Anda di halaman 1dari 15

BAB I

KASUS

A. Identitas Pasien
1. Nama : Ny. S
2. Usia : 55 tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Alamat : Pesawahan
5. Status : Menikah
6. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
B. Keluhan Utama
Lambung terasa sakit
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Sacred seven :
1. Lokasi : Ulu hati
2. Onset/Kronologi : Nyeri sudah lebih dari satu bulan awal mulanya sudah minum
obat berjalan oleh dokter kemudian suatu hari pasien tidak makan seharian
sehingga nyeri kambuh
3. Kualitas : Sangat perih sehingga susah makan
4. Kuantitas : Sering kambuh-kambuhan
5. Faktor Pemberat : Ketika telat makan kemudian makan
6. Faktor Peringan : Minum obat lambung bentuk cair
7. Keluhan lain : Pusing
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Maag
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keterangan
F. Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi
Pasien tidak merokok
Tidur cukup
Makan-makanan pedas sangat suka
Menggunakan BPJS

1|Page
G. Hasil Pemeriksaan Fisik
a. Tanda Vital
Tekanan Daarah : 136/81 mmHg
Frekuensi Nafas : 18x/menit
Denyut Nadi : 100x/menit
Suhu : 36,8
Berat Badan :-
Tinggi Badan :-
b. Pemeriksaan Kepala
Anemis (+)
Ikterik (-)
Oedema (-)
Deviasi (-)
c. Pemeriksaan Thorax
Inspeksi : simetris (+), kelainan bentuk (-), sikatriks (-)
Palpasi : vocal fremitus (+), ketertinggalan salah satu rongga dada (-)
Perkusi : sonor seluruh lapang paru (+), redup SIC IV-V linea
midclavicula sinistra (+)
Auskultasi : bunyi vasikuler (+), wheezing (-), ronkhi (-)
d. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : simetris (+), kelainan bentuk (-), caput medusa (-), hernia
umbilical (-)
Auskultasi : bising usus normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : nyeri region epigastrik (+)
e. Pemeriksaan Ekstremitas
Tidak ada edema ekstremitas
Akral hangat
H. Pemeriksaan Penunjang
Tidak didapatkan hasil
I. Terapi
- Infus RL 20 tetes/menit - Antasida 3x1
- Injeksi Ranitidin 2x1 - Vitamin B12 1X1
- Injeksi Dimenhydrinate 3x20

2|Page
BAB II

DASAR TEORI DAN PEMBAHASAN

A. Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah
makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan
sendawa. Untuk Dyspepsia fungsional,keluhan tersebut di atas harus berlangsung
setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum
diagnosis ditegakkan.
Dispepsia menurut kriteria Roma lll adalah suatu penyakit dengan satu atau
lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
- Nyeri epigastrium
- Rasa terbakar di epigastrium
- Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
- Rasa cepat kenyang

Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir
dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. KriteriaRoma lll
membagi dyspepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain syndrome
dan post prandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa
terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dyspepsia (Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Dispesia dan infeksi Helicobacter pylori, 2014).

B. Faktor Resiko
Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat organik
dan fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain karena terjadinya gangguan
di saluran cerna atau di sekitar saluran cerna, seperti pankreas, kandung empedu dan
lain-lain. Sedangkan penyakit yang bersifat fungsional dapat dipicu karena faktor
psikologis dan faktor intoleran terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu
(Abdullah dan Gunawan, 2012).
Faktor-faktor yang menyebabkan dispepsia adalah :

3|Page
1. Gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal dari saluran pencernaan bagian
atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas).
2. Menelan terlalu banyak udara atau mempunyai kebiasaan makan salah
(mengunyah dengan mulut terbuka atau berbicara).
3. Menelan makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dapat membuat lambung terasa
penuh atau bersendawa terus.
4. Mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa memicu timbulnya dispepsia,
seperti minuman beralkohol, bersoda (soft drink), kopi. Minuman jenis ini dapat
mengiritasi dan mengikis permukaan lambung.
5. Obat penghilang nyeri seperti Nonsteroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID)
misalnya aspirin, Ibuprofen dan Naproven.
6. Pola makan
Di pagi hari kebutuhan kalori seseorang cukup banyak sehingga bila tidak
sarapan, lambung akan lebih banyak memproduksi asam. Tuntutan pekerjaan
yang tinggi, padatnya lalu lintas, jarak tempuh rumah dan kantor yang jauh dan
persaingan yang tinggi sering menjadi alasan para profesional untuk menunda
makan (Rani, 2011).

