Anda di halaman 1dari 24

Case Report Session

Apendisitis

Oleh
Arfan Gifari 1740212609

Pembimbing
dr. Ewi Astuti, Sp. B

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD PROF. DR. M. ALI HANAFIAH SM BATUSANGKAR
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja.1
Semua kasus apendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari apendiks
yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila
tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama
disebabkan karena peritonitis dan syok. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang
pertama yang menjelaskan bahwa Appendisitis akut merupakan salah satu
penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia 2,3.
Apendisitis yang bersifat akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari 1
tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi terjadi pada usia 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insiden pada laki-laki sebanding dengan perempuan.3
Apendisitis akut yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan
apendisitis perforasi. Perforasi pada appendiks dapat menyebabkan terbentuknya
kavitas dengan abses yang berisis pus, yang dapat pecah dan menyebabkan
peritonitis. Pada kasus seperti ini, laparotomi emergensi dan irigasi dari rongga
peritoneal sangat penting untuk dilakukan. Bila tidak segera dilakukan operasi,
dapat menyebabkan kematian pada pasien.4,5

1.2 Batasan Masalah


Pada laporan kasus ini akan dicantumkan tinjauan pustaka mengenai
Apendisitis, laporan kasus dan diskusi, yang bertujuan untuk membandingkan
prosedur yang telah dilakukan sesuai teori sebelumnya.

2
1.3 Tujuan dan Manfaat
Laporan kasus ini terutama ditujukan kepada dokter muda untuk membantu
mendiagnosis Apendisitis di pelayanan kesehatan primer. Selain itu, laporan kasus
ini juga diharapkan dapat menambah ilmu penulis mengenai Apendisitis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Appendiks


Appendiks (umbai cacing) merupakan organ digestif yang terletak pada
rongga abdomen bagian kanan bawah. Apendiks berbentuk tabung dengan panjang
±10 cm dan berpangkal di sekum. Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan
melebar di distal. Sedangkan pada bayi, apendiks berbentuk kerucut yaitu melebar
di proksimal dan menyempit di distal. Apendiks memiliki beberapa kemungkinan
posisi, yang didasarkan pada letak terhadap struktur-struktur sekitarnya yaitu
retrosekal, retroileal, ileosekal dan di rongga pelvis1,2. Apendiks dipersarafi oleh
persarafan otonom parasimpatis dari nervus vagus dan persarafan simpatis dari
nervus torakalis X. Persarafan ini yang menyebabkan radang pada apendiks akan
dirasakan periumbilikal. Vaskularisasi apendiks adalah oleh arteri apendikularis
yang tidak memiliki kolateral.3

Gambar 2.1 Variasi Posisi Appendix3

Fungsi appendiks dalam tubuh manusia sampai saat ini masih belum
sepenuhnya dipahami. Salah satu yang dikatakan penting adalah terjadi produksi
imunglobulin oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang menghasilkan
IgA. GALT ini sama dengan lapisan pada sepanjang saluran cerna lainnya. Karena

4
jumlahnya yang sedikit dan minimal, pengangkatan apendiks dikatakan tidak
mempengaruhi sistem pertahanan mukosa saluran cerna. Appendiks juga
menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL setiap harinya. Aliran ini akan dialirkan ke
sekum dan berperan untuk menjaga kestabilan mukosa apendiks. Apendisitis
seringkali terjadi karena gangguan aliran cairan appendiks ini.3

Gambar 2.2 Gambaran Histologis Apendiks Vermiform1

2.2 Definisi Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja.1

2.3 Epidemiologi Apendisitis


Terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika Serikat
setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Insidensi
Apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi
beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-
hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,

5
setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.3

2.4 Etiologi
Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai
faktor pencetus. Di samping hiperplasia jaringan limfa, fekalit, tumor apendiks, dan
cacing askariasis dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti
E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatan pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.3

