Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

DERMATITIS ATOPIK

DISUSUN OLEH:
FAWAID AKBAR
I11112029

PEMBIMBING:
dr. HERNI, Sp. KK

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................... 2

2.1. Definisi.................................................................................................... 2

2.2. Sinonim................................................................................................... 2

2.3. Epidemiologi........................................................................................... 2

2.4. Etiopatogenisis........................................................................................ 3

2.5. Gambaran Klinis..................................................................................... 8

2.6. Diagnosis................................................................................................. 10

2.7. Pemeriksaan Penunjang........................................................................... 14

2.8. Diagnosis Banding.................................................................................. 15

2.9. Penatalaksanaan...................................................................................... 16

2.10. Komplikasi............................................................................................ 24

2.11. Prognosis............................................................................................... 24

BAB III PENYAJIAN KASUS …………………………………………………. 19

BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 26

BAB V KESIMPULAN............................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 31

2
BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) adalah suatu penyakit kulit inflamasi yang kronis

dan berulang, dengan karakteristik rasa gatal yang hebat, kulit kering, inflamasi

dan eksudasi. Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami

ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural). Hal ini dapat

disebabkan oleh stress fisik dan emosional. DA seringkali berhubungan dengan

peningkatan nilai serum IgE dan riwayat alergi tipe I, rhinitis alergika dan asma
1,2,3
pada penderita atau keluarga.

DA seringkali mengenai 10-15% anak diseluruh belahan dunia dan

prevalensinya meningkat dengan cepat. Gejala pertama biasanya dimulai saat

bayi, dan sekitar 50% kasus didiagnosis pada usia 1 tahun, dan DA bersifat jangka

panjang dan menetap hingga dewasa pada sepertiga pasienSekitar 70 persen kasus

DA dimulai pada anak usia dibawah 5 tahun, meskipun sebanyak 10 persen kasus

yang dijumpai di rumah sakit dimulai saat usia dewasa. 3,4

Dermatitis atopik dicetuskan oleh sejumlah faktor pencetus. Meliputi

bahan iritan (bahan pakaian yang tidak cocok, air keras), mikroba (khususnya

Staphylococcus aureus), psikologis (khususnya keadaan stres) dan faktor alergi.

Pasien DA seringkali mengalami peningkatan serum IgE dan derajat sensitisasi

yang tinggi terhadap alergen lingkungan, termasuk makanan. Polutan dalam

maupun luar ruangan seperti asam tembakau dapat mempengarugi produksi IgE.

Sebanyak sepertiga anak dengan DA memiliki alergi terhadap makanan.5

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-
anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat
atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma
bronkhiale, dan konjungtivitis alergika).
Kata “atopi” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai
kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis alergika,
dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika. (Djuanda, 2011)

2.2 SINONIM
Banyak istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya : ekzema
konstitusional, fleksural eczema, disseminated neurodermatitis, prurigo basiler6.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat maka untuk
menginterpretasikan hasil penelitian epidemiologi harus berhati-hati. Berbagai
penelitian menyatakan bahwa prevalensi DA makin meningkat sehingga
merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia
dan Negara industri lain, prevalensi DA pada anak mencapai 10-20%, sedangkan
1-3 % terjadi di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah,
prevalensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak m enderita DA daripada
pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap
prevalensi DA misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi,
penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya
penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan jumlah penderita DA.

2
Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga,
urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan
melindungi kemungkinan timbul DA pada kemudian hari.
DA cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu
yang menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bula
pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari seperuh jumlah anak
akna mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orang tua menderita atopi. Resiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu
yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila DA yang dialami
berlanjut hingga masa dewasa, ,maka resiko untuk mewariskan untuk anaknya
sama saja yaitukira-kira 50%. (Djuanda, 2011)

2.4 ETIOPATOGENESIS
Respons Imun Pada Kulit
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit
pada DA. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1
menurun. Pada kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita DA.
bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita DA.,
ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan
IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila
dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya
penderita DA., menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak
banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12.
Lesi kronis DA. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan
mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-
5, GM-CSF,IL-12, dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan yang
akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis DA. berperan dalam
perkembangan TH1.

3
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis
keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y
yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit DA. yang dapat
menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke
dalam kulit.
Pada DA. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil
hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan
ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel
Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada DA. memicu
kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada
keritinosit epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on
activation, normal T cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat
menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin proinflamasi yang lain dari
epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit DA.
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang
diproduksi oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi TH1.
Subunit reseptor IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2.
Sedangkan ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya
diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi
IFN-y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga
merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel
mas/basofilpada DA. akan merangsang perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita DA. meningkatkan aktivitas enzim
cyclic-adenosine monophosphate (CAMP) – phosphodiesterase (PDE),
yang akan meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel
T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat
PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga
meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel
T.