C. Patofisiologi
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis
terjadinya dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam lambung, dismotilitas
gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor
lingkungan, psikologis (Djojoningrat, 2009).
a) Sekresi Asam Lambung
Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah lambung setiap
hari. Getah lambung ini mengandung berbagai macam zat. Asam hidroklorida
(HCl) dan pepsinogen merupakan kandungan dalam getah lambung tersebut.
Konsentrasi asam dalam getah lambung sangat pekat sehingga dapat
menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung
tidak mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang
merupakan faktor pelindung lambung (Ganong, 2008).
Kasus dengan dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas
mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut
(Djojoningrat, 2009).

4|Page
Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan
yang tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit
untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini
berlangsung dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan
sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung (Rani, 2011).
b) Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50%
kasus), gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster.
Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus
dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80%
kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh
di ulu hati (Djojoningrat, 2009).
Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan gejala dispepsia
dan merupakan faktor penyebab yang mendasari dalam dispepsia fungsional.
Gangguan pengosongan lambung dan fungsi motorik pencernaan terjadi pada sub
kelompok pasien dengan dispepsia fungsional. Sebuah studi meta-analisis
menyelidiki dispepsia fungsional 26 dan ganguan pengosongan lambung,
ditemukan 40% pasien dengan dispepsia fungsional memiliki pengosongan lebih
lambat 1,5 kali dari pasien normal (Chan & Burakoff, 2010).
c) Hipersensitivitas viseral
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,
reseptor mekanik, dan nociceptor (Djojoningrat, 2009). Beberapa pasien dengan
dispepsia mempunyai ambang nyeri yang lebih rendah. Peningkatan persepsi
tersebut tidak terbatas pada distensi mekanis, tetapi juga dapat terjadi pada respon
terhadap stres, paparan asam, kimia atau rangsangan nutrisi, atau hormon, seperti
kolesitokinin dan glucagon-like peptide. Penelitian dengan menggunakan balon
intragastrik menunjukkan bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah timbul
rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang
lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi
kontrol (Djojoningrat, 2009).
d) Gangguan akomodasi lambung
Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi
fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung.

5|Page
Akomodasi lambung ini dimediasi oleh serotonin dan nitric oxide melalui saraf
vagus dari sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia 27
fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus postprandial pada 40%
kasus dengan pemeriksaan gastricscintigraphy dan ultrasound (USG) (Chan &
Burakoff, 2010).
e) Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori terdapat sekitar 50% pada
dispepsia fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai
terdapat kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia
fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif
baku (Djojoningrat, 2009).
f) Diet
Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia
fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan
karena adanya intoleransi terhadap beberapa makanan khususnya makanan
berlemak yang telah dikaitkan dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan
prevalensi yang dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk rempah-rempah,
alkohol, makanan pedas, coklat, paprika, buah jeruk, dan ikan (Chan & Burakoff,
2010).
g) Faktor psikologis
Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan antara
dispepsia fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya stres akut dapat
mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetusakan keluhan pada orang
sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului
mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres
kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih kontroversial (Djojoningrat, 2009).

D. Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan/ gejala yang
dominan menjadi tiga tipe yakni (Mansjoer, et al, 2007):
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida

6|Page
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)

E. Penegakan Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan tambahan, seperti
pemeriksaan radiologis dan endoskopi. Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar pola
dispepsia yang dikenal yaitu :
 Dispepsia tipe seperti ulkus (gejalanya seperti terbakar, nyeri di epigastrium
terutamasaat lapar/epigastric hunger pain yang reda dengan pemberian
makanan, antasida danobat antisekresi asam)
 Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual,
kembung dananoreksia)
 Dispepsia non spesifik

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah ada
nyanyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan
organic ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik,
sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun,dipikirkan kecurigaan ke
arah dyspepsia fungsional. Penting diingat bahwa dyspepsia fungsional merupakan
diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar
dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satusistem
penggolongan, dispepsia fungsional diklasifikasikan ke dalam ulcer-like dyspepsia
dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2
subklasifikasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifik.

