Anda di halaman 1dari 18

PRESENTASI KASUS Kepada Yth :

Dipresentasikan pada : Dr. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes


Hari/Tanggal :
Waktu :

INFEKSI STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA KASUS


ERISIPELAS

Oleh:

Indira Dharmasamitha

Pembimbing:

Dr. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH
DENPASAR
2017
PENDAHULUAN
Erisipelas merupakan infeksi dermis dan lemak subkutan yang lebih superfisial
yang melibatkan limfatik dermal superfisial dan jaringan pendamping. Secara
klinis, erisipelas dapat memberikan gejala akut lokal berupa nyeri, bengkak,
hangat pada perabaan, dan warna kemerahan pada daerah kulit yang terinfeksi.
Selain itu, dapat pula memberikan gejala sistemik berupa demam, malaise, dan
menggigil.
Selulitis dan erisipelas biasanya disebabkan oleh S. aureus atau
Streptococci β-hemolitik [terutama Streptococcus grup A (GAS)]. Lebih dari dua
dekade terakhir, insiden SSTI telah meningkat lebih cepat daripada insiden infeksi
akut lainnya, sejajar dengan peningkatan laju Staphylococcus aureus resisten
metisilin (MRSA). Sekitar 7%-10% rawat inap di Amerika Utara disebabkan oleh
infeksi kulit dan jaringan lunak (skin and soft tissue infection - SSTI), termasuk
selulitis dan erisipelas. 1,2
Staphylococcus aureus memiliki warna keemasan ketika dibiakkan pada
media solid, sesuai dengan namanya “aureus” yang berasal dari bahasa Latin.
Merupakan salah satu kuman flora normal yang ditemukan pada kulit dan hidung
manusia. Sama seperti species Staphylococcus yang lain, Staphylococcus aureus
bersifat non motil, non spora, anaerob fakultatif yang tumbuh melalui respirasi
aerob atau fermentasi, dan termasuk bakteri kokus gram positif. Kuman ini juga
dapat menghemolisis agar darah.2,3
Berikut dilaporkan satu kasus infeksi Staphylococcus aureus pada infeksi
kulit dan jaringan lunak erisipelas pada cruris sinistra. Tujuan pelaporan kasus ini
untuk meningkatkan pemahaman mengenai Staphylococcus aureus penyebab
infeksi kulit dan jaringan lunak, signifikansi agen penyebab, serta pemilihan
antibiotika yang sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas.

1
KASUS
Seorang pria, usia 64 tahun, suku Jawa, warga negara Indonesia,menikah, dengan
nomer rekam medis 01587051. Pada tanggal 4 Januari 2018 pasien masuk rumah
sakit karena keluhan bengkak dan kemerahan pada kaki sebelah kiri. Awalnya
sejak 9 hari yang lalu, kaki kiri pasien terasa gatal kemudian pasien menggaruk
hingga tidak sengaja terluka. Pasien hanya membersihkannya dengan air mengalir
namun luka tidak kunjung membaik. Tiga hari kemudian, kaki sebelah kiri mulai
membengkak, kemerahan, dan teraba hangat. Sebelumnya disertai dengan demam
sejak pagi hari. Kemudian keesokannya pasien memeriksakan diri ke spesialis
kulit dan kelamin dan kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah.
Pada pemeriksaan di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah, bengkak,
kemerahan, dan teraba hangat pada kaki sebelah kiri masih dirasakan disertai rasa
nyeri. Nyeri bertambah terutama jika pasien berjalan. Luka di beberapa tempat
sudah mulai mengering namun ada beberapa yang masih basah. Demam tidak ada.
Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus sejak +20 tahun yang lalu,
penyakit jantung, dan hipertensi. Pasien juga memiliki riwayat amputasi pada jari
kaki kanan keempat dan kelima. Riwayat memiliki keluhan bengkak dan
kemerahan sebelumnya di sangkal. Riwayat mengoleskan obat tradisional
disangkal. Riwayat pengobatan Sefadroksil 2x500mg sejak 2 hari setelah
pemeriksan di poliklinik kulit dan kelamin.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran kompos mentis, keadaan
umum lemah, tanda vital tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 90x/menit, respirasi
20x/menit, suhu 36.5°C. Pemeriksaan status generalis, kedua mata tidak tampak
anemia, ikterus maupun hiperemia, pupil isokor, reflek cahaya positif.
Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan didapatkan kesan tenang dan pada
leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan toraks
didapatkan suara jantung (S1 dan S2) tunggal, regular, tidak terdapat murmur.
Suara nafas paru-paru vesikular, tidak ditemukan adanya rhonki ataupun
wheezing. Pada pemeriksaan abdomen, hepar dan lien tidak teraba, bising usus
dalam batas normal, tidak terdapat distensi abdomen. Ekstremitas atas dan bawah
teraba hangat,didapatkan edema non pitting pada kaki kiri.

