Anda di halaman 1dari 8

EPIDEMIOLOGI, FAKTOR RISIKO, DAN PENCEGAHAN MALARIA

I. Pendahuluan

Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang perlu diperhatikan terutama pada
daerah tropis dan subtropis. Meskipun kontrol penanganan penyakit dilakukan secara
intensif, sekitar 40% populasi dunia masih berada dalam risiko infeksi malaria. 1 Indonesia
sendiri sebagai salah satu negara tropis pun merupakan daerah endemis dari malaria. Oleh
karena itu, dalam lembar tugas ini akan dibahas lebih dalam mengenai malaria dari segi
epidemiologi, faktor risiko dan pencegahannya.

II. Pembahasan

Sebagai penyakit yang membutuhkan vektor nyamuk Anopheles, malaria merupakan


penyakit yang terbatas pada area-area dimana vektor dapat berkembangbiak dengan baik
yaitu di daerah tropis, antara 60 LU dan 40 LS.1,2 Selain itu, malaria juga dapat ditularkan
melalui transfusi darah, jarum, dan transplasental.2

EPIDEMIOLOGI MALARIA SECARA GLOBAL

Berdasarkan data WHO, tahun 2015 tercatat adanya 212 juta kasus baru malaria di seluruh
dunia, dengan 90% berasal dari daerah Afrika, 8% dari daerah Asia Tenggara, dan 2%
berasal dari daerah Mediterrania Timur.3

Gambar 1. Negara endemis malaria pada tahun 20163

Pada tahun 2015, jumlah kematian akibat malaria di seluruh dunia mencapai angka kira-kira
429.000 (range 235.000-639.000) dan terjadi paling banyak di Afrika (92%), Asia Tenggara
(6%), dan Mediterrania Timur (2%). Namun, apabila dilihat sejak tahun 2010, angka ini
mengalami penurunan sekitar 29%. Begitu juga dengan angka insidensinya yang menurun
sekitar 21%.3

Mortalitas dan morbiditas tertinggi disebabkan oleh agen Plasmodium falciparum dan beban
penyakit (disease burden) terbesar diderita oleh anak-anak usia di bawah lima tahun. 1,3
Pada tahun 2015, kematian anak-anak di bawah lima tahun mencapai angka kira-kira
303.000 di seluruh dunia.3 Hingga kini, malaria masih dianggap sebagai salah satu
pembunuh utama untuk anak-anak di bawah lima tahun dengan meninggalnya 1 anak
akibat malaria setiap 2 menit.3,4

Gambar 2. Malaria sebagai penyumbang kematian sebesar 20,8% pada anak di bawah lima
tahun.4

EPIDEMIOLOGI MALARIA DI INDONESIA

Di Indonesia sendiri, hasil Riskesdas pada tahun 2013 menunjukkan insidensi malaria
mencapai 1,3 persen dengan angka positif yang cukup tinggi pada kelompok rentan yakni
anak-anak usia 1-9 tahun dan ibu hamil (masing-masing 1,9 persen).5,6

Tabel 1. Proporsi malaria di Indonesia dengan pemeriksaan RDT tahun 2013.6

Lima provinsi dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah Papua, Nusa Tenggara Timur,
Papua Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Sementara daerah Jawa-Bali merupakan
provinsi dengan kasus malaria terendah.6
Gambar 3. Insidensi malaria menurut provinsi di Indonesia tahun 2007 dan 2013.6

Sementara berdasarkan data WHO tahun 2015, jumlah kasus malaria di Indonesia
diperkirakan mencapai 1.300.000 dengan jumlah kematian mencapai 1.900 dengan etiologi
parasite paling banyak adalah Plasmodium falciparum (55%) dan Plasmodium vivax (44%).5

Gambar 4. Pemetaan kasus P. vivax di Indonesia tahun 2015.5

Gambar 5. Pemetaan kasus P. falciparum di Indonesia tahun 2015.5

FAKTOR RISIKO MALARIA


Karena malaria merupakan penyakit endemis, maka populasi yang berada dalam risiko
tinggi malaria adalah populasi yang tinggal di daerah endemis malaria atau berpergian
ke daerah tersebut.

