Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

PASIEN DENGAN MORBUS HANSEN TIPE LL


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Rumah Sakit Umum Daerah Abepura

Oleh :
Jelita Lani Kogoya

Pembimbing :
dr. Inneke Vivi Sumolang Sp.KK

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABEPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................................. 3
I. Definisi.............................................................................................................................................. 3
II. Sinonim ............................................................................................................................................. 3
III. Epidemiologi ..................................................................................................................................... 3
IV. Etiologi.............................................................................................................................................. 3
V. Patofisiologi ...................................................................................................................................... 3
VI. Manifestasi Klinis ............................................................................................................................. 4
VII. Penegakkan Diagnosis ...................................................................................................................... 6
VIII. Diagnosis Banding ............................................................................................................................ 8
IX. Terapi ................................................................................................................................................ 8
X. Komplikasi ...................................................................................................................................... 11
BAB III LAPORAN KASUS ..................................................................................................................... 13
i. Identitas ........................................................................................................................................... 13
ii. Keluhan Utama ............................................................................................................................... 13
iii. Riwayat Penyakit Sekarang ............................................................................................................ 13
iv. Riwayat Penyakit Terdahulu ........................................................................................................... 13
v. Riwayat Penyakit Keluarga ............................................................................................................. 13
vi. Riwayat Sosial-Ekonomi................................................................................................................. 13
vii. Pemeriksaan Fisik ........................................................................................................................... 14
viii. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................................................. 15
ix. Resume ............................................................................................................................................ 16
x. Diagnosa ......................................................................................................................................... 16
xi. Tatalaksana ..................................................................................................................................... 16
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................................................... 17
BAB V KESIMPULAN .............................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 21
BAB I
PENDAHULUAN

Kusta adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh asam basa, batang berbentuk bacillus
Mycobacterium leprae. Kusta dapat dianggap 2 penyakit terhubung yang terutama
mempengaruhi jaringan superfisial, terutama pada kulit dan saraf perifer. Awalnya, infeksi
mikobakteri menyebabkan beragam respons kekebalan seluler. Peristiwa imunologis ini
kemudian menimbulkan bagian kedua dari penyakit ini, neuropati perifer dengan konsekuensi
potensial jangka panjang.
Efek sosial dan psikologis kusta, serta kelemahan dan sekuel yang sangat terlihat, telah
menghasilkan stigma sejarah yang terkait dengan penyakit kusta. Untuk meminimalkan
prasangka terhadap penderita kusta, kondisinya juga dikenal sebagai penyakit Hansen,
dinamai G.A. Hansen, yang dikreditkan dengan penemuan 18 tahun M leprae. Mycobacterium
ini tumbuh sangat lambat dan belum berhasil dibiakkan secara in vitro.
Pada tahun 1990an, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan kampanye untuk
menghilangkan penyakit kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000.
Eliminasi, sebagaimana didefinisikan oleh WHO, didefinisikan sebagai pengurangan pasien
kusta yang membutuhkan terapi multidrug sampai kurang dari 1 per 10.000 populasi. Tujuan
ini dicapai dalam hal prevalensi global pada tahun 2002. Pada tahun 2014, tidak satu pun dari
122 negara di mana kusta endemik pada tahun 1985 masih memiliki tingkat prevalensi lebih
dari 1 per 10.000 penduduk.
Meskipun rejimen multidrug telah digunakan secara global untuk menyembuhkan hampir
14 juta pasien kusta sejak tahun 1985, jumlah kasus kusta baru tetap relatif tidak berubah dari
tahun 1980 sampai 2000, berkisar antara 500.000-700.000 di seluruh dunia per tahun. Antara
tahun 2001 dan 2006, kejadian kusta global tiba-tiba menurun, terutama karena pengurangan
kasus baru di India. Ada perdebatan mengenai apakah penurunan di India ini mencerminkan
kemajuan sejati terhadap penyakit atau gangguan deteksi kasus aktif.
Tujuan WHO pada akhir 2015 adalah untuk mengurangi tingkat kasus baru dengan tingkat
kecacatan di seluruh dunia setidaknya 35%. Ini akan dilakukan dengan memberlakukan
aktivitas untuk mengurangi keterlambatan dalam mendiagnosis penyakit dan mengaktivasi

1
pengobatan dengan terapi multidrug. Ini juga akan berdampak pada penurunan penularan
penyakit di masyarakat. Hasil usaha ini belum dipublikasikan. Akses dan penyaluran
antibiotik terus menjadi masalah di negara-negara yang paling endemik. Dengan mekanisme
transmisi kusta yang masih belum diketahui dan kekurangan vaksin yang efektif, kusta
mungkin akan terus menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang terus berlanjut dalam
beberapa dekade mendatang.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.

