Oleh:
Indira Dharmasamitha
Pembimbing:
1
KASUS
Seorang pria, usia 64 tahun, suku Jawa, warga negara Indonesia,menikah, dengan
nomer rekam medis 01587051. Pada tanggal 4 Januari 2018 pasien masuk rumah
sakit karena keluhan bengkak dan kemerahan pada kaki sebelah kiri. Awalnya
sejak 9 hari yang lalu, kaki kiri pasien terasa gatal kemudian pasien menggaruk
hingga tidak sengaja terluka. Pasien hanya membersihkannya dengan air mengalir
namun luka tidak kunjung membaik. Tiga hari kemudian, kaki sebelah kiri mulai
membengkak, kemerahan, dan teraba hangat. Sebelumnya disertai dengan demam
sejak pagi hari. Kemudian keesokannya pasien memeriksakan diri ke spesialis
kulit dan kelamin dan kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah.
Pada pemeriksaan di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah, bengkak,
kemerahan, dan teraba hangat pada kaki sebelah kiri masih dirasakan disertai rasa
nyeri. Nyeri bertambah terutama jika pasien berjalan. Luka di beberapa tempat
sudah mulai mengering namun ada beberapa yang masih basah. Demam tidak ada.
Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus sejak +20 tahun yang lalu,
penyakit jantung, dan hipertensi. Pasien juga memiliki riwayat amputasi pada jari
kaki kanan keempat dan kelima. Riwayat memiliki keluhan bengkak dan
kemerahan sebelumnya di sangkal. Riwayat mengoleskan obat tradisional
disangkal. Riwayat pengobatan Sefadroksil 2x500mg sejak 2 hari setelah
pemeriksan di poliklinik kulit dan kelamin.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran kompos mentis, keadaan
umum lemah, tanda vital tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 90x/menit, respirasi
20x/menit, suhu 36.5°C. Pemeriksaan status generalis, kedua mata tidak tampak
anemia, ikterus maupun hiperemia, pupil isokor, reflek cahaya positif.
Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan didapatkan kesan tenang dan pada
leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan toraks
didapatkan suara jantung (S1 dan S2) tunggal, regular, tidak terdapat murmur.
Suara nafas paru-paru vesikular, tidak ditemukan adanya rhonki ataupun
wheezing. Pada pemeriksaan abdomen, hepar dan lien tidak teraba, bising usus
dalam batas normal, tidak terdapat distensi abdomen. Ekstremitas atas dan bawah
teraba hangat,didapatkan edema non pitting pada kaki kiri.
2
Status dermatologi regio cruris sinistra didapatkan effloresensi makula
eritema soliter, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 12cm x 20cm di beberapa
tempat terdapat erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi
3cm x 4cm – 4cm x 6cm di atasnya terdapat krusta coklat kehitaman. Pada
perabaan terdapat hangat, nyeri, pulsasi arteri dorsalis pedis, dan edema.
Didapatkan lingkar kaki yang lebih besar 2 cm pada cruris sinistra.
(a) (b)
Gambar 1. (a) Perbandingan regio cruris dextra et sinistra tampilan dari anterior (b) tampilan
yang diperbesar pada lesi erosi di cruris sinistra
3
Hasil pemeriksaan gram pada erosi di cruris sinistra tidak ditemukan sel
epitel, ditemukan leukosit 2-5/lapang pandang besar dan ditemukan bakteri coccus
gram positif.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien diagnosis pasien erisipelas cruris sinistra, didiagnosis banding dengan
selulitis erisipelas cruris sinistra. Diagnosis kerja pada pasien adalah erisipelas
cruris sinistra. Penatalaksanaan yang diberikan adalah rawat inap, pemberian
Cefazolin 1 gram tiap 8 jam intravena, natrium fusidat 2 % krim tiap 12 jam
topikal, kompres terbuka NaCl 0,9% selama 10-15 menit tiap 8 jam dan di
edukasi untuk elevasi kaki 30°. Selain itu, dilakukan pemeriksaan kultur dan
sensitifitas antibiotik dari dasar luka sebelum pemberian antibiotika.