2
Status dermatologi regio cruris sinistra didapatkan effloresensi makula
eritema soliter, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 12cm x 20cm di beberapa
tempat terdapat erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi
3cm x 4cm – 4cm x 6cm di atasnya terdapat krusta coklat kehitaman. Pada
perabaan terdapat hangat, nyeri, pulsasi arteri dorsalis pedis, dan edema.
Didapatkan lingkar kaki yang lebih besar 2 cm pada cruris sinistra.

(a) (b)
Gambar 1. (a) Perbandingan regio cruris dextra et sinistra tampilan dari anterior (b) tampilan
yang diperbesar pada lesi erosi di cruris sinistra

Pemerikasan laboratorium yang dilakukan tanggal 4 Januari 2018


didapatkan hasil leukosit 9,54 (4,10-11,00x103/µL); neutrofil 73,87 (47-80%);
limfosit 18,54 (13-40%); monosit 5,68 (2-11%); eosinofil 0.99 (0-5%); basofil
0.93 (0-2%); hemoglobin 11,06 (12,00-16,00 g/dL); hematokrit 33,39 (36,0-46,0
%); trombosit 286,4 (140,0-440,0x103/µL). Pada pemeriksaan kimia klinik yang
dilakukan tanggal 4 Januari 2018 didapatkan hasil SGOT 15,7 (0-27 U/L); SGPT
14,9 (0-34 U/L); BUN 15,1 (8-23 mg/dL); kreatinin 1,09 (0,51-0,95 mg/dL);
glukosa darah sewaktu 141 (80-100 mg/dL); natrium 132 (136-145 mmol/L);
kalium 4,21 (3,5-5,1 mmol/L) ; CRP yang meningkat 9,33 (0,0 – 5,0 mg/L).

3
Hasil pemeriksaan gram pada erosi di cruris sinistra tidak ditemukan sel
epitel, ditemukan leukosit 2-5/lapang pandang besar dan ditemukan bakteri coccus
gram positif.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien diagnosis pasien erisipelas cruris sinistra, didiagnosis banding dengan
selulitis erisipelas cruris sinistra. Diagnosis kerja pada pasien adalah erisipelas
cruris sinistra. Penatalaksanaan yang diberikan adalah rawat inap, pemberian
Cefazolin 1 gram tiap 8 jam intravena, natrium fusidat 2 % krim tiap 12 jam
topikal, kompres terbuka NaCl 0,9% selama 10-15 menit tiap 8 jam dan di
edukasi untuk elevasi kaki 30°. Selain itu, dilakukan pemeriksaan kultur dan
sensitifitas antibiotik dari dasar luka sebelum pemberian antibiotika.

PENGAMATAN LANJUTAN I (HARI IV, TANGGAL 7 JANUARI 2018)


Pengamatan hari ke-4 di ruang Anggrek RSUP Sanglah Denpasar, pada
anamnesis didapatkan bahwa bercak kemerahan pada kaki kiri berkurang dan
sebagian menjadi lebih gelap. Bengkak dan nyeri sudah berkurang. Demam tidak
ada. Keluhan lain tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
pasien baik dengan kesadaran yang kompos mentis. Tekanan darah pasien 120/80
mmHg, nadi 85 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu aksila 36,5⁰C. Status
generalis pasien didapatkan dalam batas normal.
Status dermatologi regio cruris sinistra didapatkan effloresensi makula
eritema-hiperpigmentasi, multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 9cm x
10cm di beberapa tempat terdapat erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika,
ukuran bervariasi 1cm x 3cm – 3cm x 4cm di atasnya terdapat krusta coklat
kehitaman. Pada perabaan tidak terdapat hangat, nyeri, terdapat pulsasi arteri
dorsalis pedis, dan edema yang minimal. Didapatkan lingkar kaki yang lebih besar
1 cm pada cruris sinistra.

