Anda di halaman 1dari 17

TUGAS BIOLOGI MOLEKULER

ISOLASI DNA

ERENA HAJAR KARTIKA


1982311001

PROGRAM PASCASARJANA KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
2020
BAB I
Pendahuluan
DNA memiliki struktur pilinan utas ganda yang antiparalel dengan komponen
komponennya, yaitu gula pentosa (deoksiribosa), gugus fosfat, dan pasangan basa. Pasangan
basa pada DNA terdiri atas dua macam, yaitu basa purin dan pirimidin. Basa purin terdiri atas
adenin (A) dan guanin (G) yang memiliki struktur cincinganda, sedangkan basa pirimidin terdiri
atas sitosin (C) dan timin (T) yang memiliki struktur cincin-tunggal. Ketika guanin berikatan
dengan sitosin, maka akan terbentuk tiga ikatan hidrogen, sedangkan ketika adenin berikatan
dengan timin maka hanya akan terbentuk dua ikatan hidrogen. Satu komponen pembangun
(building block) DNA terdiri atas satu gula pentosa, satu gugus fosfat dan satu pasang basa yang
disebut nukleotida.
Sebuah sel memiliki DNA yang merupakan materi genetik dan bersifat herediter pada
seluruh sistem kehidupan. Genom adalah set lengkap materi genetik (DNA) yang dimiliki suatu
organisme dan terorganisasi menjadi kromosom. DNA dapat diisolasi, baik dari sel hewan,
manusia, maupun pada tumbuhan. DNA manusia dapat diisolasi melalui darah. Darah manusia
terdiri atas plasma darah, globulus lemak, substansi kimia (karbohidrat, protein dan hormon), dan
gas (oksigen, nitrogen dan karbon dioksida). Plasma darah terdiri atas eritrosit (sel darah merah),
leukosit (sel darah putih) dan trombosit (platelet). Komponen darah yang diisolasi yaitu sel darah
putih. Sel darah putih dijadikan pilihan karena memiliki nukleus, dimana terdapat DNA di
dalamnya. DNA pada tumbuhan juga dapat diisolasi, contohnya pada tumbuhan bawang merah
(Allium cepa) dan pada pisang (Musa sp.)
Isolasi DNA memiliki beberapa tahapan, yaitu: (1)Isolasi sel; (2)Lisis dinding dan
membran sel; (3)Ekstraksi dalam larutan; (4)Purifikasi; dan (5)Presipitasi. Prinsip-prinsip dalam
melakukan isolasi DNA ada 2, yaitu sentrifugasi dan presipitasi. Prinsip utama sentrifugasi
adalah memisahkan substansi berdasarkan berat jenis molekul dengan cara memberikan gaya
sentrifugal sehingga substansi yang lebih berat akan berada di dasar, sedangkan substansi yang
lebih ringan akan terletak di atas. Teknik sentrifugasi tersebut dilakukan di dalam sebuah mesin
yang bernama mesin sentrifugasi dengan kecepatan yang bervariasi, contohnya 2500 rpm
(rotation per minute) atau 3000 rpm.
Isolasi DNA/RNA merupakan langkah awal yang harus dikerjakan dalam rekayasa
genetika sebelum melangkah ke proses selanjutnya. Prinsip dasar isolasi total DNA/RNA dari
jaringan adalah dengan memecah dan mengekstraksi jaringan tersebut sehingga akan terbentuk
ekstrak sel yang terdiri atas sel-sel jaringan, DNA, dan RNA. Kemudian ekstrak sel dipurifikasi
sehingga dihasilkan pelet sel yang mengandung DNA/RNA total. Prinsip-prinsip isolasi DNA
plasmid hampir sama dengan isolasi total DNA/RNA dari jaringan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi DNA
Deoxyribonucleic acid (DNA) adalah polimer asam nukleat yang tersusun secara
sistematis dan merupakan pembawa informasi genetik yang diturunkan kepada keturunannya.
Informasi genetik disusun dalam bentuk kodon yang berupa tiga pasang basa nukelotida.

Gambar 1. Struktur dan komponen untai ganda DNA.

Secara struktural, DNA merupakan polimer nukleotida, di mana setiap nukelotida


tersusun atas gula deoksiribosa, fosfat, dan basa. Polimer tersebut membentuk struktur dua untai
heliks ganda yang disatukan oleh ikatan hydrogen antara basa-basa yang ada. Terdapat empat
basa dalam DNA, yaitu adenin (A), sitosin (C), guanin (G), dan timin (T). Adenin akan
membentuk dua ikatan hidrogen dengan timin, sedangkan guanin akan membentuk tiga ikatan
hidrogen dengan sitosin. Kombinasi jumlah dan susunan yang terbentuk antara ikatan-ikatan
basa ini memungkinkan setiap indvidu memiliki cetak biru genetik yang spesifik dibandingkan
organisme lain.
DNA pada makhluk hidup dapat ditemukan pada inti sel (nukleus), mitokondria, dan
klorofil. Pada manusia, DNA ditemukan pada inti sel dan mitokondria. DNA pada nukleus
berbentuk linear dan memiliki jumlah pasang basa sekitar tiga milyar, sedangkan DNA yang
berada di mitokondria (mtDNA) berbentuk sirkuler dan memiliki jumlah pasang basa lebih
sedikit yaitu sekitar 160.000. Namun, apabila terjadi mutasi pada DNA mitokondria, dapat
terjadi kerusakan pada sistem yang peka terhadap kebutuhan energi seperti sistem saraf dan otot.
