Apendisitis
Oleh
Arfan Gifari 1740212609
Pembimbing
dr. Ewi Astuti, Sp. B
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.3 Tujuan dan Manfaat
Laporan kasus ini terutama ditujukan kepada dokter muda untuk membantu
mendiagnosis Apendisitis di pelayanan kesehatan primer. Selain itu, laporan kasus
ini juga diharapkan dapat menambah ilmu penulis mengenai Apendisitis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Fungsi appendiks dalam tubuh manusia sampai saat ini masih belum
sepenuhnya dipahami. Salah satu yang dikatakan penting adalah terjadi produksi
imunglobulin oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang menghasilkan
IgA. GALT ini sama dengan lapisan pada sepanjang saluran cerna lainnya. Karena
4
jumlahnya yang sedikit dan minimal, pengangkatan apendiks dikatakan tidak
mempengaruhi sistem pertahanan mukosa saluran cerna. Appendiks juga
menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL setiap harinya. Aliran ini akan dialirkan ke
sekum dan berperan untuk menjaga kestabilan mukosa apendiks. Apendisitis
seringkali terjadi karena gangguan aliran cairan appendiks ini.3
5
setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.3
2.4 Etiologi
Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai
faktor pencetus. Di samping hiperplasia jaringan limfa, fekalit, tumor apendiks, dan
cacing askariasis dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti
E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatan pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.3
6
apendisitis akut. Pada stadium ini peradangan telah mengenai seluruh dinding
apendiks dan terjadi perangsangan peritoneum parietal lokal.
c. Stadium Gangrenosa
Aliran arteri sangat terganggu mengakibatkan nekrosis/ gangren dengan bakteri
yang menembus lumen usus ke rongga peritoneum. Peradangan ini akan
menyebabkan masa lokal yang terdiri dari omentum dan usus membatasi
penyebaran bakteri dan melokalisir radangnya. Masa ini disebut apendisitis
infiltrate, bila masa lokal itu berisi pus maka disebut apendisitis abses. Tidak
jarang terjadi resolusi.
d. Stadium perforasi
Penyebaran bakteri ke rongga peritoneal atau peritonitis merupakan dampak
yang ditakutkan pada apendisitis akut. Peritonitis ini dapat timbul oleh:
Perforasi dari lumen apendiks ke rongga peritoneum melalui dinding yang
gangren
Atau delayed-perforasi dari apendisitis abses.4
Pada sebagian kasus, apendisitis dapat melewati fase akut tanpa perlu
dilakukannya operasi. Akan tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan
menyebabkan eksaserbasi akut sewaktu-waktu dan dapat langsung berujung pada
komplikasi perforasi. Pada anak-anak dan geriatri, daya tahan tubuh yang rendah
dapat meyebabkan sulitnya terbentuk infiltrat apendisitis sehingga risiko perforasi
lebih besar3. Faktor risiko lain perforasi diantaranya terapi immunosupresi, diabetes
mellitus, fekalit, appendix pelvis, operasi abdomen sebelumnya.
7
dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang
apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat
celcius.3
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.3,6
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan
atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas
dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi
m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya,
sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa
keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak
tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan
terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena
ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi.
Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
8
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang
gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi,
menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil
dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan
muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia
ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke
kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih
ke regio lumbal kanan.
2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
9
a. Rovsing’s sign
Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri bawah abdomen
b. Psoas sign
Rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel pada otot psoas mayor, tindakan ini akan menimbulkan
nyeri.
c. Obturator sign
Fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi telentang. Nyeri timbul apabila
appendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator interna.
Pada apendisitis perforasi yang sudah menyebabkan peritonitis, pasien akan
mengeluhkan nyeri pada seluruh abdomen. Pada inspeksi didapatkan distensi
abdomen, kemudian pada auskultasi didapatkan penurunan bising usus, pada
palpasi didapatkan nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh lapangan abdomen.
Adanya defans muscular menandakan sudah terjadinya rangsangan peritoneum
parietal.
Jika dilakukan Rectal Tousche (RT), pasien dapat mengeluhkan nyeri pada
arah pukul 10 yang menandakan appendiks berada di posisi pelvic, sedangkan
sfinkter ani longgar dan ampula rekti lapang menandakan adanya ileus paralitik.4
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien apendisitis adalah
pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, profil pembekuan darah.
Pemeriksaan darah yang dapat menggambarkan adanya proses infeksi pada
appendiks akan menunjukkan leukositosis sekitar 10.000 hingga 18.000/mm3.