4
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita DA. adalah abnormal,
dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara
selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang
mengandung IgE meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen
tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung
IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di
kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk
menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE,
yaitu FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI
mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui
reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan
penderita alergi saluran napas kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya
rendah, sedangkan di lesi ekzematosa DA. tinggi. Ada korelasi antara
ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL,
reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga ditemukan pada
permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita DA. berkurang sehingga
kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis
dipermudah. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit.
Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen
menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik
atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan
tempat yang sensitif. (Djuanda, 2011)

Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi
penderita DA. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum me-
ningkat. IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi
reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi
meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan

5
IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson Cε
sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi
ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1
(vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan
fungsi sel TH1.
Sel monosit di darah tepi penderita DA. diaktivasi, mempunyai
insidens apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi
apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya
produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada DA.
Perubahan sistemik pada DA. adalah sebagai berikut:
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap
makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan auto-
alergen.
- Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan
monosit meningkat.
- Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
- Eosinofilia.
- Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
- Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai
peningkatan IL-10 dan PGE27.

Berbagai Faktor Pemicu


Dermatitis atopik dibagi menjadi 2 tipe: (1) bentuk murni - tidak
disertai keterlibatan saluran pernafasan, dan (2) bentuk campuran - disertai
gejala pada saluran pernafasan dan terdapatnya sensitisasi IgE polivalen
terhadap alergen hirup dan alergen makanan.
Bentuk murni dibagi atas 2 tipe, yaitu (a) tipe intrinsik – tidak
tedeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak terdapatya peningkatan IgE
total serum, dan (b) tipe ekstrinsik – terdapat bukti sensitisasi terhadap alergen
hirup dan alergen makanan pada uji kulit atau pada serum.

6
Dermatitis atopik merupakan sindrom multifaktorial; berbagai faktor
berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati berbagai fakto
risiko, yaitu:
1 Genetik: diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit atopi
diturunkan secara autosomal dominan; 75% anak akan mengalami
alergi bila kedua orang tua mempunyai riwayat alergi, dibandingkan
dengan 50% anak bila hanya 1 orang tua mempunyai yang riwayat
alergi, meskipun demikian faktor lain (lingkungan) sangat pula
berpengaruh atas berkembangnya penyakit.
2 Sosioekonomi: lebih banyak ditemukam pada status sosial yang lebih
tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal
tersebut dapat diterangkan dengan teori higiene.
3 Jumlah anggota keluarga: kejadian dermatitis atopik berbanding
terbalik dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Hal tersebut dapat
pula diterangkan dengan teori higiene, yaitu terjadi infeksi pada anggota
muda keluarga yang ditularkan oleh anggota keluaraga yang lebih tua
4 Laktasi: makin lama mendapat air susu ibu makin kecil kemungkinan
untuk mendapat dermatitis atopik. Hal tersebut perlu dicermati karena
perkembangan penyakit berhubungan dengan alergen lingkunagan dan
status ibu (misanya perokok)
5 Pengenalan makanan padat terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan
meningkatkan angka kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali.
Sensitisasi umumnya terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu
sapi, telur, kacang-kacangan dan gandum
6 Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan
polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan
suhu dan penurunan kelembaban udara, water hardeness, asap roklok,
penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelemban,
penggunanan shampo dan sabun yang berlebihan, dan detergen yang
tidak dibilas dengan sempurna7.

7
2.5 GAMBARAN KLINIS
Kulit penderita DA. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di
epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari
tangan teraba dingin. Penderita DA. cenderung tipe astenik, dengan
inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustrasi, agresif,
atau merasa tertekan.
Gejala utama DA. Jalah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang
hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita
akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit
berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.
DA. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: DA. infantil (terjadi
pada usia 2 bulan sampai 2 tahun; DA. anak (2 sampai 10 tahun); dan DA.
pada remaja dan dewasa6.