4
(a) (b)
Gambar 2. (a) Perbandingan regio cruris dextra et sinistra tampilan dari anterior (b) tampilan
yang diperbesar pada lesi erosi di cruris sinistra
5
pasien baik dengan kesadaran yang kompos mentis. Tekanan darah pasien 110/80
mmHg, nadi 90 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu aksila 36,5⁰C. Status
generalis pasien didapatkan dalam batas normal.
(a) (b)
Gambar 3. (a) Regio cruris sinistra tampilan dari anterior (b) tampilan yang diperbesar pada lesi
erosi di cruris sinistra
6
Cefadroxyl 500mg tiap 12 jam intraoral mulai hari ini. Natrium fusidat 2 % krim
tiap 12 jam topikal, kompres terbuka NaCl 0,9% selama 10-15 menit tiap 8 jam
tetap dilanjutkan, di edukasi untuk elevasi kaki 30° saat di rumah dan kontrol ke
poliklinik kulit dan kelamin 3 hari kemudian.
PEMBAHASAN
Infeksi kuit dan jaringan lunak (skin and soft tissue infection - SSTI) adalah salah
satu penyakit infeksi yang sering terjadi. Penyebab tersering infeksi kulit dan
jaringan lunak adalah gram positif. Selulitis dan erisipelas biasanya disebabkan
oleh S. aureus atau Streptococci β-hemolitik [terutama Streptococcus grup A
(GAS)] (lihat Tabel 1). Faktor yang meningkatkan kemungkinan SSTI meliputi
paparan pada organisme patogen, peregangan lokal pada fungsi barier kulit lokal
(termasuk dermatitis atopik, dan lebih jarang, dermatitis kontak alergi, psoriasis,
trauma, penggunaan obat intravena, prosedur bedah dan kosmetik, intertigo sela
jari kaki, gigitan antropoda, dan ulkus kronik), immunokompromais (termasuk
acquired immunodeficiency syndome [AIDS], diabetes, penyakit renal tahap
akhir/dialisis, neutropenia, kanker, dan pengobatan imunosupresif), obesitas, atau
circulatory compromise. Gambaran klinis pada erisipelas hampir mirip dengan
selulitis klasik (nyeri, tenderness, eritema, dan edema) namun memiliki beberapa
perbedaan. Infeksi yang lebih superfisial dibandingkan selulitis menyebabkan
eritema yang lebih terang dan batas yang tegas dibandingkan selulitis selain itu
dapat pula menimbulkan gambaran peau d’ orange (kulit jeruk). Tujuh puluh lima
sampai 90% kasus melibatkan ekstremitas bawah, sementara wajah terinfeksi
pada 2,5%-10% kasus. Pada pemeriksaan laboratorium, kasus erisipelas
didapatkan peningkatan pada marker infeksi seperti leukositosis ataupun CRP dan
LED yang meningkat.1,4
Diagnosis Klinis. Pada kasus, pasien mengeluhkan bengkak dan
kemerahan yang berwarna terang dan berbatas tegas pada kaki sebelah kiri.
Sebelumnya, terdapat luka akibat garukan yang terjadi sejak 9 hari yang lalu dan
dicurigai menjadi port d’entry. Selain itu, pasien memiliki riwayat penyakit
diabetes mellitus sejak +20 tahun yang lalu, serta penyakit jantung, dan hipertensi
7
yang dapat menjadi salah satu faktor risiko yang meningkatkan terjadinya SSTI.
Pada pasien ditemukan marker infeksi CRP yang meningkat yaitu 9,33 mg/L.
Tabel 1.