Sementara pada peritonitis dapat terjadi leukositosis yang lebih dari 18.000/mm3.3
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat mendeteksi adanya apendisitis adalah
pemeriksaan Rontgen, Ultra Sono Graphy (USG), dan CT-Scan. Pada hasil USG
dikatakan pasien positif mengalami apendisitis adalah dengan besar appendiks yang
lebih besar atau sama dengan 6 mm. diagnosis menggunakan USG ini memiliki
angka sensitivitas 55-96% dan spesifitas 85-98% untuk mendiagnosis apendisitis
akut. Pemeriksaan USG ini juga dapat menggambarkan adanya apendisitis pada
anak-anak atau ibu hamil.3,7 Pada pemeriksaan rontgen abdomen mungkin
10
didapatkan fekalit <5%, berupa perselubungan di fossa iliaka dextra. Sementara
pemeriksaan CT-Scan menilai diameter appendiks, gambaran target, appendicolith,
dan apabila ditambahkan kontras kemungkinan didapatkan gambaran enhancement
dinding appendiks.
Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan
suatu alat bantu untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score. Dengan
memperoleh nilai lebih dari 7, maka apendisitis akut sudah umumnya dapat
ditegakkan5. Komponen Alvarado Score adalah:
11
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang harus dipikirkan pada kasus seperti ini adalah7:
2.9 Penatalaksanaan
Bila diagnosis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan terbaik adalah apendektomi.7
Pada apendisitis akut penundaan tindakan bedah dapat menimbulkan
komplikasi seperti peritonitis akibat perforasi appendiks.
Pada massa periapendikuler
masa apendikuler yang terpancang dengan pendinginan yang sempurna
sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik sambil dilakukan
pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran masa, serta luasnya peritonitis. Bila
sudah tidak ada demam, massa apendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengkatan dapat ditekan sekecil
mungkin.9
Pada apendisitis dengan abses atau phlegmon, dianjurkan untuk drainase
abses dan appendektomi dilakukan 6-10 minggu kemudian.
Pada apendisitis dengan perforasi perlu dilakukan laparotomi. Sebelum
pembedahan perlu dilakukan perbaikan keadaan umum dengan infus,
pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman
anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik.
12
2.9.1 Penatalaksanaan preoperatif
Pada penatalaksanaan preoperatif yang paling utama dilakukan adalah dengan
pemberian cairan intravena. Perembesan cairan yang massif dari cairan ke rongga
peritoneal harus digantikan dengan cairan intravena dengan jumlah yang sesuai.
Apabila terjadi toksik sistemik, maka harus dilakukan pencatatan terhadap cairan
yang masuk dan keluar dengan memasang kateter urin. Pada pasien harus diberikan
Ringer Lactate dengan tetesan cepat untuk memperbaiki hipovolemia intravascular,
dan untuk mengembalikan tekanan darah dalam angka yang optimal serta
mengontrol pengeluaran cairan melalui urin dengan kateter urin.
Pemberian antibiotik intravena harus diberikan untuk mengantisipasi adanya
kuman pathogen pada rongga peritoneum setelah dilakukan pemeriksaan cairan
dengan cara kultur. Antibiotic inisial yang dapat diberikan antara lain sefalosporin
generasi ketiga, ampicilin-sulbactam, metronidazol atau klindamisin untuk
organism anaerob. Kombinasi dari antibiotik yang tepat dilakukan setelah
menunggu hasil kultur dan tes sensitivitas. Antibiotik masih dilanjutkan
pemberiannya sampai pasien afebris, dengan nilai leukosit normal. Pemasangan
NGT juga dapat dilakukan untuk pasien yang mengeluhkan distensi atau perut
kembung.
2.9.2 Penatalaksanaan Operatif
Terapi utama pada apendisitis adalah apendektomi. Sampai saat ini,
penentuan waktu untuk dilakukannya apendektomi yang diterapkan adalah segera
setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan suatu kasus gawat-darurat.
Beberapa penelitian retrospektif yang dilakukan sebenarnya menemukan operasi
yang dilakukan dini (kurang dari 12 jam setelah nyeri dirasakan) tidak bermakna
menurunkan komplikasi post-operasi dibanding yang dilakukan biasa (12-24 jam).
Akan tetapi ditemukan bahwa setiap penundaan 12 jam waktu operasi, terdapat
penambahan risiko 5% terjadinya perforasi.8
13
Gambar 2.6 Insisi Apendiktomi8
14
digunakan untuk menjahit caecum sejauh 1,25 cm dari ujung yang diamputasi.
Jahitan harus melewati otot, dan meliputi tinea coli.8
15
Gambar 2.10 Laparaskopi Apendiktomi8
2.10 Komplikasi 9
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan
apendiks,sekum,dan lekuk usus halus.
a. Masa Periapendikuler
Masa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada masa
apendikuler dengan pembentukkan dinding yang belum sempurna, dapat
terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti
oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, masa periapendikuler
16
yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk mencegah
penyulit tersebut. Pada anak, dipersiapkan operasi dalam aktu 2-3 hari saja.