DA. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)


DA. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya
setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema,
papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan
akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke
skalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai
merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk
setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu
sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya
lesi DA. infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat
mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun
jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan
residif.
Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian
besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya,
sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak

8
lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya
menyebabkan kambuh penyakitnya.
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada
bayi masih ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan
secara dramatis membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya
ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan. (Djuanda, 2011)

DA. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)


Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri
(de novo). Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul,
likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat
lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di
muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi
erosi, likenifikasi, mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat
garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal,
sehingga terjadi lingkaran setan “siklus gatal-garuk”. Rangsangan
menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol, bulu
kucing dan anjing, juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.
DA. berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat
memperlambat pertumbuhan. (Djuanda, 2011)

DA. pada remaja dan dewasa


Lesi kulit DA. pada bentuk ini dapat berupa plak papular-
eritematosa dan berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA.
remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan
sekitar mata. Pada DA. dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering
mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat,
misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp.
Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami likenifikasi.
Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung bergabung

9
menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering tejadi
eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi
hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat.
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila
mengalami stres. Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang
rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat,
sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya
DA. remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun
dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia
pertengahan; hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit
penderita DA. yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila
terpajan oleh bahan iritan eksogen.
Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-
kira 70% suatu saat dapat mengalaminya. DA. pada tangan dapat
mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan
dermatitis kontak. DA. di tangan biasa timbul pada wanita muda setelah
melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai
pemicunya.
Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hipedinearis
palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris,
lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe),
keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus, dan
keratokonus (bentuk kornea yang abnormal). Selain itu penderita DA.
cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap
obat, gigitan atau sengatan serangga. (Djuanda, 2011)

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis DA. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan
Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi
oleh Williams (1994). (Djuanda, 2011)

10
Kriteria mayor
- Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

Gambar 1. Dermatitis pada muka dan fleksura

Kriteria minor

Gambar 1. Kriteria Minor

11
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mame
- White dermographism dan delayed blanch response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat atau eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE di dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini1.

Diagnosis DA. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa:
- riwayat atopi pada keluarga,
- dermatitis di muka atau ekstensor,
- pruritus,
ditambah tiga kriteria minor
- xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular,
- fisura belakang telinga,
- skuama di skalp kronis.

Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian
berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat
dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya
ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi

12
terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh
karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh
William memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi
satu set kriteria untuk pedoman diagnosis DA. yang dapat diulang dan divalidasi.
Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi
dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis6.
Pedoman diagnosis DA. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:
- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang
tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.
- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:
1 Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut,
bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak
usia di bawah 10 tahun).
2 Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat
penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).
3 Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir.
4 Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi
dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5 Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4
tahun).

13
Gambar 1. Tempat Predileksi Dermatitis Atopik

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1 Laboratorium
Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat dipergunakan untuk
menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang dapat ditemukan pada
dermatitis atopik, misalnya kenaikkan kadar IgE dalam serum, mengurangnya
jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dan imunitas seluler, jumlah eosinofil
dalah darah relatif meningkat. (Davey, 2006)
2 Dermatografisme putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturut-
turut akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna
merah disekitarnya selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa
menit. Penggoresan pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan. Garis
merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai
5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme
putih. (Davey, 2006)
3 Percobaan asetil kolin
Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan
hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopi akan
timbul vasokonstriksi terlihat kepucatan selama satu jam. (Davey, 2006)
4 Percobaan histamin

14
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopi eritema
akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut
disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit orang normal.
(Wolff, 2008)

2.8 DIAGNOSIS BANDING (Wollf, 2008)

Penyakit Gambaran klinis


Seboroik dermatitis Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail
Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
Contact dermatitis Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga
tidak ada
Skabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungau
Sistemik Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak sesuai
dengan penyakit
Dermatitis herpetiforme Vesikel berkelompok di daerah lipata
Dermatofita Plak dengan sentral healing, KOH negatif
Immmunodefisiensi Riwayat infeksi berulang
disorder

15
2.9 PENATALAKSANAAN
Kulit penderita DA. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh
karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang
memperberat dan memicu siklus “gatal-garuk”, misalnya sabun dan deterjen;
kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin
yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal
terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih
dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia
tambahan. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik, sebab sisa
deterjen dapat bersifat iritan. Kalau selesai berenang harus segera mandi untuk
membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres psikik juga
dapat menyebabkan eksaserbasi DA. (Djuanda, 2011)
Acapkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari
luar, misalnya terlalu sering dimandikan; menggosok terlalu kuat; pakaian terlalu
tebal, ketat atau kotor; kebersihan kurang terutama di daerah popok; infeksi lokal;
iritasi oleh kencing atau feses; bahkan juga medicated baby oil. Pada bayi penting
diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia; popok segera diganti, bila
basah atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap
garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian
yang bersifat iritan (misalnya wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit
anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau
trauma garukan. (Djuanda, 2011)
Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab; hindari pembersih
antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi. (Djuanda, 2011)