Selain itu, beberapa hal berikut juga diduga dapat berperan sebagai faktor risiko untuk
malaria:

Kelompok usia rentan seperti anak-anak usia di bawah lima tahun dan ibu
hamil. Pada anak-anak usia di bawah lima tahun, sistem imun umumnya masih
mengalami perkembangan sehingga imunitas belum terbentuk sempurna, sementara
pada ibu hamil, sistem imun umumnya tersupresi sehingga rentan terhadap infeksi.
Prinsip ini juga berlaku pada orang-orang dengan sistem imun yang terganggu
seperti pasien dengan HIV.1,3
Pasien dengan riwayat splenectomy. Hal ini diduga berkaitan dengan fungsi limpa
yang seringkali berfungsi sebagai pembuangan parasit yang tersekuestrasi sehingga
pasien dengan limpa yang sudah diangkat akan kehilangan efek fungsional limpa
terhadap parasit Plasmodium.1
Genetik. Kebanyakan gen pada manusia umumnya tidak terlalu mempengaruhi
kerentanan suatu individu terhadap suatu penyakit. Namun, diketahui ada beberapa
gen yang diduga memiliki resistensi terhadap malaria.4
Kondisi sosioekonomik dan faktor lingkungan. Hal ini berkaitan dengan tempat
hidup dari vektor malaria yaitu Anopheles. Sebagai contoh, masyarakat dengan
sosiekonomik rendah (tingkat edukasi rendah, tidak memiliki listrik, rumah-rumah
yang masih sederhana) diketahui memiliki asosiasi dengan tingkat kejadian yang
lebih tinggi. Selain itu, faktor lingkungan seperti tempat tinggal yang kotor dan daerah
rendah juga memiliki asosiasi dengan tingkat kejadian malaria yang lebih tinggi.7

Tabel 2. Gen-gen yang diduga memiliki resistensi terhadap Plasmodium falciparum.4

PENCEGAHAN MALARIA

Pencegahan malaria dapat dilakukan dengan dua prinsip utama yaitu dengan mengontrol
vektor dan mengontrol hostnya (manusia).4 Pencegahan malaria ini seringkali dijabarkan
menjadi empat cara utama yaitu ABCD yang terdiri dari:

Awareness of malaria risk


Bites avoidance
Chemoprophylaxis
Diagnosis and prompt treatment.8
Awareness of malaria risk mencakup peningkatan kesadaran pasien terutama pada
orang-orang dengan faktor risiko dan pada pelancong. Pada orang yang akan mengunjungi
daerah endemis, diperlukan pertimbangan seperti daerah yang akan dituju (perkotaan atau
pedesaan), lamanya waktu berkunjung, ketinggian dari daerah tersebut, serta efikasi dari
profilaksis malaria.1,4,7,8

Bites avoidance pada dasarnya bertujuan untuk menghindari gigitan vektor dengan
mengontrol vektor tersebut. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan
repellent terutama pada bagian kulit yang tidak tertutup pakaian, menggunakan kelambu
dengan insektisida, menggunakan pakaian yang dapat menutup kulit sebaik mungkin,
tinggal dalam bangunan yang memiliki sirkulasi dan sistem pendingin, serta tidak berada di
luar ruangan saat jam puncak Anopheles (dari sore, malam hingga subuh).4 Repellent yang
dapat digunakan adalah N, N-diethyl-meta-toluamide (DEET) dan lemon oil.8

Chemoprophylaxis mengacu pada penggunaan obat antimalaria untuk mengganggu siklus


darah dari Plasmodium tanpa menghilangkan siklus hepatik.1 Kebutuhan seseorang
terhadap profilaksis bergantung terhadap durasi serta intensitas orang tersebut terhadap
paparan malaria serta area resistensi profilaksis itu sendiri.1,9

Profilaksis yang umunya digunakan pada malaria adalah chloroquine. Akan tetapi, saat ini
resistensi klorokuin semakin meningkat di daerah-daerah endemis malaria sehingga
atovaquone-proguanil, doxycycline, dan mefloquine kini lebih dianjurkan.4,9 Namun, khusus
di daerah Asia Tenggara, hanya atovaquone-proguanil dan doxycycline yang dianjurkan
karena banyaknya kejadian multi drug resistant malaria.9 Obat-obat profilaksis malaria
tersebut umumnya dikonsumsi 1-2 minggu sebelum pergi ke daerah endemis. 1 Pemetaan
mengenai resistensi profilaksis ini sebaiknya diperhatikan oleh klinisi secara berkala karena
kemungkinan bergantinya sangat tinggi. Saat ini, penggunaan obat profilaksis masih
dianjurkan, akan tetapi, dengan meningkatkan angka resistensi terhadap obat-obatan
profilaksis, untuk ke depannya sangat tinggi kemungkinan bahwa obat profilaksis tidak lagi
efektif untuk digunakan.3

