Anda di halaman 1dari 7

UJIAN KOAS EVALUASI DAGING Nama : DEDI HARTAWAN

TANGGAL : 15 MEI 2020 NIM/Glb/Grup : 1909612011


JAM : 08.00 - 09.00 Wita

1. Jelaskan dengan SINGKAT kenapa pada UJI SUBYEKTIF :


a. Warna daging dapat dipakai sebagai penilaian kualitas daging!

b. Aroma daging dapat dipakai sebagai penilaian kualitas daging!

c. Konsistensi daging dapat dipakai sebagai penilaian kualitas daging!

d. Tekstur daging dapat dipakai sebagai penilaian kualitas daging!

2. Jelaskan dengan SINGKAT kenapa pada UJI OBYEKTIF :


a. Nilai pH daging dapat dipakai sebagai penilaian i kualitas daging?

b. Daya ikat air daging dapat dipakai sebagai penilaian kualitas daging?

c. Kadar Air daging dapat dipakai sebagai penilaian kualitas daging?

d. Bakteri Coliform daging dapat dipakai sebagai penilaian kualitas daging?

e. ALTB daging dapat dipakai sebagai penilaian kualitas daging?

3. Produk daging yang diperjual-belikan di pasar tradisonal sering tidak


diawasi kualitasnya, misalnya komposisinya kebanyakan tepung, berisi
zat pengawet (berformalin), berisi pewarna tekstil, atau berisi boraks.
Jelaskan secara SINGKAT bagaimana mendeteksi produk daging yang
berisi :
a. Boraks !
b. Formalin!
JAWABAN:
1a. Warna daging
Setiap daging berwarna karena punya pigmen bernama myoglobin. Sifat myoglobin mudah
bereaksi (teroksidasi, tereduksi, mudah rusak oleh mikroba), maka setiap perubahan pada warna
daging dapat dipakai menilai kualitasnya. . Myoglobin adalah pigmen pada daging yang struktur
kimianya mengandung inti Fe yang menyebabkan warna daging menjadi merah. Pada hewan
yang baru disembelih dagingnya berwarna merah keunguan karena terbentunknya ferro. Apabila
permukaan daging kontak dengan udara luar, maka myoglobin akan mengalami oksigenasi oleh
oksigen menjadi oksimyoglobin, sehingga warna daging menjadi merah cerah. Apabila kontak
dengan udara berlangsung terus, maka oksigen akan mengoksidasi inti besi (Fe). Hal ini
menyebabkan oksimyoglobin akan berubah menjadi metmyoglobin sehingga daging menjadi
berwarna coklat tua (Suardana dan Swacita, 2009).
B. Aroma Daging
Bau spesifik daging adalah tidak ada bau menyengat, tidak berbau amis, tidak berbau busuk.
Bau daging disebabkan oleh fraksi yang mudah menguap, dimana pada jaringan otot hewan yang
masih hidup mengandung adenosine-5-trifosfat yang dikonversi setelah penyembelihan manjadi
inosin-5-monofosfat. Daging yang masih segar berbau seperti darah segar (Suardana dan
Swacita, 2009). Bau daging juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, suhu, cara
penyimpanan, peralatan dan kemasan yang digunakan.
C. Konsistensi
Konsistensi daging biasanya dinyatakan dengan liat (firmness), lembek (softness), berair
(juiciness). Konsistensi daging ditentukan oleh banyak sedikitnya jaringan ikat yang menyusun
otot tersebut. Daging yang segar konsistensinya terasa liat sedangkan daging yang mulai
membusuk konsistensinya terasa berair (Suardana dan Swacita, 2009).
D. Tekstur
Ada dua tekstur otot yaitu tekstur kasar dengan ikatan-ikatan serabut otot yang besar, dan tekstur
halus dengan ikatan-ikatan serabut otot yang kecil (Soeparno, 2005).
2.A. pH

Sewaktu hewan ternak masih hidup Ph otot berkisar antara 7,2-7,4. pH normal daging adalah
5,4-5,8. Faktor yang berpengaruh terhadap pH daging diantaranya stres sebelum pemotongan,
injeksi hormon/obat-obatan, spesies, indivisu ternak, macam otot, stimulasi listrik, aktivitas
enzim, dan terjadinya glikolisis (Suardana dan Swacita, 2009). Secara umum pH daging
dipengaruhi oleh laju glikolisis post-mortem, stress sebelum disembelih, cadangan glikogen
otot, jenis otot dan aktifitas enzim. Jika pH akhir daging tinggi, maka warna daging akan
terlihat gelap. Hal ini disebabkan karena kandungan air intraseluler yang tinggi menyebabkan
kemampuan untuk memantulkan cahaya akan turun sehingga warna akan terlihat gelap
(Afrianti et al., 2013).