4
(a) (b)
Gambar 2. (a) Perbandingan regio cruris dextra et sinistra tampilan dari anterior (b) tampilan
yang diperbesar pada lesi erosi di cruris sinistra

Kultur dasar luka dan tes sensitivitas antibiotik didapatkan hasil


terisolasi bakteri Staphylococcus aureus pada spesimen dasar luka. Antibiotik
yang sensitif adalah Amoxicilin/Clavulanic acid, Cloxacilin, Dicloxacilin,
Flucloxacilin, Oxacilin, Cefalotin, Cefuroxime, Ceftriaxone, Cefepime,
Gentamicin, Ciprofloxacin, Levofloxacin, Erythromycin, Clindamycin,
Trimethoprim/Sulfamethoxazole. Cefazolin dapat dipertimbangkan sebagai
pilihan terapi.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
diagnosis kerja pada pasien adalah follow up erisipelas cruris sinistra.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah rawat inap, pemberian Cefazolin 1 gram
tiap 8 jam intravena dilanjutkan hingga 7 hari, natrium fusidat 2 % krim tiap 12
jam topikal, kompres terbuka NaCl 0,9% selama 10-15 menit tiap 8 jam dan di
edukasi untuk elevasi kaki 30°.

PENGAMATAN LANJUTAN II (HARI VIII, TANGGAL 11 JANUARI


2018)
Pengamatan hari ke-8 di ruang Anggrek RSUP Sanglah Denpasar, pada
anamnesis didapatkan bahwa bercak kemerahan pada kaki kiri berkurang dan
sebagian menjadi lebih gelap. Bengkak dan nyeri sudah berkurang. Demam tidak
ada. Keluhan lain tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum

5
pasien baik dengan kesadaran yang kompos mentis. Tekanan darah pasien 110/80
mmHg, nadi 90 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu aksila 36,5⁰C. Status
generalis pasien didapatkan dalam batas normal.

(a) (b)

Gambar 3. (a) Regio cruris sinistra tampilan dari anterior (b) tampilan yang diperbesar pada lesi
erosi di cruris sinistra

Status dermatologi regio cruris sinistra didapatkan effloresensi makula


hiperpigmentasi, multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 7cm x 8cm di
beberapa tempat terdapat erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran
bervariasi 1cm x 3cm – 3cm x 4cm di atasnya terdapat krusta coklat kehitaman.
Pada perabaan tidak terdapat hangat, nyeri, terdapat pulsasi arteri dorsalis pedis,
dan edema yang minimal. Didapatkan lingkar kaki yang lebih besar 0,5 cm pada
cruris sinistra.
Pemerikasan laboratorium yang dilakukan tanggal 10 Januari 2018
didapatkan hasil leukosit 10,17 (4,10-11,00x103/µL); neutrofil 77,01 (47-80%);
limfosit 18,12 (13-40%); monosit 3,54 (2-11%); eosinofil 0,70 (0-5%); basofil
0,62 (0-2%); CRP yang meningkat 12,27 (0,0 – 5,0 mg/L).
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
diagnosis kerja pada pasien adalah follow up erisipelas cruris sinistra.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah rawat jalan. Pemberian Cefazolin 1 gram
tiap 8 jam intravena sudah diberikan selama 7 hari kemudian diganti dengan

6
Cefadroxyl 500mg tiap 12 jam intraoral mulai hari ini. Natrium fusidat 2 % krim
tiap 12 jam topikal, kompres terbuka NaCl 0,9% selama 10-15 menit tiap 8 jam
tetap dilanjutkan, di edukasi untuk elevasi kaki 30° saat di rumah dan kontrol ke
poliklinik kulit dan kelamin 3 hari kemudian.