Etiologi Infeksi Jaringan Lunak Non Nekrotik
Tipe Infeksi Penyebab Tersering Penyebab yang Lebih Jarang
Erisipelas Staphylococus aureus, Streptococci grup B, C, dan G
Streptococcus grup A
Selulitis S. aureus, Streptococcus Streptococci grup B, C, dan
grup A G; Streptococcus iniae;
Pneumococcus; Haemophillus
influenzae (anak); Escherichia
coli; Proteus; Enterobakter
lain; Campylobacter jejuni;
Moraxella; Crptococcus
neoformans; Legionella
pneumphila, Leginonella
micdadei; Bacillus anthracis
(antraks); Aeromonas
hydrophila; Erysipelothrix
rhusiopathiae; Vibrio
vulnificus, Vibrio
alginolyticus, Vibrio cholera
non-01
8
Media agar darah merupakan media differensial yang berfungsi
membedakan bakteri berdasarkan kemampuan bakteri melisiskan sel darah merah.
Ekspresi dari hemolisis bakteri dapat diketahui ada atau tidaknya zona bening
disekeliling koloni bakteri. Apabila pada agar darah tumbuh koloni dilakukan uji
lanjutan berupa uji katalase.
Uji katalase digunakan untuk diferensiasi antara Staphylococcus dan
Streptococcus. Kebanyakan bakteri memproduksi enzim katalase yang dapat
memecah H2O2 menjadi H2O dan O2. Enzim katalase diduga penting untuk
pertumbuhan aerobik karena H2O2 yang dibentuk dengan pertolongan berbagai
enzim pernafasan bersifat racun terhadap sel mikroba. Bakteri katalase positif
seperti Staphylococcus aureus bisa menghasilkan gelembung-gelembung oksigen
karena adanya pemecahan H2O2 (hidrogen peroksida) oleh enzim katalase yang
dihasilkan oleh bakteri.
Komponen H2O2 ini merupakan salah satu hasil respirasi aerobik bakteri,
misalnya Staphylococcus aureus, dimana hasil respirasi tersebut justru dapat
menghambat pertumbuhan karena bersifat toksik bagi bakteri, komponen ini harus
dipecah agar tidak bersifat toksik lagi.
Uji koagulase digunakan untuk diferensiasi Staphylococcus aureus dari
spesies Staphylococcus lainnya. Bakteri Staphylococcus aureus memberikan hasil
uji koagulase positif, sedangkan Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus
albus, Staphylococcus intermedius, dan spesies Staphylococcus lainnya
memberikan hasil uji koagulase negatif. Uji koagulase dilakukan untuk
mendeteksi pembentukan enzim koagulase yang terikat ke dinding sel bakteri. Uji
koagulase dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua metode yaitu
uji koagulase metode tabung dan uji koagulase metode slide. Uji koagulase
metode tabung masih diakui sebagai metode referensi dan memberikan hasil
setelah inkubasi 4 sampai 24 jam, sedangkan uji koagulase metode slide jauh
lebih cepat karena memerlukan waktu pelaksanaan selama 1 - 2 menit.
Setelah proses identifikasi menggunakan uji katalase dan koagulasi, koloni
yang tumbuh juga dilakukan identifikasi bakteri dan uji kepekaan terhadap
antibiotik. Identifikasi dan uji kepekaan dari bakteri dilakukan dengan
9
menggunakan VITEK® 2 Compact. VITEK® 2 Compact merupakan sistem
identifikasi otomatis untuk mikroorganisme. Fungsi alat kesehatan ini penting
karena selain bisa mengidentifikasi jenis kuman, alat ini juga mendeteksi
kepekaan kuman terhadap antibiotik. 2,3,5,6
Pada kasus dilakukan pewarnaan Gram dan kultur dasar luka serta uji
sensitivitas antibotik. Hasil pemeriksaan gram pada erosi di cruris sinistra yang
pertama kali (4 Januari 2018) tidak ditemukan sel epitel, ditemukan leukosit 2-
5/lapang pandang besar dan ditemukan bakteri coccus gram positif.