2.5 Patogenesis Apendisitis


Apendisitis akut merupakan penyebab tersering dari munculnya peritonitis di
Negara maju, yakni mencapai 82% dari pasien apendisitis yang mengalami
peritonitis. Perjalanan penyakit apendisitis akut yang dapat menyebabkan
terjadinya perforasi hingga terjadinya peritonitis adalah sebagai berikut3:
a. Stadium Kataralis
Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks,
akumulasi mucus akhirnya meningkatkan tekanan intralumen. Peningkatan
tekanan intralumen ini akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga
terjadi edem mukosa, submukosa, serosa hingga peritoneum visceral.
Akumulasi mukus baik bagi perkembangan bakteri aerob dan anaerob saluran
cerna.Mukus lalu berubah menjadi pus oleh bakteri.Edema dinding appendiks
menyebabkan diapedesis kuman ke submukosa dan terjadilah ulkus. Resolusi
dapat terjadi pada stadium ini, bisa karena spontan maupun dengan antibiotik
b. Stadium Purulent
Udema dan pus menyebabkan penurunan aliran vena dan arteri, sehingga terjadi
iskemia.Selama iskemia bakteri menyebar menembus dinding menyebabkan

6
apendisitis akut. Pada stadium ini peradangan telah mengenai seluruh dinding
apendiks dan terjadi perangsangan peritoneum parietal lokal.
c. Stadium Gangrenosa
Aliran arteri sangat terganggu mengakibatkan nekrosis/ gangren dengan bakteri
yang menembus lumen usus ke rongga peritoneum. Peradangan ini akan
menyebabkan masa lokal yang terdiri dari omentum dan usus membatasi
penyebaran bakteri dan melokalisir radangnya. Masa ini disebut apendisitis
infiltrate, bila masa lokal itu berisi pus maka disebut apendisitis abses. Tidak
jarang terjadi resolusi.
d. Stadium perforasi
Penyebaran bakteri ke rongga peritoneal atau peritonitis merupakan dampak
yang ditakutkan pada apendisitis akut. Peritonitis ini dapat timbul oleh:
 Perforasi dari lumen apendiks ke rongga peritoneum melalui dinding yang
gangren
 Atau delayed-perforasi dari apendisitis abses.4
Pada sebagian kasus, apendisitis dapat melewati fase akut tanpa perlu
dilakukannya operasi. Akan tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan
menyebabkan eksaserbasi akut sewaktu-waktu dan dapat langsung berujung pada
komplikasi perforasi. Pada anak-anak dan geriatri, daya tahan tubuh yang rendah
dapat meyebabkan sulitnya terbentuk infiltrat apendisitis sehingga risiko perforasi
lebih besar3. Faktor risiko lain perforasi diantaranya terapi immunosupresi, diabetes
mellitus, fekalit, appendix pelvis, operasi abdomen sebelumnya.

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan
pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan
beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih
tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun
terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini

7
dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang
apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat
celcius.3
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.3,6
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan
atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas
dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi
m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya,
sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa
keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak
tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan
terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena
ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi.
Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

8
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang
gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi,
menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil
dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan
muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia
ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke
kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih
ke regio lumbal kanan.

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis

 Nyeri perut umbilikal, periumbilikal


 Nyeri perut kanan bawah
 Mual
 Muntah
 Demam
 Gejala gastrointestinal lain (diare, konstipasi)
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada apendisitis, pasien belum tampak adanya distensi abdomen dan bising
usus masih normal. Pada palpasi didapatkan nyeri tekan yang terbatas pada region
kuadran kanan bawah abdomen pasien. Selain itu, dikenal beberapa manuver
diagnostik.3