Menurut Kim dalam jurnalnya (Kim, 2015), penatalaksanaan DA meliputi:


a. Farmakologi
 Pelembab: Petrolatum, Aquaphor, atau agen yang lebih baru seperti
Atopiclair dan Mimyx (unggul tetapi lebih mahal dan
membutuhkan evaluasi lebih lanjut)

16
 Steroid topikal (andalan saat pengobatan; umumnya digunakan
dalam hubungannya dengan pelembab): Hidrokortison,
triamsinolon, atau betametason; basis salep umumnya lebih
disukai, khususnya di lingkungan kering
 Imunomodulator: Tacrolimus dan pimecrolimus (inhibitor
kalsineurin; dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua dan
digunakan hanya sebagai indikasi); omalizumab (antibodi
monoklonal yang berfungsi menghalangi imunoglobulin E [IgE])

PENGOBATAN TOPIKAL
Hidrasi kulit. Kulit penderita DA. kering dan fungsi sawarnya berkurang,
mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan
iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya
krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya.
Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan
lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah
mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien
dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam. (Djuanda, 2011)
Pasien disarankan Mandi yang sering dengan menambahkan minyak
pengemulsi (1L ditambahkan ke air mandi hangat) selama 5-10 menit dapat
melembabkan kulit. Minyak akan mempertahankan air pada kulit dan mencegah
penguapan. Dokter juga menyarankan pasien untuk memakai emolien seperti
petrolatum atau Aquaphor ke seluruh tubuh saat kulit masih basah, untuk
menyegel kelembaban dan memungkinkan air untuk diserap melalui stratum
korneum. Salep menyebar dengan baik pada kulit yang basah. Bahan aktif harus
diterapkan sebelum emolien. Emolien yang lebih baru seperti Atopiclair dan
Mimyx telah dianjurkan karena memiliki hasil yang lebih unggul, tetapi bahan
tersebut mahal dan perlu evaluasi lebih lanjut.(Kim, 2015)
Kortikosteroid topikal. Pengobatan DA. dengan kortikosteroid topikal
adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun
demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.

17
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya
hidrokortison 1 %-1,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi
menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid
berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai di daerah
genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya
fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara
intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;
sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah.
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,
misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus
1:5000. (Djuanda, 2011)
Hasil studi dari Belanda oleh Haeck dkk. menunjukkan bahwa penggunaan
kortikosteroid topikal untuk dermatitis atopik pada kelopak mata dan daerah
periorbital aman, namun masih dalam pengawasan karena dapat menginduksi
glaukoma atau katarak. (Kim, 2015)
Sebagai rejimen perawatan, bubuk hidrokortison 1,25% dalam Asam
Mantle digunakan sebagai emolien berbasis steroid terbukti efektif dan aman
untuk waktu yang lebih lama (misalnya bulan) untuk mencegah kemerahan akut
dengan penambahan steroid-kelas yang lebih tinggi untuk mengobati kemerahan
akut secara cepat. (Kim, 2015)

Imunomodulator topikal
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa
0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA.
yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka
panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan
efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi
kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak
mata. (Djuanda, 2011)

18
Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin
yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil
fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat
mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis,
walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-
drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin.
Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada
makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu
molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga
produksi sitokin TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat.
Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek
imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak
alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik,
tidak seperti takrolimus dan siklosporin. (Djuanda, 2011)
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi
1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05%
(steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4
minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada
muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari. (Djuanda, 2011)
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari
2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati
untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut
berpotensi menimbulkan kanker kulit. (Djuanda, 2011)
Sementara klaim ini sedang diselidiki lebih lanjut, obat hanya digunakan
jika terdapat indikasi yaitu untuk dermatitis atopik pada orang yang lebih dari 2 y
dan hanya jika terapi lini pertama gagal. terapi ini jauh lebih mahal daripada
kortikosteroid dan seharusnya hanya digunakan sebagai terapi lini kedua. (Kim,
2015)
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi
pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk

19
salap hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai
10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%.(Djuanda, 2011)
Antihistamin. Pengobatan DA. dengan antihistamin topikal tidak
dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan
bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu),
dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila
dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif. (Djuanda,
2011)