10
(a) (b) (c)
Gambar 5. (a) Media blood agar yang terdapat pertumbuhan bakteri (b) Media MacConkey yang
tidak ditumbuhi bakteri (c) Hasil pengecatan gram ke-2 yang diambil dari biakan bakteri pada
media blood agar (6 Januari 2018)
(a) (b)
Gambar 6. (a) Uji katalase yang memberikan hasil positif pada kasus (b) Uji koagulasi yang
memberikan hasil positif pada kasus
11
Koloni yang tumbuh kemudian dilakukan identifikasi bakteri dan uji kepekaan
dengan menggunakan VITEK® 2 Compact. Hasilnya pada kasus adalah dari
kultur dasar luka dan tes sensitivitas antibiotik didapatkan hasil terisolasi bakteri
Staphylococcus aureus pada spesimen dasar luka.
Staphylocossus aureus merupakan bakteri gram positif pada pengecatan
gram. Bentuknya kokus dan berukuran 0.8-1.0 mm dengan diameter 0.7-0.9
mikron. Bakteri ini tumbuh secara anaerobik fakultatif dengan membentuk
kumpulan sel-sel yang bentuknya seperti buah anggur. Pada isolasi pertama kali
dari kuman ini terlihat pembentukan pigmen kuning keemasan. Pigmen ini
digolongkan sebagai lipokhrom.
Staphylococcus aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media
bakteriologi dibawah suasana aerobik atau mikroaerofilik. Koloni akan tumbuh
dengan cepat pada temperatur 37 derajat celcius namun pembentukan pigmen
yang terbaik adalah pada temperatur kamar (sekitar antara 20 sampai 35 derajat
celcius). Koloni bakteri ini pada media padat akan berbentuk bulat, lembut, dan
mengkilat. Pada nutrien agar, setelah diinkubasi selama 24 jam, koloni berpigmen
kuning emas, ukuran 2-4 mm, bulat, dan tepi rata. Pada agar darah di sekeliling
koloni akan terlihat zona beta hemolisa/ zona jernih yang lebar.
Staphylococcus aureus adalah spesies paling signifikan secara klinis.
Bakteri ini biasanya terdapat pada saluran pernapasan atas dan kulit.
Keberadaan Staphylococcus aureus pada saluran pernapasan atas dan kulit pada
individu jarang menyebabkan penyakit, individu sehat biasanya hanya berperan
sebagai karier. Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang melemah karena
adanya perubahan hormon; adanya penyakit, luka, atau perlakuan
menggunakan steroid atau obat lain yang memengaruhi imunitas sehingga terjadi
pelemahan inang. Hal ini menyebabkan berbagai infeksi kulit dan abses bernanah.
Infeksi kutaneus dapat berkembang menjadi abses yang lebih dalam yang
melibatkan sistem organ lain dan menghasilkan bakteremia dan septikemia.
Penyakit diinduksi toksin, seperti keracunan makanan, tersiram air panas,
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S4) juga terkait dengan organisme ini.7,8
12
Patogenisitas terkait dengan Staphylococcus aureus dapat dikaitkan dengan
beberapa faktor virulensi, termasuk enterotoksin, enzim, dan komponen seluler
seperti protein. Staphylococcus aureus menghasilkan protein ekstraseluler lain
yang mempengaruhi sel-sel darah merah dan leukosit. Staphylococcus aureus
menghasilkan empat hemolisin: alpha, beta, gamma, dan delta. Selain fungsi α
emolysin melisiskan eritrosit, dapat pula merusak trombosit dan makrofag dan
menyebabkan kerusakan jaringan yang parah. β emolysin (Sphingomyelinase C)
bekerja pada sphingomyelin dalam membran plasma eritrosit. Meskipun δ-
hemolisin ditemukan dalam persentase yang lebih tinggi dari Staphylococcus
aureus, toksin ini dianggap kurang beracun dibandingkan α-hemolisin atau β-
hemolisin. Selain itu, beberapa enzim yang diproduksi oleh Staphylococcus
aureus adalah koagulase, protease, hialuronidase, dan lipase. Meskipun peran
yang tepat dari enzim koagulase di patogenisitas tidak pasti, enzim ini dianggap
sebagai penanda virulensi. Banyak strain Staphylococcus aureus menghasilkan
hialuronidase. Enzim ini menghidrolisis asam hyaluronic dalam substansi dasar
intraseluler yang membentuk jaringan ikat, yang memungkinkan penyebaran
bakteri selama infeksi. Protease, lipase, dan hyaluronidase mampu
menghancurkan jaringan dan dapat memfasilitasi penyebaran infeksi ke jaringan
yang bersebelahan.