II. Sinonim
Lepra, Kusta

III. Epidemiologi
Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Dapat menyerang semua umur, anak-anak
lebih rentan dari pada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14
tahun didapatkan ± 13%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Kusta terdapat
diseluruh dunia, terutama Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropis, serta
masyarakat yang social ekonominya rendah.

IV. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae, ditemukan oleh G.A HANSEN. M. leprae
berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm, tahan asam dan alkohol serta positif-gram.

V. Patofisiologi
Masuknya M. leprae sampai menimbulkan gejala dan tanda dapat mencapai 3-20 tahun.
Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwan yang terletak di perineum, karena
basil kusta suka daerah yang dingin yang dekat dengan dengan kulit dengan suhu sekitar 27-
30 0C. Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk dari protein 21 KD, yang
mampu berikatan dengan reseptor yang dipunyai sel schwann yaitu laminin -2 G receptor
sejenis -dystroglycam. Kemampuan adesi tersebut merupakan cara invasi basil kusta pada
perineum, sel schwan sendiri merupakan sejenis fagosit yang bisa menangkap antigen seperti
M. leprae, tetapi tidak dapat menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC
klas II yang mampu berikatan dengan CD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang
biak di sel Schwann. Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta

3
dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua) aspek
yaitu imunitas non-sepesifik dan spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit dan
membersihkan dari semua yang tidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated Immunity
sebagai proteksi kedua tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi antigen dari M. leprae.
Ternyata makrofag mampu menelan M. leprae tetapi tidak mampu mencernanya. Limfosit
akan membantu makrofag untuk menghasilkan enzim dan juices agar proses pencernaan dan
pelumatan berhasil. Kusta dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, tergantung pada
respon host terhadap organisme. Individu yang memiliki respon kekebalan seluler yang kuat
terhadap M leprae memiliki bentuk penyakit tuberkuloid yang biasanya melibatkan kulit dan
saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas, dan cenderung kering dan hypoesthetic. Keterlibatan
saraf biasanya asimetris. Bentuk penyakit ini juga disebut sebagai kusta pausibasillar karena
rendahnya jumlah bakteri pada lesi kulit (yaitu, <5 lesi kulit, dengan tidak adanya organisme
pada smear). Hasil tes kulit dengan antigen dari organisme terbunuh positif pada individu
tersebut.
Individu dengan respon imun seluler minimal memiliki bentuk penyakit lepromatous,
yang ditandai dengan keterlibatan kulit yang luas. Lesi kulit sering digambarkan sebagai
nodul dan plak infiltrasi, dan keterlibatan saraf cenderung simetris dalam distribusi.
Organisme ini tumbuh paling baik pada suhu 27-30 ° C; Oleh karena itu, lesi kulit cenderung
berkembang di daerah yang lebih dingin di tubuh, seperti selangkangan, aksila, dan kulit
kepala. Bentuk penyakit ini juga disebut sebagai kusta multibasiler karena banyaknya bakteri
yang ditemukan di lesi (yaitu 6 lesi, dengan kemungkinan visualisasi bacilli pada smear).
Hasil tes kulit dengan antigen dari organisme terbunuh tidak bereaksi. Pasien juga dapat
hadir dengan fitur dari kedua kategori; Namun, seiring berjalannya waktu, mereka biasanya
berevolusi menjadi satu atau lainnya (kusta yang tidak pasti atau batas).