2.2 Isolasi DNA
Isolasi DNA adalah metode untuk mendapatkan asam deoksiribonukleat dari
suatu makhluk hidup. Isolasi DNA pertama kali dilakukan oleh ilmuwan
asal Swiss bernama Friedrich Miescher pada tahun 1869. Ia menemukan senyawa asam yang
mengandung nitrogen dan fosfat pada inti sel dari sel darah putih. Senyawa ini diberi
nama nuklein, namun pada tahun 1889 muridnya yaitu Richard Altmann menamainya asam
nukleat. Metode yang digunakan oleh Miescher adalah alkalyne lysis untuk memecahkan sel dan
mengisolasi DNA. Isolasi DNA bertujuan untuk memisahkan DNA dari partikel-partikel lainnya
seperti lipid, protein, polisakarida, dan zat lainnya. Isolasi DNA berguna untuk beberapa analisis
molekuler dan rekayasa genetika seperti genom editing, transformasi dan PCR.
2.3 Prinsip Isolasi DNA
Prinsip isolasi DNA dapat dibagi menjadi 3 tahapan utama, yaitu:
1. Pemecahan sel atau jaringan.
Tahapan ini dimaksudkan untuk mengeluarkan isi sel. Pemecahan dapat dilakukan secara
fisik, misalnya dengan freezethawing, homogenisasi dengan bead mill, ultrasonikasi, atau
penggerusan dalam nitrogen cair. Sel juga dapat dilisiskan secara kimiawi maupun enzimatik.
Lisis secara enzimatik biasanya menggunakan proteinase K, lisozim, akromopeptidase, dan
pronase E.
2. Ekstraksi DNA.
Tahap ini bertujuan untuk memisahkan asam nukleat dari komponen penyusun sel
lainnya. Ekstraksi dapat dilakukan menggunakan reagen yang mengandung detergen (misalnya
SDS atau sarkosil), larutan yang mengandung NaCl dan berbagai buffer (biasanya Tris atau
buffer fosfat pH 7 atau 8). Pada tahap ini, berbagai modifikasi biasa dilakukan, meliputi inkubasi
pada temperatur tinggi, penambahan fenol atau kloroform, juga menggunakan agen pengkhelat
seperti EDTA yang berfungsi untuk menghambat enzim nuklease.

3. Presipitasi DNA.
Tahapan ini bertujuan mengisolasi DNA dari larutan yang digunakan selama ekstraksi.
Pengendapan DNA dapat dilakukan dengan menambahkan etanol dingin beserta NaCl yang
masih terdapat dalam ekstrak. Dari hasil pengendapan DNA akan diperoleh benang-benang DNA
berwarna putih.
2.4 Tahapan Isolasi DNA
Isolasi DNA memiliki beberapa tahapan, yaitu: (1)Isolasi sel; (2)Lisis dinding dan membran sel;
(3)Ekstraksi dalam larutan; (4)Purifikasi; dan (5)Presipitasi.
Tahap pertama dalam isolasi DNA adalah proses perusakan atau penghancuran membran
dan dinding sel. Pemecahan sel (lisis) merupakan tahapan dari awal isolasi DNA yang bertujuan
untuk mengeluarkan isi sel (Holme dan Hazel, 1998). Tahap penghancuran sel atau jaringan
memiliki beberapa cara yakni dengan cara fisik seperti menggerus sampel dengan menggunakan
mortar dan pestle dalam nitrogen cair atau dengan menggunakan metode freezing-thawing dan
iradiasi (Giacomazzi et al., 2005). Cara lain yakni dengan menggunakan kimiawi maupun
enzimatik. Penghancuran dengan menggunakan kimiawi seperti penggunaan detergen yang dapat
melarutkan lipid pada membran sel sehingga terjadi destabilisasi membran sel (Surzycki, 2000).
Sementara cara enzimatik seperti menggunakan proteinase K seperti untuk melisiskan membran
pada sel darah (Khosravinia et al., 2007) serta mendegradasi protein globular maupun rantai
polipeptida dalam komponen sel (Brown, 2010; Surzycki (2000). 
Pada proses lisis dengan menggunakan detergen, sering digunakan sodium dodecyl
sulphate (SDS) sebagai tahap pelisisan membran sel. Detergen tersebut selain berperan dalam
melisiskan membran sel juga dapat berperan dalam mengurangi aktivitas enzim nuklease yang
merupakan enzim pendegradasi DNA (Switzer, 1999). Selain digunakan SDS, detergen yang lain
seperti cetyl trimethylammonium bromide (CTAB) juga sering dipakai untuk melisiskan
membran sel pada isolasi DNA tumbuhan (Bettelheim dan Landesberg, 2007). Parameter
keberhasilan dalam penggunaan CTAB bergantung pada beberapa hal. Pertama, Konsentrasi
NaCl harus di atas 1.0 M untuk mencegah terbentuknya kompleks CTAB-DNA. Karena jumlah
air dalam pelet sel sulit diprediksi, maka penggunaan CTAB sebagai pemecah larutan harus
dengan NaCl dengan konsentrasi minimal 1.4 M. Kedua, ekstrak dan larutan sel yang
mengandung CTAB harus disimpan pada suhu ruang karena kompleks CTAB-DNA bersifat
insoluble pada suhu di bawah 15°C. Ketiga, penggunaan CTAB dengan kemurnian yang baik
akan menentukan kemurnian DNA yang didapatkan dan dengan sedikit sekali kontaminasi
polisakarida. Setelah ditambahkan CTAB, sampel diinkubasikan pada suhu kamar. Tujuan
inkubasi ini adalah untuk mencegah pengendapan CTAB karena CTAB akan mengendap pada
suhu 15°C. Karena efektivitasnya dalam menghilangkan polisakarida, CTAB banyak digunakan
untuk purifikasi DNA pada sel yang mengandung banyak polisakarida seperti terdapat pada sel
tanaman dan bakteri gram negatif seperti Pseudomonas, Agrobacterium, dan Rhizobium
(Surzycki, 2000). 
