Anda di halaman 1dari 11

GAMBARAN PATOLOGI HATI DAN SALURAN EMPEDU PADA SAPI YANG

TERINFEKSI FASCIOLA
Dedi Hartawan1, Ida Bagus Oka Winaya2
1Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Hewan
2Laboratorium Patologi Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana
Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali;
Telp: (0361) 223791
E-mail: dhartawan054@gmail.com
ABSTRAK

Penyakit akibat cacing parasit pada sapi saat ini banyak ditemukan, salah satunya yaitu
fasciolosis. Fasciolosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh cacing trematoda
Fasciola gigantica maupun Fasciola hepatica, termasuk kelas Trematoda filum Platyhelminthes
dan genus Fasciola yang dapat menimbulkan lesi makroskopis dan mikroskopis pada hati dan
kantung empedu pada sapi bali. Perubahan makroskopis dapat berupa adanya parasit pada
jaringan hati dan penebalan serta perdarahan pada mukosa empedu. Perubahan mikroskopis
pada hati dapat teramati adanya infiltrasi sel radang, terjadinya fibrosis, nekrosis sel hepatosit
dan degenerasi melemak. Lesi mikroskopis pada kantong empedu dapat teramati adanya
nekrosis epitel mukosa empedu, tampak ilfiltrasi serabut kolagen, infiltrasi sel radang, hipertropi
dan hyperplasia pada epitelium empedu.

PENDAHULUAN

Fasciolosis adalah penyakit parasitik disebabkan oleh cacing dari genus Fasciola.
Fasciolosis di Indonesia secara umum disebabkan oleh Fasciola gigantica. Fasciolosis di
Indonesia secara umum disebabkan oleh Fasciola gigantica (Suweta,1984). Fasciolosis
terdistribusi diseluruh dunia dan prevalensi pada ruminansia diperkirakan berkisar hingga 90%
dibeberapa Negara, misalnya Kamboja mencapai 85,2%, Wales 86%, Indonesia 80-90%, Tunisia
68,4% dan Vietnam 30-90% (Nguyen, 2012). Sapi yang terserang Fasciola sp akan tampak
pucat, lesu, mata membengkak, tubuh kurus, dan bulu kasar serta kusam atau berdiri, laju
pertumbuhan dan berat badan ternak menurun, penurunan efisiensi pakan, kematian pada derajat
infeksi yang tinggi terutama pada pedet maupun sapi usia produktif, daya tahan tubuh menurun
akibat anemia yang ditimbulkan, serta kerusakan jaringan terutama hati dan saluran empedu.
(Guntoro,2002;Hambal, 2013).
Diagnosa fasciolosis didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan post-mortem organ hati untuk melihat adanya F.gigantica di dalam buluh empedu.
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan adalah pemeriksaan tinja untuk mendeteksi
telur F.gigantica, pemeriksaan enzim hati, pemeriksaan hematologi, uji serologi, dan
coproantigen atau pemeriksaan antigen dalam tinja (Mitchell 2003).
Pemeriksaan histopatologi pada infeksi cacing hati F.hepatica yang ditemukan pada
dinding bagian dalam saluran empedu dan rongga perut menunjukkan adanya lesi bervariasi
seperti, nekrosis hemoragik akut, dan fibrosis pada daerah parenkim hati.Sebagian besar lesi
kronis yang ditemukan berupa adanya infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofag. Pada hati, paru-
paru, diafragma, limpa, kelenjar getah bening (limfonodus), ginjal, pankreas, dan usus kecil juga
menunjukkan adanya infiltrasi sel-sel radang, berupa sel-sel polimorponuklear dan sel
mononuklear (Mendes et al., 2012). Menurut Tarmudji dan Ginting (1983), infeksi Fasciola sp
pada jaringan hati sapi betina FH menunjukan kerusakan sel dikelilingi oleh jaringan ikat dan
hiperplasia pada saluran empedu. Pada pemeriksaan hati sapi potong di rumah potong hewan,
luas kerusakan hati tergantung pada derajat keparahan infeksi dan lamanya hewan sakit.Pada
infeksi yang parah terlihat adanya perubahan berupa pembengkakan dan penyumbatan saluran
empedu, jaringan hati mengeras dan mengecil karena terbentuknya jaringan parut (Martindah et
al., 2005).
Perubahan patologi pada kejadian fascioliosis sapi terutama disebabkan oleh adanya
aktivitas migrasi dan iritasi spini tegumen Fasciola gigantica. Iritasi berkepanjangan spini dapat
menimbulkan perubahan berupa nekrosis, perdarahan, peradangan, hiperplasia dan proliferasi
seluler (Shaikh et al., 2004). Kehadiran cacing hati pada saluran empedu menyebabkan
terjadinya kholangitis (radang saluran empedu). Kholangitis yang dikombinasikan dengan
besarnya tubuh cacing Fasciola spp cukup untuk menyebabkan obstruksi mekanik pada saluran
empedu. Jika obstruksi terjadi, kantung dan saluran empedu akan membesar (Valero et al.,
2003).
METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