PEMBAHASAN
Infeksi kuit dan jaringan lunak (skin and soft tissue infection - SSTI) adalah salah
satu penyakit infeksi yang sering terjadi. Penyebab tersering infeksi kulit dan
jaringan lunak adalah gram positif. Selulitis dan erisipelas biasanya disebabkan
oleh S. aureus atau Streptococci β-hemolitik [terutama Streptococcus grup A
(GAS)] (lihat Tabel 1). Faktor yang meningkatkan kemungkinan SSTI meliputi
paparan pada organisme patogen, peregangan lokal pada fungsi barier kulit lokal
(termasuk dermatitis atopik, dan lebih jarang, dermatitis kontak alergi, psoriasis,
trauma, penggunaan obat intravena, prosedur bedah dan kosmetik, intertigo sela
jari kaki, gigitan antropoda, dan ulkus kronik), immunokompromais (termasuk
acquired immunodeficiency syndome [AIDS], diabetes, penyakit renal tahap
akhir/dialisis, neutropenia, kanker, dan pengobatan imunosupresif), obesitas, atau
circulatory compromise. Gambaran klinis pada erisipelas hampir mirip dengan
selulitis klasik (nyeri, tenderness, eritema, dan edema) namun memiliki beberapa
perbedaan. Infeksi yang lebih superfisial dibandingkan selulitis menyebabkan
eritema yang lebih terang dan batas yang tegas dibandingkan selulitis selain itu
dapat pula menimbulkan gambaran peau d’ orange (kulit jeruk). Tujuh puluh lima
sampai 90% kasus melibatkan ekstremitas bawah, sementara wajah terinfeksi
pada 2,5%-10% kasus. Pada pemeriksaan laboratorium, kasus erisipelas
didapatkan peningkatan pada marker infeksi seperti leukositosis ataupun CRP dan
LED yang meningkat.1,4
Diagnosis Klinis. Pada kasus, pasien mengeluhkan bengkak dan
kemerahan yang berwarna terang dan berbatas tegas pada kaki sebelah kiri.
Sebelumnya, terdapat luka akibat garukan yang terjadi sejak 9 hari yang lalu dan
dicurigai menjadi port d’entry. Selain itu, pasien memiliki riwayat penyakit
diabetes mellitus sejak +20 tahun yang lalu, serta penyakit jantung, dan hipertensi

7
yang dapat menjadi salah satu faktor risiko yang meningkatkan terjadinya SSTI.
Pada pasien ditemukan marker infeksi CRP yang meningkat yaitu 9,33 mg/L.
Tabel 1.
Etiologi Infeksi Jaringan Lunak Non Nekrotik
Tipe Infeksi Penyebab Tersering Penyebab yang Lebih Jarang
Erisipelas Staphylococus aureus, Streptococci grup B, C, dan G
Streptococcus grup A
Selulitis S. aureus, Streptococcus Streptococci grup B, C, dan
grup A G; Streptococcus iniae;
Pneumococcus; Haemophillus
influenzae (anak); Escherichia
coli; Proteus; Enterobakter
lain; Campylobacter jejuni;
Moraxella; Crptococcus
neoformans; Legionella
pneumphila, Leginonella
micdadei; Bacillus anthracis
(antraks); Aeromonas
hydrophila; Erysipelothrix
rhusiopathiae; Vibrio
vulnificus, Vibrio
alginolyticus, Vibrio cholera
non-01

Diagnosis Mikrobiologi. Dengan pewarnaan Gram, bakteri-bakteri dapat


dibagi atas 2 golongan yaitu Gram positif dan Gram negatif. Gram positif
warnanya violet (ungu) karena mengikat zat warna utama kristal violet. Gram
negatif berwarna merah jambu karena melepaskan zat warna utama dan
menangkap zat warna penutup fuchsin. Setelah dilakukan pengecatan Gram
dilanjutkan dengan kultur dasar luka dan uji sensistivitas antibiotik. Media yang
digunakan adalah agar darah dan agar MacConkey yang dieramkan dalam
inkubator pada suhu 370C selama 24 jam.
Agar darah digunakan untuk isolasi, menumbuhkan berbagai macam
bakteri patogen dan menetapkan bentuk hemolisa dari bakteri tersebut. Media
kultur tersebut kaya nutrien yang menyediakan kondisi pertumbuhan bakteri yang
optimal, pH media ini sekitar 6,8 untuk menstabilkan sel darah merah dan
menghasilkan media hemolisa. Kandungan yang didapat pada agar darah seperti
nutrien substrat (ekstrak hati dan pepton), NaCl, agar- agar, darah domba.

