OLEH
I PUTU AGUS SANTIKA PUTRA
NIM. 1909612027
GELOMBANG 16 KELOMPOK B
LABORATORIUM
KOASISTENSI DIAGNOSTIK ILMU LABORATORIK
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
1. Sinyalemen
Alamat : Yeh Gangga, Tabanan
Hewan : Babi
Ras Hewan : Landrace
Umur : ±2 bulan
Jenis kelamin : Betina
(Sumber : Purnama et al, 2019)
2. Anamnesa
Seekor babi landrace ±2 bulan betina berasal dari Yeh Gangga Kabupaten Tabanan
menunjukan sakit selama 3 hari dengan tanda klinis diare sedikit putih dan berlendir,
lemas, tidak mau makan dan kurus, dan akhirnya mati. Sejarah klinis tidak begitu detail
diberikan dan tidak pasti. Lalu dilakukan nekropsi di Laboratorium Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana. (Purnama et al, 2019).
3. Gejala klinis
Sakit selama 3 hari dengan tanda klinis diare sedikit putih dan berlendir, lemas, tidak
mau makan dan kurus, dan akhirnya mati (Purnama et al, 2019).
4. Epidemiologi
a. Hospes
Hospes dalam kasus ini adalah seekor babi landrace betina berumur 2 bulan yang
sakit selam 3 hari tiga yang dimiliki oleh di peternak dari daerah Yeh Gangga Kabupaten
Tabanan (Purnama et al, 2019).
b. Agen
Balantidium coli merupakan organisme bersel tunggal yang berukuran sekitar 50–500
mikron termasuk cilia pada permukaan selnya (Winaya et al, 2011). Protozoa ini dapat
menginfeksi eberapa host seperti babi, ruminant (domba, kambing, sapi), rodensia, non
human primate dan manusia (Hasan et al, 2015). Infeksi B. coli dapat menyebabkan dua
bentuk infeksi: infeksi kronis, bersifat asimptomatis dan tanda klinis yang muncul tidak
spesifik. Infeksi akut, akan menunjukan disentri, anoreksia, penururnan berat badan, diare
berdarah (Bauri et al, 2012; Purnama et al, 2019)
c. Lingkungan
Metode penularan balantidiosis adalah fecal oral dimana ternak sehat yang menelan
kista infektif dalam makanan dan air yang terkontaminasi dari ternak yang sakit akan
terjangkit balantidiosis. Kondisi kandang yang padat serta kebersihan kendang yang
buruk akan memungkinkan fases bercampur dengan makanan ternak dan air menjadi
faktor yang meningkatkan penularan balantidiosis pada ternak. (Kennedy et al, 2006)
d. Distribusi Penyakit
Balantidiosis coli merupakan protoozoa dengan prevalensi tinggi di daerah pedesaan
dan populasi urban di negara-negara tropis dan subtropik (Bauri et al, 2012).
Balantidiosis dilaporkan terjadi dibeberapa negara berkembang seperti Brazil, Venezuela,
Filipina, Papua New Guinea, Iran, dan Kawasan Asia Tengah. Di India prevalensi kasus
balantidiosis sebesar 2,4%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hasan (2015) yang
melibatkan 52 ekor babi yang diambl fesesnya dan diperiksa dengan Stoll’s ova counting
technique memperoleh hasil sebesar 36,62% babi terinfeksi Balantidiosis coli (Hasan et
al, 2015).
Pada penelitian dengan metode pemeriksaan feses yang dilakukan Sangioni (2017)
yang melibatkan 387 ekor babi dari 12 peternakan di kawasan Rio grade do Sul State di
Brazil mendapatkan hasil 236 ekor babi dengan prevalensi 60,9% terinfeksi balantidiosis
dengan ditemukannya kista dan atau trophozoit pada feses (Sangioni et al, 2017). Pada
penelitian yang dilakukan Paul et al sekitar bulan Juli hingga Desember 2019 yang
melibatkan 200 sampel dari 200 babi di distrik Mymensingh, Bangladesh mendeteksi
kista dan atau tropozoit dengan Modified Sto’s ova dilution technique pada 103 sampel
dengan prevalensi balantidiosis sebesar 51,5% (Paul et al, 2019).
5. Data PA
Hasil nekropsi babi kasus pada usus secara patologi anatomi terjadi peritonitis ringan
dan akumulasi cairan pada ruang peritoneum, distensi dan perdarahan pada mukosa usus
(kolon dan sekum). Perubahan pemeriksaan pascamati menunjukan lesi hemoragik, ulser,
dan peritonitis (Purnama et al, 2019).
Gambar 1. Pada kolon dan usus halus mengalami distensi, hemoragik dan edema; tanda-tanda
organ pencernaan mengalami torsio tidak teramati (A). Pengamatan pada mukosa usus
mengalami perdarahan dominan pada kolon dan sekum (B). Tidak ada bentukan fibrin yang
teramati pada seluruh organ (Purnama et al, 2019).