Dalam penggunaan buffer CTAB seringkali ditambahkan reagen-reagen lain seperti
NaCl, EDTA, Tris-HCl, dan 2-mercaptoethanol. NaCl berfungsi untuk menghilangkan
polisakarida sementara 2-mercaptoethanol befungsi untuk menghilangkan kandungan senyawa
polifenol dalam sel tumbuhan (Ranjan et al., 2010). 2-mercaptoethanol dapat menghilangkan
polifenol dalam sel tanaman dengan cara membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa polifenol
yang kemudian akan terpisah dengan DNA (Lodhi et al., 1994). Senyawa polifenol perlu
dihilangkan agar diperoleh kualitas DNA yang baik (Moyo et al., 2008). Polifenol juga dapat
menghambat reaksi dari enzim Taq polimerase pada saat dilakukan amplifikasi. Disamping itu
polifenol akan mengurangi hasil ektraksi DNA serta mengurangi tingkat kemurnian DNA
(Porebskiet al., 1997). Penggunaan 2-mercaptoethanol dengan pemanasan juga dapat
mendenaturasi protein yang mengkontaminasi DNA (Walker dan Rapley, 2008). 
Konsentrasi dan pH dari bufer yang digunakan harus berada dalam rentang pH 5 sampai
12. Larutan buffer dengan pH rendah akan mengkibatkan depurifikasi dan mengakibatkan DNA
terdistribusi ke fase fenol selama proses deproteinisasi. Sedangkan pH larutan yang tinggi di atas
12 akan mengakibatkan pemisahan untai ganda DNA. Fungsi larutan buffer adalah untuk
menjaga struktur DNA selama proses penghancuran dan purifikasi sehingga memudahkan dalam
menghilangkan protein dan RNA serta mencegah aktivitas enzim pendegradasi DNA dan
mencegah perubahan pada molekul DNA. Untuk mengoptimalkan fungsi larutan buffer,
dibutuhkan konsentrasi, pH, kekuatan ion, dan penambahan inhibitor DNAase dan detergen
(Surzycki 2000). 
Pada tahapan ekstraksi DNA, seringkali digunakan chelating agent seperti
ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) yang berperan menginaktivasi enzim DNase yang
dapat mendenaturasi DNA yang diisolasi, EDTA menginaktivasi enzim nuklease dengan cara
mengikat ion magnesium dan kalsium yang dibutuhkan sebagai kofaktor enzim DNAse (Corkill
dan Rapley, 2008). DNA yang telah diekstraksi dari dalam sel selanjutnya perlu dipisahkan dari
kontaminan komponen penyusun sel lainnya seperti polisakarida dan protein agar DNA yang
didapatkan memiliki kemurnian yang tinggi. Fenol seringkali digunakan sebagai pendenaturasi
protein, ekstraksi dengan menggunakan fenol menyebabkan protein kehilangan kelarutannya dan
mengalami presipitasi yang selanjutnya dapat dipisahkan dari DNA melalui sentrifugasi (Karp,
2008). Bettelheim dan Landesberg (2007) menyebutkan bahwa setelah sentrifugasi akan
terbentuk 2 fase yang terpisah yakni fase organik pada lapisan bawah dan fase aquoeus (air) pada
lapisan atas sedangkan DNA dan RNA akan berada pada fase aquoeus setelah sentrifugasi
sedangkan protein yang terdenaturasi akan berada pada interfase dan lipid akan berada pada fase
organik. Selain fenol, dapat pula digunakan campuran fenol dan kloroform atau campuran fenol,
kloroform, dan isoamil alkohol untuk mendenaturasi protein. Ekstrak DNA yang didapat
seringkali juga terkontaminasi oleh RNA sehingga RNA dapat dipisahkan dari DNA ekstrak
dengan cara pemberian RNAse (Birren, et al., 1997; Clark, 2010). 
Asam nukleat adalah molekul hidrofilik dan bersifat larut dalam air. Disamping itu,
protein juga mengandung residu hidrofobik yang mengakibatkan protein larut dalam pelarut
organik. Berdasarkan sifat ini, terdapat beberapa metode deproteinisasi berdasarkan pemilihan
pelarut organik. Biasanya pelarut organik yang digunakan adalah fenol atau kloroform yang
mengandung 4% isoamil alkohol. Penggunaan kloroform isoamil alkohol (CIA) berdasarkan
perbedaan sifat pelarut organik. Kloroform tidak dapat bercampur dengan air dan
kemampuannya untuk mendeproteinisasi berdasarkan kemampuan rantai polipeptida yang
terdenaturasi untuk masuk atau termobilisasi ke dalam fase antara kloroform – air. Konsentrasi
protein yang tinggi pada fase antara tersebut dapat menyebabkan protein mengalami presipitasi.