8
Media agar darah merupakan media differensial yang berfungsi
membedakan bakteri berdasarkan kemampuan bakteri melisiskan sel darah merah.
Ekspresi dari hemolisis bakteri dapat diketahui ada atau tidaknya zona bening
disekeliling koloni bakteri. Apabila pada agar darah tumbuh koloni dilakukan uji
lanjutan berupa uji katalase.
Uji katalase digunakan untuk diferensiasi antara Staphylococcus dan
Streptococcus. Kebanyakan bakteri memproduksi enzim katalase yang dapat
memecah H2O2 menjadi H2O dan O2. Enzim katalase diduga penting untuk
pertumbuhan aerobik karena H2O2 yang dibentuk dengan pertolongan berbagai
enzim pernafasan bersifat racun terhadap sel mikroba. Bakteri katalase positif
seperti Staphylococcus aureus bisa menghasilkan gelembung-gelembung oksigen
karena adanya pemecahan H2O2 (hidrogen peroksida) oleh enzim katalase yang
dihasilkan oleh bakteri.
Komponen H2O2 ini merupakan salah satu hasil respirasi aerobik bakteri,
misalnya Staphylococcus aureus, dimana hasil respirasi tersebut justru dapat
menghambat pertumbuhan karena bersifat toksik bagi bakteri, komponen ini harus
dipecah agar tidak bersifat toksik lagi.
Uji koagulase digunakan untuk diferensiasi Staphylococcus aureus dari
spesies Staphylococcus lainnya. Bakteri Staphylococcus aureus memberikan hasil
uji koagulase positif, sedangkan Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus
albus, Staphylococcus intermedius, dan spesies Staphylococcus lainnya
memberikan hasil uji koagulase negatif. Uji koagulase dilakukan untuk
mendeteksi pembentukan enzim koagulase yang terikat ke dinding sel bakteri. Uji
koagulase dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua metode yaitu
uji koagulase metode tabung dan uji koagulase metode slide. Uji koagulase
metode tabung masih diakui sebagai metode referensi dan memberikan hasil
setelah inkubasi 4 sampai 24 jam, sedangkan uji koagulase metode slide jauh
lebih cepat karena memerlukan waktu pelaksanaan selama 1 - 2 menit.
Setelah proses identifikasi menggunakan uji katalase dan koagulasi, koloni
yang tumbuh juga dilakukan identifikasi bakteri dan uji kepekaan terhadap
antibiotik. Identifikasi dan uji kepekaan dari bakteri dilakukan dengan

9
menggunakan VITEK® 2 Compact. VITEK® 2 Compact merupakan sistem
identifikasi otomatis untuk mikroorganisme. Fungsi alat kesehatan ini penting
karena selain bisa mengidentifikasi jenis kuman, alat ini juga mendeteksi
kepekaan kuman terhadap antibiotik. 2,3,5,6
Pada kasus dilakukan pewarnaan Gram dan kultur dasar luka serta uji
sensitivitas antibotik. Hasil pemeriksaan gram pada erosi di cruris sinistra yang
pertama kali (4 Januari 2018) tidak ditemukan sel epitel, ditemukan leukosit 2-
5/lapang pandang besar dan ditemukan bakteri coccus gram positif.

Gambar 4. Hasil pengecatan gram ke-1 (4 Januari 2018)

Identifikasi dan Uji Kepekaan Spesimen Dasar Luka (PS18)


Setelah dilakukan pengecatan Gram dilanjutkan kultur dasar luka dan uji
sensistivitas antibiotik pada media agar darah dan agar MacConkey yang
dieramkan dalam inkubator pada suhu 370C selama 24 - 48 jam. Evaluasi setelah
48 jam, didapatkan pertumbuhan koloni bakteri berwarna kuning keemasan dan
berbetuk bulat pada media agar darah (Gambar 5a) dan pada agar MacConkey
tidak ditemukan pertumbuhan bakteri (Gambar 5b). Pada media agar darah,
dilakukan pengecatan gram ulang pada bakteri yang tumbuh dan didapatkan
coccus gram positif (+3) seperti yang terlihat pada Gambar 5c. Pemeriksaan
kemudiaan dilanjutkan dengan uji katalase untuk mengidentifikasi secara
sederhana jenis bakteri coccus positif.

10
(a) (b) (c)
Gambar 5. (a) Media blood agar yang terdapat pertumbuhan bakteri (b) Media MacConkey yang
tidak ditumbuhi bakteri (c) Hasil pengecatan gram ke-2 yang diambil dari biakan bakteri pada
media blood agar (6 Januari 2018)

Pada kasus, uji katalase ditemukan gelembung-gelembung kecil yang


mirip dengan kontrol sehingga kemungkinan bakteri patogen penyebab erisipelas
adalah spesies Staphylococcus seperti yang terlihat pada Gambar 6a. Oleh karena
uji katalase yang positif, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan uji koagulasi
untuk membedakan Staphylococcus aureus dari spesies Staphylococcus lainnya.
Uji koagulasi yang dilakukan sangat sederhana dengan menggunakan object glass
dan koagulase plasma. Untuk memudahkan, disiapkan kontrol positif untuk
pembanding. Pada kasus, ditemukan uji koagulasi yang positif seperti yang
terlihat pada Gambar 6b.

