Anda di halaman 1dari 8

Bronkitis

Etiologi

Bonkitis adalah peradangan pada bronkus yang disebabkan oleh mikroorganisme


pyogenes, Mycobacterium tuberculosis, Aspergilus fumigatus, virus influenza babi dan
cacing (metastrongylus pada babi, dyctiocaulus pada sapi dan domba). Biasanya perubahan
tidak terbatas pada bronkus besar tetapi meluas hingga bronkus kecil serta parenkim paru-
paru, akibatnya terjadi bronkopneumonia (Adi, 2014).

Bronkhitis dibedakan menjadi 2 tipe berdasarkan sifat infeksinya, yaitu bronkhitis


akut dan bronkhitis kronis. Bronkhitis akut dapat disebabkan oleh infeksi virus pada saluran
pernafasan bagian atas, sedangkan bronkhitis kronis merupakan penyakit lanjutan dari
bronkhitis akut yang berlangsung lama.

Tergantung kepada tipe eksudatnya, bronkitis dapat bersifat fibrinosa, kataral,


purulenta, fibrinonecrotic (difteritik) dan granulomatosa. Bronkitis akut eksudatnya bisa
kataral, mukopurulen, fibrinopurulen atau purulen (Adi, 2014).

Bronkitis purulen atau supurativa biasanya terjadi akibat adanya infeksi baktcri.
Pada kcadaan ini, ditemukan nekrosis epitel, karena epitel bersilia pada bagian ini sangat
sensitif terhadap rangsangan agcn (Adi, 2014).

Bronkitis ulserativa terjadi pada infeksi bakteri dan virus yang hebat, dan sclama itu
banyak bagian epitel yang rusak. Bronkitis yang hebat dapat sembuh jika agen pcnyebab
dihilangkan. Proses pcrsembuhan dicirikan oleh regenerasi epitel bronki yang kadang-kadang
disertai dengan fibrosis ringan. Ditcmukannya sel limfosit, makrofag dan sel plasma pada
lamina propria umumnya terjadi pada bronkitis akut yang perlahan-lahan mcnjadi kronis
(Adi, 2014).

Bronkitis kronis biasanya disebabkan oleh bakteri parasit atau alergen. Pada
pemeriksaan patologi anatomi (PA) ditemukan mukus yang berlebihan atau eksudat
mukopurulen pada daerah trakeobronki. Secara mikroskopik perubahan mukosa disebabkan
oleh peningkanan jumlah dan ukuran kelenjar mukosa dan infiltrasi limfosit pada lamina
propria serta peningkatan jumlah sel plasma, makrofag dan kadang-kadang sel netrofil.
Metaplasia squamosa yakni perubahan tipe sel dari epitel khas saluran pernafasan menjadi
epitel squamosa (Adi, 2014).

Gejala Klinis
Batuk, sulit bernafas (megap-megap), terdengar suara ngorok, bersin-bersin, ampak
lesu, serta dari hidung keluar leleran encer, biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis.

Pada awalnya batuk tidak berdahak, tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan
dahak berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak, berwarna
kuning atau hijau.

Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi
demam tinggi selama 3-5 hari dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu. Sesak nafas
terjadi jika saluran udara tersumbat. Sering ditemukan bunyi nafas mengi, terutama setelah
batuk.

Terapi

Penyakit yang mendasari (yaitu, infeksi bakteri atau parasit) harus didiagnosis dan
diobati. Perubahan sangat diperlukan dalam lingkungan kambing. Dua kelas obat yang
biasanya digunakan yaitu bronkodilator dan kortikosteroid.

Enteritis

Etiologi

Enteritis adalah proses keradangan usus yang dapat berlangsung akut maupun kronis,
yang akan mengakibatkan kenaikan peristaltik usus, kenaikan jumlah sekresi kelenjar
pencernaan serta penurunan penyerapan atau absorpsi dari lumen usus, baik itu cairan
ataupun sari-sari makanan yang terlarut di dalamnya. Enteritis primer maupun sekunder
ditandai dengan penurunan nafsu makan, menurunnya kondisi tubuh, dehidrasi dan diare.
Perasaaan sakit akibat dari radang usus atau enteritis bervariasi jenisnya, tergantung pada
jenis hewan yang menderita serta derajat radang yang di deritanya. Radang usus yang terjadi
bersamaan dengan gastritis disebut sebagai gastroenteritis (Subronto, 2007).