PENGOBATAN SISTEMIK

Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk


mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah,
diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering),
kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang
menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat
akan muncul kembali. (Djuanda, 2011)
Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa
gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena
itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya
hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade
reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam
hari pada orang dewasa. (Djuanda, 2011)
Anti-infeksi. Pada DA. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk
yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin,
sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi
pertama sefalosporin. (Djuanda, 2011)
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid
dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari
selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari. (Djuanda, 2011)

20
Interferon. IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi
dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan
perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
Siklosporin. DA. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional
dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis
jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah
obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan
cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan
menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila
pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera
kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin
dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.
(Djuanda, 2011)

TERAPI SINAR (phototherapy)


Untuk DA. yang berat dan luas dapat digunakan PUVA
(photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau
Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih
baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil,
sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi
sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.(Djuanda, 2011)

Pengobatan Lainnya untuk Dermatitis Atopik


 Probiotik
Probiotik telah direkomendasikan sebagai pilihan terapi untuk pengobatan
dermatitis atopik. Hal ini dikarenakan produk bakteri ini dapat
menyebabkan respon imun dari Th 1 seri bukannya Th 2 dan karena itu
bisa menghambat perkembangan produksi antibodi alergi, IgE. Beberapa
laporan manfaat terbatas dalam peran pencegahan dan terapi. Sebuah
meta-analisis dari 25 uji plasebo acak terkontrol yang melibatkan 4.031
subjek menemukan bahwa pemberian probiotik saat prenatal dan postnatal

21
mengurangi kadar IgE pada bayi dan dapat melindungi terhadap sensitisasi
untuk alergi tetapi mungkin tidak melindungi terhadap asma.(Hand, 2013)
Pada bulan Januari 2015, Organisasi Alergi Dunia merekomendasikan
penggunaan probiotik oleh ibu hamil dan menyusui untuk mencegah
perkembangan DA. Rekomendasi ini didasarkan pada meta-analisis dari
29 studi yang digunakan probiotik oleh ibu hamil mengurangi kejadian
eksim sebesar 9% selama masa follow up 1-5 tahun dan penggunaan oleh
wanita menyusui dikaitkan dengan 16% pengurangan eksim selama masa
follow up 6 bulan. Konsumsi probiotik oleh menyusui bayi dikaitkan
dengan penurunan 5% pada eksim selama 6 bulan sampai 6 tahun masa
tindak lanjut. (Johnson, 2014)

 Pada pasien dengan eksim herpeticum, asiklovir efektif.


 Pada pasien dengan penyakit berat, dan terutama pada orang dewasa,
fototerapi, methotrexate (MTX), azathioprine, cyclosporine,
mycophenolate mofetil dan telah digunakan dengan sukses. (Kim, 2015)
 Kedua hydroxyzine dan diphenhydramine hydrochloride memberikan
tingkat tertentu bantuan dari gatal-gatal tetapi tidak efektif tanpa
pengobatan lain. (Kim, 2015)
 Terapi berhasil dengan everolimus, macrolide rapamycin yang diturunkan,
telah dilaporkan pada 2 pasien dengan dermatitis atopik parah. Terapi
kombinasi dengan baik prednisone atau siklosporin A tidak efektif.
Namun, laporan dari ketidakefektifan everolimus telah dipertanyakan.
(Kim, 2015)
 Hasil dengan banyak obat lain, seperti thymopentin, gamma interferon,
dan ramuan Cina, telah mengecewakan. Banyak obat yang tidak praktis
untuk digunakan, dan mereka bisa mahal. Beberapa obat herbal Cina
mengandung obat resep, termasuk prednison, dan telah dikaitkan dengan
masalah jantung dan hati. (Kim, 2015)
 Antibiotik digunakan untuk pengobatan infeksi klinis yang disebabkan
oleh S aureus atau flare penyakit. Mereka tidak berpengaruh pada penyakit
yang stabil tanpa adanya infeksi. Bukti laboratorium S aureus kolonisasi

22
tidak bukti infeksi klinis karena organisme staphylococcal umum menjajah
kulit pasien dengan dermatitis atopik. (Kim, 2015)

 Sebuah acak, penyidik-buta, percobaan terkontrol plasebo termasuk 31


pasien menunjukkan bahwa salep mupirocin intranasal dan pemutih
diencerkan (sodium hipoklorit) mandi ditingkatkan atopik dermatitis
gejala pada pasien dengan tanda-tanda klinis infeksi bakteri sekunder.
(Kim, 2015)