Patologi Anatomi

Gambar 1. Hati sapi yang mengalami Gambar 2. Terdapat terowongan jalur


fasciolosis tampak bengkak, mengeras, migrasi cacing. (Pandjaitan, 2012).
warna menjadi lebih pucat dan fibrosis.
(Panjjaitan, 2012).

Gambar 3. Hati sapi yang mengalami fasciolosis terlihat adanya F.gigantica di dalam buluh
empedu. (Pandjaitan, 2012).
Menurut Jones et al (2006) lesio kerusakan pada organ hati disebabkan oleh dua faktor yaitu
adanya migrasi cacing muda dan induksi cacing dewasa yang terjadi secara berkesinambungan.
Cacing melakukan migrasi menuju organ hati melalui beberapa cara yaitu lewat aliran darah
menuju vena porta, aliran empedu atau duktus choledochus dan perforasi usus melalui
peritoneum menembus kapsula dan parenkim hati lalu bermigrasi menuju buluh empedu. Migrasi
cacing di dalam organ hati menyebabkan kerusakan pada parenkim. Semakin banyak cacing
yang melakukan migrasi maka kerusakan parenkim hati akan semakin parah. Parenkim hati yang
rusak akibat migrasi cacing akan digantikan oleh jaringan ikat atau fibrosis sehingga akan
mengubah struktur hati. Akibatnya hati yang mengalami fasciolosis memiliki konsistensi yang
lebih keras daripada hati normal. Pengerasan yang terjadi lama kelamaan akan menyebabkan
sirosis hati. Shaikh et al. (2004) menunjukkan bercak hitam dan terang pada permukaan hati, dan
penebalan fibrosis pada kantung kerbau yang terinfeksi F. gigantica. Kantong empedu yang
mengalami hyperplasia menunjukkan disintegrasi, daerah nekrosa, dan sel-sel inflamatori.
Shaikh et al. (2004) menyatakan bahwa hati kerbau yang terinfeksi oleh cacing mengalami
kerusakan disrupsi, inflamasi, atropi, dan nekrosis. Saluran empedu mengalami hiperplasia dan
proliferasi sel epitel. Pada jaringan hati yang terinfeksi F. gigantica, bentuk dan ukuran kantung
empedu menjadi berubah karena pembesaran lumen. Menurut Shaikh et al. (2004), dilatasi
dinding saluran empedu terjadi akibat peningkatan jumlah dan atau hiperplasia sel-sel epitel serta
proliferasi dan infiltrasi sel-sel inflamatori. Insisi pada bagian yang pucat dan putih ditemukan
adanya jaringan fibrosa serta terdapat terowongan jalur migrasi cacing. Buluh empedu
mengalami dilatasi dan penebalan serta ditemukan adanya F.gigantica disertai gumpalan kotor
berlendir berwarna merah kecoklatan. Hal ini menunjukkan adanya proses infeksi yang sudah
berjalan kronis.
Histopatologi

Gambar 4. Gambaran mikroskopis jaringan saluran empedu yang tidak terinfeksi


Fasciola gigantica (HE, 200X).
A. Struktur epitel dan kelenjar pada saluran empedu tampak utuh
B. Kelenjar mukus pada saluran empedu tampak bulat dan tidak mengalami
hyperplasia (Adriyati et.al 2015).