Pada sapi-sapi di Indonesia penyakit ingusan merupakan contoh klasik dari enteritis
yang disebabkan oleh virus. Virus lain yang telah dikenal sebagai penyebab radang usus di
luar negeri meliputi rinderpest, bovine viral diarrhea (BVD), blue tongue, reo-virus, corona-
virus dan parvo virus (Subronto, 2007).

Bakteri-bakteri E. coli, Salmonella spp, Mycobacterium paratubercolosis diketahui


paling sering mengakibatkan radang usus pada berbagai jenis ternak. Jasad renik yang
biasanya hidup di dalam usus antara lain Proteus sp, Pseudomonas sp, Staphylococcus sp,
Aspergillus sp, Candida albicans (Subronto, 2007).

Cryptosporidium banyak ditemukan hampir disemua kelompok sapi bahkan pada


letupan neonatal enteritis dengan gejala diare di Skotlandia pada tahun 2003 paling tinggi
disebabkan oleh crptosporidia (35%) sedangkan pada koksidia hanya 3% (Chotiah, 2008).

Cacing-cacing usus yang termasuk dalam family Stringylidae, Oesophagostomum sp,


Cooperia sp, dan Nematodirus sp, dalam jumlah yang cukup banyak akan menyebabkan
kerusakan selaput lendir usus. Cacing lambung Paramphistomum sp di Negara yang beriklim
sedang sering menyebabkan enteritis bila infestasinya cukup berat. Sapi yang menderita
panyakit cacing hati F. hepatica juga sering dijumpai menderita radang usus kataral. Hal
tersebut mungkin diakibatkan dari toksin yang dilepaskan cacing ke dalam usus (Subronto,
2007).

Patogenesis

Menurut Janke dkk (1990) banyak kondisi yang dapat menyebabkan diare
haemorragis, tetapi sindroma gastroenteritis haemorragika pada anjing muncul dengan gejala
klinis unik dan khas yang membedakannya dengan beberapa faktor penyebab lain. Sindroma
gastroenteritis haemorragika dikarakteristikkan oleh hilangnya integritas mukosa intestinal
secara perakut yang disertai perpindahan darah, cairan, dan elektrolit secara cepat menuju
lumen usus. Hal ini menyebabkan kejadian dehidrasi dan shock terjadi secara cepat.
Perpindahan ini juga menyebabkan perpindahan bakteri dan toksin melalui mukosa intestinal
yang rusak sehingga menyebabkan shock septik atau endotoksik.

Radang usus yang disertai dengan perdarahan menghasilkan tinja yang bercampur
darah atau melena. Radang usus nekrotik menghasilkan feses yang berbau tajam karena
dekomposisi reruntuhan sel mukosa usus. Pada radang kataral feses tidak berbentuk,
bercampur lendir dan terdiri dari makanan yang tidak tercerna secara sempurna. Pada
enteritis yang bersifat kronis dapat terjadi berulang-ulang dan berlangsung berminggu-
minggu atau berbulan-bulan, sehingga kondisi tubuh menurun secara bertahap. Contohnya
adalah John disease (Subronto, 2007).

