Anda di halaman 1dari 22

KORELASI HASIL WIDAL DAN INHIBITION

MAGNETIC BINDIN IMMUNOASSAY (UJI TUBEX)

PADA DIAGNOSA DEMAM TIFOID

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Ahli

Madya Analis Kesehatan

Disusun Oleh :

Tubagus Jamil Purnama (1711E1086)

JURUSAN D-III ANALIS KESEHATAN

SEKOLAH TINGGI ANALIS BAKTI ASIH

BANDUNG

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................i
I. PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................................2
1.5 Hipotesis Penelitian..................................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................3
2.1 Salmonella typhi.......................................................................................................3
2.1.1 Patogenitas dan Gejala Klinis S. typhi...............................................................4
2.2 Demam Tifoid..........................................................................................................6
2.3 Uji Widal..................................................................................................................8
2.4 Uji Tubex (IMBI)...................................................................................................10
2.6 Kerangka Konsep...................................................................................................13
III. METODE PENELITIAN........................................................................................14
3.1 Jenis penelitian.......................................................................................................14
3.2 Desain penelitian....................................................................................................14
3.3 Sampel...................................................................................................................14
3.4 Tempat & waktu Penelitian....................................................................................15
3.5 Prosedur Kerja........................................................................................................16
3.6 Pengolahan data.....................................................................................................18
IV JADWAL KEGIATAN DAN RINCIAN BIAYA...................................................19
4.1 Jadwal kegiatan.....................................................................................................19
4.2 Rincian Biaya.........................................................................................................19
LAMPIRAN...................................................................................................................20
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam Tifoid atau Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus
halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan
panas yang berkepanjangan yang diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri
Salmonella typhi sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati,
limpa, kelenjar limfe usus dan peyer patch(Abdoerrachman, 2008).

Demam tifoid di negara maju terjadi mencapai 5.700 kasus setiap tahunnya,
sedangkan di negara berkembang demam tifoid mempengaruhi sekitar 21,5 juta orang
per tahun(CDC, 2013 dalam Batubuaya, 2017).

Di Indonesia, penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan


masyarakat. Berdasarkan survei di rumah sakit besar di Indonesia, angka kasus kejadian
demam tifoid menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun dengan rata-rata kejadian
500/100.000 penduduk dengan tingkat kematian sekitar 0,6-5%(WHO, 2018).

Namun demikian untuk menegakkan diagnosis maka harus dilakukan


pemeriksaan laboratorium. Diagnosis penyakit demam tifoid yang lazim dilakukan
berupa gejala klinik, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium
meliputi pemeriksaan darah rutin, kimia klinik, kultur organisme dan uji serologis
seperti uji widal, uji tubex, typhidot dan dipstick. Diantara uji - uji serologis yang ada
memiliki sensitifitas dan spesitifitas yang tinggi dan digunakan oleh laboratorium yang
ada di Indonesia(Ley, dkk.,2012).

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis Demam Tifoid (DT)


yaitu dengan metode klasik (kultur), serologi, serta menggunakan teknik molekuler.
Setiap metode yang digunakan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Diagnosis DT dengan metode klasik yaitu dengan mengkultur Salmonella typhi dari
sampel darah, tinja maupun urin. Walaupun kultur darah dipakai sebagai gold standard,
namun kultur darah memiliki kekurangan antara lain dalam hal sensitivitas, dan
lamanya waktu yang digunakan untuk kultur. Kultur darah memiliki batas sensitifitas
yang pada umumnya disebabkan oleh penggunaan antibiotik oleh pasien sebelum
pemeriksaan, lama demam, dan kecilnya volume darah yang digunakan untuk kultur,
atau bakteri S. typhi dalam sampel berada dalam kondisi viable noncultivable, artinya
tetap hidup dalam sampel yang diperoleh tetapi tidak dapat ditumbuhkan atau
dikulturkan(Hatta, dkk., 2002).

Dalam hal ini peneliti melakukan uji korelasi terhadap positifitas hasil
pemeriksaan widal dan IMBI atau dibandingkan hasil kultur.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana korelasi hasil pemeriksaan widal dan IMDI ?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk melihat korelasi hasil pemeriksaan widal dan IMBI.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat Umum
Sebagai bahan acuan atau informasi bagi masyarakat umum dan petugas
laboratorium kesehatan.
2. Manfaat Khusus
Sebagai bahan referensi bagi jurusan analis kesehatan dalam menentukan
hubungan/korelasi pemeriksaan widal dan tubex (IMBI).