7|Page
Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara
dyspepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan
menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan
tanda-tanda bahaya. Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam American Journal
of Gastroenterology, menegaskan kriteria diagnostik dispepsia fungsional seperti
tertera pada boks 1.

Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih dengan IBS. Pasien IBS,


khususnya denganpredominan konstipasi, mengalami keter-lambatan pengosongan
lambung sehinggaakhirnya disertai pula dengan gejala-gejalasaluran pencernaan
bagian atas yang menyerupai gejala dispepsia. Sebaliknya, pada pasien dispepsia,
sering kali juga disertai dengan gejala-gejala saluran pencernaan bawah yang
menyerupai IBS. Untuk membedakannya, beberapa ahli mengemukakan sebuah

8|Page
cara, yakni dengan meminta pasien menunjuk lokasi di perut yang terasa paling
nyeri dengan lokalisasi ini, kedua entitas tersebutdapat didiferensiasi.

F. Penatalaksanaan
Tatalakana dyspepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan
faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dyspepsia sudah dapat dimulai
berdasarkan sindroma klinis yakni dominan (belum diinvestigasi) dan dilanjutkan
sesuai hasil investigasi.
a. Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tatalaksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik
selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp.
Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan
Hp harus dilakukan lebih awal.
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPl
misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-ReceptorAntogonist
[H2RA]), prokinetik dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), dimana pilihan
ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya.
Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation
proton pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari PPl,
yaitu DLBS 2411.
Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat
diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya.
Test and treat dilakukan pada:
- Pasien dengan dyspepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon terhadap
perubahan gaya hidup, antasida, pemberian PPI tunggal selama 2-4 minggu dan
tanpa tanda bahaya.
- Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum pernah
diperiksa.
- Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus gastroduodenal.
- Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura trombositopenik
idiopatik dan defisiensi vitamin B12.
Test and treat tidak dilakukan pada:
- Penyaki trefluks gastroesofageal (GERD)
- Anak-anak dengan dyspepsia fungsional.

9|Page
b. Dispepsia yang telah diinvestigasi

Pasien-pasien dyspepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empiril


melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau
tanpa pemerikaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dyspepsia fungsional.
Setelah investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus
dyspepsia ditemukan GERD sebagai kelainannya.

c. Dispepsia organik

Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosaldamage) sesuai hasil endoskopi, terapi


dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam
kelompok dyspepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik duodenitis,
ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus
gaster dan/atau ulkus duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPl,
misal rabeprazole 2x20 mg/lanzoprazole 2x30 Mg dengan mukoprotektor, misalnya
rebamipide 3x100mg.

d. Dispepsia fungsional

Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakanmukosa,terapi


dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Penggunaan prokinetik
seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat
memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dyspepsia fungsional. Hal
ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi
dispepsi fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh
karena potensi komplikasi kardiovaskular.

Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan


dyspepsia fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini
menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dispepsia fungsional yang
mendapatkan agonis 5-HT1 dibandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin,
penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang lebih
baik dibanding plasebo.

10 | P a g e
Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin sentral
mungkin merupakan factor penting dalam respon terhadap terapi antidepresan pada
pasien dispepsia fungsional.

e. Tatalaksana dyspepsia dengan infeksi Hp

Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap gejala


dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectional pada 21 Pasien di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010) didapatkan bahwa terapi eradikasi memberikan
perbaikan gejala pada mayoritas pasien dyspepsia dengan persentase perbaikan gejala
sebesar 76% dan 81% penernuan Hp negatif yang diperiksa dengan UBT.

Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi
eradikasi Hp dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin)
selama 7 hari lebih baik dari terapi selama 5 hari.

