Anda di halaman 1dari 26

1.

MARASMUS
I. DEFINISI
Marasmus adalah suatu kondisi dimana anak mengalami defisiensi energi dan
protein. Ini merupakan salah satu dari tiga bentuk serius kekurangan energi
protein (KEP).
Penentuan KEP dilakukan dengan menimbang BB anak dibandingkan dengan
umur.Untuk menyatakan bahwa balita dikategorikan KEP ringan, sedang, berat
dengan menggunakan standar baku BB/U WHO-NCHS.5
a. KEP Ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita
warna kuning, atau BB/U 70% - 80% baku median WHO-NCHS
b. KEP Sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak dibawah garis
merah (BGM) atau BB/U 60% - 70% baku median WHO-NCHS
c. KEP Berat bila hasil penimbangan BB/U < 60% baku median WHO-NCHS.

Secara klinis KEP terdapat dalam 3 tipe yaitu :3


• Kwashiorkor, ditandai dengan : edema, yang dapat terjadi di seluruh tubuh,
wajah sembab dan membulat, mata sayu, rambut tipis, kemerahan seperti rambut
jagung, mudah dicabut dan rontok, cengeng, rewel dan apatis, pembesaran hati,
otot mengecil (hipotrofi), bercak merah kecoklatan di kulit dan mudah terkelupas
(crazy pavement dermatosis), sering disertai penyakit infeksi terutama akut, diare
dan anemia.
• Marasmus, ditandai dengan : sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit,
wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel, kulit keriput, jaringan lemak subkutan
minimal/tidak ada, perut cekung, iga gambang, sering disertai penyakit infeksi dan
diare.
• Marasmus kwashiorkor, campuran gejala klinis kwashiorkor dan marasmus.

II. ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit marasmus antara lain masukkan zat gizi yang tidak
adekuat, kebiasaan makan yang tidak tepat, kelainan metabolik dan malabsorbsi,
malformasi kongenital pada saluran pencernaan, penyakit ginjal menahun,
keadaan ekonomi keluarga.2

III. EPIDEMIOLOGI
Marasmus adalah masalah serius seluruh dunia yang melibatkan lebih dari 50
juta anak berusia kurang dari 5 tahun. Menurut WHO 49% dari 10,4 juta kematian
pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun di negara-negara berkembang berkaitan
dengan PEM.
Di Indonesia, sebanyak 72% penderita gizi kurang ditemukan di daerah-daerah
kabupaten Indonesia dengan 2 – 4 dari 10 balita menderita gizi kurang.

IV. FAKTOR RESIKO


Beberapa faktor resiko untuk marasmus, yaitu:
- Kelaparan yang berkepanjangan
- Terpajan air yang terkontaminasi
- Kekurangan vit lain (vit A, E, K)
- Diet yang buruk, tidak seimbang dalam buah, sayur-sayuran, biji-bijian.

Secara garis besar penyebab marasmus, antara lain:9


a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori
yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan
akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas
susu kaleng yang terlalu encer.
b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral
misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis
kongenital.
c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis
pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut
pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat
e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang
cukup.
f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance.
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila
penyebab maramus yang lain disingkirkan.
h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan
yang kurang akan menimbulkan marasmus.
i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya
marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan
penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu
yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai
infeksi berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam
marasmus.

V. MANIFESTASI KLINIS

Marasmus sering dijumpai pada usia 0 - 2 tahun. Keadaan yang terlihat mencolok
adalah hilangnya lemak subkutan, terutama pada wajah. Akibatnya ialah wajah si anak
lonjong, berkeriput dan tampak lebih tua (old man face). Otot-otot lemah dan atropi,
bersamaan dengan hilangnya lemak subkutan maka anggota gerak terlihat seperti kulit
dengan tulang. Tulang rusuk tampak lebih jelas. Dinding perut hipotonus dan kulitnya
longgar. Berat badan turun menjadi kurang dari 60% berat badan menurut usianya. Suhu
tubuh bisa rendah karena lapisan penahan panas hilang.