B. Daya Ikat Air

Daya ikat air atau Water Holding Capacity (WHC) adalah kemampuan dari daging untuk
menahan/mengikat airnya sendiri karena tekanan dari luar seperti pemanasan, pemotongan dan
penggilingan. Daya ikat air akan berpengaruh terhadap mutu daging, seperti rasa basah
(juiceness), keempukan, warna dan cita rasa daging.

Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding capacity atau water-binding capacity (WHC
atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama
ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan
tekanan (Suardan dan Swacita, 2009). Daya ikat air juga dipengaruhi oleh pH daging. Air yang
tertahan di dalam otot meningkat sejalan dengan naiknya pH, walaupun kenaikannya kecil.
Faktor yang dapat mempengaruhi daya ikat air daging selain protein dan pH yaitu, stress, bangsa,
pembentukan akto-myosin (rigormortis), temperatur dan kelembaban, pelayuan karkas dan
aging, tipe otot dan lokasi otot, spesies, umur, fungsi otot, pakan, dan lemak intramuskuler.
Keberadaan lemak intramuskular (lemak marbling) menyebabkan longgarnya ikatan
mikrostruktur serabut otot daging sehingga banyak tersedia ruangan bagi protein daging untuk
mengikat air (Merthayasa et al., 2015).
C. Kadar Air

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam
persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena
air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air
dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar
air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang
biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Kumalasari, 2012). Kadar air yang
hilang merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan jus daging, yang
merupakan komponen dan struktur daging. Susut masak akan mempengaruhi berat daging
sehingga akan mempengaruhi pula presentase protein, lemak dan abu yang lebih rendah
daripada daging masak. Besar kecilnya susut masak juga akan mempengaruhi cairan atau jus
daging (juicines), makin besar nilai susut masak maka akan menurunkan nilai jus daging
(Bayu, 2016).
Kadar air dalam daging berkisar antara 60 70% dan apabila daging mempunyai kadar air
yang tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah, maka daging tersebut dapat tahan lama
selama penyimpanan (Amertaningtyas, 2012).
D. Bakteri Coliform

Infeksi atau kontaminasi mikroba kepada daging terjadi melalui dua jalan yaitu pertama adalah
infeksi interna dan kedua adalah infeksi eksterna. Infeksi interna terhadap daging terjadi bila
ternak potongan tersebut dalam keadaan sakit, sedangkan infeksi eksterna dapat terjadi melalui
pencemaran terhadap daging selama dan sesudah pemotongan (Suardana dan Swacita, 2009).
Persyaratan cemaran mikroba pada daging segar menurut Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan
adalah jumlah bakteri coliform : 102 CFU/gram. Menurut Standar Nasional Indonesia (2000)
batas maksimum cemaran mikroba adalah jumlah jasad renik/mikroba maksimum (CFU/gr) yang
diijinkan atau direkomendasikan dapat diterima dalam bahan makanan asal hewan dapat dilihat
pada tabel berikut (Saidah et al, 2011).
Tabel Batas Maksimum Cemaran Mikroba

Jenis Cemaran Mikroba Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM)


Daging Segar/Beku Daging Tanpa Tulang
4
Jumlah Total Kuman (Total 1 × 10 1 × 104
Plate Count)
Coliform 1 × 102 1 × 102
1
Escherichia coli 5 × 10 5 × 101
Enterococci 1 × 102 1 × 102
2
Staphylococcus aerus 1 × 10 1 × 102
Clostridium sp. 0 0
Salmonella sp. Negatif Negatif
Camphylobacter sp. 0 0
Listeria sp. 0 0

E. ALTB

Infeksi atau kontaminasi mikroba kepada daging terjadi melalui dua jalan yaitu pertama adalah
infeksi interna dan kedua adalah infeksi eksterna. Infeksi interna terhadap daging terjadi bila
ternak potongan tersebut dalam keadaan sakit, sedangkan infeksi eksterna dapat terjadi melalui
pencemaran terhadap daging selama dan sesudah pemotongan (Suardana dan Swacita, 2009).
Persyaratan cemaran mikroba pada daging segar menurut Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan
adalah jumlah bakteri ALTB maksimum : 104 CFU/gram.

3.A Mendeteksi Borax Dalam Daging

Boraks atau asam boraks merupakan senyawa berbentuk kristal putih tidak berbau dan stabil
pada suhu ruangan biasanya digunakan untuk bahan pembuat deterjen dan antiseptik (Tubagus
dkk., 2013). Zat tersebut termasuk dalam zat tambahan yang dilarang penggunaannya di
makanan.

Pemeriksaan Kualitatif yaitu Menimbang sampel ± 1,0 gram, memotong kecil-kecil,


menambahkan MetOH + H2SO4 p, dibakar, mengamati nyala api berwarna hijau Pembuatan
Larutan Baku Kerja Boraks yaitu larutan baku induk Boraks 589 bpj,diencerkan larutan baku
kerja I (58,9 bpj), diencerkan larutan baku II (1,178 bpj) dipipet 1,0 ml, 2,0 ml, 3,0 ml, 4,0 ml,
5,0 ml ditambah NaOH 10% sebanyak 1,0 ml, dipanaskan 2,5 j am suhu 1000 C, kemudian
dikeringkan suhu 1000 C selama 30’, ditambah kurkumin sebanyak 3,0 ml dipanaskan sampai
larut. Ditambah asam asetat : asam sulfat (1:1) sebanyak 3,0 ml sampai warna kuning berubah
menjadi ungu ditambahkan etanol ke dalam labu ukur sampai tepat 25,0 ml,kemudian disaring
dan 3 ml s aringan pertama dibuang saringan berikutnya diamati pada spektrofotometri Vis
scaning pada panjang gelombang λ 700 nm – 500 nm. Diamati absorbansinya pada panjang
gelombang maksimum, kemudian dicatat absorbansinya dan dibuat kurva baku.

Penetapan kadar boraks secara kuantitatif yaitu menimbang sampel ±10 g, Mengeringkan hingga
benar-benar kering pada suhu 600 C di oven. Mengabukan pada suhu 6000 C di furnace selama 8
jam. Melarutkan dengan air panas sampai 1000,0 ml dipipet 1,0 ml, 2,0 ml, 3,0 ml, 4,0 ml, 5,0
ml. Menambah NaOH 10% sebanyak 1,0 ml, dipanaskan 2,5 jam suhu 100o C,kemudian
dikeringkan 30’ suhu 100o C. Menambah kurkumin 0,125% sebanyak 3,0 ml, dipanaskan sampai
larut. Menambah asam asetat : asam sulfat (1:1) sebanyak 3,0 ml sampai warna kuning berubah
menjadi ungu. Menambahkan etanol ke dalam labu ukur sampai tepat 25,0 ml,kemudian disaring
dan 3 m l saringan pertama dibuang Saringan berikutnya diamati pada spektrofotometri Vis pada
λ = 700 nm-500 nm Mengamati absorbansinya pada panjang gelombang λ = 550 nm dan dicatat
absorbansinya.

B. Mendeteksi Formalin Dalam Daging

Formalin termasuk kelompok senyawa disinfektan kuat, yang dapat membasmi berbagai bakteri
pembusuk (Arifin dkk., 2005). Zat tersebut termasuk dalam zat tambahan yang dilarang
penggunaannya di makanan. Formalin merupakan bahan tambahan pangan yang dilarang
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MenKes/Per/IX/1988,
sehingga kandungannya dalam produk makanan harus negatif.

Penentuan kandungan formalin menggunakan uji kualitatif (uji tes kit) untuk mendeteksi ada
tidaknya formalin pada sampel dilanjutkan uji kuantitatif (uji Asidi-Alkalimetri) untuk
mengetahui kadar formalin.

1. Uji Kualitatif (Uji Tes Kit): Sampel dilakukan penghalusan, ditimbang sebanyak 10 g,
Ditambahkan air panas sebanyak 20 ml dan diaduk kemudian dibiarkan dingin. Air campuran
diambil 5 ml kemudian ditetesi dengan menggunakan Reagen A dan B masingmasing sebanyak
4 tetes, dikocok dan dibiarkan selama 10 menit. Apabila sampel positif formalin, maka warna
cairan berubah menjadi merah muda.

2. Uji Kuantitatif (Uji Asidi-Alkalimetri) (Farmakope, 1997) : Sampel yang sudah dihaluskan
ditimbang sebanyak ±3 gram dimasukkan ke dalam labu elemeyer, menambahkan 25 ml
hidrogen peroksida encer dan 50 ml natrium hidroksida 1 N, sampel dipanaskan di atas hot plate
hingga mendidih. Ditambahkan 2 tetes larutan fenolftalein sampai terjadi perubahan warna
menjadi merah muda. Menitrasi sampel dengan asam klorida 0,1 N sampai warna merah muda
memudar menjadi bening. Hasil titrasi dicatat volumenya, setiap sampel di lakukan pengulangan
sebanyak tiga kali. Melakukan perhitungan kandungan formalin dan menghitung rata-rata
kandungan formalin.

Anda mungkin juga menyukai