Staphylococcus aureus memiliki mekanisme yang efektif untuk melewati
sistim imun dan menimbulkan infeksi. Staphylococcus aureus dapat memproduksi
eksotoksin yang menyebabkan reaksi sistemik, termasuk sindroma syok toksik.
Panton-Valentine Leukocidin (PVL) adalah toksin bentuk β-pore yang diproduksi
oleh banyak strain Staphylococcus aureus yang merusak leukosit dan cenderung
menyebabkan SSTI yang berat dan infeksi lainnya. Gambaran yang umum dari
sebuah SSTI, disertai dengan data epidemiologis dan klinis, dapat mengarahkan
terapi antimikroba tetapi tidak sepenuhnya dapat diandalkan, terutama pada pasien
immunokompromais. 2,3,7
Terapi empiris pada pasien dengan kecurigaan atau berpotensi terinfeksi
stafilokokus telah berubah pada tahun terakhir dengan peningkatan pevalensi
infeksi MRSA. Secara umum, erisipelas dan selulitis sederhana tidak
13
membutuhkan rawat inap telah sering diterapi dengan penisilin resisten
penicilinae (seperti dikloksasilin), atau sefalosforin oral (seperti cefaleksin)
(Tabel 2). Agen yang paling sering digunakan pada pasien SSTI yang di rawat
inap ialah semisintetik penisilin resisten penisilinase intravena (seperti nafsilin 2
gram intavena setiap 4 jam) dan sefalosforin (seperti cefazolin 1 gram intravena
setiap 8 jam), atau vankomisin (1 gram intravena dua kali sehari) bila dicurigai
MRSA.1,9,10
Tabel 2.
Terapi Antimikroba untuk Infeksi Non Nekrotik (Erisipelas, Selulitis)
Penyakit Terapi Obat Lini Obat Alternatif
Pertama
Erisipelas Simpel, Penisilin Va Cefoksitin, cefalexin
pasien rawat Prokain intramuskuler Dikloksasilin
jalan Amoksisilin Amoksisilin/klavulanat
Klindamisin
Azitromisin
Selulitis Berat, pasien Ampisilin/sulbaktam Vankomisin
rawat inap Ticarsilin/klavulanat Klindamisin
Piperasilin/tazobakta Linezolid
m
Imipenem/cilastatin,
meropenem
Simpel, Cefalexin Klindamisin
pasien rawat Dikloksasilin Azitromisin
jalan Klaritomisin
Berat, pasien Ampisilin/sulbaktam Vankomisin
rawat inapb Cefazolin Linezolid
Piperasilin/tazobakta Aminoglikosida+metronidazol
m
Ticarsilin/klavulanat
Imipenem/cilastatin,
meropenem
Sulit Vankomisin Daptomisin
sembuh, Linezolid Quinupristin-dalfopristin
kemungkinan Tigesiklin
besar infeksi
MRSA
MRSA: Methicillin Resistant Staphylococcus aureus
aPenisilin V atau amoksisilin hanya jika diketahui infeksi Streptococcus grup
14
Pada kasus, pasien dirawat inap, pemberian Cefazolin 1 gram tiap 8 jam
intravena, natrium fusidat 2 % krim tiap 12 jam topikal, kompres terbuka NaCl
0,9% selama 10-15 menit tiap 8 jam dan di edukasi untuk elevasi kaki 30°.
