya terjadi dengan dasar eritematous dan dapat berupa
papula, papulovesikuler, vesikobullosa, bulla, atau urtikaria. Adanya bintik
pigmentasi pada region lumbosacral dapat dicurigai sebagai DH.4,8
Gatal dan rasa terbakar biasanya berat, dan kualitas paroksimalnya
diprovokasi oleh garukan pada lokasi yang berdarah. Remisi spontan
berlangsung selama seminggu dan meninggalkan luka baru yang kasar yang
merupakan karakteristik penyakit tersebut.
DH pada anak-anak mirip seperti pada orang dewasa, memiliki gambaran
histologi yang identik dan temuan immunofloresen, dan memiliki insidensi
tinggi pada HLA B8 dan DR3 dan biopsy jejunum abnormal. Telapak tangan
melepuh dan berwarna kecoklatan, hemoragik, makula purpura didapatkan
lebih sering dibanding orang dewasa.2,8
a b
Gambar 2. a) vesikel. b) vesikulopapul
9
a b
Gambar 3. a) papulovesikel eritematous dan erosi pada siku. b) vesikel dan
papula yang berkelompok pada lutut disertai krusta hemoragik
10
Gambar 6. Distribusi lesi pada dermatitis herpetiformis
Celiac disease dengan atrofi vili dan intoleransi gluten dapat terjadi
bersamaan dengan dermatitis herpetiformis. 70-100% pasien dengan DH
memiliki kelainan pada mukosa jejunum, tetapi kebanyakan bersifat
asimtomatis. Jika diberikan diet tinggi gluten, sebenarnya semua pasien DH
akan memberikan gejala yang tidak dapat dibedakan dengan celiac disease,
dan DH terjadi pada 25% pasien dengan celiac disease.3,11
11
\
Gambar 7. Biopsi pada lesi awal DH menunjukkan kumpulan eosinofil dan
netrofil pada papilla dermis dan vesikulasi pada subepidermal
12
1. A-EmA Antiendomysial antibody (IgA)
2. AGA Antigliadin antibody (IgG atau pooled Ig)
3. R1-ARA Antireticulin antibody (IgA)
2.7. Tatalaksana
Terapi yang utama pada pasien DH adalah dengan diet bebas gluten. Ini
melibatkan penghapusan gandum dan makanan yang terbuat dari biji-bijian
dari diet pasien DH. Mungkin diperlukan dua atau lebih tahun untuk deposit
IgA bawah kulit untuk benar-benar jelas.4,15
Diet gluten-free (GF) adalah komitmen seumur hidup dan tidak boleh
dimulai sebelum ada diagnosis pasti DH. Memulai diet tanpa pemeriksaan
lengkap tidak disarankan dan kemudian membuat diagnosis sulit. Tes untuk
mengkonfirmasi DH dapat menunjukkan hasil negatif jika seseorang berada di
diet GF untuk jangka waktu tertentu. Untuk diagnosis yang valid, gluten perlu
dikonsumsi kembali oleh pasien selama beberapa minggu sebelum
pemeriksaan lengkap. DH adalah suatu penyakit keturunan autoimun sehingga
konfirmasi DH akan membantu generasi mendatang sadar akan risiko dalam
keluarga.16
Obat pilihan untuk DH ialah preparat sulfon, yakni DDS
(diaminodifenilsulfon). Pilihan kedua yakni sulfapiridin.4
Dapsone
Dosis DDS 200-300 mg/hari. Dicoba dulu 200 mg/hari. Jika ada perbaikan
akan tampak dalam 3-4 hari. Bila belum ada perbaikan, dosis dapat
13
dinaikkan. Efek sampingnya ialah agranulositosis, anemia hemolitik, dan
methemoglobinemia. Kecuali itu juga neuritis perifer dan bersifat
hepatotoksik. Dengan dosis 100 mg sehari umumnya tidak ada efek samping.
