Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

KEHAMILAN DAN PERSALINAN DENGAN PARUT


UTERUS

Pembimbing :

dr. Pim Gonta, Sp.OG

Oleh:

Vito Masagus Junaidy

2016-061-061

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA

PERIODE 12 FEBRUARI 2018 – 21 APRIL 2018


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat-Nya, referat dengan judul “Kehamilan dan Persalinan pada Parut Uterus” dapat
diselesaikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan untuk memenuhi tugas dalam
Kepaniteraan Klink Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan”.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan referat ini tidak terlepas dari
dukungan berbagai pihak yang senantiasa membantu dalam proses persiapan hingga
akhir. Maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Pim Gonta, Sp.OG yang telah bersedia membimbing selama proses pembuatan referat
ini.
Referat ini masih memerlukan banyak perbaikan, oleh karena itu penulis sangat
terbuka pada kritik dan saran yang dapat berguna demi memperbaiki kekurangan yang
ada.
Penulis berharap referat ini dapat membuka pikiran dan wawasan yang
bermanfaat bagi para pembacanya mengenali kehamilan dan persalinan pada parut
uterus sehingga mampu memberikan penanganan yang tepat dan mencegah komplikasi
yang akan ditimbulkannya.

Jakarta, 15 April 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2

2.1 Definisi .............................................................................................. 2

2.2 Prevalensi .......................................................................................... 2

2.3 Faktor-Faktor Penyebab Mulainya Persalinan .................................. 2

2.4 Indikasi dan Kontraindikasi .............................................................. 3

2.5 Tahapan Persalinan ........................................................................... 6

2.6 Mekanisme Persalinan Normal ......................................................... 8

2.7 Pimpinan Persalinan………………………………………………... 10

2.8 Komplikasi…………………………………………………………. 19

BAB III. KESIMPULAN……………………………………………………. 23

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Seksio sesarea meningkat cepat di tahun tujuh puluhan dan awal delapan
puluhan. Wanita melahirkan dengan seksio sesarea dilaporkan meningkat empat kali
dibanding 30 tahun sebelumnya. Sebabnya multifaktorial, termasuk di antaranya
meningkatnya indikasi seksio sesarea ulang pada kehamilan dengan parut uterus.
Sampai saat ini belum ada hasil penelitian berdasarkan Randomised Controlled Trial
(RCT) untuk menilai keuntungan atau kerugian antara persalinan dan seksio sesarea
ulang pada kasus kehamilan dengan parut uterus. Terdapat 4 indikasi utama untuk
melakukan seksio saesarea, yaitu (1) distosia, (2) gawat janin, (3) kelainan letak, dan
(4) parut uterus. Kehamilan dan persalinan setelah wanita melahirkan dengan seksio
sesarea akan mendapat resiko tinggi terjadinya morbiditas dan mortalitas yang
meningkat berkenaan dengan parut uterus.1
Indikasi parut uterus berkisar 25 - 30% dari angka kenaikan seksio sesarea di
Amerika Serikat. Dilihat dari angka kejadian seksio sesarea, dilaporkan bahwa di
Amerika Serikat prevalensi seksio sesarea dengan indikasi parut uterus sebesar 35%,
Australia 35%, Skotlandia 43%, dan Perancis 28%. Di tahun sembilan puluhan, angka
seksio sesarea atas indikasi parut uterus menurun dengan dikembangkannya persalinan
pada parut uterus, Vaginal Birth After Cesarean (VBAC) atau dikenal pula sebagai
Trial of Labor After Cesarean (TOLAC). Di Amerika Serikat pada tahun dua ribuan,
dari 10 wanita yang melahirkan pervaginam terdapat satu wanita dengan parut uterus.
Di Bandung (RS Hassan Sadikin) prevalensi seksio sesarea dengan parut uterus adalah
10%, tetapi indikasi awal tidak selalu karena parut uterus. Angka kejadian seksio
sesarea primer dan VBAC di Amerika Serikat 1989 - 1998 dilaporkan sebagai berikut
: seksio sesarea 20,7 - 22,8% dari seluruh persalinan hidup, seksio sesarea primer 14,6
– 16,1% pada wanita yang belum pernah mendapat seksio sesarea dan 18,9 – 28,3%
wanita melahirkan pervaginam dengan parut uterus (VBAC) 1.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup
dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar.1 Kehamilan dengan jaringan parut
uterus adalah kehamilan yang disertai riwayat seksio sesaria sebanyak satu kali atau
lebih atau pasca miomektomi atau kornuektomi pada kehamilan sebelumnya.2 Hal-hal
yang perlu diketahui sebelum memutuskan persalinan perabdominan atau pervaginam
pada kehamilan dengan jaringan parut uterus adalah indikasi seksio sesarea
sebelumnya, berapa kali persalinan dengan seksio sesarea, jenis sayatan, komplikasi
operasi, dan riwayat persalinan.3

2.2 Prevalensi
Di Amerika Serikat, persalinan setelah seksio sesarea meningkat dari 3% pada
tahun 1980, 20% pada tahun 1990, dan 28% pada tahun 1996. Hal ini disebabkan oleh
mulai diperkenalkannya Vaginal Birth After Cesarean (VBAC) dan Trial of Labor
After Cesarean (TOLAC). Namun, angka ini menurun sebanyak 7,6 – 8,5% pada tahun
2006. Makin sedikit ibu hamil yang melakukan TOLAC. Hal ini berkaitan dengan
rekomendasi yang dikeluarkan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists yang menyatakan keperluan personil dan fasilitas yang spesifik untuk
melakukan TOLAC ataupun VBAC. Pasien juga makin banyak yang mengetahui
tentang resiko kegagalan VBAC. Padahal angka keberhasilan VBAC adalah 60 –
80%.3

2.3 Faktor-faktor Penyebab Mulainya Persalinan


Suatu persalinan ditandai dengan peningkatan aktivitas miometrium dari
aktivitas jangka panjang dan frekuensi rendah, menjadi aktivitas tinggi dengan
frekuensi yang lebih tinggi. Kondisi ini menghasilkan suatu keadaan menipis dan
membukanya serviks uterus. Pada persalinan normal terdapat juga hubungan antara