1.5 Hipotesis Penelitian


Uji widal dan uji tubex (IMBI) memiliki korelasi yang signifikan terhadap
demam tifoid.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Salmonella typhi
Salmonella typhi adalah bakteri yang berbentuk batang, tidak berspora, memiliki
ukuran lebar antara 0,7 - 1,5 μm dan panjang 2,0 - 5,0 μm, besar koloni rata-rata 24 mm,
dominan bergerak dengan flagel peritrik dan termasuk bakteri gram negatif dengan
klasifikasi sebagai berikut (Batt & Tortorello 2014) :
Kingdom : Bacteria

Phylum: Proteobacteria

Class : Gammaprotobacteria

Order : Enterobacteriales

Family : Enterobacteriaceae

Genus : Salmonella

Species: Salmonella typhi.

Gambar 2.1 Penampilan Bakteri Salmonella typhi dengan Pewarnaan Gram Secara
Mikroskopis.
Sumber: Dept. Medical Microbiology and Infectious diseases at University of Medical
Center Rotterdam, 2017.

Pada umumnya, bakteri Salmonella typhi (S.typhi) bersifat patogen dan dapat
menginfeksi manusia dan hewan. Di alam bebas S.typhi dapat tahan hidup lama dalam
air, tanah atau pada bahan makanan. Dalam feses diluar tubuh manusia tahan hidup 1-2
bulan. Dalam air susu dapat berkembang biak dan hidup lebih lama, hal ini dikarenakan
didalam air susu terdapat protein lemak dan gula yang merupakan substrat saprofit
(Monica et al, 2013).

S.typhi tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15- 41 0C
(suhu optimum 37,50C) dan pada pH pertumbuhan 6-8. Pada umunya isolat
kuman Salmonella dikenal dengan sifat-sifat; gerak positif, reaksi fermentasi terhadap
manitol dan sorbitol positif dan memberikan hasil negatif pada reaksi indol, fenilalanin
deaminase, urease, Voger Proskauer, rekasi fermentasi terhadap sukrosa dan laktosa.
Sebagian besar isolat Salmonella yang berasal dari bahan klinik yang menghasilkan
H2S. Akan tetapi S. typhi hanya membentuk sedikit H2S
dan tidak membentuk gas pada fermentasi glukosa. Pada agar SS, Endo, EMB dan
MacConkey koloni kuman berbentuk bulat, kecil dan tidak berwarna, pada agar Wilson-
Blair koloni kuman berwarna hitam (Staff FKUI 1993).
2.1.1 Patogenitas dan Gejala Klinis S. typhi
Salmonella typhi, Salmonella choleraesuis, dan mungkin Salmonella paratyphi
A dan Salmonella paratyphi B terutama menginfeksi manusia, dan infeksi oleh
organisme tersebut menunjukkan sumber infeksi dari manusia. Namun sebagian besar
Salmonella bersifat patogen terutama bagi hewan yang menjadi reservoar untuk infeksi
manusia: unggas,babi, hewan pengerat, hewan ternak, hewan peliharaan (dari kura-kura
hingga burung beo) dan lain sebagainya. Organisme ini hampir selalu masuk melalui
jalur oral, biasanya melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Dosis infeksi
rata-rata untuk menghasilkan infeksi klinis atau subklinik adalah 105 - 108 Salmonella
(tetapi mungkin hanya 103 untuk Salmonella typhi). Faktor pada pejamu yang berperan
dalam perlawanan infeksi Salmonella antara lain asam lambung, flora mikroba usus
normal, dan imunitas lokal pada usus (Brooks et al, 2013).
Salmonella menyebabkan 3 tipe penyakit utama pada manusia diantaranya
(Brooks et al. 2013):
1. Demam Enterik (Demam tifoid)
Sindrom ini ditimbulkan hanya oleh beberapa Salmonella, tetapi yang
terpenting adalah Salmonella typhi (demam tifoid). Salmonella yang tertelan
akan mencapai usus halus, dari usus halus Salmonella memasuki saluran
limfatik dan kemudian masuk kealiran darah. Salmonella dibawa ke berbagai
organ oleh darah, salah satunya usus. Organisme inimemperbanyak diri di
jaringan limfoid usus dan diekskresi dalam feses. Setelah periode inkubasi 10-14
hari, timbul demam, lemah, sakit kepala, konstipasi, bradikardia, dan mialgia.
Demam sangat tinggi, serta limpa dan hepar membesar. Meski jarang, pada
beberapa kasus terlihat bintik- bintik merah (rose spots) yang timbul sebentar.
Biasanya pada kulit perut atau dada. Hitung sel darah putih normal atau rendah.
Pada masa sebelum ditemukannya antibiotik, komplikasi utama demam enterik
adalah perdarahan dan perforasi usus, dan angka mortaliltasnya adalah 10-15 %.
Terapi antibiotik menurunkan angka mortalitas hingga kurang dari 1 %. Lesi
utama adalah hiperplasia dan nekrosis jaringan limfoid (misalnya, plak peyeri),
hepatitis, nekrosis fokal di hati, serta inflamasi pada kandung empedu,
periosteum, paru dan organ lainnya.
2. Bakteremia dengan lesi fokal
Kondisi ini umumnya disebabkan oleh Salmonella choleraesuis,tetapi
juga dapat disebabkan oleh setiap serotipe Salmonella. Setelah infeksi melalui
mulut, terjadi invasi dini ke aliran darah (dapat disertai lesi fokal diparu, tulang,
meninges, dan sebagainya), tetapi sering tanpa manifestasi di saluran cerna.
Kultur darah positif.

