PENDAHULUAN
1
Walaupun begitu pada eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa
jaringan tumor mikroskopik.1
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala paling sering, diikuti
epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%)
khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-
18%).1,2 Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum
serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma
nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk dipalpasi, palpasi harus
sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
pendarahan yang ekstensif. Diagnosa angiofibroma nasofaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias
gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan
hidung dan massa dinasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
angiofibroma nasofaring.3,4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
cabang faring asendens dan cabang fausial ) serta cabang a. Maksila interna
yakni cabang palatina superior.
2.2 Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah
dinasofaring yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena
mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan
sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat
mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,2
Sebutan lain untuk angiofibroma didalam literatur lain antara lain :
juvenile angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal
cavity tumor, nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor),
nasopharyngeal tumor atau angiofibroma nasofaring belia.4
2.3 Epidemiologi
Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000 – 1/60.000 dari
pasien THT, diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan
kepala. Tumor ini umumnya terjadi pada laki-laki dekade ke-2 antara 7-19
tahun. Jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun. Banyak ditemukan pada
anak atau remaja laki-laki. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga
angiofibroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngeal angiofibroma).1,2
2.4 Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah
satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan
spesifik angiofibroma adalah didinding posterolateral atap rongga hidung.
Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai
penyebab dari tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated
hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh
hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA
jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja.1,2
4
2.5 Patogenesis
Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat
anyaman pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan
gumpalan sel serta terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk dibagian
pinggir. Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat
menginvasi orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke
ruang intrakranial.3 Tumor pertama kali tumbuh dibawah mukosa di tepi
sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh
besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi
posterior septum danmleuas ke arah bawah membentuk tonjolan massa diatap
rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga
hidung, mendorong septum ke sisi kontraleteral dan memipihkan konka. Pada
perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina,
masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus
maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal yang akan
menimbulkan benjolan dipipi, dan “rasa penuh” diwajah. Apabila tumor
mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang
khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”.1,2
5
Gambar 2.3. Angiofibroma Nasofaring yang sudah dioperasi
6
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang seperti X-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI.3 Gejala yang
paling sering ditemukan (>80%) ialah hidung tersumbat yang progresif dan
epistaksis yang berulang dan masif,1 infeksi sekunder dapat terjadi pada ruang
dibelakang hidung akibat berkurangnya drainase ditempat tersebut. Gejala-
gejala lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.3
Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret,
sehingga timbul rinore kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba
eustachius akan menimbulkan ketulian dan otalgia. Sefalgia hebat biasnya
menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial.1
7
Gambar 2.4. Penampang coronal CT scan memperlihatkan adanya lesi
angiofibroma yang mengisi cavum nasi sinistra dan sinus etmoid, memenuhi
sinus maxilla dan menyebabkan deviasi septum ke kanan
8
Gambar 2.6. Gambaran angiogram yang memperlihatkan angiofibroma
setelah embolisasi
9
Stadium 3 : Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan
atau regio paraselar
2.9 Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan
jaringan fibrous yang matur dan terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah
dengan dinding yang tipis. Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium
tetapi pada dinding pembuluh darahnya sedikit mengandung elemen
kontraktil otot yang normal. Hal inilah yang menyebabkan angiofibroma
nasofaring mudah berdarah.4
10
2.10 Penatalaksanaan
11
Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium 1 dan 2
dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengobatan
radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (Gama knife) atau
jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi.1,2,3
2.11 Komplikasi
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial
(penyakit stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan
iatrogenic injury terhadap struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis
bisa terjadi apabila tumor sudah berekspansi ke intrakranial atau pasca
operasi basis cranii.
Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive
bleeding). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil
embolisasi, namun ini jarang terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the
cheek) sering terjadi dengan insisi Weber Ferguson.Untuk komplikasi dari
radioterapi Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf
mata, katarak, Transformasi keganasan (malignant transformation),
gangguan pertumbuhan , dan nekrosis lobus temporalis.
2.12 Prognosis
Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera diekstirpasi juga
lebih menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma
kecil yang tidak memenuhi rongga nasofaring lebih mudah diangkat
daripada yang telah memenuhi rongga tersebut sesudah umur 25 tahun
pertumbuhan cenderung berkurang.3,5 Pada kasus dimana pertumbuhan
tumor dapat diatasi dengan pembedahan dapat dikatakan memiliki
prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi pada pasien dengan usia yang
12
lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien yang berusia lebih
muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang ganas
dan memiliki prognosis yang buruk.3,5
13
BAB III
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
15