Pemeriksaan mikroskopik struktur jaringan saluran empedu sapi bali yang tidak terinfeksi
Fasciola spp selaput lendirnya terlihat pendek dan permukaannya halus. Tipe epitelnya silindris
sebaris. Lamina propria terdiri dari jaringan ikat longgar, makrofag dan fibroblas serta tidak
berbatas jelas dengan submukosa. Kelenjar tipe mukus dan serous juga dapat ditemukan pada
daerah lamina propria (Adriyati et.al 2015).
Gambar 5. Nekrosis pada mukosa saluran empedu ditunjukkan oleh tanda panah (HE, 100X)
(Adriyati et.al 2015).

Gambar 6. Perdarahan pada mukosa saluran empedu ditunjukkan oleh tanda panah (HE, 400X)
(Adriyati et.al 2015).
Gambar 7. Hiperplasia kelenjar saluran empedu ditunjukkan oleh tanda panah (HE, 100X).
Jumlah kelenjar mukus bertambah banyak dan bentuknya menjadi memanjang seperti vili.
(Adriyati et.al 2015).

Gambar 8 A. Sel makrofag terlihat bulat transparan. B. Sel fibroblast berbentuk lonjong (HE,
400X). (Adriyati et.al 2015).
Gambar 9 A. Kalsifikasi distrofik pada mukosa saluran empedu karena endapan kalsium (HE,
100X), B. Proliferasi kolagen sebagai komponen fibrosis, serabut kolagen terlihat jelas dan tebal.
(Adriyati et.al 2015).

Pada pemeriksaan mikroskopik jaringan saluran empedu sapi bali terinfeksi Fasciola gigantica
terlihat selaput lendirnya mengalami nekrosis, proliferasi kelenjar dengan struktur meninggi
menyerupai villi. Jaringan yang mengalami nekrosis, sel-sel penyusun jaringannya mengalami
kerusakan sehingga tidak menyerupai struktur asli sel tersebut. Jaringan yang mengalami
nekrosis juga dikelilingi oleh sel-sel radang karena sel-sel mati merupakan benda asing bagi
tubuh. Pada nekrosis yang meluas dapat ditemukan perdarahan disertai proliferasi makrofag dan
fibroblas. Perdarahan yang terlihat pada gambaran mikroskopik memperlihatkan sel-sel darah
merah berada di luar pembuluh darah tercat merah atau oranye pada pewarnaan hematoxylin-
eosin. Proliferasi sel radang ditandai dengan bertambahnya jumlah sel radang pada jaringan yang
terinfeksi Fasciola spp dibandingkan jaringan yang tidak terinfeksi. Proliferasi pada jaringan ikat
juga dapat ditemukan. Hal tersebut terlihat karena adanya proliferasi fibroblas. Proliferasi
fibroblas terjadi untuk membentuk serat kolagen pada perbaikan jaringan yang terinfeksi
Fasciola spp. (Adriyati et.al 2015).
Marinkovic (2013) menyatakan pada proliferasi jaringan ikat, terdapat pembuluh-
pembuluh darah yang menebal. Perubahan vaskular adalah konsekuensi dari flebitis traumatis
dan peningkatan akumulasi jaringan ikat. Kompensasi peningkatan aliran darah arteri
menyebabkan hiperplasia dan hipertrofi tunika media. Kemungkinan lain dari tidak adanya lesi
perdarahan adalah karena saluran empedu telah mengalami resistensi terhadap infeksi ulangan
dari Fasciola spp. Meeusen et al., (1995) melaporkan bahwa pada infeksi ulangan dari
fascioliosis jumlah eosinofil bertambah banyak terutama di daerah migrasi cacing. Resistensi
terjadi sebagai akibat adanya respon antibodi yang muncul lebih awal dari pada respon seluler.
Tanggap kebal akan hilang bila antigen penyebab infeksi dihilangkan (Tizard, 2004).
Saluran empedu merupakan lintasan bagi cacing hati untuk menuju kantong empedu.
Seiring dewasanya parasit, lesi menjadi makin jelas dan mengalami ulserasi (Sripa, 2007).
Cacing hati dewasa yang menempel pada dinding saluran empedu dalam jangka waktu lama
dapat menyebabkan rupturnya dinding pembuluh darah dan bila lesinya bertambah berat dapat
merangsang terjadinya kalsifikasi (Kurniasih, 2007). Nekrosis terjadi karena iritasi mekanik dari
duri tegumen Fasciola spp dalam jangka waktu lama. Sebaran nekrosis sangat ditentukan oleh
jumlah cacing dan zat toksik yang disekresikan (Loftollazadeh et al., 2008).
Hiperplasia juga ditemukan pada hampir seluruh sampel saluran empedu yang terinfeksi
Fasciola spp. Penyebab terjadinya hiperplasia pada epitelium adalah iritasi kronis yang diinduksi
keberadaan cacing Faciola sp. pada saluran empedu (Shaikh et al,2004). Hal ini merupakan
indikasi adanya trauma yang kronis sebagai akibat cacing terus-menerus menghisap darah di
tempat yang sama (Sukhdeo et al., 1988). Sedangkan untuk kalsifikasi distrofik hanya ditemukan
pada satu sampel saja. Kalsifikasi distrofik terjadi karena endapan kalsium ditemukan pada
daerah yang sebelumnya sudah mengalami degenerasi atau nekrosis (Marcos et al, 2007).
SIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Adriyati GAAP, Winaya. IBO, Berata. IK. 2015. Studi Histopatologi Mukosa Saluran Empedu
Sapi Bali yang Terinfeksi Cacing Hati (Fasciola Gigantica). 4(1) : 54-65.