2
waktu dengan perubahan biokimiawi jaringan ikat serviks yang menyebabkan
kontraksi uterus dan pembukaan serviks. Semua peristiwa tersebut terjadi sebelum
pecahnya selaput ketuban.4
Sebab terjadinya partus sampai kini masih merupakan teori-teori yang
kompleks. Faktor-faktor humoral, pengaruh prostaglandin, struktur dan sirkulasi darah
uterus, pengaruh saraf, dan nutrisi disebut sebagai faktor-faktor yang mengakibatkan
partus dimulai. Perkembangan ilmu biokimia dan biofisika telah banyak
mengungkapkan proses dimulai dan berlangsungnya partus, antara lain penurunan
kadar hormon estrogen dan progesteron. Seperti diketahui progesteron merupakan
penenang bagi otot-otot uterus. Penurunan kadar kedua hormon ini terjadi kira-kira 1-
2 minggu sebelum partus dimulai. Kadar prostaglandin dalam kehamilan dari minggu
ke 15 hingga aterm meningkat terlebih sewaktu partus.1,5
Pengaruh hormon hanya sebagian dari banyak faktor-faktor kompleks yang
dapat membangkitkan his. Selanjutnya dengan berbagai tindakan, persalinan dapat
juga dimulai (induction of labor) misalnya : 1) merangsang pleksus Frankenhauser
dengan memasukkan gagang laminaria dalam kanalis servikalis, 2) pemecahan
ketuban, 3) penyuntikan oksitosin (sebaiknya dengan jalan intravena), 4) pemakaian
prostaglandin, dan sebagainya. Dalam menginduksi persalinan perlu diperhatikan
bahwa serviks sudah matang (serviks sudah pendek dan lembek), dan kanalis servikalis
terbuka minimal satu jari.1,5

2.4 Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi VBAC :
Rekomendasi American College of Obstetricians and Gynecologists (1999)
untuk pemilihan kandidat persalinan setelah saesar (VBAC)1 :
 Riwayat satu atau dua seksio sesarea dengan insisi transversal rendah.
 Panggul lapang secara klinis.
 Tidak ada jaringan parut uterus lain atau riwayat ruptur.
 Tersedia dokter selama persalinan aktif yang mampu memantau persalinan dan
melakukan seksio sesarea darurat.

3
 Ketersediaan anestesi dan petugasnya untuk seksio sesarea darurat.
Kontraindikasi VBAC1 :
1. Kontraindikasi dilakukan persalinan secara umum
2. Luka parut uterus jenis klasik
3. Jenis luka T terbalik atau jenis parut yang tidak diketahui
4. Luka parut pada otot rahim di luar Segmen Bawah Rahim (SBR)
5. Bekas uterus ruptur
6. Kontraindikasi relatif, misalnya panggul relatif sempit
7. Dua atau lebih luka parut transversal di Segmen Bawah Rahim (SBR)
8. Kehamilan ganda
9. Kehamilan serotinus
Menurut ALARM International hal dasar yang perlu diperhatikan1 :
 Identifikasi pasien apakah memenuhi syarat untuk dilakukan pertolongan
persalinan.
 Jelaskan dengan cermat mengenai rencana pertolongan persalinan dengan
diakhiri penandatanganan persetujuan pasien/keluarga (informed consent).
 Persiapan pemantauan ibu dan janin dalam persalinan secara terus menerus
termasuk pencatatan denyut jantung setiap 30 menit.
 Persiapkan sarana operasi segera untuk menghadapi kegagalan VABC.
Pemilihan pasien1 :
 Kenali jenis operasi terdahulu.
 Bila mungkin mengenal kondisi operasi terdahulu dari laporan operasinya
(adakah kesulitan atau komplikasi).
 Dianjurkan VBAC hanya pada uterus dengan luka parut sayatan transversal
SBR.
Hal yang perlu diperhatikan untuk melakukan prognosis persalinan dengan
parut uterus adalah sebagai berikut1 :
 Jenis sayatan uterus yang telah dilakukan pada operasi terdahulu
 Indikasi operasi seksio saesarea terdahulu

4
 Apakah jenis operasi terdahulu adalah seksio sesarea aktif atau emergensi
 Apa komplikasi operasi terdahulu
Angka keberhasilan untuk percobaan persalinan sedikit banyak bergantung
pada indikasi sesar sebelumnya. Secara umum, sekitar 60 – 80 % percobaan persalinan
setelah sesar menghasilkan pelahiran pervaginam. Angka keberhasilan sedikit
meningkat jika sesar sebelumnya dilakukan atas indikasi presentasi bokong atau distres
janin dibandingkan jika indikasinya adalah distosia. Faktor prognostik yang paling
mendukung adalah riwayat melahirkan pervaginam.3
Persalinan spontan lebih diharapkan pada wanita dengan riwayat SC. Namun,
penelitian yang telah dilakukan selama ini menyatakan bahwa induksi persalinan aman
selama terdapat indikasi pada ibu dan janin serta pasien merupakan kandidat yang
memenuhi syarat untuk VBAC. Obat yang dapat digunakan untuk pematangan serviks
pada bekas SC adalah Prostaglandin E2 gel, yang pemberiannya bisa langsung pada
forniks posterior vagina atau dioleskan pada kanal serviks. Kedua metode ini
tampaknya cukup aman dan efektif pada pasien yang akan menjalani
VBAC. Misoprostol yang saat ini sangat banyak digunakan untuk pematangan serviks
pada wanita tanpa riwayat SC ternyata tidak boleh digunakan untuk tujuan yang sama
pada bekas SC karena tingginya kejadian robeknya parut.3
Infus Oksitosin merupakan metode yang dominan untuk menginduksi ataupun
augmentasi persalinan. Dari hasil metaanalisis, kejadian ruptur uterus pada bekas SC
dibandingkan tanpa riwayat SC yang mendapat infus Oksitosin adalah seimbang, kira-
kira 0,5 –0 1 % pada kedua kelompok.3
Mengenai apakah terdapat perbedaan dosis Oksitosin pada wanita tanpa dan
dengan riwayat SC dihubungkan dengan terjadinya ruptur uterus masih merupakan
pertanyaan. Goetzl, dkk melakukan suatu penelitian case control tentang hal ini dan
menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal penggunaan oksitosin
antara yang belum pernah SC dengan yang pernah, baik dalam hal dosis awal, interval
titrasi dosis, dosis maksimum, waktu saat dosis maksimum.3

5
2.5 Tahapan Persalinan
Partus dibagi menjadi 4 kala. Pada kala I serviks membuka sampai terjadi
pembukaan 10 cm, kala ini dinamakan kala pembukaan. Kala II disebut kala
pengeluaran karena berkat kekuatan his dan kekuatan mengedan ibu, janin didorong
keluar sampai lahir. Dalam kala III atau kala uri, plasenta terlepas dari dinding uterus
dan dilahirkan. Kala IV dimulai dari lahirnya plasenta dan lamanya sekitar 1 jam.
Dalam kala ini diamati apakah terjadi perdarahan postpartum pada ibu atau tidak1,7.
2.5.1 Kala I
Secara klinis dinyatakan partus dimulai apabila timbul his dan wanita tersebut
mengeluarkan lendir yang bercampur darah (bloody show). Lendir ini berasal dari
lendir kanalis servikalis yang mulai membuka atau mendatar. Sedangkan darah berasal
dari pembuluh-pembuluh kapiler yang berada disekitar kanalis servikalis yang pecah
karena pergeseran-pergeseran ketika serviks membuka. Proses membukanya serviks
sebagai akibat his dibagi dalam 2 fase.
Fase laten. Berlangsung selama 8 jam. Pembukaan terjadi sangat lambat
sampai mencapai ukuran diameter 3 cm. Selama fase ini, orientasi dari kontraksi uterus
adalah perlunakan serviks serta penipisan (efficement). Kriteria minimal Friedman
untuk memasuki fase aktif adalah pembukaan dengan laju 1,2 cm/jam untuk nullipara,
serta 1,5 cm/jam untuk multipara.5
Fase aktif. Dibagi dalam 3 fase, yakni:
a. Fase akselerasi. Dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm menjadi 4 cm.
b. Fase dilatasi maksimal. Dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat
cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm.
c. Fase deselerasi. Pembukaan menjadi lambat kembali. Dalam waktu 2 jam
pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap.
Mekanisme membukanya serviks berbeda antara primigravida dengan
multigravida. Pada yang pertama ostium uteri internum akan membuka terlebih dahulu
sehingga serviks akan mendatar dan menipis, kemudian ostium uteri eksternum
membuka. Pada multigravida ostium uteri internum sudah sedikit terbuka, sehingga

6
pembukaan ostium uteri internum dan eksternum serta penipisan dan pendataran
serviks terjadi dalam saat yang bersamaan.1
Ketuban akan pecah sendiri ketika pembukaan hampir atau telah lengkap.
Tidak jarang ketuban harus di pecahkan ketika pembukaan hampir lengkap atau telah
lengkap. Kala I selesai apabila pembukaan serviks uteri telah lengkap.1
2.5.2 Kala II
Pada kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira satu kali setiap 2
sampai 3 menit. Karena biasanya kepala janin sudah masuk di ruang panggul, secara
reflektoris timbul rasa ingin mengedan. Tekanan pada rektum juga menimbulkan
perasaan hendak buang air besar sehingga perineum mulai menonjol dan menjadi lebar
dengan anus membuka. Labia mulai membuka dan tidak lama kemudian kepala janin
tampak dalam vulva pada waktu his. Bila dasar panggul sudah lebih berelaksasi, kepala
janin tidak akan masuk lagi di luar his. Kemudian dengan his dan kekuatan mengedan
maksimal, kepala janin dilahirkan dengan suboksiput di bawah simfisis dan secara
berurutan lahir dahi, muka, dan dagu melewati perineum. Setelah istirahat sebentar, his
mulai lagi untuk mengeluarkan badan dan ekstremitas bayi. Pada primigravida kala II
berlangsung rata-rata 1,5 jam dan pada multipara rata-rata 30 menit.1,4,5
2.5.3 Kala III
Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri agak di atas pusat.
Beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari
dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6 sampai 15 menit setelah bayi lahir dan
keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta disertai
dengan pengeluaran darah.1,5
2.5.4 Kala IV
Kala IV adalah kala dimana ibu pasca melahirkan dipantau selama 1-2 jam
untuk melihat apakah terjadi perdarahan postpartum atau tidak. Pada saat ini juga
dilakukan pemantauan tanda vital untuk mengetahui keadaan umum ibu. 1,5

7
2.6 Mekanisme Persalinan Normal
Hampir 96% janin berada dalam uterus dengan presentasi kepala dan pada
presentasi kepala ini ditemukan ± 58% ubun-ubun kecil terletak di kiri depan, ± 23%
di kanan depan, ± 11% di kanan belakang, dan ± 8% di kiri belakang. Keadaan ini
mungkin disebabkan terisinya ruangan di sebelah kiri belakang oleh kolon sigmoid dan
rektum.1,5
Menjadi pertanyaan mengapa janin dengan persentasi tinggi berada dalam
uterus dengan presentasi kepala. Keadaan ini mungkin disebabkan karena kepala relatif
lebih besar dan lebih berat. Mungkin pula karena bentuk uterus sedemikian rupa
sehingga volume bokong dan ekstremitas yang lebih besar berada di atas, yaitu di
ruangan yang lebih luas sedangkan kepala berada di bawah, di ruangan yang lebih
sempit. Hal ini dikenal sebagai teori akomodasi.1,5
Tiga faktor penting yang memegang peranan pada persalinan adalah kekuatan-
kekuatan yang ada pada ibu seperti kekuatan his dan kekuatan mengedan, keadaan jalan
lahir, dan janin tersebut.1
His adalah salah satu kekuatan pada ibu yang menyebabkan serviks membuka
dan mendorong janin ke bawah. Pada presentasi kepala, bila his sudah cukup kuat,
kepala akan turun dan mulai masuk ke dalam rongga panggul. His yang sempurna akan
membuat dinding korpus uteri yang terdiri atas otot-otot menjadi lebih tebal dan lebih
pendek, sedangkan bagian bawah uterus dan serviks yang hanya mengandung sedikit
jaringan kolagen akan mudah tertarik hingga menjadi tipis dan membuka. Kontraksi
yang sempurna adalah kontraksi yang simetris dengan dominasi di fundus uteri, dan
mempunyai amplitudo 40-60 mmHg yang berlangsung selama 60-90 detik dengan
jangka waktu kontraksi 2-4 menit, dan pada relaksasi tonus uterus kurang dari 12
mmHg.1,5
Masuknya kepala melintasi pintu atas panggul dapat dalam keadaan
sinklitismus, yaitu bila sumbu kepala janin tegak lurus dengan bidang pintu atas
panggul. Dapat pula kepala masuk dalam keadaan asinklitismus, yaitu arah sumbu
kepala janin miring dengan bidang pintu atas panggul. Asinklitismus anterior menurut
Naegele ialah apabila arah sumbu kepala membuat sudut lancip ke depan dengan pintu