Selain itu manifestasi marasmus adalah sebagai berikut :


1. Tampak sangat kurus, hingga seperti tulang terbungkus kulit
2. Wajah seperti orang tua
3. Lethargi
4. Irritable
5. Kulit keriput (turgor kulit jelek), jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak
ada (pakai celana longgar-baggy pants)
6. Ubun-ubun cekung pada bayi
7. Jaringan subkutan hilang
8. Malaise
9. Kelaparan
10. Apatis
11. Perut umumnya cekung
12. Tulang rusuk menonjol (Iga gambang, “piano sign”)
13. Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang)
14. Diare persisten
VI. PATOGENESIS
Petumbuhan yang kurang atau terhenti disertai atrofi otot dan menghilangkan
lemak di bawah kulit. Pada mulanya kelainan demikian merupakan proses
fisiologis. Untuk kelangsungan hidup jaringan tubuh memerlukan energi, namun
tidak didapat sendiri dan cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi
kebutuhan energi tersebut. Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak saja
membantu memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga untuk memungkinkan sintesis
glukosa dan metabolik esensial lainnya asam amino untuk kepentingan
homeostatik. Oleh karena itu, pada marasmus berat kadang-kadang masih
ditemukan asam amino yang normal, sehingga hati masih dapat membentuk cukup
albumin.3

Malabsorbsi, infeksi, Kegagalan melakukan sintesis


Sosial ekonomi
v rendah anorexia kalori dan protein

Intake kurang dari kebutuhan

Defisiensi protein dan kalori

Hilangnya lemak di bantalan Daya tahan tubuh menurun Asam amino esensial menurun
dan produksi albumin menurun

Turgor kulit Keadaan umum lemah


menurun dan keriput Atrofi / pengecilan otot

Resiko infeksi
Kerusakan integritas kulit Keterlambatan pertumbuhan
dan perkembangan
Resiko infeksi saluran pencernaan

Anorexia, diare

VII. PENEGAKKAN DIAGNOSIS

 Anamnesis (penyakit & gizi)


o anamnesis awal  untuk mengetahui adanya tanda bahaya dan tanda
penting:
 syok/renjatan
 letargis
 muntah dan atau diare atau dehidrasi
o anamnesis lanjutan  Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya
gizi buruk:
 riwayat kehamilan & kelahiran
 riwayat pemberian makan
 riwayat imunisasi & pemberian vit A
 riwayat penyakit penyerta/penyulit
 riwayat tumbuh kembang
 penyebab kematian pada saudara kandung
 status sosial, ekonomi dan budaya keluarga
 Pemeriksaan fisik (klinis dan antropometri)
o pemeriksaan fisik awal  untuk mengetahui adanya kedaruratan medis
 gangguan sirkulasi/syok
 gangguan kesadaran
 dehidrasi
 hipoglikemi
 hipotermi
o pemeriksaan fisik lanjutan
 Pengukuran dan penilaian antropometri
BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut
umur), LLA/U (lingkar lengan atas menurut umur), BB/TB (berat
badan menurut tinggi badan), LLA/TB (lingkar lengan atas menurut
tinggi badan.

 Tanda klinis gizi buruk


Pada marasmus, anak kurus muncul dengan ditandai hilangnya lemak
subkutan dan pengecilan otot. Kulit tampak xerotik, keriput, dan longgar.
Hilangnya bantalan lemak bukal adalah karakteristik dari gangguan ini.
Marasmus mungkin tidak memiliki dermatosis klinis. Namun, temuan tidak
konsisten termasuk kulit halus, rambut rapuh, alopesia, pertumbuhan terganggu,
dan fissuring pada kuku. Dalam kekurangan energi protein, rambut lebih berada
dalam fase (istirahat) telogen dari dalam fase (aktif) anagen, kebalikan dari
normal. Kadang-kadang, seperti pada anoreksia nervosa, ditandai pertumbuhan
rambut lanugo dicatat.

 Tanda defisiensi vitamin A pada mata dan mikronutrien lain


 Tanda dan gejala klinis penyakit penyerta/penyulit

 Pemeriksaan laboratorium/radiologi
Pemeriksaan Laboratorium WHO merekomendasikan tes laboratorium
berikut:
 Glukosa darah
 Pemeriksaan pap darah dengan mikroskop atau pengujian deteksi langsung
 Hemoglobin
 Pemeriksaan urine pemeriksaan dan kultur
 Pemeriksaan tinja dengan mikroskop untuk telur dan parasit
 Serum albumin
 Tes HIV (Tes ini harus disertai dengan konseling orang tua anak, dan
kerahasiaan harus dipelihara.)
 Elektrolit

Hasil

 Temuan yang signifikan dalam kwashiorkor meliputi hipoalbuminemia


(10-25 g / L), hypoproteinemia (transferin, asam amino esensial,
lipoprotein), dan hipoglikemia.
 Plasma kortisol dan kadar hormon pertumbuhan yang tinggi, tetapi sekresi
insulin dan tingkat pertumbuhan insulin faktor yang menurun.
 Persentase cairan tubuh dan air ekstraseluler meningkat. Elektrolit,
terutama kalium dan magnesium, yang habis.
 Tingkat beberapa enzim (termasuk laktosa) yang menurun, dan tingkat
lipid beredar (terutama kolesterol) yang rendah.
 Ketonuria terjadi, dan kekurangan energi protein dapat menyebabkan
penurunan ekskresi urea karena asupan protein menurun. Dalam kedua
kwashiorkor dan marasmus, anemia defisiensi besi dan asidosis metabolik
yang hadir.
 Ekskresi hidroksiprolin berkurang, mencerminkan terhambatnya
pertumbuhan dan penyembuhan luka.
 Kemih meningkat 3-methylhistidine adalah refleksi dari kerusakan otot
dan dapat dilihat di marasmus.
 Malnutrisi juga menyebabkan imunosupresi, yang dapat menyebabkan
hasil negatif palsu tuberkulin kulit tes dan kegagalan berikutnya untuk
secara akurat menilai untuk TB.
 Biopsi kulit dan analisis rambut dapat dilakukan

 Analisis diet dan makanan

Riwayat  diet rinci  kuantitas asupan makanan (Food recall) dan kualitas asupan
makanan (Food frequency)

Pengukuran pertumbuhan, indeks massa tubuh (BMI), dan pemeriksaan fisik lengkap
ditunjukkan. Tindakan pengukuran tinggi badan-banding-usia atau berat badan-untuk-
tinggi pengukuran kurang dari 95% dan 90% dari yang diharapkan atau lebih besar
dari 2 standar deviasi di bawah rata-rata untuk usia. Pada anak yang lebih dari 2
tahun, pertumbuhan kurang dari 5 cm/th juga dapat menjadi indikasi defisiensi.

 Klasifikasi :
 KEP ringan   : > 80-90% BB  ideal terhadap TB (WHO-CDC)
 KEP sedang : > 70-80% BB  ideal terhadap TB (WHO-CDC)
 KEP berat : ≤ 70% BB ideal terhadap TB (WHO-CDC).

VIII. PENATALAKSANAAN

Tetapkan Kondisi

Kondisi 1  Tanda Renjatan / Syok + Letargis/tidak sadar + muntah dan atau diare/dehidrasi
Kondisi 2  Letargis/tidak sadar + Muntah dan atau diare/dehidrasi
Kondisi 3  Muntah dan atau diare/dehidrasi
Kondisi 4  Letargis/tidak sadar
Kondisi 5  Jika tidak ditemukan tanda renjatan / syok + letargis/tidak sadar +
muntah/diare/dehidrasi

Prosedur tetap pengobatan dirumah sakit :

Prinsip dasar penanganan 10 langkah utama (diutamakan penanganan kegawatan)

 Penanganan hipoglikemi
 Penanganan hipotermi
 Penanganan dehidrasi
 Koreksi gangguan keseimbangan
elektrolit
 Pengobatan infeksi
 Pemberian makanan
 Fasilitasi tumbuh kejar
 Koreksi defisiensi nutrisi mikro
 Melakukan stimulasi sensorik dan
perbaikan mental
 Perencanaan tindak lanjut setelah
sembuh
Defisiensi zat gizi mikro
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Meskipun sering
ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal. Tunggu sampai anak mempunyai nafsu
makan yang baik dan mulai bertambah berat badannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase
rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah infeksi. Berikan setiap hari selama 2 minggu:
- Multivitamin
- Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selnjutnya 1 mg/ hari)
- Seng (2 mg Zn elemenatal/ kgBB/ hari)
- Tembaga (0,3 mg Cu/ kgBB/ hari)
- Ferosulfat 3 mg/ kgBB/ hari setelah berat badan naik (mulai fase rehibilitasi)
- Vitamin A diberikan secara oral pada hari pertama (kecuali apabila telah diberikan
sebelum dirujuk) dengan dosis:
• Anak < 6 bulan: 50.000 IU ( ½ kapsul biru)
• Anak 6-12 bulan: 100.000 IU (1 kapsul biru)
• Anak 1-5 tahun: 200.000 IU (1 Kapsul merah)
Pemberian makanan awal
Sifat utama yang menonjol dari pemberian makanan awal adalah:
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas maupun rendah laktosa
• Diberikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
• Apabila anak masih mendapatkan ASI, lanjutkan pemberian ASI, namun pastikan bahwa
jumlah F-75 yang ditentukan harus terpenuhi
Memberikan makanan untuk tumbuh kejar
Tanda yang menunjukan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah:
• Kembalinya nafsu makan
• Edema minimal atau hilang
Tatalaksana :
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke Formula tumbuh kejar (F-100)
(fase transisi) :
- Ganti F-75 dengan F-100, dan berikan F 100 dalam jumlah yang sama dengan F-75
selam 2 hari berturut-turut
- Selanjutnya naikan jumlah F-100 sebanyak 10 mL setiap kali pemberian sampai anak
tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal tersebut terjadi ketika
pemberian formula mencapai 200 mL/kgBB/hari. Dapat pula digunakan bubur atau
makanan pendamping ASI yang dimodifikasi sehingga kandungan energi dan
proteinnya sebanding dengan F-100
- Setelah transisi bertahap, selanjutnya beri anak :
• Pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai
kemampuan anak)
• Energi: 150-220 kkal/ kgBB/ hari
• Protein: 4-6 g/ kgBB/ hari
Apabila anak masih mendapatkan ASI, lanjutkan pemberian ASI, namun pastikan bahwa
anak sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan, karena ASI tidak mengandung cukup energi
untuk menunjang tumbuh kejar. Makanan-terpeutik-siap-saji (ready to use therapeutic food =
RUTF) yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/ sachet 92 g dapat digunakan pada fase
rehabilitasi.