6. Diagnosa Sementara
Diagnosis sementara yang dapat disimpulkan setelah melihat gejala klinis dan hasil
nekropsi adalah Balantidiosis, dikarenakan babi tersebut memiliki gejala serupa dengan
Balantidiosis. Diagnosa banding dari Balantidiosis adalah Hog Cholera, Colibasilosis,
7. Diagnosa Definitif
Balantidium coli. Berdasarkan hasil anamnesa, gejala klinis, pemeriksaan
patologi anatomi, pemeriksaan laboratorium patologi, dan laboratorium
parasitologi didapatkan hasil sebagai berikut pada pemeriksaan patologi anatomi
ditemukan peritonitis ringan dan akumulasi cairan pada ruang peritoneum, distensi
dan perdarahan pada mukosa usus. Pada pemeriksaan histopatologi anatomi
ditemukan potongan koloni protozoa Balantidium coli di tunika mukosa. Pada
pemeriksaan laboratorium patologi ditemukan kista Balantidium coli dan
trophozoit Balantidium coli dengan makronukleus berbentuk kacang terlihat di
kanan atas tropozoid.
8. Diskusi Kasus
Balantidium coli sebagai organisme komensal dapat ditemukan pada lumen sekum,
kolon babi, manusia, dan primata namun protozoa ini dapat menjadi patogen apabila
didahului oleh kerusakan pada jaringan akibat mikroorganisme lain (Winaya et al, 2011).
Predileksi B. coli adalah pada usus besar terutama pada segmen kolon (Purnama et al,
2019). Pada laporan kasus oleh Purnama et al, 2019 pemeriksaan dilakukan pada seekor
babi landrace betina berusia ±2 bulan berasal dari Yeh Gangga Kabupaten Tabanan
dengan gejala klinis berupa diare sedikit putih berlendir, lemas, tidak mau makan, dan
akhirnya mati setelah 3 hari sakit. Nekropsi dilakukan segera setelah hewan mati dan
diproses untuk pemeriksaan histopatologi. Perubahan patologi (Gambar 4) terutama
terjadi pada ruang abdomen dan sistem gastrointestinal. Sistem lain tidak terinfeksi dan
tidak mengalami perubahan patologi. Pada usus terjadi peritonitis ringan dan akumulasi
cairan pada ruang peritoneum dan perdarahan pada mukosa usus (kolon dan sekum).
Perubahan pemeriksaan pascamati menunjukan lesi hemoragik, ulser, dan peritonitis.
Pada kolon dan usus halus tampak mengalami distensi, hemoragik dan edema; tanda-
tanda organ pencernaan mengalami torsio tidak teramati. Pengamatan pada mukosa usus
mengalami perdarahan terutama pada kolon dan sekum. Tidak ada bentukan fibrin yang
teramati pada seluruh organ (Purnama et al, 2019)
Balantidium coli merupakan organisme bersel tunggal yang berukuran sekitar 50–
500 mikron termasuk cilia pada permukaan selnya (Winaya et al, 2011). Protozoa ini
dapat menginfeksi eberapa host seperti babi, ruminant (domba, kambing, sapi), rodensia,
non human primate dan manusia (Hasan et al, 2015) Siklus hidup Balantidium dimulai
dari tertelannya pakan yang tercemar oleh trophozoit. Pada stadium ini trophozoit
bentuknya oval dan besar serta dikelilingi cilia pendek yang memungkinkan begerak di
dalam usus besar. Stadium motil ini panjangnya 50 – 100 mikron dan lebarnya 40 – 70
mikron. Memiliki dua inti, inti yang besar berbentuk seperti kacang disebut
makronukleus dan yang lebih kecil disebut mikronukleus. Stadium kedua berbentuk kista,
bentuk ini bertanggung jawab menyebarkan parasit ke inang baru. Ukuran diameter kista
50-70 mikron. Trophozoit dan kista keluar dari usus bersama feses namun hanya kista
yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang dapat bertahan hidup di luar tubuh untuk
selanjutnya mencemari air dan bahan makanan ( Purnama et al, 2019 ; Paul et al, 2019)
Penularan B. coli seperti protozoa pada umumnya, terjadi karena adanya trophozoit dan
kista yang dikeluarkan bersama feses mencemari pakan kemudian tertelan oleh babi
lainnya, dimana semakin tinggi kontak babi dari berbagai tingkatan umur maka akan
semakin tinggi peluang untuk terinfeksi parasit yang tergolong ke dalam foodborne
disease (Winaya et al, 2011).
