Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM

PATOLOGI UMUM
PENGAMATAN LESIO PATOLOGI ANATOMI ORGAN DIGESTI,
UROGENITAL, DAN NEUROLOGI

Selasa, 5 Desember 2018

Dosen Penanggung Jawab Praktikum:


Prof. Drh. Ekowati Handharyani, MSi, PhD

Disusun oleh:
Syahrul Habibie B04160118
Elvina Nurfadhilah B04160139
Abdul Aziz Maulana B04160140
Hadzash Pepyranggasidhi B04160144
Narkolas Indra Cahya B04160161
Bagus Wibisono B04160162
Irfandi Makmur Putra B04160165
Muhammad Abrory B04160183
Revita Ismahyuningsih B04160187
Zulfikar Djailani B04160188

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PEMBAHASAN

Gastroentritis
Gastroenteritis adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak
normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair
(Suharyono: 2008). Gastroenteritis adalah buang air besar dengan tinja berbentuk
cair atau setengah cair dengan kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam (Simadibrata et al, 2006). Gastroenteritis
adalah buang air besar dengan fases berbentuk cair atau
setengah cair, dengan demikian kandunngan air pada feses lebih banyak dari
biasanya (Priyanta 2008).Gastroenteritis didefinisikan sebagai peningkatan
frekuensi, volume, dan kandungan fluida dari tinja. Propulsi yang cepat dari isi
usus melalui hasil usus kecil diare dan dapat menyebabkan defisit volume cairan
serius. Penyebab umum adalah infeksi, sindrom malabsorpsi, obat, alergi, dan
penyakit sistemik (Hawks 2010).
Campylobacter jejuni dan C. coli merupakan Campylobacter penyebab
utama gastroenteritis dan bersifat zoonotik. Infeksi Campylobacter umumnya
bersifat self-limited dan jarang menyebabkan kematian. Kematian sering terjadi
pada usia tua atau yang mengalami gangguan imunitas (immunocampromised).
Campylobacter jejuni menyebabkan gastroenteritis pada hewan domestika dan
manusia. Pada hewan, bakteri ini dapat menginfeksi sapi, domba, ayam, kalkun,
anjing, kucing, cerpelai, mmusang, babi, primata, dan beberapa spesies hewan
laboratorium (Murwani et al. 2017).
Campylobacter jejuni adalah bakteri patogenik, merupakan salah satu
dari beberapa bakteri penyebab tersering gastroenteritis di dunia, terutama pada
manusia. Keracunan makanan (food poisoning) yang disebabkan oleh spesies
Campylobacter menyebabkan kelemahan penderita, tetapi jarang menyebabkan
kematian. Paada manusia, hal tersebut sering dihubungkan dengan terjadinya
Guillain-Barre syndrome (GBS), biasanya pada minggu kedua sampai ketiga dari
awal penyakit. Campylobacter jejuni secara alami kolonisasi dalam traktus
digestivus pada beberapa bangsa burung. C. jejunj hidup komensal pada traktus
gastrointestinal, walaupun dapat menyebabkan campylobacteriosis pada anak sapi
(Murwani et al. 2017).
Simptom infeksi Campylobacter dimulai setelah masa inkubasi selama
kurang lebih satu minggu. Jaringan yang mengalami luka meliputi jejunum,
ileum, dan dapat menyebar menuju kolon dan rektum. C. jejuni menembus dan
merusak sel epithelial. C. jejuni menyebabkan terbentuknya mucus dan fukosa
dalam empedu. Flagella bakteri penting untuk kemotaksis dan melekat pada sel
epithelial atau mucus. Perlekatan juga melibatkan lipopolysaccharides (LPS) dan
komponen-komponen dalam membrane luar. Perlekatan akan diikuti dengan
kolonisasi. PEB-1 merupakan antigen superfisial sebagai adhesion utama dan
ditemukan pada semua strain C. jejuni. Campylobacter jejuni memproduksi
sitotoksin yang dapat menyebabkan diare berdarah. Luka pada endotel dapat
disebabkan oleh endotoksin atau karena terjadinya immunecomplexes, dan diikuti
dengan koagulasi intravaskuler dan thrombotic microangiopathy dalam
glomerulus dan mukosa gastrointestinal (Murwani et al. 2017).
Gejala klinis gastroenteritis pada anjing meliputi sakit abdominal, diare,
nafsu makan menurun, muntah, dan kadang demam sampai 40oC. Feses biasanya
seperti air atau terdapat garis-garis hijau empedu, disertai mucus atau kadang
darah. Gejala klinis umumnya 24 jam sampai 3-7 minggu, tetapi kadang terjadi
diare intermiten sampai beberapa minggu dan bulan. Sebagian besar penyakit
bersifat self-limiting. Pada pengobatannya, spesies Campylobacter sensitif
terhadap asam hidroklorid (HCL) lambung, dan pemberian antacid dapat
menurunkan jumlah bakteri. Sebgaian besar C. jejuni telah resisten terhadap
beberapa antibiotik, sehingga untuk menentukan terapi antibiotik yang tepat
diperlukan uji laboratorium (Murwani et al. 2017).
Salah satu gejala yang ditimbulkan yaitu diare. Diare sendiri dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain infeksi yang disebabkan oleh bakteri
seperti Spshigella sp, E.coli pathogen, Salmonella sp, Vibrio cholera, Yersinia
entero colytika, Campylobacter jejuni, V. parahaemolitikus, Staphylococcus
aureus, Klebsiella, Pseudomonas, Aeromonas, dll. Infeksi virus seperti Rotavirus,
Adenovirus, Norwalk virus, Norwalk like virus, Cytomegalovirus, Echovirus.
Makanan beracun atau mengandung logam, makanan basi, makan makanan yang
tidak biasa misalnya makanan siap saji, makanan mentah, makanan laut. Obat-
obatan tertentu (penggantian hormone tiroid, pelunak feses dan laksatif, antibiotik,
kemoterapi, dan antasida) (Simadibrata et al. 2006). Diare ditandai dengan
meningkatnya kandungan cairan dalam feses, pasien terlihat sangat lemas,
kesadaran menurun, kram perut, demam, muntah, gemuruh usus (borborigimus),
anoreksia, dan haus. Kontraksi spasmodik yang nyeri dan peregangan yang tidak
efektif pada anus, dapat terjadi setiap defekasi. Perubahan tanda-tanda vital seperti
nadi dan respirasi cepat, tekanan darah turun, serta denyut jantung cepat. Pada
kondisi lanjut akan didapatkan tanda dan gejala dehidrasi, meliputi turgor kulit
menurun < 3 detik, pada anak-anak ubun-ubun dan mata cekung membran
mukosa kering dan disertai penurunan berat badan akut, keluar keringat dingin
(Muttaqin 2011).