Yang harus diperiksa adalah kadar Hb, jumlah leukosit, dan hitung jenis,
sebelum pengobatan dan 2 minggu sekali. Jika klinis menunjukkan tanda-
tanda anemia atau sianosis segera dilakukan pemeriksaan laboratorium. Jika
terdapat defisiensi G6PD, maka merupakan kontraindikasi karena dapat
terjadi anemia hemolitik. Bila telah sembuh dosis diturunkan perlahan-lahan
setiap minggu hingga 50 mg sehari, kemudian 2 hari sekali, lalu menjadi
seminggu 1x.4,17
Sulfapiridin
Sulfapiridin sukar didapat karena jarang diproduksi sebab efek
toksiknya lebih banyak dibandingkan dengan preparat sulfa yang lain. Obat
tersebut kemungkinan akan menyebabkan terjadinya nefrolithiasis karena
sukar larut dalam air. Efek samping hematologic seperti pada dapson, hanya
lebih ringan. Khasiatnya kurang dibandingkan dapson. Dosisnya antara 1-4
gram sehari.4
14
BAB III
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
1. herpetiformis: Celiac disease of the skin. report of two cases. Our Dermatology
Online, 9(1), 44-47.
2. Martino, B. D., Macchi, H., Celeste, V. R., María Lorena, R. D., & Barboza,
G. (2018). Dermatitis herpetiformis: from the genetics to the development of
skin lessions
3. Lowell A, Katz Z, Glichrest B. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine
8th. 2015. Mc Grawhill
4. Linuwih S, Bramono K. buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi
ketujuh. 2016. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Miller JL, Zaman SA, Hall R. Editor board: Wells MJ, Nunley JR. Chief Editor:
Elston DM. Dermatitis herpetiformis. Updated: Mar 31, 2016. Disponible en:
http://emedicine.medscape.com/ article/1062640.
6. Jakes, A. D., Bradley, S., & Donlevy, L. (2014). Dermatitis herpetiformis.
BMJ : British Medical Journal (Online), 348
7. Bonciani D, Verdelli A, Bonciolini V, D´Errico A, Antiga E, Fabbri P, et al.
Dermatitis herpetiformis: from the genetics to the development of skin lesions.
Clin Develop Immunol. 2012:1-5
8. Nakajima, K. (2012). Recent advances in dermatitis herpetiformis. Clinical &
Developmental Immunology, 914162.
9. Da Silva Kotze L. Dermatitis herpetiformis, the celiac disease of the skin. Arq
Gastroenterol. 2013;50:231
10. CaproniM,AntigaE,MelaniL,FabbriP.Guidelinesforthediagnosisandtreatment
of dermatitisherpetiformis.JEurAcadDermatolVenereol2009;23:633-8.
11. Miller JL, Zaman SA, Hall R. Editor board: Wells MJ, Nunley JR. Chief Editor:
Elston DM. Dermatitis herpetiformis. Updated: Mar 31, 2016. Disponible en:
http://emedicine.medscape.com/ article/1062640.
12. Caproni M, Antiga E, Melani L, Fabbri P. Guidelines for the diagnosis and
treatment of dermatitis herpetiformis. JEADV. 2009;23:633-8.
13. D. Bolotin and V. Petronic-Rosic, “Dermatitis herpetiformis: part I.
Epidemiology, pathogenesis, and clinical presentation,” Journal of the
American Academy of Dermatology, vol. 64, no. 6, pp. 1017–1024, 2011.
16
14. Alonso L, Gibson LE, Rogers RS. Clinical, pathological and
immunopathologic features of dermatitis herpetiformis: review of the Mayo
Clinic Experience. Int J Dermatol. 2007;46:910-19
15. Plotnikova N, Miller JL. Dermatitis herpetiformis. Skin Therapy Lett.
2013;18:1-3.
16. Antiga E, Caproni M. The diagnosis and treatment of dermatitis herpetiformis.
Clin Cosmet Investig Dermatol. 2015;8:257–65
17. Alessio A, Catassic C. Cureent approaches to diagnosis and treatment of celiac
disease: an evolving spectrum. Gastroenterology. 2011;120:636-51
17