Upaya Nonmedis Untuk Dermatitis Atopik


 Pakaian harus lembut di sebelah kulit. Katun nyaman dan dapat berlapis di
musim dingin. Produk wol harus dihindari.
 Suhu dingin, terutama pada malam hari, sangat membantu karena
berkeringat menyebabkan iritasi dan gatal.
 Sebuah humidifier mencegah kelebihan pengeringan dan harus digunakan
pada musim dingin, ketika pemanasan mengering atmosfer, dan di musim
panas, ketika AC menyerap kelembaban dari udara.
 Pakaian harus dicuci dalam deterjen ringan tanpa pemutih atau pelembut
kain.
 Menghindari makanan Penyebab

23
Algoritma penatatlaksanaan dermatitis atopik. (Davey, 2006)

Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit


Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh kepada keluarga

Pelembab, edukasi

Mengatasi prurits dan Terapi ajuvan


inflamasi akut
Remisi penyakit Kortikosteroid topikal atau
(tidak ada tanda
Penghambat dan gejala)
kalsineurin topikal Pimekrolimus 2Hindari
kali sehari atau Takrolimus
faktor-faktor 2
pencetus

Infeksi bakterial: antibiotik or

Infeks viral: terapi antiviral


Terapi pemeliharaan
Untuk penyakit persisen dan atau sering kambuhpsikologis
Intervensi
Pada tanda dini rekurensi gunakan penghambat kalsineurin topikal untuk mencegah progresivitas penyakit Pimekrolim
Penggunaan penghambat kalsineurin topikal jangka waktu lama untuk pemeliharaan
antihistamin
kortikosteroid topikal secara intermiten

Penyakit berat dan refrakter


Fototerapi
Kortiosteriid topikal poten
Siklosporin
Metotreksat
Kortiosteroid oral
Azatioprin -Psikoterapi

2.10 KOMPLIKASI
Infeksi sekunder5.

2.11 PROGNOSIS
Sulit meramalkan prognosis DA. pada seseorang. Prognosis lebih buruk
bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan
pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus
menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan DA. yang diderita
sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%,

24
terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa
84% DA. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, DA. pada
anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65 % berkurang
gejalanya. Lebih dari separo DA. remaja yang telah diobati kambuh kembali
setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang balk DA. yaitu:
- DA luas pada anak
- menderita rinitis alergik dan asma bronkial
- riwayat DA. pada orang tua atau saudara kandung
- awitan (onset) DA. pada usia muda
- anak tunggal
- kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen DA. infantil akan berkembang menjadi
asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita
dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan. (Djuanda, 2011)

BAB III

25
PENYAJIAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : Tn. Victor Edmundus Ayud


Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 55 tahun
Alamat : Jl. Pancasila V No. 12
Status : Menikah
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : S2
Etnis/suku : Dayak
Agama : Katolik
Tanggal pemeriksaan : Rabu, 22 Juni 2016

3.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan Secara Autoanamnesis pada Hari Rabu


Tanggal 22 Juni 2016, pukul 10.00 WIB.

Keluhan utama :
Bercak Kemerahan di sertai gatal di lipatan siku, lutut dan bokong
sejak 1 bulan yang lalu
Riwayat penyakit sekarang :
Penderita datang ke RSUD Sultan Syarif Mohamad Al Qadrie dengan
keluhan timbulnya kemerahan di lipatan siku disertai gatal. Keluhan
timbul sejak 1 bulan yang lalu dan Kemerahan muncul tiba-tiba dan Kulit
tampak kering.
Riwayat Pengobatan : Keluhan penderita sudah pernah diobati
sembuh dan muncul kembali saat ini.

26
Riwayat penyakit dahulu :
 Keluhan serupa : Penderita pernah merasakan keluhan seperti ini
sebelumnya sudah belasan tahun yang lalu
 Alergi : Ada
 Asma : Disangkal
 Diabetes Melitus : Disangkal
 Jantung : Disangkal

Riwayat penyakit keluarga :


 Keluhan serupa : Disangkal
 Alergi : Ada. Alergi makanan, udang
 Asma : Ada. Ibu Pasien
 Diabetes mellitus : Riwayat DM disangkal
 Hipertensi : Disangkal
 Jantung : Disangkal
.
Riwayat kebiasaan/lingkungan :
 Anggota keluarga yang sakit serupa di sangkal.

Riwayat sosial ekonomi :


Pasien adalah seorang PNS di salah satu Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) di Kota Pontianak.
Resume anamnesis :
Pasien mengeluh gatal disertai adanya bercak kemerahan disertai
rasa gatal di tangan di daerah lipatan siku, lutut dan bokong sejak 1 bulan
yang lalu. Sebelumnya pasien pernah mengalami sakit demikian tetapi
sembuh setelah menjalani pengobatan dan muncul kembali saat ini.
Riwayat penyakit asama di sangkal , tetapi ibu pasien memiliki riwayat
penyakit asma.