Gambar 2.3 Gejala dan Tanda Apendisitis Akut2

9
a. Rovsing’s sign
Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri bawah abdomen
b. Psoas sign
Rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel pada otot psoas mayor, tindakan ini akan menimbulkan
nyeri.
c. Obturator sign
Fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi telentang. Nyeri timbul apabila
appendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator interna.
Pada apendisitis perforasi yang sudah menyebabkan peritonitis, pasien akan
mengeluhkan nyeri pada seluruh abdomen. Pada inspeksi didapatkan distensi
abdomen, kemudian pada auskultasi didapatkan penurunan bising usus, pada
palpasi didapatkan nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh lapangan abdomen.
Adanya defans muscular menandakan sudah terjadinya rangsangan peritoneum
parietal.
Jika dilakukan Rectal Tousche (RT), pasien dapat mengeluhkan nyeri pada
arah pukul 10 yang menandakan appendiks berada di posisi pelvic, sedangkan
sfinkter ani longgar dan ampula rekti lapang menandakan adanya ileus paralitik.4
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien apendisitis adalah
pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, profil pembekuan darah.
Pemeriksaan darah yang dapat menggambarkan adanya proses infeksi pada
appendiks akan menunjukkan leukositosis sekitar 10.000 hingga 18.000/mm3.
Sementara pada peritonitis dapat terjadi leukositosis yang lebih dari 18.000/mm3.3
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat mendeteksi adanya apendisitis adalah
pemeriksaan Rontgen, Ultra Sono Graphy (USG), dan CT-Scan. Pada hasil USG
dikatakan pasien positif mengalami apendisitis adalah dengan besar appendiks yang
lebih besar atau sama dengan 6 mm. diagnosis menggunakan USG ini memiliki
angka sensitivitas 55-96% dan spesifitas 85-98% untuk mendiagnosis apendisitis
akut. Pemeriksaan USG ini juga dapat menggambarkan adanya apendisitis pada
anak-anak atau ibu hamil.3,7 Pada pemeriksaan rontgen abdomen mungkin

10
didapatkan fekalit <5%, berupa perselubungan di fossa iliaka dextra. Sementara
pemeriksaan CT-Scan menilai diameter appendiks, gambaran target, appendicolith,
dan apabila ditambahkan kontras kemungkinan didapatkan gambaran enhancement
dinding appendiks.
Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan
suatu alat bantu untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score. Dengan
memperoleh nilai lebih dari 7, maka apendisitis akut sudah umumnya dapat
ditegakkan5. Komponen Alvarado Score adalah:

Gambar 2.4 Alvarado Score3,5

Skor 9-10 : hampir pasti apendisitis, operasi


Skor 7-8 : kemungkinan besar apendisitis
Skor 5-6 : mungkin, namun bukan diagnosis apendisitis
Pastikan dengan CT-scan
Skor 0-4 : Kemungkinan besar tidak namun bukan tidak mungkin apendisitis

11
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang harus dipikirkan pada kasus seperti ini adalah7:

Gambar 2.5 Diagnosis Banding

2.9 Penatalaksanaan
Bila diagnosis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan terbaik adalah apendektomi.7
Pada apendisitis akut penundaan tindakan bedah dapat menimbulkan
komplikasi seperti peritonitis akibat perforasi appendiks.
Pada massa periapendikuler
masa apendikuler yang terpancang dengan pendinginan yang sempurna
sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik sambil dilakukan
pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran masa, serta luasnya peritonitis. Bila
sudah tidak ada demam, massa apendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengkatan dapat ditekan sekecil
mungkin.9
Pada apendisitis dengan abses atau phlegmon, dianjurkan untuk drainase
abses dan appendektomi dilakukan 6-10 minggu kemudian.
Pada apendisitis dengan perforasi perlu dilakukan laparotomi. Sebelum
pembedahan perlu dilakukan perbaikan keadaan umum dengan infus,
pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman
anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik.

12
2.9.1 Penatalaksanaan preoperatif
Pada penatalaksanaan preoperatif yang paling utama dilakukan adalah dengan
pemberian cairan intravena. Perembesan cairan yang massif dari cairan ke rongga
peritoneal harus digantikan dengan cairan intravena dengan jumlah yang sesuai.
Apabila terjadi toksik sistemik, maka harus dilakukan pencatatan terhadap cairan
yang masuk dan keluar dengan memasang kateter urin. Pada pasien harus diberikan
Ringer Lactate dengan tetesan cepat untuk memperbaiki hipovolemia intravascular,
dan untuk mengembalikan tekanan darah dalam angka yang optimal serta
mengontrol pengeluaran cairan melalui urin dengan kateter urin.
Pemberian antibiotik intravena harus diberikan untuk mengantisipasi adanya
kuman pathogen pada rongga peritoneum setelah dilakukan pemeriksaan cairan
dengan cara kultur. Antibiotic inisial yang dapat diberikan antara lain sefalosporin
generasi ketiga, ampicilin-sulbactam, metronidazol atau klindamisin untuk
organism anaerob. Kombinasi dari antibiotik yang tepat dilakukan setelah
menunggu hasil kultur dan tes sensitivitas. Antibiotik masih dilanjutkan
pemberiannya sampai pasien afebris, dengan nilai leukosit normal. Pemasangan
NGT juga dapat dilakukan untuk pasien yang mengeluhkan distensi atau perut
kembung.
2.9.2 Penatalaksanaan Operatif
Terapi utama pada apendisitis adalah apendektomi. Sampai saat ini,
penentuan waktu untuk dilakukannya apendektomi yang diterapkan adalah segera
setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan suatu kasus gawat-darurat.
Beberapa penelitian retrospektif yang dilakukan sebenarnya menemukan operasi
yang dilakukan dini (kurang dari 12 jam setelah nyeri dirasakan) tidak bermakna
menurunkan komplikasi post-operasi dibanding yang dilakukan biasa (12-24 jam).
Akan tetapi ditemukan bahwa setiap penundaan 12 jam waktu operasi, terdapat
penambahan risiko 5% terjadinya perforasi.8