KASUS KONTROL (+) KASUS KONTROL (+)

(a) (b)
Gambar 6. (a) Uji katalase yang memberikan hasil positif pada kasus (b) Uji koagulasi yang
memberikan hasil positif pada kasus

11
Koloni yang tumbuh kemudian dilakukan identifikasi bakteri dan uji kepekaan
dengan menggunakan VITEK® 2 Compact. Hasilnya pada kasus adalah dari
kultur dasar luka dan tes sensitivitas antibiotik didapatkan hasil terisolasi bakteri
Staphylococcus aureus pada spesimen dasar luka.
Staphylocossus aureus merupakan bakteri gram positif pada pengecatan
gram. Bentuknya kokus dan berukuran 0.8-1.0 mm dengan diameter 0.7-0.9
mikron. Bakteri ini tumbuh secara anaerobik fakultatif dengan membentuk
kumpulan sel-sel yang bentuknya seperti buah anggur. Pada isolasi pertama kali
dari kuman ini terlihat pembentukan pigmen kuning keemasan. Pigmen ini
digolongkan sebagai lipokhrom.
Staphylococcus aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media
bakteriologi dibawah suasana aerobik atau mikroaerofilik. Koloni akan tumbuh
dengan cepat pada temperatur 37 derajat celcius namun pembentukan pigmen
yang terbaik adalah pada temperatur kamar (sekitar antara 20 sampai 35 derajat
celcius). Koloni bakteri ini pada media padat akan berbentuk bulat, lembut, dan
mengkilat. Pada nutrien agar, setelah diinkubasi selama 24 jam, koloni berpigmen
kuning emas, ukuran 2-4 mm, bulat, dan tepi rata. Pada agar darah di sekeliling
koloni akan terlihat zona beta hemolisa/ zona jernih yang lebar.
Staphylococcus aureus adalah spesies paling signifikan secara klinis.
Bakteri ini biasanya terdapat pada saluran pernapasan atas dan kulit.
Keberadaan Staphylococcus aureus pada saluran pernapasan atas dan kulit pada
individu jarang menyebabkan penyakit, individu sehat biasanya hanya berperan
sebagai karier. Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang melemah karena
adanya perubahan hormon; adanya penyakit, luka, atau perlakuan
menggunakan steroid atau obat lain yang memengaruhi imunitas sehingga terjadi
pelemahan inang. Hal ini menyebabkan berbagai infeksi kulit dan abses bernanah.
Infeksi kutaneus dapat berkembang menjadi abses yang lebih dalam yang
melibatkan sistem organ lain dan menghasilkan bakteremia dan septikemia.
Penyakit diinduksi toksin, seperti keracunan makanan, tersiram air panas,
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S4) juga terkait dengan organisme ini.7,8

12
Patogenisitas terkait dengan Staphylococcus aureus dapat dikaitkan dengan
beberapa faktor virulensi, termasuk enterotoksin, enzim, dan komponen seluler
seperti protein. Staphylococcus aureus menghasilkan protein ekstraseluler lain
yang mempengaruhi sel-sel darah merah dan leukosit. Staphylococcus aureus
menghasilkan empat hemolisin: alpha, beta, gamma, dan delta. Selain fungsi α
emolysin melisiskan eritrosit, dapat pula merusak trombosit dan makrofag dan
menyebabkan kerusakan jaringan yang parah. β emolysin (Sphingomyelinase C)
bekerja pada sphingomyelin dalam membran plasma eritrosit. Meskipun δ-
hemolisin ditemukan dalam persentase yang lebih tinggi dari Staphylococcus
aureus, toksin ini dianggap kurang beracun dibandingkan α-hemolisin atau β-
hemolisin. Selain itu, beberapa enzim yang diproduksi oleh Staphylococcus
aureus adalah koagulase, protease, hialuronidase, dan lipase. Meskipun peran
yang tepat dari enzim koagulase di patogenisitas tidak pasti, enzim ini dianggap
sebagai penanda virulensi. Banyak strain Staphylococcus aureus menghasilkan
hialuronidase. Enzim ini menghidrolisis asam hyaluronic dalam substansi dasar
intraseluler yang membentuk jaringan ikat, yang memungkinkan penyebaran
bakteri selama infeksi. Protease, lipase, dan hyaluronidase mampu
menghancurkan jaringan dan dapat memfasilitasi penyebaran infeksi ke jaringan
yang bersebelahan.
Staphylococcus aureus memiliki mekanisme yang efektif untuk melewati
sistim imun dan menimbulkan infeksi. Staphylococcus aureus dapat memproduksi
eksotoksin yang menyebabkan reaksi sistemik, termasuk sindroma syok toksik.
Panton-Valentine Leukocidin (PVL) adalah toksin bentuk β-pore yang diproduksi
oleh banyak strain Staphylococcus aureus yang merusak leukosit dan cenderung
menyebabkan SSTI yang berat dan infeksi lainnya. Gambaran yang umum dari
sebuah SSTI, disertai dengan data epidemiologis dan klinis, dapat mengarahkan
terapi antimikroba tetapi tidak sepenuhnya dapat diandalkan, terutama pada pasien
immunokompromais. 2,3,7
Terapi empiris pada pasien dengan kecurigaan atau berpotensi terinfeksi
stafilokokus telah berubah pada tahun terakhir dengan peningkatan pevalensi
infeksi MRSA. Secara umum, erisipelas dan selulitis sederhana tidak