3.3. Pemeriksaan Dermatologi

Status Dermatologis

Lokasi : regio tangan kanan dan kiri.

27
Distribusi : regional

Ujud kelainan kulit: Papul berskuama eksoriasi di regio fossa cubiti.

28
Gambar 8. Ujud kelainan kulit/lesi pada pasien

3.4. Status Generalis

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4M6V5)
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 168 cm
Gizi : Kesan gizi baik
Nadi : 80/menit
Repirasi : 20x/menit
TD : 130/70 mmHg
Suhu : 36,7oC

1. Kepala/leher :
a. Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), mata cekung
(-/-), edem palpebra (-/-)
b. Mulut : sianosis (-), mulut kering (-)
c. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)

29
d. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), massa (-)
2. Thorax
Tidak dilakukan pemeriksaan.
3. Abdomen
Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Genitalia : tidak dievaluasi
5. Ekstremitas : sesuai status dermatologis, akral hangat, CRT < 2”

3.5. Diagnosis Kerja


Dermatitis Atopik

3.6. Diagnosis Banding


a. Skabies
b. Dermatitis Kontak Iritan.
c. Dermatitis Kontak Alergi.

3.7. Usulan Pemeriksaan Penunjang


 Biakan jaringan
 Imunofluoresensi
 Apusan tzanck

3.8. Tata Laksana


1. Hindari semua faktor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi
klinis
2. Menjauhi alergen pemicu
3. Hindari pemakaian bahan yang merangsang seperti sabun keras dan
bahan pakaian dari wol

Sistemik

4. Antihistamin golongan H1 untuk mengurangi gatal dan sebagai


penenang Seperti Cetrizine, Loratadine dll
5. Kortikosteroid jika gajala klinis berat dan sering mengalami
kekambuhan seperti Metilprednisolon
6. Jika ada infeksi sekunder diberi antibiotik seperti eritromisin,
tetrasikin.

30
Topikal

7. Pada bentuk bayi diberi kortikosteroid ringan dengan efek samping


sedikit, misalnya krim hidrokortison 1-1,5%, seperti desoksimetashon
8. Pada bentuk anak dan dewasa dengan likenifikasi dapat diberi
kortikosteroid kuat seperti betamethason dipropionat 0,05% atau
desoksimetason 0,25%. Untuk efek yang lebih kuat, dapat
dikombinasikan dengan asam salisilat 1-3% dalam salep. Gunakan
Moisturizer krim steroid topikal, atau obat-obatan lainnya.

3.9. Prognosis

a. Quo Ad vitam : bonam


b. Quo Ad functionam : bonam
c. Quo Ad sanactionam : dubia ad bonam

31
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien Tn. V datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Sultan Syarif
Mohamad Alkadrie Pontianak pada hari Kamis tanggal 23 Juni 2016 dengan
keluhan utama bercak Kemerahan dan gatal Gatal pada siku tangan kanan, kiri,
lutut dan bokong sejak sejak 1 bulan yang lalu.
Dari anamnesis, didapatkan keluhan rasa gatal disertai bercak kemerahan
pertama kali muncul di siku kiri bagian dalam dan beberapi hari kemudian muncul
dilutut dan bokong. Gatal dirasakan pasien hilang timbul, timbul terutama saat
berkeringat. Dan pasien memiliki riwayat atopi. Hal ini sesuai dengan definisi dari
Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi
pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma bronkhiale,
dan konjungtivitis alergika).
Pasien mengeluhkan kulit kering, bercak kemerahan disertai rasa gatal,
dengan ujud kelainan kulit terdapat eritema, eksoriasi dan krusta di lipatan siku
hal ini sesuai dengan gambaran klinis dermatitis atopik. Gambaran kllinis pada
DA yaitu kulitnya tampak kering, pruritus hilang timbul terutama pada malam
hari, kelainan kulit yang timbul yaitu berupa papul, likenifikasi, eritema,

32
ekskoriasi, eksudasi dan krusta. DA dapat dibagi menjadi tiga fase sesuai umur
yaitu DA infantile (2 bulan – 2 tahun), DA anak (2 – 10 tahun), dan DA pada
remaja dan dewasa. Berdasarkan klasifikasi diatas pasien ini tergolong dermatitis
atopik dewasa.