VI. Manifestasi Klinis


Bila M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, maka dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan pasien. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infiltrat saja, atau keduanya.
Pada Kusta tuberkoloid(TT), lesi awal sering berupa makula hipopigmentasi yang
ditandai dengan tajam yang berbentuk ovoid, melingkar, atau serpiginous. Lesi mungkin

4
agak meningkat dengan pusat bersisik kering dan batas eritematosa. Lokasi lesi biasanya
pada permukaan bokong, wajah, dan ekstensor anggota badan. Perineum, kulit kepala, dan
aksila biasanya tidak dilibatkan karena perbedaan suhu di zona ini,karena predileksi menuju
zona dingin. Seiring perkembangan penyakit ini, lesi cenderung merusak organ kulit normal
seperi kelenjar keringat dan folikel rambut. Saraf superfisial yang mencegah dari lesi
cenderung membesar dan terkadang teraba. Pasien mungkin mengalami nyeri nueropatik.
Saraf superfisial yang mengarah dari lesi cenderung membesar dan terkadang teraba. Pasien
mungkin mengalami nyeri neuropatik parah. Keterlibatan saraf juga bisa menyebabkan
trauma dan atrofi otot.
Pada Kusta Lempermatosa, Bentuk ini ditandai dengan keterlibatan kutaneous bilateral
yang simetris secara luas, yang dapat mencakup makula, nodul, plak, atau papula. Beberapa
lesi hipopigmented datar pada bahu dan leher, menunjukkan kusta multibasiler. Seperti lesi
pada kusta tuberkuloid, kusta lepromatosa memiliki batas yang tidak jelas dan pusat yang
terangkat dan diinduksi. Lokasi yang umum yaitu wajah, telinga, pergelangan tangan, siku,
pantat dan lutut. Kehilangan alis dan bulu mata, dan keruntuhan hidung sekunder akibat
perforasi septa dapat terjadi pada kasus penyakit lanjut.
Tipe Tuberkuloid (TT), lesi ini mengenai kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau
beberapa dan dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing, dapat bersisik dengan tepi yang
meninggi. Disertai dengan penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan
sedikit rasa gatal. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT), lesi menyerupai tipe TT yaitu berupa
makula atau plakat yang disertai satelit ditepinya, lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat
saraf perifer yang menebal, jumlah dapat 1 atau beberapa, namun hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT.
Tipe Mid Borderline (BB), merupakan tipe yang tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk
dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi bervariasi, dapat berupa makula infiltrate dengan
permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Khasnya adalah lesi punched
out (lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas). Tipe Borderline
Lepromatosus (BL), Makula yang awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar keseluruh
badan, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi yang hamper simetris dan beberapa
nodul tampak melekuk dibagian tengah. Lesi tengah sering tampak normal dengan infiltrasi

5
dipinggir dan beberapa tampak seperti punched out, tanda kerusakan saraf lebih cepat
muncul. Tipe Lepromatous Leprosy (LL), Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan
halus, lebih eritem, berkilap, batas tidak tegas dan stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Lesi kulit biasanya berupa hipopigmentasi atau hiperpigmentasi, lokasi lesi khas
pada wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan badan pada daerah yang
dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Stadium lanjut, tampak
penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonine, madarosis, iriris,
keratitis, pembesaran KGB, deformitas pada hidung. Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia.

VII. Penegakkan Diagnosis


a. Pemeriksaan Fisik, harus mencakup hal-hal berikut :
1. Evaluasi lesi kulit
2. Pemeriksaan sensorik dan motorik yang cermat
3. Palpasi saraf perifer untuk nyeri atau pembesaran, dengan perhatian khusus diberikan
pada lokasi berikut
 N.ulnaris
- Anestesian pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
- Clawing kelingking dan jari manis
- Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
 N.medianus
- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- Tidak mampu aduksi ibu jari
- Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- ibu jari kontraktur
- Atropi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
 N.radialis
- Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
- Tangan gantung
- Tak mampu eksitasi jari-jari pergelangan tangan

