PENDAHULUAN
Rinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui
pada masa sekarang ini. Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara-
negara berkembang, rinitis atropi juga cukup sering didapatkan sebagai suatu
sekuele dari tindakan-tindakan medis.1 Rinitis atrofi merupakan istilah yang
sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rinitis atrofi juga dikenal sebagai suatu
rinitis kering, rinitis sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal dengan cirinya yang
khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung.1
Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk
salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun,
pada rinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan
tidak nyaman dirasakan oleh orang sekitarnya, bukannya oleh pasien. Terlebih
lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan, sehingga menimbulkan
keluhan tersendiri bagi pasien.1
Menurut Boies, frekuensi penderita rinitis atrofi pada wanita dan laki-laki
adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita,terutama pada usia
pubertas.Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
rendah dan di lingkungan yang burukdan di negara sedang berkembang.1,2,3
1
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di
Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di
Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu
penurunan tajam dalam insidens ozaena.1
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami tentang rinitis atrofi.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesa, diagnosa, diagnosis banding, penatalaksanaan , komplikasi
dan prognosis rinitis atrofi.
1.3 Manfaat
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian, yang paling atas terdapat kubah tulang yang tak
dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari
atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3)
puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela,dan 6) lubang hidung (nares
anterior). 1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1)
tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis
os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. 1
3
Gambar I : Anatomi Hidung Bagian Luar
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.
internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior. 1
Septum membagi kavum nasi menjadidua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, kristamaksila, Krista palatine serta krista
sfenoid. 1
4
2.1.1.2 Kavum nasi
1. Dasar hidung
2. Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalisos maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior
3. Dinding Lateral
4. Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka
media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat
(konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka
media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian
superiordan palatum.
5
2.1.1.3 Meatus Nasalis Superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-
sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau
beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan
di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat
bermuaranya sinus sfenoid. 1
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral
terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum.
Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan
meatusmedius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk
seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel
etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang
duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum. 1
6
Gambar 3 : Muara Sinus Paranasalis
7
Gambar 4: Kompleks Ostiomeatal
8
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-
vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.1
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 2
9
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang
Lebih sering mengenai wanita pada usia antara 1-35 tahun, terbanyak
pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial
ekonomi rendah dan di lingkungan yang burukdan di negara sedang
berkembang. 3
Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia
menghilang. Metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau
gepeng berlapis, kelenjar-kelenjar bergenerasi dan atrofi serta jumlahnya
berkurang dan berbentuk menjadi kecil. 3
10
2.2.2 Epidemiologi
2.2.3 Etiologi
11
Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli,Cocobacillus foetidus
ozaena.
b) Defisiensi vitamin A.
c) Defisiensi Fe.
d) Sinusitis kronis.
i) Herediter.
k) Golongan darah.
12
Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih
tinggi pada masyarakat sosio ekonomi rendah.1,5
2.2.4 Klasifikasi
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada
rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas
epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada
rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia.
Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang
parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi
juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat
menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses
penyakit rinitis atrofi itu sendiri). 6
13
b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan
terapi estrogen.
14
2.2.6 Gejala Klinis
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak
sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta
di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
15
kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk
krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan
pendarahan.5
2.2.7 Diagnosis
1) Anamnesa :
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari
dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien
mencari pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi
tidak dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya
sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih
lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan sehingga
menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien. Adanya krusta (pembentukan
sekret kehijauan yang kental dan tebal yang cepat mengering). Hidung
tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala dan epistaksis.
16
2) Pemeriksaan Fisik :
3) Pemeriksaan Penunjang :
a) Foto rontgen hidung dan sinus paranasalis, hal ini dilakukan untuk
meniyingkirkan sepsis pada sinus. Pada rontgen dapat menunjukkan
membusurnya dinding lateral hidung yang, berkurang atau tidak adanya
aliran, atau hipoplastik sinus maksilaris.
17
g) Pemeriksaan serologi darah.
i. Protein Serum.
Secara klinis rinitis aropi dan rhinitis kronik Tuberculosis sama, dapat
dibedakan dengan pemeriksaan Foto Rontgen Thorak dan terdapat adanya
riwayat penyakit TBC atau kontak erat pada pasien Tuberculosis oleh
penderita.
18
2. Rhinitis kronik lepra
Rinitis kronik sifilis terjadi pada penderita yang sedang atau sudah pernah
menderita penyakit sifilis sebelumnya
4. Sinusitis
5. Nasofaringitis kronis
2.2.9 Penatalaksanaan
19
penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara
konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.1,3
2.2.9.1 Konservatif
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat
sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan
akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik
aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya
seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah
kurun waktu 2 tahun pemakaian. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil
yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari
selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan
sekret dan menghilangkan bau. Antara lain :
b. Campuran :
NaCl
NH4Cl
NaHCO3aaa 9
d. Campuran :
Na bikarbonat 28,4 g
20
Na diborat 28,4 g
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa
25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak
Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g
+ NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan
Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik
memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta
submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu
yang sama.Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar.Samiadi
dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2
minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x
sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek
samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci
hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang
memuaskan pada 6 dari 7 penderita.
2.2.9.2 Operasi
21
pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan
terjadinya regenerasi.1Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama : 5
1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang
baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan
menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga
tahun.
3) Lautenschlager operation
22
anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau
dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.6
2.2.10 Komplikasi
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana
2.2.11 Prognosis
23
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.
Wanita lebih sering terkena terutama usia pubertas. Sering ditemukan pada
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan
yang buruk.
Diagnosis ditegakkan dari gejala dan tanda klinis yang ditemukan. Pada
anamnesis, didapatkan keluhan berupa napas berbau, ada ingus kental yang
berwarna hijau, ada krusta hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung
terasa tersumbat. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat
lapang, konka inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen, dan krusta
yang berwarna hijau. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan
histopatologik yang berasal dari konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji
resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Ballenger JJ and Snow JB. Atrophic Rinitis Dalam: Ballenger JJ and Snow
JB. Ballenger's Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery 16th Ed.
Hamilton:BC Decker inc; 2003 h: 750-751.
3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed.
ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
4. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006
5. Adams, L. G. et al. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.1997
7. Yucel A, Aktepe O, et al. Atrophic Rinitis: a case report. Turk J Med sd. 2003
July 2008;33:405-7
25