Predileksi terletak di lipatan siku, lutut dan bokong. Berdasarkan


predileksinya di dapatkan hipotesa yaitu dermatitis atopik, miliaria, folikulitis,
dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Untuk Menegakka diagnosis
diagnosis Dermatitis atopik kita ambil sebagai diagnose berdasarkan 3 kriteria
mayor dan minor, pada pasien ini kriteria mayor tersebut yaitu pruritus, dermatitis
kronis dan residif, riwayat atopi pada diri sendiri sedangkan kriteria minor yaitu
xerosis, gatal bila berkeringat, hipersensitif terhadap makanan. Pada kasus DA
terjadi respon imun pada kulit dan reaksi sistemik. Perubahan sistemik pada DA
diantaranya adalah sintesis IgE meningkat, IgE spesifik terhadap allergen ganda
meningkat, termasuk pada makanan, aeroallergen, mikroorganisme, toksin bakteri
dan autoalergen. Pelepasan histamine dan basophil meningkat, dan terjadi
eosinophilia. Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yamg dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis DA, namun kita dapat mengusulkan untuk
pemeriksaan IgE dan skin prick te.

Pengobatan sistemik menurut teori dapat diberi kortikosteroid dan


antihistamin. Kortikosteroid diberikan untuk mengendalikan eksaserbasi akut
dalam jangka pendek dan dosis rendah. Antihistamin unntuk membantu
mengurangi rasa gatal yang hebat. Maka dari itu pada pasien ini diberi Obat anti
histamin, kortiko steroid oral , topical kortikosteroid dan antibiotic jika terjadi
infeksi sekunder. Yaitu, cetirizine, metilprednisolon, desoksimethason, dan
klindamisin.

33
BAB V

KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus dengan diagnosis Dermatitis Atopik pada pasien Tn.
V. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
anamnesis didapatkan pasien mengeluh timbulnya kemerahan di lipatan siku
disertai gatal. Keluhan timbul sejak 1 bulan yang lalu dan Kemerahan muncul
tiba-tiba dan Kulit tampak kering.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan makula eritematosa eksoriasi, likenifikasi
di tangan kanan. Pasien dirawat jalan dan diterapi Cetrizine untuk gatal-gatal,
metil prednisolon dan desoksimetason cream, serta penggunaan hand body lotion
untuk menjaga kelembapan kulit. Secara keseluruhan prognosis pada pasien ini
bonam.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. C.Ellis, T. Luger, D.Abeck, R.Allen, R.A.C.Graham-Brown, Y.de Prost et

al. International Consensus Conference on Atopic Dermatitis II (ICCAD

II*): clinical update and current treatment strategies. British Journal of

Dermatology 2003;148 (Suppl. 63):3–10


2. Djuanda Suria, Sri Adi S. Dermatitis. Dalam: Adhi Djuanda, Ed. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke Tiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI,

2004;131-5
3. Hywel C. Williams, Ph.D.. Atopic Dermatitis. N Engl J Med

2005;352:2314-24.
4. B R Allen, M Lakhanpaul, A Morris, S Lateo, T Davies, G Scott et al.

Systemic exposure, tolerability, and efficacy of pimecrolimus cream 1% in

atopic dermatitis patients. Arch Dis Child 2003;88:969–73


5. Habif Thomas P. Atopic Dermatitis. Dalam: Clinical Dermatology: A

Color Guide to Diagnosis and Therapy. Third Edition. St. Louis, Missouri:

Mosby-Year Book Inc, 1996;5:345-7


6. Djuanda, S., dan Sri A., 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta:

Balai Penerbit FKUI.

35
7. Eichenfild et all. 2014. Guidelines of care for the management of atopic

dermatitis. American Academy of Dermatology Journal. 71:116-32


8. Harahap, M., Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates : Jakarta.2007
9. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin Clinical

Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.

10. Johnson K. Probiotics in Pregnancy, Lactation Reduce

Dermatitis. Medscape Medical News. Nov 25 2014.[Full Text].

11. Kim, B. 2015. Atopic Dermatitis Treatment & Management. Medscape J.

http://emedicine.medscape.com/article/1049085-treatment. Diakses pada:

4 Oktober 2015.
12. National Institute of Occupational Safety Hazards (NIOSH), 2009.

Occupational and Environmental Exposure of Skin to Chemic.


13. Siregar, R. S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Ed 2., EGC :

Jakarta, 2008
14. Weekly epidemiological record. World Health Organization 2011; 86: 389-

400.

15. [Guideline] Fiocchi A, Pawankar R, Cuello-Garcia C, et al. 2015.World

Allergy Organization-McMaster University Guidelines for Allergic

Disease Prevention (GLAD-P): Probiotics. World Allergy Organ J. 8 (1):4.

[Medline].

36

Anda mungkin juga menyukai