6
 N. poplitea lateralis
- Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
- Kaki gantung
- Kelemahan otot peroneus
 N. Tibialis posterior
- Anestesia telapak kaki
- Claw toes
- Paralisis otot instrisik kaki dan kolaps arkus pedis
 N.fasialis
- Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
- Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir.
 N.trigeminus :
- Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
- Atropi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
b. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemerikasaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan bakterioskopi digunakan untuk mebantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit yang atau usapan dan
kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam
(BTA), antara lain dengan ZIEHL- NEELSEN. Bakterioskopi negatif pada seorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M.leprae.
2. Pemeriksaan histopatoligik
Makrofag bertugas untuk proses fagositosis, akibat masuknya kuman (M.leprae) akan
bergantung pada sistem imunitas selular (SIS). Jika SIS menurun, histosit tidak dapat
menghancurkan M.leprae yang ada didalamnya, malah menjadi tempat berkembang
biaknya, Datangnya histosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dan
adanya faktor kemotaktik. Jika makrofag berlebihan dan tidak ada yang difagosit maka
akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan dapat berubah menjadi
sel datia Langhans. Massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit disebut
tuberkel dimana dapat menjadi penyebab utama kecacatan dan kerusakan jaringan.

7
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivatnya, gambaran histopatologik tipe
tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan syaraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau
hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi sub epidermal
(subepidermal clear zone) dan didapati sel Virchow.
3. Pemeriksaan serologi
Kegunaannya adalah untuk membantu diagnosis kusta yang meragukan karena tanda
klinis dan bakteriologik tidak jelas. Dan dapat membantu menentukan kusta subklinis,
karena tidak didapati lesi kulit.

VIII. Diagnosis Banding


Dermatofitosis, Tinea Versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, Dermatitis seboroik,
psoriasis, neurofibromatosis, granula anulare, xantomatosis, scleroderma, leukemia kutis,
tuberkulosis kutis verukosa, birth mark.

IX. Terapi
a. Farmakoterapi
Obat yang paling banyak digunakan saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon)
kemudian Klofazimin, dan Rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat
antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.
1. DDS (diaminodifenil sulfon)
Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasiler, tetapi tidak pada pausibasilar oleh
karena EIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative singkat. Resistensi
terhadap DDS dapat primer maupun sekunder resistensi primer, terjadi bila orang di
tulari oleh M.leprae yang telah resisten, dan manifestasinya dapat dalam berbagai tipe
(TT, BT, BB, BL, LL) bergantung pada EIS penderita derajat resistensi yang rendah
masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi sedangkan pada derajat
resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi resistensi sekunder terjadi oleh
karena : - monoterpi DDS
- Dosis terlalu rendah
- Minum obat tidak teratur
- Minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya
- Pengobatan terlalu lama selama 4 – 24 thn

8
Efek samping DDS nyeri kelapa, erupsi obat,anemia hemolitik, lekopenia, insomnia,
neoropatik perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis,
hipoalbuminea, dan methemoglobinea.
2. Klofazimin
Dosis untuk obat kusta 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari atau 3x100 mg
setiap minggu. Dapat berupa anti-inflamasi untuk penanggulangan ENL dengan dosis
lebih yaitu 200 mg-300 mg / minggu, namun baru dapat bekerja setelah 2-3 minggu.
Efek sampingnya adalah warna merah kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan
pada sklera, namun pigmentasi ini bersifat reversible setelah obat hentikan.
Klofazimin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem
retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Untuk penggunaan dalam dosis tinggi
didapatkan efeknya adalah nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus serta
penurunan berat badan.
3. Rifampisin
Merupakan salah satu komponen untuk kombinasi DDS. Dosis 10 mg/kgbb diberikan
setiap hari atau setiap bulan. Tidak boleh diberikan sebagai monoterapi karena dapat
menyebabkan resistensi. Mengingat efeknya, tidak boleh diberikan setiap minggu
atau 2 minggu. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.

Obat alternatif

1. Ofloksasin merupakan turunan fluorouinolon yang paling aktif terhadap


mikrobacterium lepra infitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. dosis tunggal yang
diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman mikrobakterium lepra hidup
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, muntah, diare dan gangguan saluran
cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri
kepala, dizziness dan unsteadiness.
2. Klaritomisin merupakan kelompok antibiotik makrolit dan mempunyai aktifitas
bacterisida terhadap miko-bacterium lepra pada tikus dan manusia. Pada penderita
kusta lepro matosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam
28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, fomitus,

9
dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000
mg.
Cara pemberian MDT :
1. MDT untuk multibasiler (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) adalah :
- rifampisin 600mg setiap bulan, dalam pengawasan
- DDS100mg setiap hari
- klofazimin 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari atau
100mg selama sehari atau 3×100mg setiap minggu
2. MDT untuk pausibasilar (I,TT, TB, dengan BTA negatif) adalah
- rifampisin 600mg setiap bulan , dengan pengawasan
- DDS 100mg setiap hari

Pengobatan ENL

Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, anatara lain prednisone.
Dosis bergantung apda berat ringannya reaksi, biasanya prednisone 15-30 mg sehari
kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila
reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan.