8
atas panggul. Dapat pula asinklitismus posterior menurut Litzman yaitu keadaan
sebaliknya dari asinklitismus anterior. Keadaan asinklitismus anterior lebih
menguntungkan daripada mekanisme turunnya kepala dengan asinklitismus posterior
karena ruangan pelvis di daerah posterior lebih luas dibandingkan dengan ruangan
pelvis di daerah anterior. Hal asinklitismus penting apabila daya akomodasi panggul
agak terbatas.1,5
Akibat sumbu kepala janin yang eksentrik atau tidak simetris, dengan sumbu
lebih mendekati suboksiput, dan tahanan oleh jaringan dibawah terhadap kepala yang
akan menurun, maka kepala akan mengadakan fleksi di dalam rongga panggul menurut
hokum Koppel. Dengan fleksi kepala janin memasuki ruang panggul dengan ukuran
yang paling kecil, yakni dengan diameter suboksipitobregmatikus (9,5cm) dan dengan
sirkumferensia suboksipitobregmatikus (32 cm). Sampai di dasar panggul kepala janin
berada dalam keadaan fleksi maksimal. Kepala yang sedang turun menemui diafragma
pelvis yang berjalan dari belakang atas ke bawah depan. Akibat kombinasi elastisitas
diafragma pelvis dan tekanan intrauterin disebabkan oleh his yang berulang-ulang,
kepala mengadakan rotasi yang disebut juga putaran paksi dalam. Pada saat melakukan
rotasi, ubun-ubun kecil berada di bawah simfisis. Sesudah kepala janin sampai di dasar
panggul dan ubun-ubun kecil di bawah simfisis, maka dengan suboksiput sebagai
hipomoklion, kepala mengadakan gerakan defleksi untuk dapat dilahirkan. Pada tiap
his, vulva lebih membuka dan kepala janin makin tampak. Perineum menjadi lebih
lebar dan tipis, anus membuka dinding rektum. Dengan kekuatan his bersama dengan
kekuatan mengedan, berturut-turut tampak bregma, dahi, muka, dan akhirnya dagu.
Sesudah kepala lahir, kepala segera mengadakan rotasi yang disebut putaran paksi luar.
Putaran paksi luar ini ialah gerakan kembali sebelum putaran paksi dalam terjadi, untuk
menyesuaikan kedudukan kepala dengan punggung anak.1,4,5
Bahu melintasi pintu atas panggul dalam keadaan miring. Di dalam rongga
panggul, bahu akan menyesuaikan diri dengan bentuk panggul yang dilaluinya,
sehingga di dasar panggul, apabila kepala telah dilahirkan, bahu akan berada dalam
posisi depan belakang. Selanjutnya dilahirkan bahu depan terlebih dahulu, kemudian

9
bahu belakang. Demikian pula dilahirkan trokanter depan terlebih dahulu, kemudian
trokanter belakang. Kemudian bayi lahir seluruhnya.1,5
Bila mekanisme partus yang fisiologis ini dipahami dengan sungguh-sungguh,
maka pada hal-hal yang menyimpang dapat segera dilakukan koreksi secara manual
jika mungkin, sehingga tindakan-tindakan operatif tidak perlu dikerjakan. Apabila bayi
telah lahir, segera jalan nafas dibersihkan. Tali pusat dijepit diantara 2 cunam pada
jarak 5 cm dan 10 cm. Kemudian di gunting diantara kedua cunam tersebut, lalu diikat.
Jepit tali pusat diberi antiseptik. Umumnya bila telah lahir lengkap, bayi akan segera
menarik napas dan menangis. Resusitasi dengan jalan membersihkan dan mengisap
lendir pada jalan napas harus segera dikerjakan.1,5
Bila bayi telah lahir, uterus akan mengecil. Partus berada dalam kala III atau
kala uri. Kala ini tidak kalah pentingnya dengan kala I dan II, sebab kematian ibu
karena perdarahan pada kala uri tidak jarang terjadi sebab pimpinan kala II kurang
cermat diterapkan. Seperti telah dikemukakan, segera setelah bayi lahir, his
mempunyai amplitudo yang kira-kira sama tingginya, hanya frekuensinya yang
berkurang. Akibat his ini uterus akan mengecil, sehingga perlekatan plasenta dengan
dinding uterus akan terlepas. Lepasnya plasenta dari dinding uterus ini dapat dimulai
dari tengah (sentral) menurut Schultze, pinggir (marginal) menurut Mathews-Duncan,
atau kombinasi keduanya. Yang terbanyak adalah pelepasan menurut Schultze.
Umumnya pada kala II berlangsung selama 6 sampai 15 menit. Tinggi fundus uteri
setelah kala III kira-kira 2 jari di bawah pusat.1,5

2.7 Pimpinan Persalinan


Pimpinan persalinan yang normal juga terbagi dalam 4 kala sesuai dengan
mekanisme persalinan normal: 1,5,6,7
2.7.1 Kala I
Dalam kala I, pekerjaan dokter, bidan, atau penolong persalinan adalah
mengawasi wanita inpartu sebaik-baiknya dan melihat apakah semua persiapan untuk
persalinan sudah dilakukan. Pemberian obat atau tindakan hanya apabila ada indikasi
untuk ibu maupun anak. Pada seorang primigravida aterm umumnya kepala janin sudah

10
masuk pintu atas panggul pada kehamilan 36 minggu, sedangkan pada multigravida
baru pada kehamilan 38 minggu. Pada kala I, apabila kepala janin telah masuk sebagian
ke dalam pintu atas panggul serta ketuban belum pecah, wanita tersebut dapat
dipersilahkan duduk atau berjalan-jalan di sekitar kamar bersalin. Akan tetapi, pada
umumnya wanita lebih suka berbaring karena sakit yang dirasakan ketika muncul his.
Berbaring sebaiknya ke sisi, tempat punggung janin berada. Cara ini mempermudah
turunnya kepala dan putaran paksi dalam. Apabila kepala janin belum turun ke dalam
pintu atas panggul, sebaiknya wanita tersebut berbaring terlentang, karena bila ketuban
pecah, mungkin terjadi komplikasi-komplikasi, seperti prolaps tali pusat, prolaps
tangan, dan sebagainya. Apabila his sudah sering dan ketuban sudah pecah, wanita
tersebut harus berbaring.
Pemeriksaan luar untuk menentukan letak janin dan turunnya kepala hendaknya
dilakukan untuk memeriksa kemajuan partus, disamping dapat dilakukan pula
pemeriksaan rektal atau pervaginam. Hasil pemeriksaan pervaginam juga disebut
pemeriksaan dalam harus menyokong dan lebih merinci apa yang dihasilkan oleh
pemeriksaan luar. Harus disadari bahwa tiap pemeriksaan dalam pada waktu persalinan
selalu menimbulkan bahaya infeksi dan rasa nyeri pada penderita. Akan tetapi hal-hal
tersebut jangan sampai menghalangi untuk menjalankan pemeriksaan dalam yang
diperlukan untuk menilai vagina (terutama dindingnya, menyempit atau tidak),
keadaan dan pembukaan serviks, kapasitas panggul, ada tidaknya penghalang jalan
lahir, sifat fluor albus, dan adanya penyakit (bartholinitis, urethritis, sistitis, dan
sebagainya), ketuban, presentasi kepala janin, turunnya kepala dalam ruang panggul,
penilaian besar kepala terhadap panggul, dan menilai kelangsungan partus.
Pemeriksaan per rektum baik untuk menilai turunnya kepala, tetapi kurang baik
untuk menilai ketuban, keadaan serviks, serta posisi dan presentasi kepala.
Pemeriksaan per rektum dapat mengurangi infeksi eksogen (dari luar), tetapi dapat
menimbulkan infeksi endogen (dari dalam) bila pemeriksaan kurang memperhatikan
asepsis dan antisepsis dan menggosok-gosok dengan jari dinding vagina bagian
belakang yang pada umumnya mengandung kuman-kuman ke dalam pembukaan
serviks. Pada pemeriksaan per vaginam kemungkinan infeksi eksogen dapat diperkecil