Penilaian kemajuan
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah tahap transisi dan
mendapat F-100:
- Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
- Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/ kgBB/ hari
• Apabila kenaikan berat badan:
- Kurang (< 5g/kgBB/hari)à anak membutuhkan penilaian ulang secara lengkap
- Sedang (5-10g/kgBB/hari)à periksa apakah target asupan terpenuhi, atau mungkin ada
infeksi yang tidak terdeteksi
- Baik (>10g/kgBB/hari)

Stimulasi sensorik dan emosional


Untuk memberikan stimulasi sensorik dan emosional, lakukan beberapa tindakan berikut:
- Ungkapan kasih sayang
- Lingkungan yang ceria
- Terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit per hari
- Aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
- Keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya: menghibur, memberi makan,
memandikan, bermain)
Mempersiapkan pulang dan tindak lanjut di rumah
Apabila telah tercapai BB/TB>-2SD (setara dengan >80%), maka dapat dianggap anak telah
sembuh. Anak mungkin masih memiliki BB/U rendah karena anak berperawakan pendek.
Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah.
Berikan contoh kepada orang tua :
- Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta frekuensi
pemberian makan yang sering
- Terapi bermain dan terstruktur
Selain itu juga sarankan ibu untuk melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan serta
mengikuti program pemberian vitamin A.
Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan mengukur kenaikan berat badan anak. Kenaikan berat badan yang
diharapkan adalah >50g/kgBB/minggu. Penyebab peningkatan berat badan yang buruk antara
lain:
• Pemberian makanan yang tidak adekuat, periksa :
• Bilamana pemberian makanan sudah benar
• Bilamana target intake energi dan protein tercapai
• Teknik pemberian makanan
• Kualitas perawatan
• Semua aspek penyediaan makanan
• Defisiensi nutrien spesifik, periksa :
• Keadekuatan komposisi mutivitamin
• Penyediaan elektrolit/mineral solution, dan apakah hal ini diresepkan dan dikelola dengan
benar
• Infeksi yang tidak diatasi
• Ulangi urinalisis untuk sel darah putih
• Periksa tinja
• Bila memungkinkan, lakukan X-ray dada
• HIV/AIDS
Selain memantau berat badan, perlu dilihat pula kondisi anak setelah pemberian makanan,
apakah terjadirefeeding syndrome atau tidak. Tanda refeeding syndrome adalah timbulnya
hipofosfatemia berat setelah uptake fosfat oleh sel selama minggu pertama mulai refeed. Kadar
fosfat dalam serum sebanyak ≤0,5 mmol/mL dapat menimbulkan kelemahan, rabdomiolisis,
disfungsi neutrofil, kegagalan kardiorespirasi, arritmia, kejang, perubahan tingkat kesadaran, atau
kematian mendadak. Kadar fosfat harus dipantau selama refeeding, dan jika rendah, fosfat harus
diberikan selama refeeding untuk menangani hipofosfatemia berat.