Pengobatan reaksi reversal

Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan kalau ada neuroritis akut, obat
pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga diseusaikan dengan berat
ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya
1. Pemberian prednison
Minggu pemberian Dosis harian yang dianjurkan

Minggu 1 – 2 40 mg
Minggu 3 – 4 30 mg
Minggu 5 – 6 20 mg
Minggu 7- 8 15 mg
Minggu 9 – 10 10 mg

10
Minggu 11 – 12 5 mg
2. Pemberian lamperen
ENL yang berat dan berkepanjangan dan terdapat ketergantungan pada steroid
(pemberian prednisone tidak dapat diturunkan sampe 0) , perlu ditambahkan lampren,
untuk dewasa 300 mg / hari selama 2- 3 bulan. Bila ada perbaikkan turunkan menjadi
200 mg/ hari selama 2 sampe 3 bulan. Bila ada perbaikkan turunkan menjadi 100
mg/hari selama 2-3 bulan dan selanjutkan kembali kedosis lamperen semula, 50
mg/hari, bila penderita masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila penderita sudah
dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis prednisone diturunkan secara bertahap.
b. Non Farmakologi
1. Perawatan Bedah, Tujuan adalah untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, memperbaiki
fungsi motorik, dan pada beberapa kasus, untuk meningkatkan sensasi.
2. Kontraktor tangan, seperti jempol web contracture, bisa diperbaiki dengan Z-plasty, dan
stabilitas sendi bisa diperbaiki dengan tenodesis.
Penyempitan akibat luka berulang dan penyembuhan pada penderita kusta dapat diobati
dengan beberapa metode. Pilihan pengobatan yang mungkin termasuk pengangkatan
atap terowongan karpal, trasposisi saraf ulnaris anterior dan epikondilektomi
3. Prosedur Mata, Kehilangan fungsi kelopak mata dapat diobati dengan melewati strip
dari otot temporalis melalui kelopak mata dan menghubungkannya dengan canthus
bagian dalam. Tarsorrhaphy dapat membantu mempersempit pembukaan kelopak mata,
dan canthoplasty mengurangi kelopak mata yang kendur.
4. Bedah Kosmetik
- Rekonstruksi hidung
- Penghapusan kelebihan kulit
- Penggantian alis menggunakan transplantasi rambut kulit kepala
- Penghapusan pembentukan jaringan payudara akibat ginekomastia

X. Komplikasi
Perhatian yang seksama terhadap perkembangan reaksi pembalikan selama perawatan dan
penanganan yang tepat dan tepat akan meminimalkan sekuele neurologis jangka panjang.

11
a. Reaksi tipe 1
Adalah reaksi hipersensitivitas tipe tertunda yang timbul saat kusta garis batas
bergeser ke kusta lepromatosa batas dengan pengobatan. Jenis reaksi ini mencerminkan
perkembangan respon imun yang tepat dan generasi lokal faktor nekrosis tumor-alfa dan
interferon-gamma. Reaksi ini ditandai dengan edema dan eritema lesi kulit yang ada,
pembentukan lesi kulit baru, neuritis, dan kehilangan sensorik dan motorik tambahan.
Kemungkinan reaksi tipe 1 pada pasien dengan kusta batas adalah 30%. Pengobatan
meliputi obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan steroid dosis tinggi. Prednison
diberikan pada dosis 40-60 mg / hari dengan penurunan lancip 5 mg setiap 2-4 minggu
setelah perbaikan ditunjukkan.
b. Reaksi tipe 2
Eritema nodosum leprosum (ENL), juga dikenal sebagai reaksi lepra tipe 2,
merupakan komplikasi kusta lepromatosa. Hal ini ditandai dengan perkembangan nodul
subkutan yang meradang disertai demam, limfadenopati, dan artralgia. Tingkat tinggi
faktor nekrosis tumor-alfa dan deposisi kompleks imun dikaitkan dengan ENL. [12]
Pengobatan meliputi prednisolone, clofazimine, atau thalidomide.
XI. Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah
manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki.
Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis,
oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary
amyloidosis dengan gagal ginjal yang dapat menjadi komplikasi.

