Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rinitis atrofi (ozaena) adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut
juga rinitis chronica atrophicanscum foetida. Secara klinis, mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.1

Rinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui
pada masa sekarang ini. Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara-
negara berkembang, rinitis atropi juga cukup sering didapatkan sebagai suatu
sekuele dari tindakan-tindakan medis.1 Rinitis atrofi merupakan istilah yang
sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rinitis atrofi juga dikenal sebagai suatu
rinitis kering, rinitis sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal dengan cirinya yang
khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung.1

Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk
salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun,
pada rinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan
tidak nyaman dirasakan oleh orang sekitarnya, bukannya oleh pasien. Terlebih
lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan, sehingga menimbulkan
keluhan tersendiri bagi pasien.1

Menurut Boies, frekuensi penderita rinitis atrofi pada wanita dan laki-laki
adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita,terutama pada usia
pubertas.Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
rendah dan di lingkungan yang burukdan di negara sedang berkembang.1,2,3

1
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di
Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di
Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu
penurunan tajam dalam insidens ozaena.1

Rinitis atrofi mempunyai etiologi dan patogenesis yang sampai sekarang


belum dapat diterangkan dengan memuaskan, sehingga pengobatannya belum ada
yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan
untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau
jika tidak menolong dilakukan operasi. Oleh karena itu, pada makalah ini akan
dibahas mengenai rinitis atrofi.1

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami tentang rinitis atrofi.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesa, diagnosa, diagnosis banding, penatalaksanaan , komplikasi
dan prognosis rinitis atrofi.
1.3 Manfaat

1. Sebagai sumber media informasi mengenai rinitis atrofi .


2. Untuk memenuhi tugas referat kepanitraan klinik senior di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Solok 2017.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

2.1.1 Anatomi Hidung

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian, yang paling atas terdapat kubah tulang yang tak
dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari
atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3)
puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela,dan 6) lubang hidung (nares
anterior). 1

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1)
tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis
os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. 1

3
Gambar I : Anatomi Hidung Bagian Luar

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.
internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior. 1

Gambar 2 : Anatomi Hidung Bagian Dalam

2.1.1.1 Septum nasi

Septum membagi kavum nasi menjadidua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, kristamaksila, Krista palatine serta krista
sfenoid. 1

4
2.1.1.2 Kavum nasi

Kavum nasi terdiri dari: 1

1. Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus


horizontal os palatum.

2. Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalisos maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior

3. Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os


maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum
dan lamina pterigoideus medial.

4. Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka
media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat
(konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka
media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian
superiordan palatum.

5
2.1.1.3 Meatus Nasalis Superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-
sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau
beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan
di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat
bermuaranya sinus sfenoid. 1

2.1.1.4 Meatus Nasalis Media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral
terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum.
Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan
meatusmedius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk
seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel
etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang
duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum. 1

2.1.1.5 Meatus Nasalis Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,


mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3
sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril. 1

6
Gambar 3 : Muara Sinus Paranasalis

2.1.1.6 Kompleks ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagiandari sinus etmoid anterior


yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka
media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM
adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula
etmoid, agger nasi dan ressus frontal. 1

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena


sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah
sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus
frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut
sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat
langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara
prosesus unsinatus dan konka media. 1

7
Gambar 4: Kompleks Ostiomeatal

2.1.1.7 Vaskularisasi hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid


anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya adalahujung a.palatina mayor dan
a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posteriorkonka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis.1

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang


a.sfenopalatina, a.etmoidanterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.1

8
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-
vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.1

2.1.1.8 Innervasi hidung

Bagian depan dan atas ronggahidung mendapat persarafan sensoris dari


n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensorisjuga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerimaserabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut
parasimpatisdari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis
dari n.petrosus profundus.2 Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 2

2.1.2 Fisiologi hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional,


maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 3

1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),


penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal

2) Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman)


dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu

9
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang

4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,


proteksi terhadap trauma dan pelindung panas

5) Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang


berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan.
Iritasi pada mukosa hidung aka menyebabkan refleks bersin dan
nafas berhenti.

2.2 RINITIS ATROFI (OZAENA)


2.2.1 Definisi

Rhinitis ozaena atau rhinitis atrofi adalah suatu penyakit infeksi


hidung dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Secara
klinis mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering sehingga
terbentuk krusta berbau busuk. 3

Lebih sering mengenai wanita pada usia antara 1-35 tahun, terbanyak
pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial
ekonomi rendah dan di lingkungan yang burukdan di negara sedang
berkembang. 3
Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia
menghilang. Metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau
gepeng berlapis, kelenjar-kelenjar bergenerasi dan atrofi serta jumlahnya
berkurang dan berbentuk menjadi kecil. 3

10
2.2.2 Epidemiologi

Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering


mengenai wanita,terutama pada usia pubertas.Baser dkk mendapatkan 10 wanita
dan 5 pria,dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria.Samiadi
mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita
rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis
mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50
tahun,Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49
tahun.Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat
sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang burukdan di negara sedang
berkembang. 1, 2, 4

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada


di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di
Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan
suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena. 1

Di RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000


ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-
37 tahun.4

2.2.3 Etiologi

Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang.


Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit
degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter. Namun ada
beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi
(Ozaena), yaitu : 1,3,5

a) Infeksi setempat/kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella


Ozaena.Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa
hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab
lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa,

11
Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli,Cocobacillus foetidus
ozaena.

b) Defisiensi vitamin A.

c) Defisiensi Fe.

d) Sinusitis kronis.

e) Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.

f) Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.

g) Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti


deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.

h) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).

i) Herediter.

j) Supurasi di hidung dan sinus paranasal.

k) Golongan darah.

l) Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi


karena kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan,
sedangkan terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah
dan kelenjar penghasil mukus.

Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas :


rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahuidan rinitis atrofi sekunder,
akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi
hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma,
rinoskleroma dan tbc.1,5

Radiasi pada hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan


kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik.
Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi kronik
telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa.

12
Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih
tinggi pada masyarakat sosio ekonomi rendah.1,5

2.2.4 Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi :


Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk
klasik rhinitis atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.
Penyebabnya adalah mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis
atrofi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.
Penyebabnya bisa karena bedah sinus, radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi
lokal setempat. 1

2.2.5 Patologi dan Patogenesis

Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada
rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas
epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada
rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia.
Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang
parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi
juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat
menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses
penyakit rinitis atrofi itu sendiri). 6

Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia


menjadi epitel skuamous atau atrofik,dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat
pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukurandan adanya
endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal.Oleh karena itu secara
patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : 1

a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal


akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi
estrogen.

13
b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan
terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan


menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi
sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi
positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang
aktif.Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan
krusta tebal yang melekat.Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi
lapang.Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi
adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. 4

Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi


hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan
pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik
terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir
dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia.
Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk
krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan
kuman.1Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu
:3

a) Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.

b) Silia hidung. Silia akan menghilang.

c) Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia


menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.

d) Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau


jumlahnya berkurang.

14
2.2.6 Gejala Klinis

Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung


tersumbat, gangguan penciuman (anosmia), ingus kental berwarna hijau, adanya
krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering.
Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau
(sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang
lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak
bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas
menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat
bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan
tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke
sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.1,2,6,

Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan


rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika
krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi
media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen
dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/
telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi
ozaena secara klinik dalam tiga tingkat: 3

a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan


berlendir, krusta sedikit.

b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering,


warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak
sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta
di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini


mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya
pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang

15
kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk
krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan
pendarahan.5

Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang


lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara
perlahan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya
epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan
subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga
ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya
kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke
epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi
patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat
menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis
termasuk keratitis sicca. 5

2.2.7 Diagnosis

Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang. 3,6

1) Anamnesa :

Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari
dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien
mencari pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi
tidak dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya
sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih
lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan sehingga
menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien. Adanya krusta (pembentukan
sekret kehijauan yang kental dan tebal yang cepat mengering). Hidung
tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala dan epistaksis.

16
2) Pemeriksaan Fisik :

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior hidung didapatkan rongga


hidung sangat lapang, konkha inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret
purulen dan krusta berwarna hijau.

3) Pemeriksaan Penunjang :

Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat


dilakukan antara lain :

a) Foto rontgen hidung dan sinus paranasalis, hal ini dilakukan untuk
meniyingkirkan sepsis pada sinus. Pada rontgen dapat menunjukkan
membusurnya dinding lateral hidung yang, berkurang atau tidak adanya
aliran, atau hipoplastik sinus maksilaris.

b) CT scan sinus paranasalis, dimana pada pemeriksaan iniditemukan :


Penebalan mukoperiostium sinus paranasal, Kehilangan ketajaman
dankompleks sekuder osteomeatal untuk meresorbsi bula etmoid dan
proses “uncinate”,Hipoplasia sinus maxillaries, Pelebaran kavum
hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung, Resorpsi
tulang dan atrofi mukosa pada konkhamedia dan inferior.

c) Pemeriksaan mikroorganisme untuk menentukan kuman penyebab.

d) Pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsi konka media. Dari


pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia
hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis,
kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya
mengecil.

e) Uji resistensi kuman.

f) Pemeriksaan darah tepi.

17
g) Pemeriksaan serologi darah.

i. Protein Serum.

ii. Pemeriksaan Fe serum

iii. Pemeriksaan darah rutin

iv. ANA dan anti-DNA antibodi.

v. (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan


sifilis.