3. Enterokolitis (dahulu “ Gastreonteritis”)


Enterokolitis merupakan manifestasi infeksi Salmonella yang paling
umum. Di Amerika Serikat, Salmonella typhimurium dan Salmonella enteritidis
merupakan penyebab utama, tetapi enterokolitis dapat disebabkan oleh setiap
jenis, lebih dari 1400 serotipe grup 1 Salmonella. Gejala kliniknya ditandai
dengan muntah dan diare hebat 8 sampai 48 jam, dengan sejumlah kecil leukosit
dalam feses. Biasanya terdapat demam ringan, tetapi umumnya reda dalam 2-3
hari. Terdapat peradangan pada usus halus dan usus besar. Bakteremia jarang
terjadi (2-4%) kecuali pada pasien yang mengalami imunodefisiensi. Hasil
kultur darah biasanya negatif, tetapi kultur feses memberikan hasil positif untuk
Salmonella dan tetap positif selama beberapa minggu setelah pasien sembuh
secara klinis.
2.2 Demam Tifoid
Demam Tifoid atau Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus
halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan
panas yang berkepanjangan yang diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri
Salmonella typhi sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati,
limpa, kelenjar limfe usus dan peyer patch (Abdoerrachman, 2008).

Demam tifoid dapat juga ditularkan dari orang yang terkena demam tifoid dan
makanan yang terinfeksi oleh bakteri Salmonella typhi. Di negara berkembang,
Salmonella typhi ditularkan melalui makanan dan air yang memiliki sanitasi yang
kurang baik seperti di warung-warung pinggir jalan dan menginfeksi berbagai bahan
makanan seperti air, es batu, sayuran mentah dan buah-buahan (Crump, dkk., 2015).
Sedangkan pada negara maju, demam tifoid didapatkan akibat ditularkan oleh traveler
yang telah berpergian dari daerah endemik dengan demam tifoid(WHO,2018).

Demam tifoid di negara maju terjadi mencapai 5.700 kasus setiap tahunnya,
sedangkan di negara berkembang demam tifoid mempengaruhi sekitar 21,5 juta orang
per tahun(CDC, 2013 dalam Batubuaya, 2017).

Di Indonesia, penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan


masyarakat. Berdasarkan survei di rumah sakit besar di Indonesia, angka kasus kejadian
demam tifoid menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun dengan rata-rata kejadian
500/100.000 penduduk dengan tingkat kematian sekitar 0,6-5%(WHO, 2018).

Menurut profil kesehatan provinsi Jawa Barat tahun 2012 yang diliris oleh Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat angka pola penyakit penderita rawat inap dirumah sakit
semua golongan umur pada penderita demam tifoid dengan jumlah kasus yaitu 40.760
kasus dengan persentase kasus yaitu 6,20% dari total jumlah semua penyakit yaitu
657.579 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012).