13
Gambar 2.6 Insisi Apendiktomi8

Laproskopi, operasi terbuka dilakukan dengan insisi pada titik McBurney


yang dilakukan tegak lurus terhadap garis khayalan antara SIAS dan umbilikus.
Sebelum mempersiapkan abdomen untuk operasi, raba dulu masa periapendikular.
Bila teraba massa lakukan tatalaksana terhadap massa periapendikular berupa terapi
konservatif dan dilakukan apendektomi 6-10 minggu kemudian. Terapi yang
diberikan berupa antibiotik IV dan bowel rest
Di bawah pengaruh anestesi, dapat dilakukan palpasi untuk menemukan
massa yang membesar. Setelah dilakukan insisi: gridrion, Rutherfor Marison, Lanz.
Dalam beberapa tahun terakhir insisi Lanz lebih popular digunakan karena eksposur
yang lebih baik. Bila diagnosis diragukan terutama bila ada obstruksi , insisi lower
midline abdominal lebih dipilih.8
Pembedahan dilakukan dengan identififkasi sekum dengan taenia coli
kemudian dengan jari tarik caecum, apendiks akan terasa pada dasar caecum. Adesi
inflamasi dipidahkan hati-hati dengan jari, lalu keluarkan apendiks melalui luka
insisi. Mesoapendiks diligasi dan dipisahkan. Basis apendiks kemudian dilakukan
ligasi dan transeksi diantara forsep arteri dan ligasi. Benang 2/0 absorbable

14
digunakan untuk menjahit caecum sejauh 1,25 cm dari ujung yang diamputasi.
Jahitan harus melewati otot, dan meliputi tinea coli.8

Gambar 2.9 Pengangkatan Appendiks8

Apendektomi dengan bantuan laparoskopi mulai umum dilakukan saat ini


walaupun belum ada bukti yang menyatakan bahwa metode ini memberikan hasil
operasi dan pengurangan kejadian komplikasi post-operasi. Apendektomi
laparoskopi harus dilakukan apabila diagnosis masih belum yakin ditegakkan
karena laparoskopi dapat sekaligus menjadi prosedur diagnostik. Sampai saat ini
penelitian-penelitian yang dilakukan masih mengatakan keunggulan dari metode ini
adalah meningkatkan kualitas hidup pasien. Perbaikan infeksi luka tidak terlalu
berpengaruh karena insisi pada operasi terbuka juga sudah dilakukan dengan sangat
minimal.1,3,7.

15
Gambar 2.10 Laparaskopi Apendiktomi8

Komplikasi pasca-operasi dari apendektomi adalah terjadinya infeksi luka


dan abses intraabdomen. Infeksi luka umumnya sudah dapat dicegah dengan
pemberian antibiotik perioperatif. Abses intra-abdomen dapat muncul akibat
kontaminasi rongga peritoneum.3

2.10 Komplikasi 9
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan
apendiks,sekum,dan lekuk usus halus.
a. Masa Periapendikuler
Masa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada masa
apendikuler dengan pembentukkan dinding yang belum sempurna, dapat
terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti
oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, masa periapendikuler