IX. KOMPLIKASI
Anak kurang gizi lebih rentan terhadap infeksi, terutama sepsis, pneumonia, dan
gastroenteritis. Hipoglikemi biasa terjadi sesudah masa puasa berat, tetapi dapat juga merupakan
tanda sepsis, Hipotermia dapat menandai infeksi atau, dengan bradikardi dapat menandai
penurunan kecepatan metabolik untuk menghemat energi. Bradikardi dan curah jantung yang
buruk memberi kecenderungan pada anak kurang gizi untuk menderita gagal jantung, yang
diperburuk oleh beban cairan atau zat terlarut akut. Defesiensi vitamin dapat juga mempersulit
malnutrisi. Defesiensi vitamin A biasa terjadi dinegara berkembang dan merupakan penyebab
penting perubahan respons imun dan peningkatan morbiditas (misalnya, infeksi dan kebutaan)
dan mortalitas (terutama akibat campak). Bergantung pada usia onset dan durasi malnutrisi, anak
kurang gizi dapat menderita pertumbuhan kerdil permanen (dari malnutrisi dalam rahim, masa
bayi atau remaja). Kehilangan lingkungan (sosial) dapat berinteraksi dengan pengaruh malnutrisi
hingga terjadi gangguan perkembangan dan fungsi kognitif lebih lanjut.14,15

X. PROGNOSIS
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering
disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara kematian karena infeksi atau
karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan mulai dilaksanakan.
Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif
kematian tidak dapat dihindari,mungkin disebabkan perubahan yang irreversibel dari set-sel
tubuh.14

2. ANEMIA DEFISIENSI BESI

3.1.1 Definisi

Anemia gizi adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin darah yang lebih rendah
daripada normal sebagai akibat ketidakmampuan jaringan pembentuk sel darah merah dalam
produksinya guna mempertahankan kadar hemoglobin pada tingkat normal16.

Defisiensi besi adalah berkurangnya jumlah total besi di dalam tubuh. Anemia
defisiensi besi terjadi ketika defisiensi besi yang terjadi cukup berat sehingga menyebabkan
eritropoesis terganggu dan menyebabkan terbentuknya anemia. Keadaan ini akan
menyebabkan kelemahan sehingga menjadi halangan untuk beraktivitas dan juga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pada anak16.
3.1.2 Epidemiologi

Secara epidemiologi, prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal
masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan
tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karen
penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan
pada masa romaji akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat
oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri. Data SKRT tahun 2007
menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita
di Indonesia sekitar 40-45%. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-
turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%9.

3.1.3 Etiologi

Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang
mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang18.

Berikut tabel penyebab anemia defisiensi berdasar umur19.

Table 8. Penyebab anemia defisiensi berdasarkan umur

No Umur
1. Bayi di bawah umur 1 tahun
- Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah atau lahir kembar
2. Anak berumur 1-2 tahun
- Masukan intake besi yang kurang karena tidak mendapat makanan tambahan
(hanya minum susu)
- Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
- Malabsorbsi
- Kehilangan berlebihan karena pendarahan antara lain karena infestasi parasit
3. Anak berumur 2-5 tahun
- Masukan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-heme
- Kebutuhan meningkat karena infkesi berulang/menahun
- Kehilangan berlebihan karena pendarahan antara lain karena infestasi
parasite dan diventikulum Meckeli
4. Anak berumur 5 tahun (masa remaja
- Kehilangan berlebihan karena pendarahan antara lain karena infestasi
parasite dan poliposis
5. Usia remaja-dewasa
- Pada Wanita antara lain karena menstruasi berlebihan

Penyebab anemia secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu gangguan
produksi eritrosit yaitu kecepatan pembentukan eritrosit menurun atau terjadi gangguan
maturasi eritrosit dan perusakan eritrosit yang lebih cepat. Kedua kategori tersebut tidak
berdiri sendiri, lebih dari satu mekanisme dapat terjadi3.

Berdasarkan bentuk ikatan dan fungsinya zat besi di dalam tubuh terbagi atas 2
macam, yaitu zat besi yang membentuk ikatan heme dengan protein (heme-protein) dan
cadangan dan transport zat besi (non heme iron) ada sekitar 90% berasal dari makanan, yaitu
dalam bentuk senyawa besi inoerganik feri (Fe3+), agar diserap dalam usus besinya harus
diubah dulu menjadi bentuk fero (Fe2+), contoh non heme iron adalah hemosiderin dan
ferritin11.