Sedangkan lipid dan senyawa organik lain akan terpisah pada lapisan kloroform (Clark, 2010). 
Proses deproteinisasi yang efektif bergantung pada besarnya fase antara kloroform-air.
Proses ini dapat dilakukan dengan membentuk emulsi dari air dan kloroform. Hal ini hanya dapat
dilakukan dengan penggojogan atau sentrifugasi yang kuat karena kloroform tidak dapat
bercampur dengan air. Isoamil alkohol berfungsi sebagai emulsifier dapat ditambahkan ke
kloroform untuk membantu pembentukan emulsi dan meningkatkan luas permukaan kloroform-
air yang mana protein akan mengalami presipitasi. Penggunaan kloroform isoamil alkohol ini
memungkinkan untuk didapatkan DNA yang sangat murni, namun dengan ukuran yang terbatas
(20.000–50.000 bp). Fungsi lain dari penambahan CIA ini adalah untuk menghilangkan
kompleks CTAB dan meninggalkan DNA pada fase aquoeus. DNA kemudian diikat dari
faseaquoeus dengan presipitasi etanol (Surzycki, 2000). 
Setelah proses ekstraksi, DNA yang didapat dapat dipekatkan melalui presipitasi.Pada
umumnya digunakan etanol atau isopropanol dalam tahapan presipitasi. Kedua senyawa tersebut
akan mempresipitasi DNA pada fase aquoeus sehingga DNA menggumpal membentuk struktur
fiber dan terbentuk pellet setelah dilakukan sentrifugasi (Switzer, 1999).Hoelzel (1992) juga
menambahkan bahwa presipitasi juga berfungsi untuk menghilangkan residu-residu kloroform
yang berasal dari tahapan ekstraksi. 
 Menurut Surzycki (2000), prinsip-prinsip presipitasi antara lain pertama, menurunkan
kelarutan asam nukleat dalam air. Hal ini dikarenakan molekul air yang polar mengelilingi
molekul DNA di larutan aquoeus. Muatan dipole positif dari air berinteraksi dengan muatan
negatif pada gugus fosfodiester DNA. Interaksi ini meningkatkan kelarutan DNA dalam air.
Isopropanol dapat bercampur dengan air, namun kurang polar dibandingkan air. Molekul
isopropanol tidak dapat berinteraksi dengan gugus polar dari asam nukleat sehingga isopropanol
adalah pelarut yang lemah bagi asam nukleat; kedua, penambahan isopropanol akan
menghilangkan molekul air dalam larutan DNA sehingga DNA akan terpresipitasi; ketiga,
penggunaan isopropanol dingin akan menurunkan aktivitas molekul air sehingga memudahkan
presipitasi DNA. 
Pada tahapan presipitasi ini, DNA yang terpresipitasi akan terpisah dari residu-residu
RNA dan protein yang masih tersisa. Residu tersebut juga mengalami koagulasinamun tidak
membentuk struktur fiber dan berada dalam bentuk presipitat granular.Pada saat etanol atau
isopropanol dibuang dan pellet dikeringanginkan dalam tabung, maka pellet yang tersisa dalam
tabung adalah DNA pekat.Proses presipitasikembali dengan etanol atau isopropanol sebelum
pellet dikeringanginkan dapat meningkatkan derajat kemurnian DNA yang diisolasi (Bettelheim
dan Landesberg, 2007). Keller dan Mark (1989) menerangkan bahwa pencucian kembali pellet
yang dipresipitasi oleh isopropanol dengan menggunakan etanol bertujuan untuk menghilangkan
residu-residu garam yang masih tersisa. Garam-garam yang terlibat dalam proses ekstraksi
bersifat kurang larut dalam isopropanol sehingga dapat terpresipitasi bersama DNA, oleh sebab
itu dibutuhkan presipitasi kembali dengan etanol setelah presipitasi dengan isopropanol untuk
menghilangkan residu garam (Ausubel et al., 2003). 
Setelah dilakukan proses presipitasi dan dilakukan pencucian dengan etanol, maka etanol
kemudian dibuang dan pellet dikering anginkan, perlakuan tersebut bertujuan untuk
menghilangkan residu etanol dari pelet DNA. Penghilangan residu etanol dilakukan dengan cara
evaporasi karena etanol mudah menguap (Surzycki, 2000). Pada tahap pencucian biasanya etanol
dicampur dengan ammonium asetat yang bertujuan untuk membantu memisahkan kontaminan
yang tidak diinginkan seperti dNTP dan oligosakarida yang terikat pada asam nukleat (Sambrook
et al., 2001). 
Setelah pellet DNA dikeringanginkan, tahap selanjutnya adalah penambahan buffer TE
ke dalam tabung yang berisi pellet dan kemudian disimpan di dalam freezer dengan suhu sekitar
-20ºC. Verkuil et al. (2008) menyatakan bahwa buffer TE dan penyimpanan suhu pada -20ºC
bertujuan agar sampel DNA yang telah diekstraksi dapat disimpan hingga waktu berminggu-
minggu. Keller dan Mark (1989) juga menjelaskan bahwa pelarutan kembali dengan buffer TE
juga dapat memisahkan antara RNA yang mempunyai berat molekul lebih rendah dibandingkan
DNA sehingga DNA yang didapatkan tidak terkontaminasi oleh RNA dan DNA sangat stabil
ketika disimpan dalam keadaan terpresipitasi pada suhu -20ºC. 