12
BAB III
LAPORAN KASUS

i. Identitas
a. Nama : Tn. J N
b. Umur : 50 Tahun
c. Alamat : Skyline
d. Pekerjaan : PNS
e. Status pernikahan : Sudah menikah
f. Status pendidikan : SMA
g. Tinggal bersama : Isteri dan anak-anak

ii. Keluhan Utama


Bengkak pada wajah, tangan dan kaki

iii. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan bengkak pada wajah, tangan dan kaki. Bengkak muncul
sejak ± 3 bulan yang lalu. pertama kali bengkak muncul pada pipi sebelah kiri, lalu
menyebar kewajah, tangan dan kaki. Bengkak terasa gatal dan terasa nyeri terutama saat
ditekan. Bengkak tidak terasa panas, namun tampak memerah.

iv. Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat Alergi
(makanan, udara, obat) disangkal, Diabetes Melitus disangkal, Hipertensi disangkal.
Riwayat obat : sekitar 2 minggu yang lalu pasien pernah pergi ke puskesmas dengan
keluhan yang sama, lalu diberi obat Alergi namun pasien lupa nama obatnya.

v. Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengaku dikeluarga tidak memiliki keluhan yang sama dengan pasien.

vi. Riwayat Sosial-Ekonomi


Pasien sudah berkeluarga, tinggal bersama istri dan anaknya. Pasien mengaku baik dirumah
maupun lingkungan sekitar yang kontak erat dengan pasien, tidak ada yang menunjukkan
gejala seperti yang dialami pasien.

13
vii. Pemeriksaan Fisik
Kepala : Sklera tidak ikterik, Konjungtiva tidak anemis, terdapat nodus eritem

Leher : Tidak ada pembesaran KGB

Thoraks : Simetris, Ikut gerak nafas

Pulmo : Suara Nafas Vesikular (+/+), Whezzing (-), Rhonki (-)

Cor : BJ I-II Regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen : Supel, datar, Nyeri tekan tidak ada, bising usus normal

Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Tampak nodul eritema berbatas tidak tegas

Status Generalis :

Lokasi : Regio Fasialis, Regio Antebrachi, Regio Brachi, Regio Cruris

Distribusi : Simetris, Jumlah > dari 5

Bentuk : Nodus

Batas : berbatas tegas

Efloresensi : Nodus eritema dengan batas tegas, permukaan licin

14
viii. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan BTA MH, tanggal 25/7/2018

Tes : BTA MH

Sampel : Serum

Hasil : Tidak ditemukan basil tahan asam MH

Nilai rujukan : Negatif

Kesan : Belum menyingkirkan adanya infeksi basil tahan asam (MH)

Pemeriksaan BTA MH, tanggal 30/7/2018

Pemeriksaan : BTA MH

Hasil : Bercak : BTA 2+ (Solid 0-4/LP, Fragmen 0-3/LP)

Cuping telinga kanan : BTA 1+ (Solid 0-2/LP, Fragmen 0-4/LP)

Cuping telinga kiri : BTA 1+ (Solid 0-2/LP, Fragmen 0-1/LP)

Nilai Rujukan : Negative

15
ix. Resume
Seorang laki-laki berusia 50 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Abepura
pada tanggal 25/7/2018, pasien datang dengan keluhan bengkak yang telah menyebar ke
seluruh wajah bahkan pada tangan dan kaki.
Pada anamnesis didapatkan Lesi sudah berlangsung lebih 2 bulan yang lalu, dimulai dari
pipi sebelah kanan, awalnya lesi merah berukuran biji jagung yang berlanjut membesar
seperti berukuran uang logam. Lesi bertambah besar bila suhu dingin, lesi juga terasa
menebal. Tidak terasa gatal, tidak terasa nyeri namun pasien merasa lesi sedikit kurang
sensitive dibandingkan dengan kulit yang sehat. Pada pemeriksaan didapatkan Bercak
BTA 2+ (Solid 0-4/LP, Fragmen 0-3/LP), Cuping telinga kanan : BTA 1+ (Solid 0-
2/LP, Fragmen 0-4/LP), Cuping telinga kiri : BTA 1+ (Solid 0-2/LP, Fragmen 0-1/LP)
x. Diagnosa
MH tipe LL