16
yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk mencegah
penyulit tersebut. Pada anak, dipersiapkan operasi dalam aktu 2-3 hari saja.
Pasien dewasa dengan masa apendikuler yang terpancang dengan
pendinginan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi
antibiotic sambil dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran masa,
serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa apendikular
hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendektomi elektif
dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengkatan
dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses
apendiks. Hal ini ditandai dengan adanya kenaikan suhu, dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkkkan masa, serta bertambahnya
angka leukosit.
Apendiktomi dilakukan pada infiltrate periapendikuler tanpa pus yang
ditenangkan. Sebelumnya pasien diberi antibiotic kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keaadam tenang, yaitu 6-8
minggu kemudian dilakukan appendektomi.
b. Apendisitis perforata
Perforasi apendiks akan menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan
perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi
diseluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio iliaka
kanan; peristalsis usus menurun akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga
peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi disuatu tempat,
paling sering rongga pelvis dan subdiafragma.
c. Apendisitis kronis
Adanya riwayat nyeri perut kanan bawah yang lebih dua minggu, terbukti
terjadi radang kronik apendiks baik secara makroskopik maupun
mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca apendektomi. Kriteria
mikroskopis kronik meliputi adanya fibrosis menyeluruh pada dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronis.

17
2.11 Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2-0,8% dan
disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka
ini berkisar 0,1-1% sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di
atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.1,3

18
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Y
Usia : 65 tahun
Status Perkawinan : Janda
Alamat : Pasir Lawas
Tanggal Masuk : 05 November 2018
3.2 Anamnesa
Keluhan Utama
Nyeri perut sebelah kanan bawah sejak ± 3 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
 Pasien datang ke IGD RSUD PROF. DR. M. Ali Hanafiah SM
Batusangkar dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan bawah yang
hilang timbul sejak ± 3 hari yang lalu. Nyeri terus menerus tidak berubah
dengan perubahan posisi. Pasien telah berobat ke IGD semalam, namun
nyeri masih dirasakan.
 Mencret sejak 3 hari yang lalu
 Nyeri kepala (+)
 Demam (-)
 Mual (-), muntah (-)
 Alvarado Score: 6
o M: 1
o A: 1
o N: 0
o T: 2
o R: 0
o E: 0
o L: 2
o S: 0

19
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya tidak ada
 Riwayat Hipertensi (+)
 Riwayat operasi sebelumnya (-)
Riwayat Pengobatan
Malam sebelumnya pasien berobat ke IGD RSUD PROF. DR. M. Ali
Hanafiah SM Batusangkar, telah diberi obat Cefixime
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi (+)
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi
Pasien merupakan seorang Ibu Rumah Tangga dengan sosioekonomi sedang
3.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Tekanan Darah : 90/70 mmHg
 Nadi : 98 x/menit
 Nafas : 24 x/menit
 Suhu : 36,5 0C
 VAS : 6 (Sedang)
Status Interna
 Kepala, Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
 Kulit dan kuku : Turgor kulit baik, tidak sianosis
 KGB : Tidak ditemukan pembesaran KGB
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
 Hidung : tidak ditemukan kelainan
 Telinga : Tidak ditemukan kelainan
 Leher : Tidak ditemukan kelainan
 Paru
 Inspeksi : Dinding dada dan pergerakannya simetris kanan-kiri
 Palpasi : Fremitus sama kanan-kiri
 Perkusi : Sonor

20
 Auskultasi : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
 Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari media linea midclavicula sinistra
RIC V
 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : Bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)
 Punggung
 Inspeksi : Dinding dada dan pergerakannya simetris kanan-kiri
 Palpasi : Fremitus sama kanan-kiri
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
 Ekstremitas
Tidak ada kelainan

Status Lokalis Abdomen


 Inspeksi : Distensi (-), Darm contour (-), Darm steifung (-)
 Auskultasi : (+) N
 Palpasi : Supel, Nyeri tekan (+) di regio kanan bawah di titik
McBurney, NL (-), defans muscular (-), psoas sign (-), rovsing sign (-),
obturator sign (-), teraba masa pada abdomen kanan bawah ± 5 x 6 cm
permukaan rata.
 Perkusi : Pekak - Timpani
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Rutin
 Hemoglobin : 11,0 mg/dl
 Leukosit : 13.700 /mm3
 Trombosit : 278.000 /mm3
 Hematokrit : 33,5%