11
bila pemeriksa memperhatikan asepsis dan antisepsis dengan memakai sarung tangan
steril dan dapat menggunakan krem dettol atau sejenis. Mengingat adanya
kemungkinan menimbulkan infeksi, maka pemeriksaan dalam hendaknya hanya
dilakukan bila ada indikasi ibu maupun janin atau bila akan diadakan tindakan di
samping perlu untuk mengetahui kemajuan partus.
Dalam kala I wanita dalam keadaan inpartu dilarang mengedan. Sebaiknya
sebelumnya dilakukan dahulu lavement. Lazimnya dimasukkan 20 sampai 40 ml
gliserin ke dalam rektum dengan penyemprot klisma atau diberi suppositoria. Jika tidak
diberi klisma, skibala di rektum akan membuat wanita tersebut mengedan sebelum
waktunya. Skibala di rektum juga akan menghalangi rotasi kepala yang baik pada kala
I.
2.7.2 Kala II
Kala II dimulai jika pembukaan serviks telah lengkap. Umumnya pada akhir
kala I atau permulaan kala II dengan kepala janin sudah masuk dalam ruang panggul,
ketuban akan pecah sendiri. Bila ketuban belum pecah, ketuban harus dipecahkan.
Kadang-kadang pada permulaan kala II ini, wanita tersebut mau muntah disertai
timbulnya rasa mengedan yang kuat. Di samping his, wanita tersebut harus dipimpin
untuk mengedan pada waktu ada his. Selain itu, denyut jantung janin juga harus sering
diawasi.
Ada dua cara mengedan yang baik, yaitu 8:
1. Wanita tersebut dalam letak terbaring merangkul kedua pahanya sampai batas
siku. Kepala sedikit diangkat, sehingga dagunya mendekati dadanya dan ia
dapat melihat perutnya.
2. Sikap seperti diatas, tetapi badan dalam posisi miring ke kiri atau ke kanan,
tergantung pada letak punggung anak. Hanya satu kaki dirangkul, yakni kaki
berada di atas. Posisi ini baik dilakukan bila putaran paksi dalam belum
sempurna. Dokter atau penolong persalinan berdiri pada sisi kanan wanita
tersebut.
Bila kepala janin telah sampai di dasar panggul, vulva mulai membuka. Rambut
dan kepala janin mulai tampak. Perineum dan anus tampak mulai meregang. Perineum

12
mulai lebih tinggi, sedangkan anus mulai membuka. Anus pada awalnya berbentuk
bulat, kemudian berbentuk seperti huruf D. Yang tampak dalam anus adalah dinding
depan rektum. Perineum harus ditahan dan bila tidak, dapat menyebabkan ruptura
perineum, terutama pada primigravida. Perineum ditahan dengan tangan kanan dan
sebaiknya dilapisi dengan kain steril.
Episiotomi dianjurkan untuk dilakukan pada primigravida atau pada wanita
dengan perineum yang kaku. Episiotomi ini dilakukan bila perineum telah menipis dan
kepala janin tidak masuk kembali ke dalam vagina. Ketika kepala janin akan
mengadakan defleksi dengan suboksiput di bawah simfisis sebagai hipomoklion,
sebaiknya tangan kiri menahan bagian belakang kepala dengan maksud agar gerakan
defleksi tidak terlalu cepat. Dengan demikian, ruptura perineum dapat dihindarkan.
Untuk mengawasi perineum ini, posisi miring (Sims position) lebih menguntungkan
dibandingkan dengan posisi biasa. Akan tetapi, bila perineum jelas telah tipis dan
menunjukkan akan timbul ruptura perineum, maka sebaiknya dilakukan episiotomi.
Ada beberapa teknik untuk melakukan episiotomi, antara lain episiotomi mediana,
dikerjakan pada garis tengah, episiotomi mediolateral, dikerjakan pada garis tengah
yang dekat muskulus sfingter ani yang diperluas ke sisi, episiotomi lateral dimana
sering menimbulkan perdarahan.
Keuntungan episiotomi mediana ialah tidak menimbulkan perdarahan banyak
dan penjahitan kembali lebih mudah, sehingga sembuh per primam dan hampir tidak
berbekas. Bahaya yang dapat terjadi ialah dapat menimbulkan ruptura perinei totalis.
Dalam hal ini muskulus sfingter ani eksternus dan rektum ikut robek pula. Perawatan
ruptura perinei totalis harus dikerjakan serapi-rapinya, agar jangan sampai gagal dan
timbul inkontinensia alvi. Untuk menghindarkan robekan perineum kadang-kadang
dilakukan perasat menurut Rintgen, yaitu bila perineum meregang dan menipis, tahan
kiri menahan dan menekan bagian belakang kepala janin ke arah anus. Tangan kanan
pada perineum. Dengan ujung jari-jari tangan kanan tersebut melalui kulit perineum
dicoba menggait dagu janin dan ditekan ke arah simfisis dengan hati-hati. Dengan
demikian, kepala janin dilahirkan perlahan-lahan keluar. Setelah kepala lahir diselidiki
apakah tali pusat mengadakan lilitan pada leher janin. Bila terdapat lilitan