Indikasi rawat inap pada pasien SSTI terutama pada kasus selulitis yang berat dan
terutama dengan penyulit penyakit sistemik yang dapat memperpanjang waktu
pengobatan. Pada pasien didapatkan riwayat diabetes mellitus dan penyakit
jantung. Pemberian terapi empiris dengan menggunakan sefalosporin generasi
pertama Cefazolin disesuaikan dengan pola sensitivitas dan resistensi kuman yang
terdapat di rumah sakit sambil menunggu hasil kultur.
Setelah 3 hari pemberian Cefazolin dan dari kultur dasar luka dan tes
sensitivitas antibiotik didapatkan hasil terisolasi bakteri Staphylococcus aureus
pada spesimen dasar luka. Cefazolin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan
terapi. Oleh karena itu, pemberian Cefazolin dilanjutkan hingga 5-7 hari. Pada
kasus, pemberian Cefazolin 1 gram tiap 8 jam intravena diberikan selama 7 hari
kemudian diganti dengan Cefadroxyl 500 mg tiap 12 jam intraoral saat pasien
pulang pada hari rawat ke-8.
Cefazolin bekerja menghambat sintesis dinding sel bakteri melalui ikatan
dengan satu atau lebih ikatan penicillin-protein yang menghambat tahap
transpeptidasi akhir dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri, sehingga
biosintesis dinding sel terhambat.
Bakteri mengalami lisis akibat aktivitas dari enzim autolisis dinding sel
(autolisin dan hidrolases murein) dimana dinding sel berada. Selain sistemik,
pemberian antibiotik topikal juga dapat diberikan. Natrium fusidat bekerja
menghambat sintesa protein pada bakteri. Zat ini aktif terhadap berbagai bakteri
gram positif terutama terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Perawatan infeksi
lokal erisipelas meliputi istirahat total dan meninggikan lokasi yang terlibat untuk
mengurangi edema lokal. Balutan dengan saline steril yang tidak terlalu dingin
dapat menurunkan nyeri lokal. Prognosis pada kasus dubius ad bonam.
15
SIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus infeksi Staphylococcus aureus pada kasus
erisepelas cruris sinistra yang terjadi pada seorang pria berusia 64 tahun. Pada
anamnesis dikeluhkan bengkak dan kemerahan yang sebelumnya didahului
demam. Status dermatologis ditemukan makula eritema soliter yang di atasnya
terdapat erosi multipel. Didapatkan lingkar kaki yang lebih besar 2 cm pada cruris
sinistra. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 9,54 x103/µL,
neutrofil 73,87%, dan CRP yang meningkat 9,33 mg/L. Telah dilakukan
pemeriksaan mikrobiologi berupa gram dasar luka yang tidak ditemukan sel
epitel, ditemukan leukosit 2-5/lapang pandang besar dan ditemukan bakteri coccus
gram positif. Pada pemeriksaan kultur dan sensitivitas antibiotik didapatkan hasil
bakteri Staphylococcus aureus yang signifikan sebagai agen penyebab dan
Cefazolin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi. Pasien dirawat selama 8
hari dan diberikan terapi berupa Cefazolin 1 gram tiap 8 jam intravena selama 7
hari kemudian diganti dengan Cefadroxyl 500 mg tiap 12 jam, natrium fusidat 2
% krim tiap 12 jam topikal, kompres terbuka NaCl 0,9% selama 10-15 menit tiap
8 jam dan di edukasi untuk elevasi kaki 30°.
16
DAFTAR PUSTAKA
17