xi. Tatalaksana
1. Medikamentosa
- Rifampisin, 600mg setiap bulan
- DDS, 100 mg setiap hari
- klofazimin 300 mg setiap bulan
2. Non Medikamentosa
Edukasi: Pakaian yang sudah dipakai disendirikan, Sprei usahkan diganti,
Minum obat teratur, Bila ada luka sebisa mungkin agar tidak kontak dengan
Keluarga terutama anak-anak, Kalau gatal jangan digaruk

16
BAB IV
PEMBAHASAN

Morbus Hansen (kusta) merupakan penyakit infeksi kronik dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae. Menurut WHO tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar (BTA
Positif) yaitu tipe LL, BL dan BB dengan indeks bakteri lebih dari 2+ dan pausibasilar (BTA
negative) yaitu tipe I, TT dan BT dengan indeks bakteri kurang dari 2+. Pada keduanya terdapat
berbagai gambaran klinis, bakteriologik dan imonologik.
Tabel. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta multibasilar (MB)

Sifat Lepromatosa Borderline Mid Borderline


(LL) Lepromatosa (BL) (BB)
Lesi
 Bentuk Makula, nodus Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shaped (kubah)
Papul Papul Punched out
 Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, masih ada Dapat dihitung, kulit
Tidak ada kulit sehat kulit sehat sehat jelas ada
 Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
 Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat
 Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
 Anestesia Tidak ada sampai Tak jelas Lebih jelas
tidak jelas
BTA
 Lesi Kulit Banyak Banyak Agak banyak
(ada globus )
 Sekret Banyak Biasanya negative Negatif
Hidung (ada globus)
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

17
Tabel. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta pausibasiler (PB)

Sifat Tuberkuloid Borderline Tuberkuloid Interminate


(TT) (BT) (I)
Lesi
 Bentuk Makula saja; makula Makula dibatasi infiltrat; Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat saja
 Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu dengan Satu atau beberapa
satelit
 Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
 Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
 Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau tidak
 Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai tidak
jelas
BTA
 Lesi Kulit Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
negatif

Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau
negatif
Tabel. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta pausibasiler (PB)

Diagnosa pada kasus MH ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada kasus ini, yang didapatkan dari anamnesa yaitu pasien datang dengan keluhan
lesi merah yang menyebar ke seluruh wajah bahkan hingga tangan dan kaki, hal ini sudah
dirasakan kurang lebih 3 bulan yang lalu. Pertama kali lesi ini muncul pada bagian wajah yaitu
pipi sebelah kanan, lesi berukuran sebesar biji jagung dan berwarna merah. Pada lesi tidak terasa
panas, gatal, nyeri atau mati rasa. Lesi lalu bertambah jumlahnya > 5 pada wajah, lalu mulai
timbul rasa gatal dan lesi terasa menebal dibandingkan dengan kulit tanpa lesi, ukuran lesi juga
bertambah yaitu sebesar uang logam. Lesi juga dapat bertambah bila terkena udara dingin.
Pasien tidak merasakan kram pada tangan dan kaki.