Penyerapan besi oleh tubuh terutama dimukosa usus duodenum sampai pertengahan
jejunum. Penyerapan besi akan meningkat pada keadaan asam, defisiensi besi dan kehamilan
sedangkan penyerapan akan menurun pada keadaan basa, infeksi, adanya bahan makanan
yang mengandung phytat dan kelebihan zat besi. Kekurangan besi dapat disebabkan oleh9:

1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis


a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan
masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini
insiden ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3
kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding
saat lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1
tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali dan masa hemoglobin dalam
sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi.8.
2. Kurangnya besi yang diserap
a. Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan
makanan yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap
lebih kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama
digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI eksklusif jarang
menderita kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan besi
yang terkandung dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang
terkandung
susu formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsropsi bayi,
sedangkan dari PASI hanya 10% besi yang dapat diabsropsi.
Pada bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak daripada ASI
lebih berisiko tinggi terkena anemia defisiensi besi.
b. Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah
mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun
penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian
atas usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya
ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan
darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari
(1,5 – 2 mg) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi.
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy,
ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin,
obat anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap
darah dari pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB
pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung buatan.
Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melaui urin rata-
rata 1,8 – 7,8 mg/hari.
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan
laboratorium berisiko untuk menderita ADB
7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang
hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini
dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga 1,5 – 3 g/dl dalam 24 jam.
8. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolaraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar 40%
remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10 ug/dl.
Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia yang hilang
timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.

3.1.4 Patofisiolgi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Pada tabel berikut 3 tahap defisiensi besi,
yaitu9:

Table 9. Tahapan kekurangan besi

Pemeriksaan Tahap 1 normal Tahap 2 Tahap 3


Sedikit menurun Menurun jelas
(mikrositik/hipokromik)
Cadangan besi < 100 0 0
Fe serum Normal < 60 <40
TIBC 360 – 390 >390 >410
Saturasi transferin 20 – 30 <15 <10
Feritin serum < 20 <12 <12
Sideroblas 40. – 60 <10 <10
FEP >30 >100 >200
MCV normal Normal Menurun

a. Tahap pertama

Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein
besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme.
Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan
besi masih normal.9

b. Tahap kedua

Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi
transferin menurun, sedangkan TIBC meningkat dan free erythrocyte porphrin (FEP)
meningkat.9

c. Tahap ketiga

Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila
besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan
kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progesif.
Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut12.

Sumber zat besi untuk metabolisme besi berasal dari makanan dan proses
penghancuran eritrosit (daur ulang) di retikulo endotelial oleh makrofag. Zat besi yang
berasal dari makanan ada 2 bentuk yaitu heme (contoh daging, ikan, ayam, udang, cumi) dan
non heme (contoh sayuran, buah, kacang- kacangan, beras, pasta). Zat besi yang berasal dari
makanan dalam bentuk ion ferri yang harus direduksi dahulu menjadi bentuk ion ferrro
sebelum diabsorpsi. Proses absorbsi ini dipermudah oleh suasana asam seperti adanya asam
hidroklorida yang diproduksi oleh sel parietal lambung, vitamin C, beberapa substansi seperti
fruktosa dan asam amino. Bentuk ion ferro ini kemudian diabsorbsi oleh sel mukosa usus
halus, di dalam sel mukosa usus bentuk ion ferro akan mengalami oksidasi menjadi bentuk
ion ferri kembali. Sebagian kecil ion ferri ini akan berikatan dengan apoferritin membentuk
feritin, dan sebagian besar akan mengalami reduksi menjadi bentuk ion ferro lagi yang akan
dilepaskan ke dalam peredaran darah dan ion ferro direoksidasi menjadi bentuk ion ferri yang
kemudian berikatan dengan transferin dan disimpan sebagai cadangan di dalam hati, lien dan
sumsum tulang dalam bentuk feritin. Bila cadangan besi dalam tubuh berkurang atau
kebutuhan besi meningkat, maka absorbsi zat besi akan meningkat, sebaliknya bila cadangan
zat besi meningkat maka absorbsi akan berkurang. Berikut (Gambar 1) menunjukkan
metabolisme besi di dalam tubuh12.
Gambar 1. Skema Metabolisme Besi

3.1.5 Manifestasi Klinis

Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi tidak menunjukkan gejala dan baru
terdeteksi dengan skrining laboratorium pada usia 12 bulan22.

Gejala khas dari anemia defisiensi besi adalah22:

1. Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan bergaris-garis
vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.

2. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak licin dan mengkilap
yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah

3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan.

4. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring.

Defisiensi besi memiliki efek sistemik non-hematologis. Efek yang paling mengkhawatirkan
adalah efek terhadap bayi dan remaja yaitu menurunnya fungsi intelektual,terganggunya
fungsi motorik dapat muncul lebih dahulu sebelum anemia terbentuk. Telah banyak
penelitian dilakukan mengenai hubungan antara keadaan kurang besi dan uji kognitif.di
Guatemala terhadap bayi berumur 6-24 bulan, ditemukan bahwa terdapat perbedaan skor
mental dan skor motoric antara kelompok anak dengan anemia defisiensi besi dan dengan
anak normal.
Penelitian juga dilakukan terhadap anak usia 3-6 tahun di Inggris yang menunjukkan bahwa
anak dengan anemia defisiensi besi menunjukkan skor yang lebih rendah terhadap uji oddity
learning jika dibandingkan kelompok kontrol. Terdapat bukti bahwa perubahan-perubahan
tersebut dapat menetap walaupun dengan penanganan, sehingga pencegahan menjadi sangat
penting. Pica, keinginan untuk mengkonsumsi bahan-bahan yang tidak dapat dicerna, atau
pagofagia, keinginan untuk mengkonsumsi es batu merupakan gejala sistemik lain dari
defisiensi besi. Pica dapat menyebabkan pengkonsumsian bahan-bahan mengandung timah
sehingga akan menyebabkan plumbisme19.

3.1.6 Diagnosis

Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan


fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering
tidak khas.
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB. Kriteria diagnosis
ADB menurut WHO9:
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Kosentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N : 32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 ug/dl (N : 80 – 180 ug/dl)
4. Saturasi transferin <15 % (N ; 20 –
50%) Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan
Monsen:
1. Anemia hipokrom mikrositik
2. Saturasi transferin <16%
3. Nilai FEP >100 ug/dl
4. Kadar feritin serum <12 ug/dl
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 atau 3 kriteria (ST, feritin serum, dan FEP harus
dipenuhi)
Cara lain untuk menentukaan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat
besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons
hemoglobin terhadap pemberian peparat besi. Prosedur ini sangat mudah, praktis, sensitif dan
ekonomis terutama pada anak yang berisiko tinggi menderita ADB. Bila dengan pemberian
preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3 – 4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2
mg/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB18.
3.1.7 Diagnosis Banding

Penyebab alternatif paling sering dari anemia mikrositer adalah thalassemia α atau β
dan hemoglobinopati, yaitu hemoglobin E dan C. Karakteristik talasemia yang paling sering
muncul adalah menurunnya jumlah sel darah merah namun dengan jumlah RDW normal atau
meningkat sedikit. Keracunan timbal dapat menyebabkan anemia mikrositer namun lebih
sering terjadi anemia defisiensi besi menyebabkan pica yang kemudian menyebabkan
keracunan timbal19.

3.1.8 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya


serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80 – 85% penyebab dapat
diketahui dengan penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat
dilakukan secara oral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah, dan sama
efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada
penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat
dipenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan18.

a. Pemberian preparat besi


Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat
terseda berupa ferous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous
sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat, dan ferous
suksinat diabsropsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop).
Untuk mendapat respon pengobatan dosis yang dipakai 3-5 mg besi
elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi elemental yang ada
dalam garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak 20%. Dosis
obat yang terlalu besar akan meninmbulkan efek samping pada saluran pencernaan dan tidak
memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Absropsi besi yang terbaik adalah pada saat
lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping
pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat
makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absropsi obat sekitar 40 –
50%18.
Obat diberikan dalam 2 – 3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat
diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus
diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi18.
Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel dibawah ini:

Table 10. Respon terhadap pemberian besi pada ADB

Waktu setelah Respons


pemberian besi
12-24 jam Penggantian enzim besi intraselular, keluhan subyektif berkurang, nafsu
makan
bertambah
36-48 jam Respon awal dari sumsum tulang, hiperplasia eritroid
48-72 jam Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5 – 7
4-30 hari Kadar Hb meningkat
1-3 bulan Penambahan cadangan besi

Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada orang dewasa
diabndingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang berifat sementara dapat dihindari dengan
meletakkan larutan tersebut ke bagian belakang lidah dengan cara tetesan.