13
membutuhkan rawat inap telah sering diterapi dengan penisilin resisten
penicilinae (seperti dikloksasilin), atau sefalosforin oral (seperti cefaleksin)
(Tabel 2). Agen yang paling sering digunakan pada pasien SSTI yang di rawat
inap ialah semisintetik penisilin resisten penisilinase intravena (seperti nafsilin 2
gram intavena setiap 4 jam) dan sefalosforin (seperti cefazolin 1 gram intravena
setiap 8 jam), atau vankomisin (1 gram intravena dua kali sehari) bila dicurigai
MRSA.1,9,10
Tabel 2.
Terapi Antimikroba untuk Infeksi Non Nekrotik (Erisipelas, Selulitis)
Penyakit Terapi Obat Lini Obat Alternatif
Pertama
Erisipelas Simpel, Penisilin Va Cefoksitin, cefalexin
pasien rawat Prokain intramuskuler Dikloksasilin
jalan Amoksisilin Amoksisilin/klavulanat
Klindamisin
Azitromisin
Selulitis Berat, pasien Ampisilin/sulbaktam Vankomisin
rawat inap Ticarsilin/klavulanat Klindamisin
Piperasilin/tazobakta Linezolid
m
Imipenem/cilastatin,
meropenem
Simpel, Cefalexin Klindamisin
pasien rawat Dikloksasilin Azitromisin
jalan Klaritomisin
Berat, pasien Ampisilin/sulbaktam Vankomisin
rawat inapb Cefazolin Linezolid
Piperasilin/tazobakta Aminoglikosida+metronidazol
m
Ticarsilin/klavulanat
Imipenem/cilastatin,
meropenem
Sulit Vankomisin Daptomisin
sembuh, Linezolid Quinupristin-dalfopristin
kemungkinan Tigesiklin
besar infeksi
MRSA
MRSA: Methicillin Resistant Staphylococcus aureus
aPenisilin V atau amoksisilin hanya jika diketahui infeksi Streptococcus grup

A, tanpa adanya kecurigaan untuk Staphylococcus aureus


bDipertimbangkan terapi empiris MRSA pada semua pasien infeksi berat

14
Pada kasus, pasien dirawat inap, pemberian Cefazolin 1 gram tiap 8 jam
intravena, natrium fusidat 2 % krim tiap 12 jam topikal, kompres terbuka NaCl
0,9% selama 10-15 menit tiap 8 jam dan di edukasi untuk elevasi kaki 30°.
Indikasi rawat inap pada pasien SSTI terutama pada kasus selulitis yang berat dan
terutama dengan penyulit penyakit sistemik yang dapat memperpanjang waktu
pengobatan. Pada pasien didapatkan riwayat diabetes mellitus dan penyakit
jantung. Pemberian terapi empiris dengan menggunakan sefalosporin generasi
pertama Cefazolin disesuaikan dengan pola sensitivitas dan resistensi kuman yang
terdapat di rumah sakit sambil menunggu hasil kultur.
Setelah 3 hari pemberian Cefazolin dan dari kultur dasar luka dan tes
sensitivitas antibiotik didapatkan hasil terisolasi bakteri Staphylococcus aureus
pada spesimen dasar luka. Cefazolin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan
terapi. Oleh karena itu, pemberian Cefazolin dilanjutkan hingga 5-7 hari. Pada
kasus, pemberian Cefazolin 1 gram tiap 8 jam intravena diberikan selama 7 hari
kemudian diganti dengan Cefadroxyl 500 mg tiap 12 jam intraoral saat pasien
pulang pada hari rawat ke-8.
Cefazolin bekerja menghambat sintesis dinding sel bakteri melalui ikatan
dengan satu atau lebih ikatan penicillin-protein yang menghambat tahap
transpeptidasi akhir dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri, sehingga
biosintesis dinding sel terhambat.
Bakteri mengalami lisis akibat aktivitas dari enzim autolisis dinding sel
(autolisin dan hidrolases murein) dimana dinding sel berada. Selain sistemik,
pemberian antibiotik topikal juga dapat diberikan. Natrium fusidat bekerja
menghambat sintesa protein pada bakteri. Zat ini aktif terhadap berbagai bakteri
gram positif terutama terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Perawatan infeksi
lokal erisipelas meliputi istirahat total dan meninggikan lokasi yang terlibat untuk
mengurangi edema lokal. Balutan dengan saline steril yang tidak terlalu dingin
dapat menurunkan nyeri lokal. Prognosis pada kasus dubius ad bonam.