Enteritis
Enteritis adalah proses peradangan usus yang berlangsung akut maupun
kronis, yang akan mengakibatkan kenaikan peristaltic usus, kenaikan jumlah
sekresi kelenjar pencernaan serta penurunan absorpsi dari lumen usus. Perasaan
sakit akibat radang usus bervariasi jenisnya, tergantung jenis hewan yang
menderita seta derajat keparahan radang yang diderita. Radang usus yang terjadi
bersamaan dengan gastritis disebut sebagai gastroenteritis (Subronto, 2007).
Enteritis salah satunya dapat disebabkan oleh bakteri dimana bakteri tersebut
masuk melalui proses endositosis dan berkoloninya sel epitel dari intestinal crypts
yang berlokasi didalam zona proliferasi dari ileum (Zachari dan McGavin, 2017).
Virus juga salah satu penyebab radang usus pada hewan, seperti virus rinderpest,
BVD, blue tounge, reovirus, coronavirus dan parvovirus. Infeksi parvovirus
bentuk enteritis, sering juga disebut Canine parvovirus enteritis, atau infectious
hemorrhagic enteritis, atau epidemic gastroenteritis atau canine panleucopenia
sering menyerang hewan kesayangan. Perubahan patologi terjadi secara segmental
berupa perubahan warna pada usus akibat kongesti dan perdarahan lapisan luar
usus (Purnamasari et al., 2015). Bentuk enteritis berjalan sangat cepat, terkadang
dua hari pasca infeksi mengalami kematian. Gejala khas pada anjing yang
terinfeksi CPV-2 yaitu muntah berat, diare, anorexia, dehidrasi, feses berwarna
abu kekuningan kadang bercampur darah.
Objek yang diamati ialah usus hewan anjing yang telah mengalami
peradangan. Usus ini telah mengalami lesi hemoragi disertai dengan perubahan
warna. Pada penelitian Purnamasari et al. (2015) anjing umur > 2 bulan lebih
banyak mengalami hemoragi disertai infiltrasi sel-sel radang pada ususnya
dibandingkan anjing dengan umur ≤ 2 bulan. Anjing umur ≤ 2 bulan lebih banyak
mengalami hemoragi dan peradangan pada jantung. Hal ini dapat disebabkan
karena dari induk anjing penderita tidak divaksin sehingga anak anjing
sekelahiran biasanya menderita parvovirus bentuk miokarditis (Honkins, 1995).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi keparahan infeksi CPV selain umur yaitu
dari ras anjing dan status vaksinasi (data tidak dipublikasi). Kemungkinan ada ras-
ras anjing tertentu misalnya rottwailer, pomerian, minipincher, dan Chihuahua
yang mempunyai genetic lineages yang sama dan rentan terhadap parvovirus
dibandingkan jenis ras lain (Decaro et al., 2007). Anjing yang tidak divaksin atau
divaksin tetapi tidak lengkap berisiko 10 kali lebih tinggi terserang parvovirus
dibandingkan dengan anjing yang memiliki vaksinasi lengkap. Kejadian
parvovirus sangat tinggi pada anjing yang tidak divaksinasi atau tidak dilakukan
booster vaksinasi. Vaksinasi dapat membantu mengontrol penyebaran virus parvo
(Carter dan Wise, 2005).