21
USG ABDOMEN

Kesan: Tampak struktur tubuler aperistaltik dengan gambaran “target sign”


disertai edema di sekitarnya pada regio Mc Burney susp. Appendicitis akut
3.5 Diagnosis Kerja
Appendisitis akut
3.6 Tatalaksana
Konservatif kemudian operasi elektif
Konservatif
● IVFD RL 20 tts/i
● Ceftriaxone 2 x 1 gr (iv)
● Ranitidine 2 x 1 amp (iv)
● Ketorolac 2 x 1 amp (iv)
Bedah
● Laparotomi eksplorasi
3.7 Komplikasi
Appendisitis perforasi
3.9 Prognosis
Dubia ad Bonam

22
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien perempuan berumur 65 tahun datang ke RSUD DR. M. Ali


Hanafiah Batusangkar tanggal 5 November 2018 dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah yang terus menerus sejak 3 hari SMRS. Nyeri dirasakan terus-menerus tidak
diperngaruhi oleh perubahan posisi. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Nyeri ini dirasakan di sekitar
umbilikus atau periumbilikus karena persarafan appendix berasal dari thorakal 10
yang lokasinya di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Maka nyeri pada umbilikus
atau periumbilikus merupakan suatu reffered pain. Kemudian dalam beberapa jam,
nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Dititik ini nyeri
terasa lebih tajam dan jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan berupa nyeri tekan pada titik Mc Burney.
Nyeri tekan pada titik Mc Burney merupakan salah satu kunci diagnosis apendisitis
akut. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis. Hasil
pemeriksaan USG menunjukkan gambaran apendisitis akut. Berdasarkan data
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah dilakukan, didapatkan
Alvarado Score pada pasien ini adalah 6 yang artinya mungkin pasien ini menderita
apendisitis.
Penatalaksanaan berupa terapi konservatif lalu dilakukan pembedahan atas
indikasi terapeutik berupa apendektomi. Hal ini sesuai dengan teori yang mana pada
apendisitis akut, penundaan tindakan bedah dapat menimbulkan komplikasi seperti
peritonitis akibat perforasi appendiks.

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Geahart SL, Silen W. Acute Apendisitis and Peritonitis. Dalam: Fauci A,
Braunwald E, Kasper D, Hausert S, Longo D, Jameson J, et al, editor.
Harrison’s Principal of Internal Medicine. Edisi ke-17 Volume II. USA:
McGraw-Hill; 2008; 1916-17.
2. Ndayizeye L. Peritonitis in Rwanda: Epidemiology and Risk Factors for
Morbidity and Mortality. Official Journal of The Society of University
Surgeons. Vol.160(6): 1645-56. 2016.
3. Sjamsuhidajat RW, Karnadihardja, Thaddeus OHP, Reno R. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2011. hal 755-64.
4. Hadley, GP. Intra Abdominal Sepsis-Epidemiology, Etiology, and
Management. Paed Surg. Vol 23(6): 357-62. 2014.
5. Standring S. The Anatomical Basis of Clinical Practice 40th Edition:
Peritoneum and Peritoneal Cavity, Churchill Livingstone; Elsevier. 2008.
6. Turkes T, Sandrasegaran K, Patel AA, et al. Peritoneal and Retroperitoneal
Anatomy and Its Relevance for Cross Sectional Imaging. RadioGraphics,
32:437-51. 2012.
7. Seymor I. Schwartz, Appendix, in Principles of Surgery, 8th ed, Mc Graw Hill
inc; USA. 2005.
8. Williams NS, Bulstrode CJK, O’Connell PR. Bailey & Love’s Short Practice
of Surgery. 26th edition. London: Edward Arnold. 2013. p. 1199-1215.
9. Riwanto I. Hamami AH. Pieter J. Tjambolang T. Ahmadsyah I. Usus halus,
apendiks, kolon, dan anorektum. Dalam Sjamsuhidajat, R., karnadihardja, w.,
Prasetyono, T., Rudiman, R. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong.
Ed 3. Jakarta: EGC;2010: Hal 731-798.

24

Anda mungkin juga menyukai