Gambar 5. Gambaran radiologi7

2.2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :

1. Rinitis kronik Tuberculosis

Secara klinis rinitis aropi dan rhinitis kronik Tuberculosis sama, dapat
dibedakan dengan pemeriksaan Foto Rontgen Thorak dan terdapat adanya
riwayat penyakit TBC atau kontak erat pada pasien Tuberculosis oleh
penderita.

18
2. Rhinitis kronik lepra

Penderita rinitis kronik lepra mempunyai riwayat atau sedang


menderita penyakit Lepra

3. Rinitis kronik sifilis

Rinitis kronik sifilis terjadi pada penderita yang sedang atau sudah pernah
menderita penyakit sifilis sebelumnya

4. Sinusitis

Pada sinusitis sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita


dan orang lain disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak
maupun orang dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya
obstruksi. Sedangkan pada Rinitis atrofi: sekret bilateral dan berbau
dengan krusta berwarna kuning kehijauan, penderita tidak membau,
sedangkan orang lain membau. Lebih banyak menyerang wanita daripada
pria, terutama sekitar usia pubertas.

5. Nasofaringitis kronis

Pada nasofaringitis kronis sekret post nasal bilateral, penderita membau,


sedangkan orang lain tidak membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara
pria dan wanita

2.2.9 Penatalaksanaan

Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat


paliatif. Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk,
terapi sistemik dan lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator;
pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. 1,3

Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung


mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai
darah mukosa hidung.Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/

19
penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara
konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.1,3

2.2.9.1 Konservatif

Pengobatankonservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci


hidung, dan simptomatik.

1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat
sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan
akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik
aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya
seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah
kurun waktu 2 tahun pemakaian. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil
yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari
selama 12 minggu.

2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan
sekret dan menghilangkan bau. Antara lain :

a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau

b. Campuran :

 NaCl

 NH4Cl

 NaHCO3aaa 9

 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air


hangat

c. Larutan garam dapur

d. Campuran :

 Na bikarbonat 28,4 g

20
 Na diborat 28,4 g

 NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi


dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring
dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat
simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian
preparat Fe.

3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa
25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak
Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g
+ NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.

4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.

5) Preparat Fe.

6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan
Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik
memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta
submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu
yang sama.Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar.Samiadi
dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2
minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x
sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek
samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci
hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang
memuaskan pada 6 dari 7 penderita.

2.2.9.2 Operasi

Tujuan operasi pada rinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk :


menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan

21
pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan
terjadinya regenerasi.1Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama : 5

1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan

2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke


arah dalam.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1

1) Young's operation

Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang
baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan
menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga
tahun.

2) Modified Young's operation

Penutupan lubanghidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

3) Lautenschlager operation

Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,


kemudian dipindahkan ke lubang hidung.

4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis


seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.

5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation)


dengan tujuan membasahi mukosa hidung.Mewengkang N melaporkan
operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena
anak berhasil dengan memuaskan.

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak


menunjukkan perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan
lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares

22
anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau
dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.6

2.2.10 Komplikasi

Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :

1. Perforasi septum

2. Faringitis

3. Sinusitis

4. Miasis hidung

5. Hidung pelana

2.2.11 Prognosis

Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya.


Pada pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan
keberhasilan dalam pengobatan.

23
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.

Wanita lebih sering terkena terutama usia pubertas. Sering ditemukan pada
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan
yang buruk.

Diagnosis ditegakkan dari gejala dan tanda klinis yang ditemukan. Pada
anamnesis, didapatkan keluhan berupa napas berbau, ada ingus kental yang
berwarna hijau, ada krusta hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung
terasa tersumbat. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat
lapang, konka inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen, dan krusta
yang berwarna hijau. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan
histopatologik yang berasal dari konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji
resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal.

Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada


yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan
gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak
dapat menolong dilakukan pengobatan operatif. Pengobatan konservatif dengan
pemberian antibiotika berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman,
dengan dosis yang adekuat. Obat cuci hidung juga diberikan untuk
menghilangkan bau busuk. Pengobatan operatif dengan operasi penutupan lubang
hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir
osteoperiosteal.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ and Snow JB. Atrophic Rinitis Dalam: Ballenger JJ and Snow
JB. Ballenger's Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery 16th Ed.
Hamilton:BC Decker inc; 2003 h: 750-751.

2. Lalwani AK. Nonallergic & Allergic Rinitis Dalam: Lalwani AK.Current


Diagnosis and Treatment in Otolaryngology - Head and Neck Surgery. New
York: McGrawhill; 2007 Ch:13

3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed.
ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

4. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006

5. Adams, L. G. et al. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.1997

6. Vanessa IDA. Rinitis Atrofi. Mataram:Fakultas Kedokteran Universitas


Mataram. 2008 h:1-11

7. Yucel A, Aktepe O, et al. Atrophic Rinitis: a case report. Turk J Med sd. 2003
July 2008;33:405-7

25

Anda mungkin juga menyukai