11 | P a g e
G. Komplikasi
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun dapat memicu adanya
komplikasi yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi dispepsia yaitu luka di
dinding lambung yang dalam atau melebar tergantung berapa lama lambung terpapar
oleh asam lambung. Bila keadaan dispepsia ini terus terjadi luka akan semakin dalam
dan dapat menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan
terjadinya muntah darah di mana merupakan pertanda yang timbul belakangan.
Awalnya penderita pasti akan mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih
dulu yang artinya sudah ada perdarahan awal. tapi komplikasi yang paling dikuatirkan
adalah terjadinya kanker lambung yang mengharuskan penderitanya melakukan
operasi (Wibawa, 2006).
H. Prognosis
Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki
prognosis kualitas hidup lebih rendah disbanding kandengan individu dengan
dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat jugalebih sering dialami
oleh individu dispepsiafungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien
dispepsia fungsional, terutamayang refrakter terhadap pengobatan, memiliki
kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris.
I. Pembahasan
Dari hasil studi kasus, penulis mendapatkan hasil bahwa keluhan pasien ada
pada nyeri ulu hati dimana nyeri ulu hati sering dikaitkan dengan keluhan Dyspepsia,
GERD, Gastritis, Ulkus. Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien akan kambuh
apabila telat makan atau pada saat makan. Pasien juga mengeluhkan pusing dan
kesakitan serta terlihat anemis. Kemudian pasien diminta untuk cek darah lengkap
oleh dokter. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
kemudian dokter mendiagnosis Dispepsia.
Dasar diagnosis dokter adalah pasien mengeluhkan nyeri ulu hati ketika
terlambat makan, saat makan pasien mengaku kesulitan karena rasa tidak nyaman di
dada. Pasien pernah mengkonsumsi obat lambung sebelumnya karena memiliki
riwayat maag. Dari hasil pemeriksaan fisik pasien ada nyeri tekan pada region
epigastrik, dan tidak ada alarm sign seperti penurunan berat badan (unintended),
disfagia progresif, muntah rekuren atau persisten, perdarahan saluran cerna, anemia,
demam, massa daerah abdomen bagian atas, riwayat keluarga kanker lambung, dan
dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun. Kemudian dokter memberikan

12 | P a g e
infus RL untuk memenuhi kebutuhan cairan. Kemudian menggunakan obat golongan
antagonis H2 yaitu ranitidine dimana efeknya adalah menurunkan produksi sekresi
HCL, obat yang berikutnya adalah dimenhydrinate yang merupakan antihistamin yang
bekerja untuk mencegah mual muntah. Selanjutnya dokter memberikan obat Antasida
yang digunakan untuk menetralkan kadar asam di lambung. Dan obat yang terakhir
adalah vitamin B12 untuk motilitas usus. Pada kasus Ny. S dokter tidak memberikan
obat golongan jenis PPI, dimana pada umumnya pasien Dispepsia akan diberikan obat
golongan PPI.

13 | P a g e
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian
atas.
2. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut
yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan,
cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan
sendawa.
3. Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat organik dan
fungsional.
4. Penyakit yang bersifat organik antara lain karena terjadinya gangguan di saluran
cerna atau di sekitar saluran cerna, seperti pankreas, kandung empedu dan lain-
lain.
5. Penyakit yang bersifat fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor
intoleran terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu

B. Saran
Pasien harus memperbaiki pola makannya dan jangan sampai telat makan atau tidak
makan, lalu pasien juga harus mengurangi kebiasaan konsumsi makan-makanan
pedas, bersoda, makan-makanan berasa asam. Setelah pasien pulang dari rawat inap,
pasien sebaiknya menghabiskan obat yang telah diberikan dokter sampai habis agar
pasien benar-benar sembuh. Apabila suatu saat pasien kambuh, baiknya pasien
dilakukan endoskopi untuk melihat apakah ada ulkus atau perdarahan pada saluran
pencernaannya atau tidak.

14 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M, Gunawan J (2012). Dispepsia. CDK, 39(9): 647-51.


Chan WW, Burakoff R. Functional (Nonulcer) dyspepsia. In: Greenberger, Norton J. Current
Diagnosis & Treatment Gastroenterology, Hepatology, & Endoscopy. Philadelphia:
Mc Graw Hill; 2010. pp. 203-206
Djojoningrat D (2009). Dispepsia fungsional. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Ed 5. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 529-33.
Djojoningrat D (2009). Pendekatan klinis penyakit gatrointestinal. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Ed 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, pp: 441-6.
Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-22. Jakarta: EGC; 2008. 14.
Rani AA, Fauzi A (2009). Infeksi helicobacter pylori dan penyakit gastroduodenal.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Ed 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 501-8.
Rani AA, Jacobus A. Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta Pusat: Interna Publishing; 2011.

15 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai