DERMATITIS ATOPIK
DISUSUN OLEH:
FAWAID AKBAR
I11112029
PEMBIMBING:
dr. HERNI, Sp. KK
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
2.1. Definisi.................................................................................................... 2
2.2. Sinonim................................................................................................... 2
2.3. Epidemiologi........................................................................................... 2
2.4. Etiopatogenisis........................................................................................ 3
2.6. Diagnosis................................................................................................. 10
2.9. Penatalaksanaan...................................................................................... 16
2.10. Komplikasi............................................................................................ 24
2.11. Prognosis............................................................................................... 24
BAB V KESIMPULAN............................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 31
2
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) adalah suatu penyakit kulit inflamasi yang kronis
dan berulang, dengan karakteristik rasa gatal yang hebat, kulit kering, inflamasi
dan eksudasi. Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami
peningkatan nilai serum IgE dan riwayat alergi tipe I, rhinitis alergika dan asma
1,2,3
pada penderita atau keluarga.
bayi, dan sekitar 50% kasus didiagnosis pada usia 1 tahun, dan DA bersifat jangka
panjang dan menetap hingga dewasa pada sepertiga pasienSekitar 70 persen kasus
DA dimulai pada anak usia dibawah 5 tahun, meskipun sebanyak 10 persen kasus
bahan iritan (bahan pakaian yang tidak cocok, air keras), mikroba (khususnya
maupun luar ruangan seperti asam tembakau dapat mempengarugi produksi IgE.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-
anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat
atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma
bronkhiale, dan konjungtivitis alergika).
Kata “atopi” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai
kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis alergika,
dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika. (Djuanda, 2011)
2.2 SINONIM
Banyak istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya : ekzema
konstitusional, fleksural eczema, disseminated neurodermatitis, prurigo basiler6.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat maka untuk
menginterpretasikan hasil penelitian epidemiologi harus berhati-hati. Berbagai
penelitian menyatakan bahwa prevalensi DA makin meningkat sehingga
merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia
dan Negara industri lain, prevalensi DA pada anak mencapai 10-20%, sedangkan
1-3 % terjadi di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah,
prevalensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak m enderita DA daripada
pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap
prevalensi DA misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi,
penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya
penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan jumlah penderita DA.
2
Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga,
urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan
melindungi kemungkinan timbul DA pada kemudian hari.
DA cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu
yang menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bula
pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari seperuh jumlah anak
akna mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orang tua menderita atopi. Resiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu
yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila DA yang dialami
berlanjut hingga masa dewasa, ,maka resiko untuk mewariskan untuk anaknya
sama saja yaitukira-kira 50%. (Djuanda, 2011)
2.4 ETIOPATOGENESIS
Respons Imun Pada Kulit
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit
pada DA. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1
menurun. Pada kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita DA.
bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita DA.,
ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan
IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila
dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya
penderita DA., menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak
banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12.
Lesi kronis DA. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan
mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-
5, GM-CSF,IL-12, dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan yang
akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis DA. berperan dalam
perkembangan TH1.
3
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis
keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y
yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit DA. yang dapat
menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke
dalam kulit.
Pada DA. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil
hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan
ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel
Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada DA. memicu
kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada
keritinosit epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on
activation, normal T cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat
menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin proinflamasi yang lain dari
epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit DA.
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang
diproduksi oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi TH1.
Subunit reseptor IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2.
Sedangkan ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya
diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi
IFN-y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga
merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel
mas/basofilpada DA. akan merangsang perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita DA. meningkatkan aktivitas enzim
cyclic-adenosine monophosphate (CAMP) – phosphodiesterase (PDE),
yang akan meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel
T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat
PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga
meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel
T.
4
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita DA. adalah abnormal,
dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara
selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang
mengandung IgE meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen
tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung
IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di
kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk
menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE,
yaitu FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI
mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui
reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan
penderita alergi saluran napas kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya
rendah, sedangkan di lesi ekzematosa DA. tinggi. Ada korelasi antara
ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL,
reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga ditemukan pada
permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita DA. berkurang sehingga
kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis
dipermudah. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit.
Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen
menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik
atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan
tempat yang sensitif. (Djuanda, 2011)
Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi
penderita DA. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum me-
ningkat. IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi
reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi
meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan
5
IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson Cε
sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi
ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1
(vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan
fungsi sel TH1.
Sel monosit di darah tepi penderita DA. diaktivasi, mempunyai
insidens apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi
apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya
produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada DA.
Perubahan sistemik pada DA. adalah sebagai berikut:
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap
makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan auto-
alergen.
- Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan
monosit meningkat.
- Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
- Eosinofilia.
- Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
- Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai
peningkatan IL-10 dan PGE27.
6
Dermatitis atopik merupakan sindrom multifaktorial; berbagai faktor
berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati berbagai fakto
risiko, yaitu:
1 Genetik: diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit atopi
diturunkan secara autosomal dominan; 75% anak akan mengalami
alergi bila kedua orang tua mempunyai riwayat alergi, dibandingkan
dengan 50% anak bila hanya 1 orang tua mempunyai yang riwayat
alergi, meskipun demikian faktor lain (lingkungan) sangat pula
berpengaruh atas berkembangnya penyakit.
2 Sosioekonomi: lebih banyak ditemukam pada status sosial yang lebih
tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal
tersebut dapat diterangkan dengan teori higiene.
3 Jumlah anggota keluarga: kejadian dermatitis atopik berbanding
terbalik dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Hal tersebut dapat
pula diterangkan dengan teori higiene, yaitu terjadi infeksi pada anggota
muda keluarga yang ditularkan oleh anggota keluaraga yang lebih tua
4 Laktasi: makin lama mendapat air susu ibu makin kecil kemungkinan
untuk mendapat dermatitis atopik. Hal tersebut perlu dicermati karena
perkembangan penyakit berhubungan dengan alergen lingkunagan dan
status ibu (misanya perokok)
5 Pengenalan makanan padat terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan
meningkatkan angka kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali.
Sensitisasi umumnya terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu
sapi, telur, kacang-kacangan dan gandum
6 Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan
polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan
suhu dan penurunan kelembaban udara, water hardeness, asap roklok,
penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelemban,
penggunanan shampo dan sabun yang berlebihan, dan detergen yang
tidak dibilas dengan sempurna7.
7
2.5 GAMBARAN KLINIS
Kulit penderita DA. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di
epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari
tangan teraba dingin. Penderita DA. cenderung tipe astenik, dengan
inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustrasi, agresif,
atau merasa tertekan.
Gejala utama DA. Jalah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang
hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita
akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit
berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.
DA. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: DA. infantil (terjadi
pada usia 2 bulan sampai 2 tahun; DA. anak (2 sampai 10 tahun); dan DA.
pada remaja dan dewasa6.
8
lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya
menyebabkan kambuh penyakitnya.
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada
bayi masih ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan
secara dramatis membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya
ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan. (Djuanda, 2011)
9
menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering tejadi
eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi
hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat.
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila
mengalami stres. Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang
rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat,
sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya
DA. remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun
dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia
pertengahan; hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit
penderita DA. yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila
terpajan oleh bahan iritan eksogen.
Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-
kira 70% suatu saat dapat mengalaminya. DA. pada tangan dapat
mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan
dermatitis kontak. DA. di tangan biasa timbul pada wanita muda setelah
melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai
pemicunya.
Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hipedinearis
palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris,
lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe),
keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus, dan
keratokonus (bentuk kornea yang abnormal). Selain itu penderita DA.
cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap
obat, gigitan atau sengatan serangga. (Djuanda, 2011)
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis DA. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan
Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi
oleh Williams (1994). (Djuanda, 2011)
10
Kriteria mayor
- Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Kriteria minor
11
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mame
- White dermographism dan delayed blanch response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat atau eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE di dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini1.
Diagnosis DA. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa:
- riwayat atopi pada keluarga,
- dermatitis di muka atau ekstensor,
- pruritus,
ditambah tiga kriteria minor
- xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular,
- fisura belakang telinga,
- skuama di skalp kronis.
Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian
berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat
dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya
ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi
12
terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh
karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh
William memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi
satu set kriteria untuk pedoman diagnosis DA. yang dapat diulang dan divalidasi.
Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi
dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis6.
Pedoman diagnosis DA. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:
- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang
tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.
- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:
1 Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut,
bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak
usia di bawah 10 tahun).
2 Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat
penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).
3 Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir.
4 Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi
dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5 Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4
tahun).
13
Gambar 1. Tempat Predileksi Dermatitis Atopik
14
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopi eritema
akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut
disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit orang normal.
(Wolff, 2008)
15
2.9 PENATALAKSANAAN
Kulit penderita DA. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh
karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang
memperberat dan memicu siklus “gatal-garuk”, misalnya sabun dan deterjen;
kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin
yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal
terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih
dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia
tambahan. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik, sebab sisa
deterjen dapat bersifat iritan. Kalau selesai berenang harus segera mandi untuk
membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres psikik juga
dapat menyebabkan eksaserbasi DA. (Djuanda, 2011)
Acapkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari
luar, misalnya terlalu sering dimandikan; menggosok terlalu kuat; pakaian terlalu
tebal, ketat atau kotor; kebersihan kurang terutama di daerah popok; infeksi lokal;
iritasi oleh kencing atau feses; bahkan juga medicated baby oil. Pada bayi penting
diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia; popok segera diganti, bila
basah atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap
garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian
yang bersifat iritan (misalnya wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit
anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau
trauma garukan. (Djuanda, 2011)
Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab; hindari pembersih
antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi. (Djuanda, 2011)
16
Steroid topikal (andalan saat pengobatan; umumnya digunakan
dalam hubungannya dengan pelembab): Hidrokortison,
triamsinolon, atau betametason; basis salep umumnya lebih
disukai, khususnya di lingkungan kering
Imunomodulator: Tacrolimus dan pimecrolimus (inhibitor
kalsineurin; dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua dan
digunakan hanya sebagai indikasi); omalizumab (antibodi
monoklonal yang berfungsi menghalangi imunoglobulin E [IgE])
PENGOBATAN TOPIKAL
Hidrasi kulit. Kulit penderita DA. kering dan fungsi sawarnya berkurang,
mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan
iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya
krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya.
Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan
lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah
mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien
dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam. (Djuanda, 2011)
Pasien disarankan Mandi yang sering dengan menambahkan minyak
pengemulsi (1L ditambahkan ke air mandi hangat) selama 5-10 menit dapat
melembabkan kulit. Minyak akan mempertahankan air pada kulit dan mencegah
penguapan. Dokter juga menyarankan pasien untuk memakai emolien seperti
petrolatum atau Aquaphor ke seluruh tubuh saat kulit masih basah, untuk
menyegel kelembaban dan memungkinkan air untuk diserap melalui stratum
korneum. Salep menyebar dengan baik pada kulit yang basah. Bahan aktif harus
diterapkan sebelum emolien. Emolien yang lebih baru seperti Atopiclair dan
Mimyx telah dianjurkan karena memiliki hasil yang lebih unggul, tetapi bahan
tersebut mahal dan perlu evaluasi lebih lanjut.(Kim, 2015)
Kortikosteroid topikal. Pengobatan DA. dengan kortikosteroid topikal
adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun
demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.
17
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya
hidrokortison 1 %-1,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi
menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid
berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai di daerah
genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya
fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara
intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;
sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah.
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,
misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus
1:5000. (Djuanda, 2011)
Hasil studi dari Belanda oleh Haeck dkk. menunjukkan bahwa penggunaan
kortikosteroid topikal untuk dermatitis atopik pada kelopak mata dan daerah
periorbital aman, namun masih dalam pengawasan karena dapat menginduksi
glaukoma atau katarak. (Kim, 2015)
Sebagai rejimen perawatan, bubuk hidrokortison 1,25% dalam Asam
Mantle digunakan sebagai emolien berbasis steroid terbukti efektif dan aman
untuk waktu yang lebih lama (misalnya bulan) untuk mencegah kemerahan akut
dengan penambahan steroid-kelas yang lebih tinggi untuk mengobati kemerahan
akut secara cepat. (Kim, 2015)
Imunomodulator topikal
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa
0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA.
yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka
panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan
efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi
kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak
mata. (Djuanda, 2011)
18
Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin
yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil
fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat
mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis,
walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-
drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin.
Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada
makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu
molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga
produksi sitokin TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat.
Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek
imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak
alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik,
tidak seperti takrolimus dan siklosporin. (Djuanda, 2011)
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi
1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05%
(steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4
minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada
muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari. (Djuanda, 2011)
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari
2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati
untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut
berpotensi menimbulkan kanker kulit. (Djuanda, 2011)
Sementara klaim ini sedang diselidiki lebih lanjut, obat hanya digunakan
jika terdapat indikasi yaitu untuk dermatitis atopik pada orang yang lebih dari 2 y
dan hanya jika terapi lini pertama gagal. terapi ini jauh lebih mahal daripada
kortikosteroid dan seharusnya hanya digunakan sebagai terapi lini kedua. (Kim,
2015)
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi
pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk
19
salap hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai
10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%.(Djuanda, 2011)
Antihistamin. Pengobatan DA. dengan antihistamin topikal tidak
dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan
bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu),
dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila
dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif. (Djuanda,
2011)
PENGOBATAN SISTEMIK
20
Interferon. IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi
dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan
perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
Siklosporin. DA. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional
dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis
jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah
obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan
cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan
menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila
pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera
kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin
dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.
(Djuanda, 2011)
21
mengurangi kadar IgE pada bayi dan dapat melindungi terhadap sensitisasi
untuk alergi tetapi mungkin tidak melindungi terhadap asma.(Hand, 2013)
Pada bulan Januari 2015, Organisasi Alergi Dunia merekomendasikan
penggunaan probiotik oleh ibu hamil dan menyusui untuk mencegah
perkembangan DA. Rekomendasi ini didasarkan pada meta-analisis dari
29 studi yang digunakan probiotik oleh ibu hamil mengurangi kejadian
eksim sebesar 9% selama masa follow up 1-5 tahun dan penggunaan oleh
wanita menyusui dikaitkan dengan 16% pengurangan eksim selama masa
follow up 6 bulan. Konsumsi probiotik oleh menyusui bayi dikaitkan
dengan penurunan 5% pada eksim selama 6 bulan sampai 6 tahun masa
tindak lanjut. (Johnson, 2014)
22
tidak bukti infeksi klinis karena organisme staphylococcal umum menjajah
kulit pasien dengan dermatitis atopik. (Kim, 2015)
23
Algoritma penatatlaksanaan dermatitis atopik. (Davey, 2006)
Pelembab, edukasi
2.10 KOMPLIKASI
Infeksi sekunder5.
2.11 PROGNOSIS
Sulit meramalkan prognosis DA. pada seseorang. Prognosis lebih buruk
bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan
pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus
menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan DA. yang diderita
sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%,
24
terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa
84% DA. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, DA. pada
anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65 % berkurang
gejalanya. Lebih dari separo DA. remaja yang telah diobati kambuh kembali
setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang balk DA. yaitu:
- DA luas pada anak
- menderita rinitis alergik dan asma bronkial
- riwayat DA. pada orang tua atau saudara kandung
- awitan (onset) DA. pada usia muda
- anak tunggal
- kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen DA. infantil akan berkembang menjadi
asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita
dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan. (Djuanda, 2011)
BAB III
25
PENYAJIAN KASUS
3.2. Anamnesis
Keluhan utama :
Bercak Kemerahan di sertai gatal di lipatan siku, lutut dan bokong
sejak 1 bulan yang lalu
Riwayat penyakit sekarang :
Penderita datang ke RSUD Sultan Syarif Mohamad Al Qadrie dengan
keluhan timbulnya kemerahan di lipatan siku disertai gatal. Keluhan
timbul sejak 1 bulan yang lalu dan Kemerahan muncul tiba-tiba dan Kulit
tampak kering.
Riwayat Pengobatan : Keluhan penderita sudah pernah diobati
sembuh dan muncul kembali saat ini.
26
Riwayat penyakit dahulu :
Keluhan serupa : Penderita pernah merasakan keluhan seperti ini
sebelumnya sudah belasan tahun yang lalu
Alergi : Ada
Asma : Disangkal
Diabetes Melitus : Disangkal
Jantung : Disangkal
Status Dermatologis
27
Distribusi : regional
28
Gambar 8. Ujud kelainan kulit/lesi pada pasien
1. Kepala/leher :
a. Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), mata cekung
(-/-), edem palpebra (-/-)
b. Mulut : sianosis (-), mulut kering (-)
c. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)
29
d. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), massa (-)
2. Thorax
Tidak dilakukan pemeriksaan.
3. Abdomen
Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Genitalia : tidak dievaluasi
5. Ekstremitas : sesuai status dermatologis, akral hangat, CRT < 2”
Sistemik
30
Topikal
3.9. Prognosis
31
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Tn. V datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Sultan Syarif
Mohamad Alkadrie Pontianak pada hari Kamis tanggal 23 Juni 2016 dengan
keluhan utama bercak Kemerahan dan gatal Gatal pada siku tangan kanan, kiri,
lutut dan bokong sejak sejak 1 bulan yang lalu.
Dari anamnesis, didapatkan keluhan rasa gatal disertai bercak kemerahan
pertama kali muncul di siku kiri bagian dalam dan beberapi hari kemudian muncul
dilutut dan bokong. Gatal dirasakan pasien hilang timbul, timbul terutama saat
berkeringat. Dan pasien memiliki riwayat atopi. Hal ini sesuai dengan definisi dari
Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi
pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma bronkhiale,
dan konjungtivitis alergika).
Pasien mengeluhkan kulit kering, bercak kemerahan disertai rasa gatal,
dengan ujud kelainan kulit terdapat eritema, eksoriasi dan krusta di lipatan siku
hal ini sesuai dengan gambaran klinis dermatitis atopik. Gambaran kllinis pada
DA yaitu kulitnya tampak kering, pruritus hilang timbul terutama pada malam
hari, kelainan kulit yang timbul yaitu berupa papul, likenifikasi, eritema,
32
ekskoriasi, eksudasi dan krusta. DA dapat dibagi menjadi tiga fase sesuai umur
yaitu DA infantile (2 bulan – 2 tahun), DA anak (2 – 10 tahun), dan DA pada
remaja dan dewasa. Berdasarkan klasifikasi diatas pasien ini tergolong dermatitis
atopik dewasa.
33
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus dengan diagnosis Dermatitis Atopik pada pasien Tn.
V. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
anamnesis didapatkan pasien mengeluh timbulnya kemerahan di lipatan siku
disertai gatal. Keluhan timbul sejak 1 bulan yang lalu dan Kemerahan muncul
tiba-tiba dan Kulit tampak kering.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan makula eritematosa eksoriasi, likenifikasi
di tangan kanan. Pasien dirawat jalan dan diterapi Cetrizine untuk gatal-gatal,
metil prednisolon dan desoksimetason cream, serta penggunaan hand body lotion
untuk menjaga kelembapan kulit. Secara keseluruhan prognosis pada pasien ini
bonam.
34
DAFTAR PUSTAKA
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke Tiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI,
2004;131-5
3. Hywel C. Williams, Ph.D.. Atopic Dermatitis. N Engl J Med
2005;352:2314-24.
4. B R Allen, M Lakhanpaul, A Morris, S Lateo, T Davies, G Scott et al.
Color Guide to Diagnosis and Therapy. Third Edition. St. Louis, Missouri:
35
7. Eichenfild et all. 2014. Guidelines of care for the management of atopic
4 Oktober 2015.
12. National Institute of Occupational Safety Hazards (NIOSH), 2009.
Jakarta, 2008
14. Weekly epidemiological record. World Health Organization 2011; 86: 389-
400.
[Medline].
36