Namun demikian untuk menegakkan diagnosis maka harus dilakukan


pemeriksaan laboratorium. Diagnosis penyakit demam tifoid yang lazim dilakukan
berupa gejala klinik, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium
meliputi pemeriksaan darah rutin, kimia klinik, kultur organisme dan uji serologis
seperti uji widal, uji tubex, typhidot dan dipstick. Diantara uji - uji serologis yang ada
memiliki sensitifitas dan spesitifitas yang tinggi dan digunakan oleh laboratorium yang
ada di Indonesia (Ley, dkk.,2012).

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis Demam Tifoid (DT)


yaitu dengan metode klasik (kultur), serologi, serta menggunakan teknik molekuler.
Setiap metode yang digunakan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Diagnosis DT dengan metode klasik yaitu dengan mengkultur Salmonella typhi dari
sampel darah, tinja maupun urin. Walaupun kultur darah dipakai sebagai gold standard,
namun kultur darah memiliki kekurangan antara lain dalam hal sensitivitas, dan
lamanya waktu yang digunakan untuk kultur. Kultur darah memiliki batas sensitifitas
yang pada umumnya disebabkan oleh penggunaan antibiotik oleh pasien sebelum
pemeriksaan, lama demam, dan kecilnya volume darah yang digunakan untuk kultur,
atau bakteri S. typhi dalam sampel berada dalam kondisi viable noncultivable, artinya
tetap hidup dalam sampel yang diperoleh tetapi tidak dapat ditumbuhkan atau
dikulturkan (Hatta, dkk., 2002).

2.3 Uji Widal


Uji widal pertama kali ditemukan oleh Grunbaum dan Georges Fernand Isidore
Widal pada tahun 1896. Grunbaum dan Widal berusaha menentukan kuantitas antibodi
di serum pasien demam tifoid. Metode yang dipelopori oleh Grunbaum dan Widal ini
masih bertahan sampai kini dan telah dikembangkan tidak hanya untuk demam tifoid
tetapi bisa pula untuk penyakit lain (Benson, 1998).

Gambar 2.2 Tes Aglutinasi Widal.

Sumber: Hanggara, 2017.

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap Salmonella typhi. Pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen Salmonella typhi dengan antigen
yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan adalah suspensi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah dilaboratorium.

Uji widal merupakan uji aglutinasi yang menggunakan suspensi kuman


Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi sebagai antigen untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi di dalam serum penderita
(Kalma, dkk., 2014).

Tes widal adalah tes yang menggunakan antigen Salmonella jenis O (somatic)
dan H (Flagella) untuk menetukan tinggi rendahnya titer antibodi titer antibodi pada
penderita infeksi tifus akan meningkat pada minggu ke 2. Titer antibodi O akan
menurun setelah beberapa bulan, dan titer antibodi H akan menetap sampai beberapa
tahun (2 tahun). Titer antibodi O meningkat setelah demam, menunjukan adanya infeksi
Salmonella strain O, demikian juga untuk H (Kalma, dkk., 2014).

Maksud uji widal adalah untuk menetukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu :

1) Antigen O (dinding sel)


Menurut Hanjodo (2004), antigen O merupakan antigen somatik yang terletak
pada lapisan luar dari tubuh bakteri. Bagian ini merupakan struktur kimia
lipopolisakarida (LPS) atau disebut juga endotoksin. Lipopolisakarida dari
antigen O terdiri dari 3 komponen yaitu :

a) Lipid A, melekat pada dinding sel.

b) Oligosakarida inti, melekat pada lipid A.

c) Antigen O (Polisakarida O), mengandung antigen O spesifik atau antigen


dinding sel.

Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM. Aglutinasi O berlangsung


lebih lambat. Antigen ini kurang imunogenik. Karenanya titer antibodi O
sesudah infeksi atau imunisisi lebih rendah dari pada titer antibodi H (Jawetz et
al, 2008).

Lipopolisakarida dari antigen O merupakan suatu faktor virulen dan


antigen penting S.typhi, dan merupakan suatu endotoksin yang dapat
menimbulkan septic shock pada manusia dan binatang. Antibodi terhadap LPS
antigen O berhubungan erat dengan infeksi sebelumnya, tetapi tidak berkaitan
dengan proteksi tubuh terhadap infeksi S.typhi (Muliawan danSurjawidjaja,
1999).

2) Antigen H (Antigen Flagela)

Antigen H terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari bakteri. Antigen ini tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol (Handojo,
2004).

Antigen H seperti ini beraglutinasi dengan antibodi H, terutama IgG. Antigen ini
bersifat sangat imunogenik dan antibodi yang dibentuk adalah IgG (Jawetz et al,
2008).