2.5 Isolasi Plasmid
Plasmid merupakan molekul DNA ekstrakromosomal yang dapat bereplikasi
(memperbanyak diri) secara mandiri dan ditemukan dalam sel prokariot dan eukariot. Secara
alami plasmid terdapat pada bakteri dan beberapa organisme eukariot seperti Saccharomyces
ceriviseae. Ukuran plasmid bervariasi antara 1 kb sampai 200 kb. Dalam penelitian rekayasa
genetika, plasmid digunakan sebagai kendaraan molekuler untuk memasukkan gen dari luar ke
dalam sel inang (Palomares et al. 2004; Yadav et al. 2011).
Plasmid mempunyai 3 komponen penting yaitu:
1) Origin of replication (ORI), sehingga plasmid dapat bereplikasi secara mandiri,
2) Mempunyai daerah unik sebagai situs pemotongan enzim endonuclease, yang biasa
disebut multiple cloning site (MCS),
3) Membawa penanda seleksi (biasanya resistensi terhadap antibiotika) untuk
membedakan antara sel inang yang mengandung plasmid atau tidak.
Klasifikasi plasmid berdasarkan karakteristik gen yang dikodenya. Terdapat 5 jenis
plasmid (Brown 2010), yaitu: 1) plasmid fertilitas atau F, membawa gen tra sehingga plasmid
dapat berpindah secara konyugasi, contoh plasmid F pada E. coli, 2) plasmid resisten atau R,
membawa gen resistensi terhadap antibiotika, contoh: resistensi terhadap kloramfenikol,
ampisilin, dan zeocin, 3) Plasmid Col mempunyai gen pengkode protein kolisin, protein yang
dapat membunuh bakteri lain, contoh ColE1 pada E. coli, 4) plasmid degradatif memungkinkan
sel inang memetabolisme senyawa yang tidak umum (toluene dan asam salisilat), contoh: Tol
pada Pseudomonas putida, 5) plasmid virulensi, memungkinkan sel inang dapat menginfeksi
organisme lain. Contoh plasmid Ti pada Agrobacterium tumefaciens sehingga dapat menginfeksi
tanaman dikotiledon.
Sejak ditemukan plasmid, telah banyak metode dikembangkan untuk mengisolasi
plasmid. Metode isolasi plasmid yang tepat sangat penting untuk mendapatkan plasmid dengan
konsentrasi dan kemurnian yang tinggi. Keberhasilan Polymerase Chain Reaction (PCR),
penentuan urutan DNA (sequencing), dan kloning gen sangat ditentukan oleh konsentrasi dan
kemurnian plasmid. Beberapa metode isolasi plasmid antara lain: lisis alkali, lisis dengan
pemanasan, menggunakan bahan kimia sesium klorida, metode dengan menggunakan microwave
(Dederich et al. 2002), dan metode kromatograpi (Birnboim dan Doli 1979).
Metode isolasi plasmid yang biasa dipakai adalah lisis alkali dan lisis dengan pemanasan
(Kiran et al. 2010; Perez-ortin et al. 1986; Yadav et al. 2011). Kelemahan metode lisis dengan
pemanasan adalah beberapa E. coli seperti HB101t selnya tidak dapat dilisis dengan pemanasan
(Sambrook dan Russell 2001). Metode lain untuk isolasi plasmid dengan menggunakan sesium
klorida, yang sangat mahal, korosif, toksik, dan memerlukan waktu yang sangat lama, sehingga
metode ini jarang digunakan (Perez-ortin et al. 1986). Banyak kit untuk isolasi plasmid beredar
di pasaran. Kit ini menggunakan kolom kromatografi sekali pakai untuk mengabsorpsi plasmid.
Matriks yang digunakan beragam, antara lain gelas, resin anion (dietilaminoetil, dietil-2-
hidroksipropil-aminoetil). Isolasi plasmid menggunakan kit relatif lebih mudah tetapi mahal jika
dilakukan secara rutin (Sambrook dan Russell 2001). Dari metode-metode isolasi di atas, metode
lisis alkali merupakan metode isolasi plasmid yang banyak digunakan karena simpel, relatif
murah, dan reprodusibilitas (Sambrook dan Russell 2001). Biasanya plasmid diisolasi dari hasil
kultivasi E. coli dalam media LB cair yang mengandung antibiotika tetapi E. coli dalam LB
padat dapat juga digunakan untuk isolasi plasmid. Penggunaan E. coli dalam LB padat lebih
menghemat waktu karena tidak memerlukan tahap sentrifugasi untuk mendapatkan sel E. coli
dari media cair (Sato et al. 2012).
Isolasi Plasmid Metode Alkaline Lysis
Metode alkaline lysis secara garis besar terbagi ke dalam enam tahap, yakni tahap
kultivasi bakteri dan pemanenan sel, tahap resuspensi sel, tahap lisis sel dan denaturasi DNA,
tahap netralisasi, tahap purifikasi, dan tahap pemekatan DNA.
1. Kultivasi dan Pemanenan Sel
Prosedur isolasi diawali dengan kultivasi bakteri yang mengandung plasmid yang akan
diisolasi. Untuk inang Escherichia coli, umumnya bakteri dikultur selama 12-18 jam pada media
Luria-Bertani broth. Pada umur tersebut, pertumbuhan bakteri masih berada dalam fase
eksponensial. Pemanenan pada jam tesebut bertujuan untuk memperoleh jumlah sel yang
memadai sebagai sumber plasmid. Pemanenan sel dilakukan dengan sentrifugasi. Gaya
sentrifugal yang ada akan memisahkan massa sel bakteri yang berbentuk padat dari cairan media
pertumbuhan. Massa sel akan terendapkan pada dasar tabung sebagai pelet. Untuk memperoleh
DNA plasmid dalam jumlah yang tinggi, kultur bakteri yang digunakan dalam isolasi plasmid
haruslah yang berada dalam fase logaritmik akhir atau awal fase stasioner.