15
SIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus infeksi Staphylococcus aureus pada kasus
erisepelas cruris sinistra yang terjadi pada seorang pria berusia 64 tahun. Pada
anamnesis dikeluhkan bengkak dan kemerahan yang sebelumnya didahului
demam. Status dermatologis ditemukan makula eritema soliter yang di atasnya
terdapat erosi multipel. Didapatkan lingkar kaki yang lebih besar 2 cm pada cruris
sinistra. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 9,54 x103/µL,
neutrofil 73,87%, dan CRP yang meningkat 9,33 mg/L. Telah dilakukan
pemeriksaan mikrobiologi berupa gram dasar luka yang tidak ditemukan sel
epitel, ditemukan leukosit 2-5/lapang pandang besar dan ditemukan bakteri coccus
gram positif. Pada pemeriksaan kultur dan sensitivitas antibiotik didapatkan hasil
bakteri Staphylococcus aureus yang signifikan sebagai agen penyebab dan
Cefazolin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi. Pasien dirawat selama 8
hari dan diberikan terapi berupa Cefazolin 1 gram tiap 8 jam intravena selama 7
hari kemudian diganti dengan Cefadroxyl 500 mg tiap 12 jam, natrium fusidat 2
% krim tiap 12 jam topikal, kompres terbuka NaCl 0,9% selama 10-15 menit tiap
8 jam dan di edukasi untuk elevasi kaki 30°.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Lipworth AD, et al. Non-necrotizing Infections of the Dermis and


Subcutaneous Fat : Cellulitis and Erysipelas. In : Goldsmith L., Katz S.,
Gilchrest L, Editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th
Ed. United States : McGraw-Hill; 2012; 178: 2160-8
2. Greenwood, D., Barer, M., Slack, R., Irving, W. 2012. Medical
Microbiology. 18th Edition. China : Churchill Livingstone, Elsevier.
3. Ryan KJ et al. 2014. Sherris Medical Microbiology. 6th Edition. New
York: McGraw-Hill Education.
4. C.G. Gunderson, R.A. Martinello. A systematic review of bacteremias in
cellulitis and erysipelas. Journal of Infection. 2012;64: 148-15
5. Celestin R, et al. Erysipelas: a common potentially dangerous infection.
Acta Dermatoven APA. 2007;16(3): 123-7
6. Garg A, et al. Clinical characteristics associated with days to discharge
among patients admitted with a primary diagnosis of lower limb cellulitis.
J Am Acad Dermatol 2017;76:626-31
7. Tong SYC, Davis JS, Eichenberger E, Holland TL, Fowler VG, Jr.
Staphylococcus aureus infections: epidemiology, pathophysiology, clinical
manifestations, and management. Clin Microbiol Rev. 2015;28(3) : 603-61
8. Jenkins TC, Sabel AL, Sarcone EE, et al. Skin and soft-tissue infections
requiring hospitalization at an academic medical center: opportunities for
antimicrobial stewardship. Clin Infect Dis. 2010;51(8):895-903.
9. Chapman AL, Dixon S, Andrews D, et al. Clinical efficacy and cost-
effectiveness of outpatient parenteral antibiotic therapy (OPAT): a UK
perspective. J Antimicrob Chemother. 2009;64(6): 1316-1324.
10. Menzin J, Marton JP, Merers JL, et al. Inpatient treatment patterns,
outcomes, and costs of skin and skin structure infections because of
Staphylococcus aureus. Am J Infect Control. 2010;38(1):44-49.

17

Anda mungkin juga menyukai