Balantidium coli menghasilkan enzim proteolitik yang dapat mendegradasi epitel
sehingga akan menimbulkan lesi berupa bisul berbentuk labu. Lesi ini menstimulasi
reaksi inflamasi dengan adanya infiltrasi limfositik dan perdarahan serta invasi bakteri
sekunder yang dapat mengikuti proses inflamasi. Infeksi dapat menyebabkan dysentri
like syndrome yang akan menimbulkan gejala pada ternak seperti melibatkan diare,
anoreksia, dan kelemahan (Bellanger et al, 2013). Ulserasi kolon meliputi peluruhan
mukosa, nekrosis, kehilangan cairan, perdarahan, pembentukan abses sesekali dan
kadang-kadang perforasi usus. Infeksi B. coli dapat menyebabkan dua bentuk infeksi:
infeksi kronis, bersifat asimptomatis dan tanda klinis yang muncul tidak spesifik. Infeksi
akut, akan menunjukan disentri, anoreksia, penururnan berat badan, diare berdarah (Bauri
et al, 2012; Purnama et al, 2019)
Infeksi klinis dapat diobati dengan metronidazole, di-iodohydroxyquin, tetracycline
atau carbarsone. Pada penelitian yang dilakukan Bauri (2012) yang melibatkan 100 ekor
babi dimana 93 ekor babi terinfeksi Balantidium coli didapatkan hasil bahwa terapi yan
efektif berupa oxytetracyclin 10 mg/ kgbb dengan capaian 100% sembuh pada hari ketiga
observasi dan terapi kombinasi berupa metronidazole 20 mg/ kgbb + furazolidone 10 mg/
kkbb dengan capaian 100% sembuh pada hari kelima observasi (Bauri et al, 2012).
Pencegahan dan pengendalian balantidiosis menitikberatkan pada pencegahan
kontaminasi feses babi ke persediaan makanan dan air. Limbah dari kandang babi
sebaiknya tidak digunakan untuk menyuburkan kebun sayur atau tanaman pangan. Di
negara-negara berkembang, babi tidak boleh dibiarkan berkeliaran bebas di desa-desa,
tetapi sebaiknya dibatasi pada kandang (Lai et al, 2011; Bauri et al, 2012).
LAMPIRAN
Eutanasia
Nekropsi
Pengambilan sampel
(Usus)
Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si I Putu Agus Santika Putra
NIP : 19621228992031001 NIM: 1909612027
PEMERIKSAAN LABORATORIUM PARASITOLOGI
Sample
Feses
Stoll Mc Master
Ukuran
Media Selektif Elevasi
Tepian/Margin
Eosin Methylen Bentuk
Blue Agar Warna
Hemolisis
Sampel
Bentuk
Pewarnaan Gram Susunan
Gram
Elektroforesis
drh. Tri Komala Sari, MS, PhD. I Putu Agus Santika Putra
NIP: 19840111 200801 2005 NIM: 1909612027
DAFTAR PUSTAKA
Bauri RK, Ranjan R, Deb AR, Ranjan R. 2012. Prevalence and sustainable control of
Balantidium coli infection iin pigs of Ranchi, Jahrkahnd, India. Vet.World. 5(2)94-99
Bellanger AP, Scherer E, Cazorla A, Grenouillet F. 2013. Dysenteric syndrome due to
Balantidium coli: a case report. New Microbiologica 36: 203-205
Hasan MAA, Rahman MA, Saha BK, Abdullah AH, Rakib AFK, Mondal MMH. 2015.
Occurrence of Balantidium coli in pig in Mymensingh, Bangladesh.Int.J.Nat.Soc.Sci. 2;
86-89
Kennedy MJ. 2006. Balantidium in Swine.Agriculture, Food and Rural Deveolpment.AGRI-
FACT
Lai M, Zhou RQ, Huang HC, Hu SJ. 2011. Prevalence and risk factors associated with intestinal
parasites in pigs in Chongqing, China. Research in Veterinary Science. 9: 121-124.
Paul TR, Begum N, Hossain MS, Labony SS, Anisuzzaman, Dey AR. 2019. Balantidiasis, a
zoonotic infection, in cattle and domestic pigs. Bangl J Vet Med.17(1)’263-269
Purnama KN, Kardena IM Berata IK, Winaya IBO, Mirah AA. 2019 Laporan Kasus: Patologi
Balantidiosis pada Babi.Indonesia Mediscus Veterinus.8(1);1-8
Sangioni LA, Botton SA, Ramos F, Cadore GC, Monteiro SG, Pereira DIB, Vogel FSF, 2017.
Balantidium coli in Pigs of Distinct Animal Husbandry Categories and Different Hygienic-
Sanitary Standards In the Centrl Region of Rio grande do Sul State, Brazil. Acta Scientiae
Veterinariae. 45.1-6
Winaya IBO, Berata IK, Apsari IAP. Kejadian Balantidiosis pada Babi Landrace. Jurnal
Veteriner.2011;12(1)65-68