Preparasi kultur menggunakan koloni tunggal dari plate, dan penggunaan antibiotik yang
baru dengan konsentrasi yang tepat adalah kunci memperoleh hasil isolasi yang maksimal.
Penggunaaan kultur bakteri yang overgrowth dapat meningkatkan peluang kontaminasi DNA
genom dalam hasil isolasi plasmid. DNA plasmid umumnya berukuran 3-5 kb dan ukurannya
meningkat sesuai dengan besar sisipannya. Jenis titik awal replikasi (ori) mempengaruhi jumlah
salinan (copy number) per sel. Plasmid dengan jumlah salinan yang tinggi (high copy number)
dapat menghasilkan 4-5 ug DNA plasmid per ml kultur LB.
2. Resuspensi Sel
Pelet sel kemudian diresuspensikan dalam larutan yang mengandung Tris-EDTA dan
glukosa. Larutan ini umumnya dikenal sebagai larutan atau solution I. EDTA dalam larutan I
berfungsi mengkhelat (mengikat) kation-kation divalen seperti Mg2+ dan Ca2+. Kedua ion ini
berfungsi sebagai kofaktor yang esensial bagi aktivitas Dnase dalam mencacah molekul DNA.
Selain itu, ion Mg dan Ca diketahui berperan penting dalam memelihara integritas dan kestabilan
membran plasma bakteri sehingga kerja EDTA juga berfungsi membantu destabilisasi membran.
Glukosa berfungsi menjaga tekanan osmotik sel agar tidak pecah. Keutuhan sel pada tahap ini
penting untuk tetap terpelihara, Dnase yang ada di dalam sel tidak bertemu dengan DNA plasmid
yang akan diisolasi. Penelitian Qiagen menyimpulkan tanpa glukosa pun, metode alkalin lisis
dapat bekerja dengan baik dalam mengisolasi plasmid.
3. Lisis Sel dan Denaturasi DNA
Tahap selanjutnya lisis sel dan denaturasi DNA dengan pemberian larutan II yang terdiri
dari SDS dan NaOH. SDS merupakan garam deterjen anionik, yang ketika dilarutkan dalam air
akan berdisosiasi menjadi ion Na+ dan dan dodesil sulfat. Dodesil sulfat adalah molekul deterjen
berantai hidrofobik panjang dengan gugus sulfat bermuatan negatif pada salah satu ujungnya.
Dodesil sulfat akan berikatan dengan bagian interior lipid bilayer pada membran sehingga
mengakibatkan lisis sel. Komponen selular bakteri termasuk DNA dan RNA akan keluar dan
larut dalam. Ion deterjen dodesil sulfat juga mendenaturasi protein yang ada dalam lisat, dengan
jalan memutuskan ikatan-katan non kovalen (terutama ikatan hidrogen) pada protein, sehingga
kembali ke struktur primernya, sebagai rantai linier polipeptida. Hal ini membuat protein-protein
enzim kehilangan aktivitas enzimatiknya , termasuk enzim Dnase yang dikhawatirkan merusak
DNA plasmid. Pada tahap ini larutan akan berisi asam nukleat (DNA dan RNA) dan debris sel
yang terdapat dalam kompleks dodesil sulfat-lipid-protein.
Sementara itu, NaOH yang bersifat basa membuat seluruh molekul DNA berutas ganda
baik DNA kromosomal maupun plasmid mengalami denaturasi menjadi utas-utas tunggal. Itulah
mengapa metode ini disebut sebagai metode lisis basa (alkaline lysis). Pada tahapan ini, DNA
kromosomal terpisah sempurna menjadi utas-utas tunggal terpisah; sedangkan utas tunggal
plasmid yang berbentuk lingkaran tetap terhubung, seperti dua cincin yang saling bertautan.
Karakter ukuran dan struktur kedua jenis DNA inilah yang menjadi dasar pemisahan DNA
plasmid dari DNA kromosomal.
4. Netralisasi
Tahap selanjutnya adalah netralisasi dengan penambahan larutan III sodium asetat pH
~5,5. Ion K+ bebas yang berasal dari potasium asetat pada larutan III akan menetralkan muatan
negatif dari kompleks kompleks dodesil sulfat-lipid-protein terdenaturasi, membentuk potasium
dodesil sulfat (KDS) yang tidak larut dan terpresipitasi bersama lipid membran dan protein yang
terdenaturasi. Laju presipitasi KDS dapat ditingkatkan dengan inkubasi pada suhu es (4oC).
Larutan III adalah sodium asetat yang diatur pHnya ke 5,5 menggunakan asam asetat.