13
dilonggarkan, bila sukar dapat dilepaskan dengan cara menjepit tali pusat dengan 2
cunam Kocher, kemudian diantaranya dipotong dengan gunting yang tumpul ujungnya.
Setelah kepala lahir, kepala akan mengadakan putar paksi luar ke arah letak punggung
janin. Usaha selanjutnya ialah melahirkan bahu janin. Mula-mula dilahirkan bahu
depan, dengan kedua telapak tangan pada samping kiri dan kanan kepala janin. Kepala
janin ditarik perlahan-lahan ke arah anus sehingga bahu depan lahir. Tidak dibenarkan
penarikan yang terlalu keras dan kasar oleh karena dapat menimbulkan robekan pada
muskulus sternokleidomastoideus. Kemudian, kepala janin diangkat kearah simfisis
untuk melahirkan bahu belakang. Setelah kedua bahu janin dapat dilahirkan, maka
usaha selanutnya ialah melahirkan badan janin, trokanter anterior disusul oleh trokanter
posterior. Usaha ini tidak sesukar usaha melahirkan kepala dan bahu janin oleh karena
ukuran-ukurannya lebih kecil. Dengan kedua tangan dibawah ketiak janin dan sebagian
di punggung atas, berturut-turut dilahirkan badan, trokanter anterior, dan trokanter
posterior. Setelah janin lahir, bayi sehat dan normal umumnya segera menarik napas
dan menangis keras. Kemudian bayi diletakkan dengan kepala ke bawah kira-kira
membentuk sudut 30 derajat dengan bidang datar. Lendir pada jalan napas segera
dibersihkan atau diisap dengan pengisap lendir. Tali pusat digunting 5 sampai 10 cm
dari umbilikus. Dengan cara, tali pusat dijepit 2 cunam Kocher pada jarak 5 dan 10 cm
dari umbilikus. Bial ada kemungkinan akan diadakan transfusi pertukaran pada bayi
maka pemotongan tali pusat diperpanjang sampai antara 10-15 cm . Di antara kedua
cunam tersebut tali pusat digunting dengan yang berujung tumpul. Ujung tali pusat
bagian bayi didesinfeksi dan diikat dengan kuat. Hal ini harus diperhatikan karena
ikatan kurang kuat dapat terlepas dan perdarahan dari tali pusat masih dapat terjadi
yang dapat membahayakan bayi tersebut. Kemudian diperhatikan kandung kencing,
bila penuh dilakukan pengosongan kandung kencing, jika bisa wanita tersebut kencing
sendiri. Kandung kencing yang penuh dapat menimbulkan atonia uteri dan
mengganggu pelepasan plasenta, yang berarti dapat menimbulkan perdarahan
postpartum.

14
2.7.3 Kala III
Partus kala II disebut juga kala uri. Kala III ini, seperti telah dijelaskan, tidak
kalah pentingnya dengan kala I dan kala II. Ketidakhati-hatian dalam memimpin kala
II dapat mengakibatkan kematian karena perdarahan. Kala uri dimulai sejak bayi lahir
lengkap sampai plasenta lahir lengkap.
Terdapat dua tingkat kelahiran plasenta, yang pertama ialah melepasnya
plasenta dari implantasinya pada dinding uterus dan dilanjutkan dengan pengeluaran
plasenta dari kavum uteri. Seperti telah disebut diatas, setelah janin lahir uterus masih
mengadakan kontraksi yang mengakibatkan pengecilan permukaan kavum uteri tempat
implantasi plasenta. Hal ini mengakibatkan plasenta akan lepas dari tempat
implantasinya. Pelepasan ini dapat dimulai dari tengah menurut Schultze atau dari
pinggir menurut Mathews-Duncan atau serempak dari tengah dan pinggir plasenta.
Cara yang pertama ditandai oleh makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina, tanda
ini dikemukakan oleh Ahlfield, tanpa adanya perdarahan pervaginam, sedangkan cara
yang kedua ditandai oleh adanya perdarahan dari vagina apabila plasenta mulai
terlepas. Umumnya perdarahan tidak melebihi 400 ml. Bila lebih, maka hal ini
patologik. Apabila plasenta lahir, umumnya otot-otot uterus segera berkontraksi
menjepit pembuluh-pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan segera berhenti.5
Pada keadaan normal menurut Caldeyro-Barcia, plasenta akan lahir spontan
dalam waktu ± 6 menit setelah anak lahir lengkap.6 Untuk mengetahui apakah plasenta
telah lepas dari tempat implantasinya, dipakai beberapa perasat antara lain:
1. Perasat Kustner. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali pusat,
tangan kiri menekan daerah di atas simfisis. Bila tali pusat ini masuk kembali
dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus. Perasat ini
hendaknya dilakukan secara hati-hati. Apabila hanya sebagian plasenta
terlepas, perdarahan banyak akan dapat terjadi.
2. Perasat Strassmann. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali
pusat, tangan kiri mengetok-ngetok fundus uteri. Bila terasa ada getaran pada
tali pusat yang diregangkan ini, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus.
Bila tidak terasa getaran, berarti plasenta telah lepas dari dinding uterus.

15
3. Perasat Klein. Wanita tersebut disuruh mengedan dan tali pusat tampak turun
ke bawah. Bila pengedanannyan dihentikan dan tali pusat masuk kembali ke
dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus.
Kombinasi dari tiga perasat ini baik dijalankan secara hati-hati setelah
mengawasi wanita yang baru melahirkan bayi selama 6 sampai 15 menit. Bila plasenta
telah lepas spontan, maka dapat dilihat bahwa uterus berkontraksi baik dan terdorong
keatas kanan oleh vagina yang berisi plasenta. Dengan tekanan ringan pada fundus
uteri plasenta mudah dapat dilahirkan, tanpa menyuruh wanita bersangkutan mengedan
yaitu dengan menggunakan perasat Crede. Dengan cara memijat uterus seperti
memeras jeruk agar plasenta lepas dari dinding uterus hanya dapat digunakan bila
terpaksa misalnya perdarahan. Perasat ini dapat mengakibatkan kecelakaan perdarahan
postpartum. Pada orang yang gemuk, perasat Crede sukar atau tidak dapat dikerjakan.
Setelah plasenta lahir, harus diteliti apakah kotiledon-kotiledon lengkap atau
masih ada sebagian yang tertinggal dalam kavum uteri. Begitu pula apakah pada
pinggir plasenta masih didapat hubungan dengan plasenta lain, seperti adanya plasenta
suksenturiata. Selanjutnya harus pula diperhatikan apakah korpus uteri berkontraksi
baik. Harus dilakukan masase ringan pada korpus uteri untuk memperbaiki kontraksi
uterus. Apabila diperlukan karena kontaksi uterus kurang baik, dapat diberikan
uterotonika seperti pitosin, metergin, ermetrin, dan sebagainya, terutama pada partus
lama, grande multipara, gemelli, hidroamnion, dan sebagainya. Bila semuanya telah
berjalan dengan lancar dan baik, maka luka episiotomi harus diteliti, dijahit, dan
diperbaiki.
Segera bayi lahir, tinggi fundus uteri dan konsistensinya hendaknya dipastikan.
Selama uterus kencang dan tidak ada perdarahan yang luar biasa, menunggu dengan
waspada sampai plasenta terlepas biasa dilakukan. Jangan dilakukan masase; tangan
hanya diletakkan diatas fundus, untuk memastikan bahwa organ tersebut tidak menjadi
atonik dan berisi darah dibelakang plasenta yang telah terlepas. Tanda-tanda pelepasan
plasenta:
1. Uterus menjadi globular, dan biasanya terlihat lebih kencang. Ini merupakan
tanda awal.

16
2. Sering ada pancaran darah mendadak.
3. Uterus naik di abdomen karena plasenta yang telah terlepas, berjalan turun
masuk ke segmen bawah uterus dan vagina, serta massanya mendorong uterus
keatas.
4. Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina yang menandakan bahwa plasenta
telah turun.
Tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir dan
biasanya dalam waktu lima menit. Kalau plasenta sudah lepas, penolong harus
memastikan bahwa uterus telah berkontraksi kuat. Ibu boleh diminta untuk mengejan
dan tekanan intraabdominal yang ditimbulkan mungkin cukup untuk mendorong
plasenta.