18
Manifestasi pada kusta, tergantung pada sistem imun pasien tersebut. Individu dengan
respon imun seluler minimal memiliki bentuk penyakit lepromatous, yang ditandai dengan
keterlibatan kulit yang luas. Lesi kulit sering digambarkan sebagai nodul dan plak infiltrasi,
dan keterlibatan saraf cenderung simetris dalam distribusi. Sedangkan, individu yang
memiliki respon kekebalan seluler yang kuat terhadap M leprae memiliki bentuk penyakit
tuberkuloid yang biasanya melibatkan kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas, dan
cenderung kering dan hipoesthetik. Pada kasus didiagnosa dengan MH tipe LL, dimana pada
Tipe Lepromatous Leprosy (LL), Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus,
lebih eritem, berkilap, batas tidak tegas dan stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Lesi kulit biasanya berupa hipopigmentasi atau hiperpigmentasi, lokasi lesi khas
pada wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan badan pada daerah yang
dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Stadium lanjut, tampak
penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonine, madarosis, iriris,
keratitis, pembesaran KGB, deformitas pada hidung. Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia.
Pada kasus, untuk menunjang diagnosis dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan BTA MH. Dan hasilnya didapatkan, pada Bercak BTA 2+ (Solid 0-4/LP,
Fragmen 0-3/LP), Cuping telinga kanan BTA 1+ (Solid 0-2/LP, Fragmen 0-4/LP) dan
Cuping telinga kiri BTA 1+ (Solid 0-2/LP, Fragmen 0-1/LP). Berdasarkan anamnesa, dan
pemeriksaan penunjang, didapatkan dapat menunjang penegakkan diagnosis pasien dengan
MH tipe LL
Untuk mencegah resistensi, pengobatan kusta menggunakan MDT (multi drug treatment).
MDT digunakan sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resisten, memperpendek
masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Pasien diberi resep
MDT yang dapat diambil dipuskesmas dan untuk mengontrol obat.

19
BAB V
KESIMPULAN

Morbus Hansen atau istilah awamnya adalah kusta, merupakan penyakit yang disebabkan karena
Mycobacterium leprae. Dimana penyakit ini bukan penyakit yang diturunkan, paling banyak
pada daerah tropis dan subtropis lalu pada daerah dengan sosial ekonomi yang rendah. Kusta
merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti, karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi dan
deformitas serta dikucilkan dari masyarakat. Manifestasi klinis dari kusta itu sendiri bergantung
pada sistem imun tubuh penderita, semakin kuat sistem imun maka bisa saja dapat tidak muncul
gejala atau gejala dapat hilang sendiri atau berada pada tipe yang ringan. Namun, rendahnya
sistem imun dapat menyebabkan lesi yang banyak dan kerusakan sensibilitas pada saraf.
Penanganan yang tepat dan cepat pada manifestasi awal dapat sangat mengurangi perburukan
dari gejala. Edukasi yang baik pada pasien untuk taat minum obat dan kondisinya sangat dapat
membantu untuk proses penyembuhan.

20
DAFTAR PUSTAKA

ILMU PENYAKIT DALAM. 2016. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Badan Penerbit FKUI Jakarta.

Jakarta. Edisi 7. Hal 87 - 103

Pandhi Deepika, et all. 2013. New insights in the pathogenesis of type 1 and type 2 lepra
reaction. Review Article. Department of Dermatology and Sexually Transmitted Disease,
University College of Medical Sciences, Guru Teg Bahadur Hospital, University of
Delhi, Delhi, India

Sharma Neha, et all. 2013. Lepra Reactions-A Clinical & Histopathological Study. International
journal of scientific research. Medical Science. Smt. S.C.L Hospital, Ahmedabad, India

Vora V. Rita, et all. 2017. Epidermotropism Of Lepra Bacilli In a Patient With Histoid Hansen’s
Desease. Case Repots. Department Of Skin and VD , Pramuksawi Medical College
Karamsad,Anand, Gujarat, India

Kar HK, Sharma P. Leprosy Reactions. In: IAL Textbook of Leprosy. eds Kar HK, Kumar B. 1st
ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Pub-lishers Ltd.; 2015: p.269-89.

N K. Prakhruti, et all. 2015. An Unusual Presentation of Type 2 Lepra Reaction: Mimicking


Sweet’s Syndrome. Case Reports. Journal of Clinical and Biomedical Sciences. Dept. of
Dermatology, Sri Devaraj Urs Medical College, Tamaka, Kolar, Karnataka, India

Hui Monalisa,et all.2015. Pure neuritic leprosy: Resolving diagnostic issues in acid fast bacilli
(AFB)-negative nerve biopsies: A single centre experience from South India. Original
article. Department of Pathology, Nizam's Institute of Medical Sciences, Punjagutta,
Hyderabad, Telangana, India
Dogra Sunil, et all. 2013. Leprosy - Evolution Of The Path To Eradication. Centenary Review
Article. Indian Jurnal Medical Res. Departement Of Dermathology, Venereology &
Leprology Postgraduate Institut Of Medical, Education & Research, Chandigarh, India

21
22

Anda mungkin juga menyukai