Asam asetat berfungsi menetralkan suasana basa yang diciptakan oleh ion hidroksida dari NaOH
yang diberikan pada tahap lisis sebelumnya. Ketika pH larutan kembali netral, ikatan-ikatan
hidrogen antar basa utas tunggal DNA terbentuk kembali, sehingga molekul tersebut dapat
berenaturasi menjadi DNA berutas ganda. Proses renaturasi inilah yang menjadi tahap seleksi
bagi plasmid. Utas-utas tunggal sirkular DNA plasmid yang yang berukuran kecil dan tetap
saling bertautan dapat berenaturasi sempurna membentuk utas ganda yang tetap berada dalam
larutan; sedangkan DNA kromosomal yang berukuran jauh lebih besar dari plasmid tidak dapat
berenaturasi sempurna, membentuk struktur kusut tak beraturan yang terperangkap dan ikut
terpresipitasi bersama kompleks KDS-lipid-protein. Oleh karena itu, pencampuran pada tahap
lisis sel harus dilakukan dengan perlahan. Pengocokan yang kuat (misalnya vortex) akan
mengakibatkan molekul DNA kromosom akan terpotong menjadi fragmen-fragmen yang kecil
yang dapat ikut berenaturasi seperti halnya DNA plasmid, dan mengkontaminasi DNA plasmid.
5. Purifikasi
Purifikasi bertujuan untuk membersihkan isolat dari kontaminasi bahan selain DNA.
Pada tahap ini, kontaminan yang umum terdapat dalam larutan adalah protein dan komponen
buffer yang digunakan dalam tahap sebelumnya seperti garam potasium asetat, SDS, dan EDTA.
Terdapat berbagai metode purifikasi DNA hasil ekstraksi. Salah satu metode tradisional yang
efektif dan relatif murah untuk purifikasi DNA plasmid adalah metode ekstraksi fenol-kloroform.
Campuran pelarut organik ini secara signifikan dapat mendenaturasi protein dan melarutkan
komponen lipid. Jumlah fenol-kloroform yang ditambahkan umumnya satu kali volume larutan
yang akan dipurifikasi. Umumnya fenol-kloroform disiapkan dalam bentuk campuran fenol-
kloroform-isoamil alkohol dengan perbandingan volume 25:24:1. Campuran fenol-kloroform
adalah campuran yang homogen. Fenol-kloroform dan air tidak dapat bersatu sehingga akan
terbentuk dua fase yakni fase air (fase aqueous) dan fase fenol-kloroform. Fenol-kloroform lebih
‘berat’ daripada air sehingga fasenya berada di bawah fase air. Kedua fase kemudian dicampur
dengan cara vorteks. Pencampuran akan membuat fenol merangsek ke dalam lapisan air dan
membentuk emulsi droplet. Protein akan terdenaturasi dan terperangkap dalam fase fenol-
kloroform, sedangkan DNA tetap berada di air. Kedua fase kemudian dapat dipisahkan dengan
baik dengan sentrifugasi. Fase atas yang berisi DNA akan dapat dengan mudah diambil dengan
pemipetan, dan fase fenol-kloroform dapat dibuang.
Prinsip purifikasi DNA dengan ekstraksi fenol-kloroform: Air adalah pelarut yang sangat
polar, sedangkan fenol bersifat kurang polar dibandingkan dengan air. DNA adalah molekul
polar yang disebabkan oleh adanya gugus-gugus fosfat dalam kerangkanya. Hal ini membuat
DNA sangat larut dalam air dan kurang larut dalam fenol. Ketika isolat DNA yang larut dalam
air dicampurkan dengan fenol, DNA tidak akan larut dalam fenol, namun tetap berada dalam fase
air. Protein memiliki sifat yang berbeda dari DNA. Protein adalah polimer rantai panjang
polipeptida yang tersusun atas berbagai macam asam amino. Asam amino ada yang bersifat polar
(seperti glutamat, lisin dan histidin) karena memiliki residu yang bermuatan, dan ada juga asam
amino yang non polar (seperti fenilalanin, leusin dan triptofan) akibat residunya yang tak
bermuatan. Dalam lingkungan berpelarut air, rantai polipeptida melipat sedemikian rupa
sehingga residu-residu asam amino yang kurang polar daripada air akan berada di sisi dalam
protein (jauh dari air), sedangkan rantai samping asam amino yang polar akan tertata pada sisi
luar protein, berikatan dengan air. Dengan kata lain residu-residu asam amino yang polar bersifat
hidrofilik (“suka air”), dan yang non polar bersifat hidrofobik (“takut air”). Maka, ketika
dicampurkan dengan fenol, protein terekspos dengan pelarut yang kurang polar, sehingga pola
pelipatannya protein berubah. Pada dasarnya dalam kondisi tersebut residu-residu asam amino
dari protein akan bertukar tempat. Residu yang kurang polar yang tadinya tersembunyi di sisi
dalam protein ketika berada dalam pelarut air, kini mendesak menuju ke sisi luar untuk
berinteraksi dengan pelarut fenol. Sebaliknya, residu-residu asam amino yang polar akan terselip
ke sisi dalam protein, berlindung dari fenol. Dalam waktu singkat, protein mengalami denaturasi
akibat perubahan pola pelipatannya. Residu non polar yang kini berada di sisi luar protein yang
terdenaturasi membuat protein tersebut lebih larut di dalam fenol daripada di dalam air. Hal
inilah yang mendasari proses pemisahan DNA dari protein dalam metode ekstraksi fenol. Protein
akan terpisah di fase fenol, sedangkan molekul DNA yang polar tetap berada pada fase air.
6. Pemekatan DNA
Pemekatan DNA bertujuan memisahkan DNA dari larutan sehingga diperoleh
konsentrasi yang lebih tinggi. Cara sederhana dan murah untuk memisahkan DNA dari larutan
dapat dilakukan dengan presipitasi etanol. Prosedur dasarnya adalah etanol absolut ditambahkan
ke larutan DNA. Proses presipitasi etanol umumnya dapat dibantu dengan penambahan garam.