Gejala Klinis

Gejala yang spesifik pada sapi perah dewasa adalah: tiba-tiba hewan menjauhi
makanan, tidak ada nafsu makan sama sekali. Susu yang dihasilkan sedikit atau tidak ada
susu sama sekali. Hewan merasa sakit di bagian abdomennya dan terlihat adanya gejala
kembung. Adanya perdarahan pada usus menyebabkan kotoran yang keluar sangat sedikit
kadang berdarah.
Enteritis akut selalu disertai dengan oliguria dan anuria, dan disertai dengan turunnya
nafsu makan, anoreksia total ataupun parsial. Namun pada radang yang bersifat kronik, nafsu
makan umumnya tidak mengalami penurunan (Subronto, 2007).
Oleh karenya adanya gangguan vasa darah lokal dalam usus maka biasanya dijumpai
vasa injeksi pembuluh darah balik konjungtiva. Pulsus dapat mnegalami sedikit kenaikan atau
dalam batas-batas normal, sehingga suhu tubuh. Auskultasi pada dinding perut akan
menghasilkan suara pindahnya isi usus, cairan dan gas, yang dikenal sebagai borborigmus,
yang terjadi karena peningkatan peristaltik usus. Akibat pengeluaran cairan yang berlebihan
maka penderita akan mengalami tanda dehidrasi yang mencolok. Dehidrasi yang mencapai
lebih dari 10% dapat mengancam kehudupan penderita dalam 1-2 hari (Subronto, 2007).
Terapi
Pada pengobatan pedet yang menderita diare ditujukan langsung untuk
memperbaiki dehidrasi dan asidosis yang terjadi dan memperkecil kerusakan usus.
Beberapa langkah dalam pengobatan diare yang harsu dilakukan adalah :
1. Jika pedet mengalami dehidrasi berat maka perlu pemberian cairan elektrolit
secara intra vena
2. jika pedet mengalami dehidrasi sedang dan dapat berdiri maka pemberian
cairan elektrolit dilakukan secara per oral
3. pemberian susu dengan pemberian obat tidak dianjurkan jarena akan
menyebabkan diare berlanjut,pemberian susu minimal dilakukan beberapa jam
setelah pengobatan.
Pada anjing, penanganan kasus gastroenteritis haemoragika menurut Smith dan Tilley (2000)
yaitu dengan pemberian terapi cairan elektrolit sampai 40-60 ml/kg/jam intravena (iv) sampai
nilai PCV kurang dari 50%. Selain itu diberikan terapi antibiotik dengan menggunakan
Ampicillin secara parenteral. Penggunaan Ampicillin yang dikombinasikan dengan
Gentamisin atau Fluroroquinolone baik untuk pasien yang menderita sepsis. Alternatif lain
dari Ampicillin adalah Trimethoprim-sulfa atau Cephalosprorin. Pada anjing yang menderita
shock diberikan Dexamethasone sodium phosphat 0.5-1 mg/kg iv.

Tetanus
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. C.tetani merupakan bakteri berbentuk
batang Iangsing, berukuran 0.4-0.6x2-5 mikron dan bersifat motil. Baik di dalam jaringan
maupun pada biakan, bakteri tetanus dapat tersusun tunggal atau berantai membentuk fi
lamen yang panjang. Bakteri ini membentuk spora setelah dibiakkan selama 24-48 jam, spora
bulat, terminal, dimana sel di tempat spora membengkak sehingga bakteri berbentuk seperti
pemukul gendrang atau ”Drum stick bacteria”. Pada biakan muda bakteri tetanus bersifat
Gram positif, dan cepat berubah menjadi Gram negatif pada biakan yang lebih tua
(Pudjiatmoko, 2014).
Spora Cl.tetani bersifat sangat resisten, dapat tahan bertahun-tahun bila dalam
keadaan terlindung terhadap sinar matahari dan panas. Theobald Smith telah menemukan
beberapa strain yang tahan terhadap panas pada suhu 100°C selama 40-60 menit. Spora
bakteri tetanus dapat mati oleh 5% phenol setelah kontak 10-12 jam (Pudjiatmoko, 2014).
Toksin yang dibentuk ada 2 macam yaitu:
1. Hemolysin : tetanolysin, menghemolyse eritrosit, tidak berperanan sebagai penyebab
tetanus.
2. Neurotoksin: tetanospasmin, menyebabkan spasmus otot-otot, berperanan sebagai
penyebab tetanus.