Manajemen aktif kala III.8


Penatalaksanaan aktif pada kala III (pengeluaran aktif plasenta) membantu
menghindarkan terjadinya perdarahan pasca persalinan. Penatalaksanaan aktif kala III
meliputi:
 Penatalaksanaan oksitosin dengan segera
 Pengendalian tarikan pada tali pusat
 Pemijatan uterus segera setelah plasenta lahir
Penanganan tersebut dilakukan dalam tahap sebagai berikut:8
 Memberikan oksitosin untuk merangsang uterus berkontraksi yang juga
mempercepat pelepasan plasenta.
 Lakukan Peregangan Tali Pusat Terkendali atau PTT dengan cara:
1.
Satu tangan diletakkan pada korpus uteri tepat di atas simfisis pubis.
Selama kontraksi tangan mendorong korpus uteri dengan gerkan dorso
kranial ke arah belakang dan ke arah kepala ibu
2.
Tangan yang satu memegang tali pusat dengan klem 5 cm di depan
vulva
3.
Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu adanya kontraksi kuat
(2-3 menit)

17
4.
Selama kontraksi lakukan tarikan terkendali pada tali pusat yang terus
menerus, dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus.
5.
PTT dilakukan hanya selama uterus berkontraksi. Tangan pada uterus
merasakan kontraksi, ibu dapat juga member tahu petugas ketika ia
merasakan kontraksi. Ketika uterus tidak berkontraksi, tangan petugas
dapat tetap berada pada uterus, tetapi bukan melakukan PTT. Ulangi
langkah-langkah PTT pada setiap kontraksi sampai plasenta terlepas.
6.
Begitu plasenta terasa lepas, keluarkan dengan menggerakkan tangan
atau klem tali pusat mendekati plasenta, keluarkan plasenta dengan
gerakan ke bawah dan ke atas sesuai dengan jalan lahir. Kedua tangan
dapat memegang plasenta dan perlahan memutar plasenta searah jarum
jam untuk mengeluarkan selaput ketuban.
7.
Segera setelah plasenta dan selaputnya dikeluarkan, masase fundus agar
menimbulkan kontraksi. Hal ini dapat mengurangi pengeluaran darah
dan mencegah perdarahan pascapersalinan.
8.
Periksa wanita tersebut secara seksama dan jahit semua robekan pada
serviks atau vagina atau perbaiki episiotomi.
2.7.4 Kala IV
Dua jam pertama setelah persalinan merupakan waktu yang kritis bagi ibu dan
bayi. Kala ini perlu untuk mengamat-amati apakah ada perdarahan postpartum. Rata-
rata dalam batas normal, jumlah pada umumnya adalah 100-300 cc. Bila perdarahan
lebih dari 500 cc ini sudah dianggap abnormal, harus dicari penyebabnya. Tujuh pokok
penting yang harus diperhatikan sebelum meninggalkan ibu yang baru melahirkan
adalah:
1. Kontraksi rahim. Dapat diketahui denga palpasi fundus uteri. Bila perlu
dilakukan masase dan berikan uterotonika (methergin, ermetrin, pitogin).
2. Perdarahan. Apakah ada atau tidak serta jumlahnya.
3. Kandung kencing. Diharuskan kosong, jika penuh ibu diminta kencing sendiri
atau menggunakan kateter.
4. Luka-luka. Dilihat jahitan terdapat perdarahan atau tidak.

18
5. Uri dan selaput ketuban harus telah lahir lengkap.
6. Keadaan umum ibu. Tekanan darah, nadi, dan pernapasan.
7. Bayi dalam keadaan baik

2.8 Komplikasi
Dilaporkan angka kejadian ruptura uteri pada parut uterus cukup tinggi,
terutama di negara sedang berkembang. Angka kejadian di negara maju hanya 0 – 2%,
sedangkan di negara sedang berkembang dilaporkan sampai 4 – 7%. Hal ini berkaitan
dengan kurangnya akses wanita hamil untuk melahirkan di rumah sakit.
Ruptura uteri merupakan komplikasi langsung yang dapat terjadi pada
persalinan dengan parut uterus, meskipun kejadiannya kecil, tapi dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin. Untuk menghindari terjadinya komplikasi
ini, kita harus dapat mengenali faktor risiko yang terdapat pada pasien sebelum
dilakukannya persalinan dengan parut uterus. Adapun faktor risiko itu adalah3 :
Riwayat Persalinan
a. Jenis parut
Insisi transversal rendah risikonya, kira-kira 1 % sedangkan insisi klasik 12%.
Kepustakaan lain menyatakan bahwa risiko terjadinya ruptur uterus pada bekas SC
dengan insisi klasik adalah 4-9 %, T-shaped 4-8%, low vertikal 1-7% dan transversal
0,2-1,5%.
b. Jumlah SC sebelumnya
Berapa jumlah SC yang masih dianggap aman untuk persalinan dengan parut
uterus sampai saat ini masih belum jelas, karena terdapatnya hasil yang berbeda dari
berbagai penelitian. Phelan dkk. tidak menemukan satu kasus ruptur uteri pun pada 501
pasien dengan riwayat SC 2 kali dan menjalani persalinan dengan parut uterus pada
persalinan ketiganya. Sedangkan Miller dkk. menemukan resiko ruptur uterus tiga kali
lebih tinggi pada jumalah parut yang lebih dari satu.
c. Riwayat persalinan
Suatu penelitian yang sangat besar menunjukkan efek protektif yang signifikan
dari riwayat persalinan pada bekas SC satu kali, dan mungkin merupakan faktor