Pasien dewasa dengan masa apendikuler yang terpancang dengan
pendinginan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi
antibiotic sambil dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran masa,
serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa apendikular
hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendektomi elektif
dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengkatan
dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses
apendiks. Hal ini ditandai dengan adanya kenaikan suhu, dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkkkan masa, serta bertambahnya
angka leukosit.
Apendiktomi dilakukan pada infiltrate periapendikuler tanpa pus yang
ditenangkan. Sebelumnya pasien diberi antibiotic kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keaadam tenang, yaitu 6-8
minggu kemudian dilakukan appendektomi.
b. Apendisitis perforata
Perforasi apendiks akan menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan
perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi
diseluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio iliaka
kanan; peristalsis usus menurun akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga
peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi disuatu tempat,
paling sering rongga pelvis dan subdiafragma.
c. Apendisitis kronis
Adanya riwayat nyeri perut kanan bawah yang lebih dua minggu, terbukti
terjadi radang kronik apendiks baik secara makroskopik maupun
mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca apendektomi. Kriteria
mikroskopis kronik meliputi adanya fibrosis menyeluruh pada dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronis.
17
2.11 Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2-0,8% dan
disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka
ini berkisar 0,1-1% sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di
atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.1,3
18
BAB III
LAPORAN KASUS
19
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya tidak ada
Riwayat Hipertensi (+)
Riwayat operasi sebelumnya (-)
Riwayat Pengobatan
Malam sebelumnya pasien berobat ke IGD RSUD PROF. DR. M. Ali
Hanafiah SM Batusangkar, telah diberi obat Cefixime
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi (+)
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi
Pasien merupakan seorang Ibu Rumah Tangga dengan sosioekonomi sedang
3.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan Darah : 90/70 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Nafas : 24 x/menit
Suhu : 36,5 0C
VAS : 6 (Sedang)
Status Interna
Kepala, Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Kulit dan kuku : Turgor kulit baik, tidak sianosis
KGB : Tidak ditemukan pembesaran KGB
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Leher : Tidak ditemukan kelainan
Paru
Inspeksi : Dinding dada dan pergerakannya simetris kanan-kiri
Palpasi : Fremitus sama kanan-kiri
Perkusi : Sonor
20
Auskultasi : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari media linea midclavicula sinistra
RIC V
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)
Punggung
Inspeksi : Dinding dada dan pergerakannya simetris kanan-kiri
Palpasi : Fremitus sama kanan-kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Ekstremitas
Tidak ada kelainan
21
USG ABDOMEN
22
BAB IV
DISKUSI
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Geahart SL, Silen W. Acute Apendisitis and Peritonitis. Dalam: Fauci A,
Braunwald E, Kasper D, Hausert S, Longo D, Jameson J, et al, editor.
Harrison’s Principal of Internal Medicine. Edisi ke-17 Volume II. USA:
McGraw-Hill; 2008; 1916-17.
2. Ndayizeye L. Peritonitis in Rwanda: Epidemiology and Risk Factors for
Morbidity and Mortality. Official Journal of The Society of University
Surgeons. Vol.160(6): 1645-56. 2016.
3. Sjamsuhidajat RW, Karnadihardja, Thaddeus OHP, Reno R. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2011. hal 755-64.
4. Hadley, GP. Intra Abdominal Sepsis-Epidemiology, Etiology, and
Management. Paed Surg. Vol 23(6): 357-62. 2014.
5. Standring S. The Anatomical Basis of Clinical Practice 40th Edition:
Peritoneum and Peritoneal Cavity, Churchill Livingstone; Elsevier. 2008.
6. Turkes T, Sandrasegaran K, Patel AA, et al. Peritoneal and Retroperitoneal
Anatomy and Its Relevance for Cross Sectional Imaging. RadioGraphics,
32:437-51. 2012.
7. Seymor I. Schwartz, Appendix, in Principles of Surgery, 8th ed, Mc Graw Hill
inc; USA. 2005.
8. Williams NS, Bulstrode CJK, O’Connell PR. Bailey & Love’s Short Practice
of Surgery. 26th edition. London: Edward Arnold. 2013. p. 1199-1215.
9. Riwanto I. Hamami AH. Pieter J. Tjambolang T. Ahmadsyah I. Usus halus,
apendiks, kolon, dan anorektum. Dalam Sjamsuhidajat, R., karnadihardja, w.,
Prasetyono, T., Rudiman, R. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong.
Ed 3. Jakarta: EGC;2010: Hal 731-798.
24