Patogenesis
Clostridium tetani biasanya masuk ke tubuh melalui luka. Kondisi anaerobik (rendah
oksigen) membuat spora berkembang. Toksin diproduksi dan disebarkan melalui darah dan
limfatik. Toksin beraksi di beberapa lokasi dalam sistem saraf pusat, termasuk ujung serabut
syaraf ke otot, sumsum tulang belakang, otak, dan sistem saraf simpatik. Manifestasi klinis
tetanus disebabkan saat toksin tetanus mengganggu pelepasan neurotransmiter, menghambat
impuls inhibitor. Hal ini menyebabkan kontraksi otot dan spasme terus-menerus. Kejang
dapat terjadi, dan sistem saraf otonom mungkin juga akan terpengaruh (Hamborsky, 2017).
Toksin dapat juga menyebar ke saluran pernafasan yang membuat muskulus pernafasan,
laring, dan abdomen kaku. Hali ini yang dapat menyebabkan kambing mengalami kegagalan
pernafasan (Hassel, 2013).

Gejala Klinis
Gejala klinis dari enterotoksemia pada kambing berupa hewan tidak nafsu makan dan
lesu, abdomen sakit dengan berusaha menendang perut, kadang ambruk kemudian berdiri
kembali, tidak dapat berdiri, merebahkan tubuh ke samping, nafas terengah-engah, menjerit,
kaku dengan menegangkan kaki, kepala dan leher menegang ke belakang, dan sering mati
setelah gejala kaku terlihat (Metre, 2010).

Terapi
Menurut Pudjiatmoko (2014) pengobatan tetanus dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Luka dibuat segar, dengan membuang bagian jaringan yang rusak, kemudian luka
dicuci dengan KMnO4 atau H2O2 dan diobati dengan antibiotika.
b. Diberikan antitoksin tetanus dosis kuratif
c. Perlakuan pada hewan sakit diberikan:
1) kandang bersih, kering, gelap
2) diberikan kain penyangga perut
3) makanan disediakan setinggi hidung
4) luka yang ada diobati
d. Diberikan obat-obatan untuk mengatasi simptom atau gejala antara lain
1) obat penenang
2) muscle relaxan

Omphalitis
Etiologi
Penyakit radang pusar berkaitan dengan pemotongan tali pusar anak sapi setelah
dilahirkan.Disebabkan karena alat pemotong tali pusar yang tidak steril, atau bisa juga setelah
pemotongan tali pusar tercemar infeksi dari kandang yang kotor.Gejalanya terjadi
pembengkakan pada sekitar pusar, sekeliling pusar berwarna merah dan bila pusarnya diraba
makan anak sapi merasa kesakitan.
Omphalitis dapat disebabkan karena alat pemotong tali pusar tidak steril atau tali
pusar tercemar oleh bakteri Streptoccus sp., Staphyloccus sp., Escherichia coli, atau
Actinomyces necrophus. Biasanya menyerang ternak umur 2 sampai 7 bulan.
Gejala Klinis
Terjadi pembengkakan pada pusar sapi , jika diraba bagian yang bengkak, sapi akan
merasa kesakitan , sapi kurus, hal ini karena kurangnya nafsu makan sapi akibat demam
Terapi
Pemberian antibiotik sangat dianjurkan. Menusuk bagian pusar yang membengkak
sehingga kandungan nanah dapat dikeluarkan. Setelah itu, pusar dapat dikompres dengan
disinfektan atau rivanol
DAFTAR PUSTAKA

Adi, A. A. A. M. 2014. Patologi Veteriner Sistemik: Sistem Pernafasan. Bali: Udayana-Press.

Chotiah, S. 2008. Diare pada pedet : agen penyebab, diagnose dan penanggulangan. Semiloka
Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020.

Janke,B.H, Francis, D.H., Collin, N.C., Neiger, R.D. 1990. Attaching and effacting
Escherichia coli infection as a cause of diarrhea in young calves. JAVMA.
196(6): 897-901.

Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak I-a. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Subronto. 2004. Ilmu Penyakit Ternak 2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Pudjiatmoko. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Kementerian Pertanian, Direktorat


Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Metre, D. V. 2010. Enterotoxemia (Overating Disease) of Sheep and Goats. Colorado State
University Extension, Livestock Series, Health, Fact Sheet No. 8.018.

Hassel, B. 2013. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using


Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Toxins (Basel).
2013; 5(1): 73-83.

Anda mungkin juga menyukai