3) Antigen simpai atau kapsul yang disebut Vi (Vitulen)

Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) yang melindungi seluruh permukaan


bakteri. Adanya antibodi Vi yang menetap menujukan bahwa individu yang
bersangkutan merupakan pembawa kuman. Antigen Vi dapat menghambat
proses aglutinasi, melindungi bakteri dari proses fagositosis, dan berhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin (Gupte, 1990).

Demam tifoid hanya menggunakan aglutinin O dan H untuk diagnosis. Semakin


tinggi titernya, semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada fase akut mula-
mula timbul aglutinin O, kumudian diikuti dengan aglutinin H (Antibodi O muncul pada
hari ke 6-8 dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12) (Widodo, 2006).

Interprestasi hasilnya adalah sebagai berikut : (1) titer O yang tinggi atau
meningkat (≥1:60) menandakan adanya infeksi aktif; (2) titer H yang tinggi (≥1:60)
menunjukan riwayat imunisasi atau infeksi masa lampau; dan (3) titer antigen yang
tinggi terdapat antigen Vi timbul pada beberapa carrier. Hasil pemeriksaan serologi
pada infeksi salmonella harus dinterprestasikan dengan hati-hati. Kemungkinan adanya
antibodi yang bereaksi silang, membatasi penggunaan serologi dalam diagnosis infeksi
salmonella (jawets, dkk., 2008).

2.4 Uji Tubex (IMBI)


Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana
yang cepat ( lebih kurang 2 menit). Sensitivitasnya mampu ditingkatkan melalui
penggunaan partikel berwarna, sedangkan spesifisitasnya ditingkatkan dengan
penggunaan antigen O9, antigen ini spesifik dan khas pada Salmonella serogrup D. Tes
ini mendeteksi adanya antibodi IgM. Respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat
karena antigen O9 bersifat imunodominan yang mampu merangsang respon imun Hal
ini menguntungkan, sebab deteksi anti-O9 dapat dilakukan lebih cepat, yaitu pada hari
ke 4-5 ( infeksi primer ) dan hari ke 2-3 ( infeksi sekunder ).

Tes TUBEX dapat dijadikan sebagai pemeriksaan ideal dan digunakan secara
rutin karena cepat, dan mudah. Kelebihan tes TUBEX dibandingkan tes lain diantaranya
adalah mendeteksi infeksi akut Salmonella typhi secara dini karena antibodi IgM
muncul pada hari ke‐3 terjadinya demam, mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap
kuman Salmonella, membutuhkan sampel darah yang sedikit, serta hasil yang dapat
diperoleh secara cepat.
Tes TUBEX merupakan prosedur yang tercepat memberikan hasil. Berdasarkan
urutannya, tes TUBEX (5 menit), SD Bioline (15‐30 menit), Mega Salmonella (2,5 ‐3,0
jam), dan Typhidot memerlukan waktu 2,5 jam (Agdamag, dkk., 2007).

Tes TUBEX ini tidak dapat digunakan pada spesimen yang sangat hemolitik
atau ikterik. Selain itu, kadang‐kadang sulit untuk menginterpretasikan hasil positif
lemah (Chan, dkk., 2008).

Melakukan pemeriksaan memerlukan alat dan beberapa reagen, yaitu: tabung


berbentuk V, reagen A yang berisi partikel bermagnetik yang telah diselimuti antigen
S.typhi O9, dan reagen B yang berisi partikel lateks berwarna biru yang diselimuti
antibodi spesifik antigen O9 (Widodo, 2009).

Penambahan partikel lateks merah pada reaksi tersebut akan menyebabkan


supernatant berwarna merah dan akan lebih mudah terlihat dibandingkan tidak
berwarna. Bila terdapat antibodi anti‐O9 pada sampel penderita, antibodi tersebut akan
menghambat ikatan partikel biru dengan partikel bermagnetik, sehingga supernatant
tetap berwarna biru (Cheong, dkk., 1998).

Gambar 2.3 Reasi dalam Tubex test (hasil negatif (kiri), hasil positif (kanan)). Sumber:
Cheong, dkk., 1998.