Tumor Hati
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh anjing. Hati terletak di rongga
abdomen di belakang diafragma. Beratnya mencapai 3% dari berat total tubuh,
sedangkan pada hewan yang sedang tumbuh dapat mencapai 5% dari berat badan.
Hati anjing dewasa terdiri dari lobus lateral sinistra, lateral dekstra, medial,
kuadratus, dan kaudatus (Kealy dan McAllister 2000). Ukuran lobus terbesar
terdapat pada lobus lateral sinistra yang berukuran 30%-40% dari seluruh hati.
Jika dilihat dari pandangan dorsoventral, posisi hati akan terlihat ke kanan.
Kantung empedu, saluran empedu, dan pembuluh darah masuk ke dalam hati pada
hilus di bagian atas kanan dari kuadran abdomen (Rothuizen 2008). Hati
menerima suplai darah dari arteri hepatika yang merupakan cabang dari arteri
celiaca. Vena porta merupakan gabungan dari percabangan drainase saluran
pencernaan, pankreas, dan limpa (Dyce et al. 2002). Fungsi hati sangatlah penting
terutama dalam metabolism karbodidrat, lemak, dan protein.

Hasil pengamatan menunjukan beberapa abnormalitas pada hati yang mengalami


tumor diantaranya aspek warna permukaan yang tidak sama sebagian berwarna
merah tua dan sebagian lainnya berwarna merah pucat. Selain itu pada beberapa
lobus hati tampak pemberasaran yang didominasi oleh sel-sel karsinoma dan sel-
sel yang mengalami nekrosis. Karsinoma dapat berasal dari jaringan ikat hati
seperti misalnya fibrosarkoma hati. Secara makroskopis karsinoma hati dapat
dijumpai dalam bentuk (i) masif yang biasanya di lobus kanan, berbatas tegas,
dapat disertai nodul-nodul kecil di sekitar masa tumor dan bisa dengan atau tanpa
sirosis; (ii) noduler, dengan nodul di seluruh hati, (iii) difus, seluruh hati terisi sel
tumor. Secara mikroskopis, sel-sel tumor biasanya lebih kecil dari sel hati yang
normal, berbentuk poligonal dengan sitoplasma granuler. Sering ditemukan sel
raksasa yang atopik. Untuk menegakkan diagnosis karsinoma hati diperlukan
beberapa pemeriksaan seperti misalnya pemeriksaan radiologi, ultrasonografi,
computerized tomography (CT) scan, peritoneoskopi dan pemeriksaan
laboratorium. Deteksi lesi noduler hati dengan imaging tergantung pada
perbedaan yang kontras antara parenkim hati normal dan lesi noduler. Adanya
fibrosis dapat mempengaruhi sensitivitas dari modalitas imaging sehingga dapat
mengganggu deteksi dan karakterisasi tumor hati.(Kim et al. 2002).

Colibacillosis
Avian colibacillosis menjadi salah satu penyakit endemik yang
berpengaruh besar dalam industri perunggasan dunia. Avian colibacillosis
disebabkan oleh kelompok bakteri pathogen Avian Pathogenic Eschericia coli
(APEC) (Dziva et al. 2018). Mayoritas strain E. coli adalah non patogenik dan
merupakan mikroflora normal pada usus hewan. Beberapa strain atau galur lain
ada yang bersifat patogenik (Suryani et al. 2014). Bakteri E. coli dapat
menyebabkan penyakit primer pada ayam, tetapi dapat juga bersifat sekunder
mengikuti penyakit lainnya, misalnya berbagai penyakit pernapasan dan
pencernaan (Tabbu 2002). Penyakit bakterial ini menimbulkan sindrom seperti
sacculitis, cellulitis, omphalitis, peritonitis, salphingitis, synovitis, dan
coligranuloma. Prevalensi terjadinya kasus colibacillosis lebih banyak terjadi pada
ayam muda yang sedang tumbuh dan berkembang dibandingkan dengan ayam
dewasa (Rahman et al. 2004). Menurut Mc Mullin (2004),
infeksi kolibasilosis biasanya terjadi baik melalui peroral atau inhalasi, lewat
membran sel/yolk/tali pusat, air, muntahan, dengan masa inkubasi 3-5 hari.
Penularan colibacillosis dapat terjadi secara dua cara yaitu horizontal dan
vertikal. Penularan secara horizontal dapat terjadi secara kontak langsung dengan
ayam sakit atau secara tidak langsung berkontak dengan bahan kandang yang
tercemar. Penularan secara vertikal terjadi lewat saluran reproduksi yaitu melalui
ovarium atau oviduk yang terinfeksi sehingga telur yang menetas akan
menghasilkan DOC yang terinfeksi E.coli (Hastarinda 2016).
Objek yang diamati dalam praktikum berupa seekor ayam DOC (day old
chicken) utuh yang sudah dibuka bagian dalam rongga dada dan perutnya. Pada
DOC tersebut terdapat bentuk respon peradangan yang disertai eksudat berupa
fibrinopurulen berwarna putih kekuningan. Eksudat ini sering juga disebut dengan
istilah perkejuan. Bentuk peradangan juga disertai dengan adanya selaput tipis
berwarna yang agak keruh (putih kekuningan) pada pericardium (pericarditis).
Selain terjadi pericarditis, ditemukan pula selaput putih keruh (kekuningan) pada
bagian ovarium, mesosalphinx, peritoneum (peritonitis suppuratif), serta pada
bagian perihepatikum (perihepatitis).
DAFTAR PUSTAKA