Setelah perlakuan itu, DNA akan terpresipitasi dan dapat dipeletkan dengan sentrifugasi.
Selanjutnya pelet DNA dicuci dengan etanol 70%. Kemudian pelet dikeringkan dan setelah itu
dilarutkan kembali ke dalam air atau buffer tris EDTA (TE). Berikut sekelumit penjelasan
mengenai mekanisme presipitasi etanol.
DAFTAR PUSTAKA
Bhattacharya, D., P. M. Sarma, S. Krishnan, S. Mishra, and B. Lal.(2003). Evaluation of genetic
diversity among Pseudomonas citronellolis strains isolated from oily sludge-
contaminated sites.Applied and Environmental Microbiology 69(3), 1435-1441.
Bordonaro, R., P. L. McDonough, Y. Chang, and H. O. Mohammed.(2013). Molecular
detection of Salmonella species in bovine fecal samples.Journal of Veterinary Diagnostic
Investigation 25(6), 756-758. Castagna, S. M. F., M. Muller, M. Macagnan, C. R.
Rodenbusch, C. W. Canal, and M. Cardoso. (2005). Brazilian Journal of Microbiology
(36), 373-377.
Roe BA, Crabtree JS, Khan AS. 1996. DNA isolation and sequencing. Hoboken: John Wiley &
Sons.
Shmaefsky BR. 2006. Biotechnology 101. Westport: Greenwood.
Brown TA. 2013. Gene Cloning and DNA Analysis: An Introduction. Hoboken: John Wiley &
Sons.
 Basu P, Johnson M. 2009. The Integrated Approach to Chemistry Laboratory: Selected
Experiments. Pennsylvania: DEStech.
Sircar S. 2008. Principles of Medical Physiology. New York: Thieme.
Cseke, Leland J. , Joseph R. Herdy. 2012. Laboratory Methods in Cell Biology. USA :
AcademicPress Gill.
Christina., JannekeH.H.M. vande Wijgert., FrancesBlow., AlistairC.Darby. 2016. Evaluation of
Lysis Methods for the Extractionof Bacterial DNA for Analysis of The Vaginal
Microbiota. Journal Plos One- doi : 10.1371/journal.pone.0163148
Tan, Siun Chee., Beow Chin Yiap. 2009. DNA, RNA, and Protein Extraction: The Past and The
Present. Journal of Biomedicine and Biotechnology. Volume 2009, Article ID 574398.
Espinoza, Pavel., Ramón Miguel Molina Barrios., Javier Arturo Munguía Xóchihua., Juan
Francisco Chávez Hernández. 2017. ast and reliable DNA extraction protocol for
identification of species in raw and processed meat products sold on the commercial
market. Journal Open Agriculture. Vol 2 No (469–472)
Ahari, H., Glass bead purification of plasmid template DNA for high throughput sequencing of
mam-malian genomes.Razavilar V., Motalebi A. A., AkbariaderganiB., Kakoolaki S.,
Shahbazadeh D., Anvar A. A., Mooraki N. 2012. DNA Extraction Using Liquid Nitrogen
in Staphylococcus aureus. Iranian Journal of Fisheries Sciences. 11(4) 926- 929
Chaitanya KV. 2013. Cell and molecular biology: A Lab Manual. Delhi: PHI.
Birnboim HC, Doli J.(1979) A rapid alkaline extraction procedure for screening recombinant
plasmid DNA. Nucleic Acids Res 7:1513-1523.
Brown TA (2010).Gene Cloning and DNA Analysis: An Introduction, ed. Ke-6. Graphicraft
Limited. Hongkong.13-17.
Dederich DA, Okwuonu G, Garner T, Denn A, Sutton A, Escotto M, Martindale A, Delgado O,
Muzny DM, Gibbs RA, Metzker ML (2002) Nucleic Acids Res 30:1-5.
Kiran C, Sreekanth P, Ponnala D, Paithankar KR (2010) A quick and economical method to
isolate plasmid DNA for large scale sequencing. Int J Appl Biol Technol 1:1236-1238
Kotchoni SO, Gachomo EW, Betiku E, Shonukan OO (2003) A home made kit for plasmid DNA
mini-preparation. Afr J Biotechnol 2:88-90.
Palomares LA, Mondaca ST, Ramirez OT (2004) Production of recombinant proteins:
challenges and solutions. In: Methods in Molecular Biology: Recombinant Gene
Expression Reviews and Protocols, vol 267.
Balbas P & A Lorence (ed). Humana Press Inc., New Jersey Perez-Ortin JE, Ramon D, Ferrer S,
Tordera V (1986) Rapid plasmid isolation, A laboratory experiment. Biochem Edu
14:142-144.
Sambrook J, Russell DW (2001) Molecular Cloning, vol. 1.Cold Spring Harbor Laboratory
Press.,
New York Sato M, Akasaka E, Saitoh I, Ohtsuka M, Nakamura S, Sukarai T, Watanabe S (2012)
A simplified protocol for the semilarge scale recovery of plasmids from Escherichia coli
grown on agar plates. J Biomed Sci Eng 5:406-408
Yadav P, Yadav A, Garg V, Datta TK, Goswami SL, De S (2011) A novel method of plasmid
isolation using laundry detergent. Indi J Exp Biol 49:558-560

Anda mungkin juga menyukai