Tabel 2.1 Interpretasi warna Tes TUBEX


Nilai Interpretasi Penjelasan
<2 Negatif -
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan,
perlu diulangi setelah beberapa hari.
4-5 Positif Adanya infeksi tifoid akut
>6 Positif Indikasi kuat adanya infeksi tifoid
Sumber: (Widodo, 2009).
Hasil pemeriksaan ditentukan dengan pembacaan warna pada hasil akhir reaksi
lalu kemudian dicocokkan dengan skor yang tertera pada color scale. Skor <2
menunjukkan hasil negatif, skor 3 dikategorikan borderline (pengukuran tidak dapat
disimpulkan, perlu diulangi beberapa hari kemudian), skor 4‐5 menunjukkan infeksi
tifoid aktif, dan skor >6 merupakan indikasi kuat adanya infeksi tifoid (Widodo, 2009).

2.6 Kerangka Konsep

Pasien yang terindikasi


demam tifoid oleh dokter

Sampel darah diambil


dan disentrifugasi
menjadi serum
Dilakukan uji widal
terhadap serum

(+) Positif Kualitatif (-)Negatif

Kuantitatif
Stop

Titer

Dilakukan uji tubex


terhadap serum

III. METODE PENELITIAN


Kesimpulan
3.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah cross sectional, dimana peneliti ingin
megetahui korelasi dari hasil uji widal dengan uji tubex terhadap kasus positif penderita
demam tifoid. Rancangan ini menggunakan pemeriksaan widal dan tubex.

3.2 Desain penelitian


Desain penelitian ini menggunakan dua metode penelitian, yaitu metode
aglutinasi widal dan IMBI. Dimana objek yang digunakan adalah serum darah yang
didapatkan dari permintaan formulir pemeriksaan widal dari dokter. Untuk
mendapatkan data yang valid, maka ditentukan jumlah populasi sampel dengan rumus
Slovin sebagai berikut:

4 pq
n=
d2
4 × 0,062× 0,938
n=
0,052

0.233
n=
0,0025

n=93,2

Ket : n = Jumlah sampel minimal

p = Proposi penderita ( nilai p dari data profil kesehatan provinsi jawa barat

tahun 2012 yaitu : 6,20%)

q = (1-p)

d2 = margin error (95%)

3.3 Sampel
 Jenis Sampel
Sampel yang digunakan untuk penelitian adalah serum darah, sampel
diambil dari pasien yang terindikasi menderita demam tifoid menurut dokter
yang memeriks. Dengan jumlah sampel yaitu 30 sampel yang sebelumnya telah
diperiksa oleh laboratorium di rumah sakit/klinik.

 Kriteria Sampel
Pada penelitian ini adalah sampel darah yang didiagnosa terkena demam
tifoid, dengan ciri-ciri gejala yaitu:
 Demam yang meningkat secara bertahap tiap hari hingga mencapai
39°C–40°C dan akan lebih tinggi pada malam hari
 Nyeri otot
 Sakit kepala
 Merasa tidak enak badan
 Pembesaran ginjal dan hati
 Kelelahan dan lemas
 Berkeringat
 Batuk kering
 Penurunan berat badan
 Sakit perut
 Kehilangan nafsu makan
 Anak-anak sering mengalami diare
 Sementara orang dewasa cenderung mengalami konstipasi
 Muncul ruam pada kulit berupa bintik-bintik kecil berwarna merah
muda, dan linglung
 Merasa tidak tahu sedang berada di mana dan apa yang sedang terjadi di
sekitar dirinya.

Dan untuk lebih meyakinkan peneliti bahwa pasien yang terindikasi


demam tifoid, maka langkah berikutnya peneliti harus mengecek ulang
formulir permintaan pemeriksaan laboratorium dari dokter pemeriksa atau
dari data jejak rekam medis pasien yang bersangkutan.

3.4 Tempat & waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Sekolah Tinggi Analis
Bakti Asih, diadakan pada bulan April-Juni 2021.