Carter GR, Wise DJ, Flores EF. 2005. Parvoviridae. In: A Concise Review of
Veterinary Virology. New York. Vet. J. 34:105
Decaro N, Desario C, Addie DD, Martella V, Vieira MJ, Elia G, Zicola A, Davis
Thompson G, Thiry’s C, Truyen U, Buonavoglia G. 2007. Molecular
Epidemiology of Canine Parvovirus, Europe. Emerg Infect Dis. 13 (8):
1222- 1224.
Dyce KM, Sack WO, Wensing CJG. 2002. Textbook of Veterinary Anatomy 3rd
Ed. USA: Saunders.
Dziva F, Stevens MP. 2008. Colibacillosis in poultry: unravelling the molecular
basis of virulence of avian pathogenic Eschericia coli in their natural hosts.
Journal of Avian Pathology. 37(4): 355-366.
Hastarinda VY. 2016. Kasus kolibasillosis dan dampaknya terhadap produksi
ayam petelur di Tunas Muda Farm Kecamatan Palang Kabupaten Tuban
[skripsi]. Surabaya (ID): Universitas Airlangga.
Hawks JH, Black JM. 2010. Medical Surgical Nursing. Singapore(SG): Elsevier
Inc
Honkins, J. D., 1995 Canine Parvo-virus, the evolving syndrome. Journal of
Infectious Disease Bulletin. 19 (8).
Kealy JK, McAllister. 2000. Diagnostic Radiology and Ultrasonography of the
Dog and Cat 3rd Ed. Philadelphia (US): W.B. Saunder Company. Hlm. 31-
39.
Kim TK, Kim AY, Choi BI. 2002. Hepatocellular carcinoma: harmonic
ultrasound and contrast agent. Abdom Imaging 27:129-38.
McMullin JA, Cairney J. 2004. Self-esteem and the intersection of age, class, and
gender. Journal of Aging Studies. 75-90
Muttaqin A. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta(ID): Salemba Medika
Murwani S, Qoslimah D, Amri IA. 2017. Penyakit Bakterial pada Ternak Hewan
Besar dan Unggas. Malang(ID): UB Press
Priyanta A. 2008. Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta(ID):Salemba Medika
Purnamasari IAA, Berata IK, Kardena IM. 2015. Studi Histopatologi Organ Usus
dan Jantung Anjing Terinfeksi Virus Parvo. Buletin Veteriner Udayana.
7(2): 99-104.
Rothuizen J. 2008. Liver. Di dalam : Small Animal Gastroenterology. Steiner JM.
Editor. Schultersche: Jerman. Hlm. 241-244.
Rahman MA, Samad MA, Rahman MB, Kabir SML. 2004. Bacterio-pathological
studies on salmonellosis, colibacillosis and pasteurellosis in natural
experimental infections in chickens. Bang J Vet Med. 2(1):1-8.
Suharyono. 2008. Diare Akut. Jakarta(ID) : Gramedia
Simadibrata dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta(ID) : Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta (ID): UGM Press
Suryani AE, Karimy MF, Istiqomah L, Sofyan A, Herdian H, Michael D, Wibowo
H. 2014. Colibacillosis prevalence in broiler chicken infected by E. coli
with administration of bio-additive, probiotic, and antibiotic. Widyariset.
17(2): 233-244.
Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Penyakit Asal Parasit,
Noninfeksius, dan Etiologi Kompleks. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Zachari JF, McGavin MD. 2017. Pathologic Basic of Veterinary Disease 6
Edition. Missouri (US): Elsevier

Anda mungkin juga menyukai