19
protektif juga pada bekas SC dua kali. Penelitian kohort yang besar oleh Zelop dkk.
menemukan bahwa riwayat persalinan pada bekas SC menurunkan resiko terjadinya
ruptur uterus. Ruptur 1,1% terjadi pada wanita tanpa riwayat persalinan dan hanya
0,2% pada wanita yang pernah mengalami persalinan setelah SC.
d. Interval persalinan
Shipp dkk. menyatakan bahwa waktu yang pendek antara SC dan percobaan
persalinan berikutnya dapat meningkatkan resiko terjadinya ruptur uterus karena tidak
tersedia waktu yang adekuat untuk penyembuhan luka. Wanita dengan interval
persalinan kurang dari 18 bulan, mempunyai resiko 2,3% dibandingkan dengan yang
intervalnya lebih dari 18 bulan yaitu 1%.
e. Demam post partum setelah SC
Deman post partum SC merupakan suatu predisposisi penyembuhan luka yang
jelek dan pada beberapa tempat hal ini merupakan kontraindikasi untuk dilakukannya
persalinan dengan parut uterus.
Faktor Ibu
a. Umur
Suatu studi oleh Shipp dkk menyatakan bahwa usia diatas 30 tahun mungkin
berhubungan dengan kejadian ruptur yang lebih tinggi.
b. Anomali uterus
Terdapat kejadian ruptur yang lebih tinggi pada wanita dengan anomali uterus.
Karakteristik Kehamilan Saat Ini
a. Makrosomia
Risiko ruptura uteri akan meningkat dengan meningkatnya berat badan janin
karena terjadinya distensi uterus.
b. Kehamilan ganda
Hanya satu penelitian mengenai hal ini dan ternyata dari 92 wanita, tidak terjadi
ruptura uteri.
c. Ketebalan segmen bawah rahim (SBU)
Risiko terjadinya ruptur 0% bila ketebalan SBU > 4,5 mm, 0,6% bila 2,6-3,5
mm dan 9,8% bila tebalnya < 2,5 mm

20
d. Malpresentasi
Flamm dkk. melaporkan tidak terjadi ruptur pada 56 pasien yang dilakukan
versi luar pada presentasi bokong saat hamil aterm, namun karena tidak ada data yang
definitif, prosedur ini mungkin bisa berhubungan dengan terjadinya ruptur uterus.
Resiko ruptur uterus meningkat seiring dengan jumlah insisi sebelumnya.
Secara spesifik, terjadi peningkatan sekitar tiga kali lipat resiko ruptur uterus pada
wanita yang mencoba melahirkan pervaginam dengan riwayat dua kali sesar
dibandingkan dengan riwayat satu kali sesar. Ruptur uterus harus dibedakan dari
dehisens. Ruptur uterus mengacu kepada pemisahan insisi uterus lama disertai ruptur
membran janin sehingga rongga uterus dan rongga peritoneum berhubungan. Seluruh
atau sebagian janin atau plasenta menonjol ke dalam rongga peritoneum. Pada dehisens
uterus, membran janin utuh dan janin atau plasenta, atau keduanya, tidak keluar ke
dalam rongga peritoneum ibu. Pemisahan jaringan parut semacam ini sering disebut
sebagai “jendela”.
Ruptur uterus umumnya bermanifestasi sebagai deselerasi denyut jantung
janin. Kurang dari 10% wanita yang mengalami ruptur uterus mengalami nyeri dan
perdarahan sebagai temuan utama. Temuan klinis lain yang berkaitan dengan ruptur
uterus adalah iritasi diafragma akibat hemoperitoneum dan tidak diketahuinya tinggi
janin yang terdeteksi sewaktu pemeriksaan dalam. Beberapa wanita mengalami
penghentian kontraksi setelah ruptur. Sedangkan, tanda-tanda ruptur uteri menurut
ALARM adalah sebagai berikut:
 Fetal bradikardia
 Menghilangnya perabaan janin
 Kontraksi yang menghilang/ berhenti
 Meningginya presentasi bagian janin
 Nyeri di daerah parut
Diagnosis pasti ruptur uteri adalah dengan laparotomi. Namun, dari gejala
klinis dapat didiagnosis

21
Penatalaksanaan ruptur uterus antara lain adalah sesar darurat atas indikasi
gawat janin, terapi pendarahan ibu, dan perbaikan defek uterus atau histerektomi jika
perbaikan dianggap tidak mungkin.
Hal yang perlu diperhatikan dalam antisipasi terjadinya komplikasi kehamilan
maupun persalinan ini adalah sebagai berikut:
 Selama kehamilan perlu konseling mengenai bahaya persalinan pada parut
uterus.
 Tidak diperkenankan ibu bersalin di rumah atau Puskesmas pada kasus parut
uterus. Perlu diberitahukan bahwa resiko persalinan untuk terjadinya dehisens
dan ruptur uteri adalah tinggi, sehingga perlu dilakukan rujukan segera.
 Di rumah sakit perlu fasilitas yang memadai untuk menangani kasus seksio
sesarea emergensi dan dilakukan seleksi ketat untuk melakukan persalinan
dengan parut uterus.

22
BAB III
KESIMPULAN

Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup
dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar. Kehamilan dengan jaringan parut uterus
adalah kehamilan yang disertai riwayat seksio sesaria sebanyak satu kali atau lebih atau
pasca miomektomi pada kehamilan sebelumnya. Hal-hal yang perlu diketahui sebelum
memutuskan persalinan perabdominan atau pervaginam pada kehamilan dengan
jaringan parut uterus adalah indikasi seksio sesarea sebelumnya, berapa kali persalinan
dengan seksio sesarea, jenis sayatan, komplikasi operasi, dan riwayat persalinan.
Persalinan spontan lebih diharapkan pada wanita dengan riwayat SC. Namun,
penelitian yang telah dilakukan selama ini menyatakan bahwa induksi persalinan aman
selama terdapat indikasi pada ibu dan janin serta pasien merupakan kandidat yang
memenuhi syarat untuk VBAC.
Ruptura uteri merupakan komplikasi langsung yang dapat terjadi pada
persalinan dengan parut uterus, meskipun kejadiannya kecil, tapi dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin. Untuk menghindari terjadinya komplikasi
ini, kita harus dapat mengenali faktor risiko yang terdapat pada pasien sebelum
dilakukannya persalinan dengan parut uterus. Adapun faktor risiko tersebut adalah
riwayat persalinan, faktor ibu, dan karakteristik kehamilan saat ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro G.H, Saifuddin A.B., Rachimhadhi T. (2010). Ilmu Kebidanan,


ed.7. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta
2. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. (2008). Bagian/Staf Medik
Fungsional Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Denpasar
3. Valentina C. (2010). Persalinan Per Vaginam Pada Bekas SC. Exomed
Indonesia. Jakarta
4. Gabbe S.G., Niebyl J.R., Simpson, J.L. (2002). Obstetrics Normal and Problem
Pregnancies, ed.4. Churchill Livingstone, New Year.
5. Cunningham G.E., Gant N.F., Leveno K.J., Gilstrap L.C., Hauth J.C. (2001).
Williams Obstetrics, ed.21. Mc Graw Hill. New York.
6. Adenia I, Piliang S, Roeshadi R.H., Tala M.R.Z. (1999). Kehamilan dan
Persalinan Normal. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK USU/RSUD dr.
Pirngadi RSUP dr. Adam Malik. Medan
7. Madjid O.A, Soekir S, Wiknjosastro G.H, dkk. (2007). Asuhan Persalinan
Normal, ed.3. Jaringan Nasional Pelatihan Klinik. Jakarta.
8. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. (2002).
Jakarta

24

Anda mungkin juga menyukai