Selain obat antimalaria, saat ini proflaksis lain yakni vaksin malaria juga sedang dalam
pengembangan meskipun belum dapat digunakan dalam praktik klinis. 3 Saat ini, kandidat
vaksin dengan penelitian dan pengembangan terbaik adalah vaksin RTS,S terhadap malaria
yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum.1,3,4 Vaksin ini menggunakan suatu komponen
protein (circumsporozoite protein) yang terdapat pada permukaan sporozoit P. falciparum
dan pada trial efikasi berhasil meningkatkan proteksi terhadap malaria P. falciparum sebesar
30-50%.4

Tabel 3. Profilaksis malaria yang dapat digunakan.4


Gambar 6. Algoritma penggunaan profilaksis untuk malaria.9
Cara pencegahan terakhir yaitu diagnosis and prompt treatment mengacu kepada
penegakkan diagnosis dan penanganan yang cepat pada suspek malaria. Klinisi dianjurkan
meningkatkan kewaspadaan terhadap diagnosis malaria terutama pada pasien yang baru
kembali atau sedang tinggal di daerah endemis malaria.8 Selain itu, akses terhadap
pelayanan kesehatan pun diharapkan untuk ditingkatkan sehingga dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas dari malaria.1

III. Kesimpulan dan Analisis Pemicu

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa malaria saat ini masih merupakan
penyakit infeksi yang memberikan beban yang besar, baik dalam jumlah kasus dan
mortalitas, terutama di daerah tropis dan subtropis. Faktor risiko malaria yang utama adalah
orang-orang yang tinggal pada daerah endemis serta orang-orang yang mengunjungi
daerah endemis malaria. Akan tetapi, beberapa faktor seperti kondisi imunokompromi,
genetik, riwayat splenectomy, kondisi sosioekonomik rendah, dan lingkungan juga diduga
meningkatkan risiko malaria. Sebagai salah satu penyakit infeksi, malaria tentunya dapat
dicegah dengan prinsip ABCD, yaitu meningkatkan kesadaran, menghindari gigitan nyamuk,
penggunaan kemoprofilaksis dan diagnosis serta penanganan yang cepat.

Jika dikaitkan dengan pemicu, wanita tersebut memiliki beberapa faktor risiko yang dapat
menunjang dugaan malaria. Yang pertama, wanita tersebut baru saja mengunjungi daerah
Indonesia Timur yaitu Papua yang memiliki insidensi malaria yang tinggi (daerah endemis).
Yang kedua, wanita tersebut sedang hamil yang berarti sistem imunnya sedang tersupresi
sehingga rentan terhadap penyakit. Wanita tersebut juga diketahui tidak meminum obat
yang kemungkinan adalah kemoprofilaksis malaria sehingga kemungkinan terjangkit malaria
semakin tinggi. Tak hanya ibunya, anak dari wanita tersebut juga diketahui tidak meminum
obat kemoprofilaksis sehingga juga memiliki kemungkinan terjangkit malaria. Berdarkan
Riskesdas, anak-anak usia 1-9 tahun masih termasuk kelompok rentan terhadap malaria
sehingga anak dari ibu tersebut juga dapat dikategorikan sebagai kelompok rentan.

IV. Referensi

1. Gillespie SH, Pearson RD. Principles and practice of clinical parasitology. Sussex:
John Wiley & Sons Ltd; 2001. p53-98
2. Goering RV, Dockrell HM, Zuckerman M, Roitt IM, Chiodini PL. Mims medical
microbiology, 5th ed. London: Elsevier Saunders; 2012. p1838-50
3. World malaria report 2016. Geneva: World Health Organization; 2016. p1-8, 17-35
4. Bennett JE, Dolin R, Blaser MJ. Mandell, Douglas, and Bennetts principle and
practice of infectious diseases, 8th ed. Philadephia: Elsevier; 2015. p17-8, 159,
3070-90
5. Country Profiles - Indonesia [Internet]. World Health Organization. 2016 [cited 8
February 2017]. Available from: http://www.who.int/malaria/publications/country-
profiles/profile_idn_en.pdf
6. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2013. p77-9
7. Roberts D, Matthews G. Risk factors of malaria in children under the age of five
years old in Uganda. Malar J. 2016;15(1).
8. Lalloo DG, Hill DR. Preventing malaria in travellers. BMJ. 2008;336(7657):1362-6.
9. Schlossberg D. Clinical infectious disease. Cambridge: Cambridge University
Press; 2015. p185-94

Anda mungkin juga menyukai