3.5 Prosedur Kerja


1. Persiapan Pra Analitik
a. Pembuatan serum darah
o Disediakan tabung centrifuge yang bersih dan kering.
o Darah dialirkan 1 ml dalam tabung tersebut kemudian didiamkan
beberapa menit lalu dimasukkan dalam centrifuge dan diputar selama 10
menit dengan kecepatan 3000 rpm.
o Tabung dikeluarkan dari centrifuge. Cairan kuning yang terdapat
dibagian atas disebut serum yang digunakan sebagai bahan pemeriksaan
serologis.
b. Persiapan alat dan bahan
o Uji Widal
 Alat :
1) Batang pengaduk
2) Mikropipet 5-50µl
3) Tabung Sentrifuge
4) Tip Kuning
5) Sentrifuge
6) Slide
 Bahan :
1) Reagen widal
2) Sampel serum
o Uji Tubex
 Alat :
1) Mikropipet 5-50µl dan 50-100µl
2) Tip Kuning
3) Skala warna strip wall reaction
 Bahan :
1) Kontrol positif dan negative
2) Reagen biru
3) Reagen coklat
4) Tape sealing
5) Tubex TF reagen
6) Sampel serum
2. Analitik
A. Uji Widal
Metode : Widal Lempeng (slide aglutination)
Prosedur :
 Kualitatif
a. Pada 8 lingkaran slide (plat widal) pemeriksaan widal teteskan 80µl
serum pasien.
b. Pada masing-masing lingkaran tambahkan 80 µl atau 1 tetes antigen H,
AH, BH, CH, O, AO, BO, CO.
c. Serum masing-masing antigen homogenkan, goyang-goyang selama 1
menit dan amati terjadinya aglutinasi pada setiap lingkaran.
 Kuantitatif
a. Spesimen serum pasien diletakkan pada 5 lingkaran slide dengan volume
berturut-turut : 80 μl, 40 μl, 20 μl, 10 μl, 5 μl. Titer : 1/20, 1/40, 1/80,
1/160, dan 1/320.
b. Selanjtnya ditambahkan 1 tetes reagen Widal yang sesuai ke atas
lingkaran yang mengandung serum pasien.
c. Setelah itu, Campur semua isi dari lingkaran menggunakan pengaduk
sampai mengenai sisi lingkaran.
d. Slide digoyang ke depan dan ke belakang, kemudian diamati adanya
aglutinasi pada slide setelah 1 menit.

B. Uji Tubex
Metode : Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI).

Prosedur :

a. Masukkan 45 µl partikel magnet berlapis antigen (reagen coklat) pada


wadah reaksi yang disediakan (satu set yang terdiri dari enam tabung
berbentuk V). Reagen dimasukkan ke sumur 1,2 dan 3.
b. Masukan 45µl serum sampel (serum harus jernih) ke dalam sumur yang
sudah berisi reagen, lalu campurkan keduanya dengan menggunakan
pipet tip.
c. Inkubasi dalam 2 menit.
d. Tambahan 90 µl indikator partikel dilapisi antibodi (reagen biru)
e. Tutup tempat reaksi tersebut dengan menggunakan strip, lalu ubah posisi
tabung dari vertikal menjadi horizontal dengan sudut 90º.
f. Goyang-goyangkan tabung kedepan dan kebelakang selama 2 menit.
g. Pada akhir proses reaksi ini tabung berbentuk V ini diletakkan diatas
dudukan magnet.
h. Didiamkan 5 menit untuk terjadi proses pemisahan (pengendapan).
i. Pembacaan skor hasil dari reaksi ini dilakukan dengan cara
mencocokkan warna yang terbentuk pada akhir reaksi dengan skor yang
tertera pada skala warna.
j. Berdasarkan data – data yang diperoleh kemudian disimpulkan hasil
pemeriksaan yang dilakukan.

3.6 Pengolahan data


Penelitian ini bersifat cross section, kemudian pengolahan data yang dilakukan
pada penelitian ini yaitu menggunakan statistik uji Chi-Square Goodness of Fit.

IV JADWAL KEGIATAN DAN RINCIAN BIAYA


4.1 Jadwal kegiatan
Berikut adalah jadwal kegiatan dari penelitian yang akan dilakukan:

No. Kegiatan Maret April Mei Juni Juli


1 Studi
Literatur
2 Pembuatan
Proposal
3 Sidang
Proposal
4 Penelitian
dan
Pengolahan
data
5 Sidang Akhir

4.2 Rincian Biaya


Rancangan biaya pada penelitian ini ada sebagai berikut:

Jenis Pengeluaran Harga


Penyusunan Proposal Rp. 100.000.00.,
Penelitian Rp. 20.000.000.00.,
Penyusunan Tugas Akhir Rp. 150.000.00.,
Akomodasi Rp. 100.000.00.,
Jumlah Rp. 20.350.000.00.,

LAMPIRAN

Gambar 1. Prosedur widal Gambar 2. Skema dari langkah kerja uji Tubex
Sumber : Handojo, 2014. Sumber : Lab. Nikki Medika, 2008.

Anda mungkin juga menyukai