Table 11. Dosis dan lama pemberian suplementasi besi

Usia (tahun) Dosis besi elemental Lama pemberian


Bayi : BBLR (< 2500 gr) 3 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan sampai 2 tahun
cukup bulan 2 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan sampai 2 tahun
2 – 5 (Balita) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
5 – 12 (Usia sekolah) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturur-turut setiap tahun
12 – 18 (Remaja 60 mg/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturur-turut setiap tahun
Pemberian preparat besi parenteral
Pemberian besi parenteral intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal.
Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan
kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral9.
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ ml. Dosis dihitung berdasarkan :
Dosis besi 9mg = BB (9kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5

Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan
anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat mempengaruhi respon terapi.
Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan membahayakan
karena dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan
secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman
sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan
kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB persatu kali pemberian
disertai pemberian diuretik seperti furosemide. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat
dipertimbangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar22.

3.1.9 Prognosis

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarnagn besi saja dan
diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan
manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi22.

Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa


kemungkinan sebagai berikut:

a. Diagnosis salah
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlansgung menetap
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti : infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi
vitamin B12, asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada ulkus
peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjiningsih, dr. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.

2. Arisman, Dr. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC.

3. Nelson. 2007. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Behrman Kliegman Aevin : EGC.

4. Staf Pengajar IKA FK UI. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FK UI.

5. Direktorat Bina Gizi.2011. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku 1, cetakan keenam.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

6. WHO.2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta : WHO Indonesia.


7. Almatsier sunita . 2005 . Prinsip Dasar Ilmu Gizi. GM . jakarta indonesia
8. Dr. arisman, MB. 2010. Buku ajar ilmu gizi “gizi dalam daur kehidupan”. EGC. Jakarta :
Indonesia
9. Razak Adni A, Made I A, G, Budiningsar Dwi.2009. Pola asuh ibu sebagai faktor risiko
kejadian kurang energi pro\tein (KEP) pada anak balita.UGM;Yogyakarta.
10. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Standar pelayanan medik. Makassar :FK UNHAS/SMF Anak
RS DR. Wahidin sudirohusodo. 2009
11. Orkin S, Nathan D, Ginsburg D, Look AT, Fisher D, Lux S. Nathan and Oski’s
Hematology and Oncology of Infancy and Childhood. 8th Edition. Elsevier; 2014.

12. Powers JM, Heeney MM. Anemia. In: Kline MW, editor. Rudolph’s Pediatrics, 23e
[Internet]. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2018. Available from:
accesspediatrics.mhmedical.com/content.aspx?aid=1182909625

13. Emhy H. Diagnostic Approach of Anemia in Children [Internet]. Available from:


https://www.researchgate.net/publication/318276891

14. Zaenab AS. Perbedaan Status Anemia Berdasarkan Konsumsi Zat Besi (Fe) dan Lama
Menstruasi Pada Siswi SMK Negeri 1 Tabanan [Internet]. Poltekkes Denpasar; 2020.
Available from: http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/4099/

15. Astriana W. Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Ditinjau dari Paritas dan Usia. J Aisyah
J Ilmu Kesehatan; Vol 2, No 2 December [Internet]. 2017; Available from:
https://aisyah.journalpress.id/index.php/jika/article/view/WA

16. Norsiah W. Perbedaan Kadar Hemoglobin Metode Sianmethemoglobin dengan dan


Tanpa Sentrifugasi pada Sampel Leukositosis. Med Lab Technol J [Internet]. 2015
Dec 1 [cited 2022 Jul 27];1(2):72–83. Available from: https://ejurnal-
analiskesehatan.web.id/index.php/JAK/article/view/19

17. Muhammad A, Sianipar O. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis


Menggunakan Peran Indeks sTfR-F. Indones J Clin Pathol Med Lab. 2018 Mar
13;12(1):9.

18. Özdemir N. Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children. Turk
Pediatr Ars. 2015;50(1):11–9.

19. Abdulsalam M, Daniel A. Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia Defisiensi


Besi. Sari Pediatr. 2016 Dec 6;4(2):74.
20. Amalia A, Tjiptaningrum A. Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi
Besi. 2016 Dec.

21. Kurniati I. Anemia Defisiensi Zat Besi. 2020 [cited 2022 Jul 26];18–33.
Available from: http://repository.lppm.unila.ac.id/26666/

22. Fitriany J, Saputri AI, Ilmu S, Anak K. Anemia Defisiensi Besi. Vol.
4, Jurnal Averrous. 2018.

Anda mungkin juga menyukai