Hambal M, Arman S, Agus D. 2013. Tingkat Kerentanan Fasciola gigantica pada Sapi dan
Kerbau di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Medika Veterinaria 7;52.
Jones TC, Hunt RD, King NW. 2006. Veterinary Pathology. Ed ke-6. USA: Blackwell
Publishing.
Kurniasih. 2007. Perkembangan Fasciolosis dan Pencegahannya di Indonesia. Yogyakarta: UPT
Perpustakaan Universitas Gajah Mada.
Lotfollazadeh S, Mohri M, Bahadori SR, Desfouly MM, and Tazik P. 2008. The Relationship
Between Normocytic Hypocromic Anemia an Iron Condentration Together with Enzyme
Activities in Cattle Infected with Fasciola hepatica. Journal of helminthology 82: 85-88.
Marcos LA, Terashima A, Lequia G, Ganales M, Espinoza JR, dan Gotozzo E. 2007. Hepatic
Fibrosis an Fassciola hepatica Infection in Cattle. Journal of Helminthology 81: 381-386.
Marincovic D, Kukolj V, Aleksic-Kovacevic S, Jonanovic M, and Knezivic M. 2013. The Role
of Hepatic Myofibroblast in Liver Cirrchosis in Fallow deer (Dama dama) Naturally
Infected with Giant Liver Fluke (Fascioloides magna). Bmc Vet Res 10.1186/1746-6148-
9-45.
Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono. 2005. Meningkatkan kesadaran dan
kepedulian masyarakat terhadap fasciolosis sebagai penyakit infeksius. Wartazoa15 :
143-154.
Meeusen E, Lee CS, Rickard MD, and Brandon MR. 1995. Cellular responses during liver fluke
infection in sheep and its evasion by the parasite. Parasite Immunol 17: 37-45.
Mendes EA, Vasconcelos AC, Lima WDS. 2012. Histopathology of fasciola hepatica infection
in meriones unguiculatus. Revista de patologia tropical. 41 (1): 55-62.
Nguyen TGT. 2012. Zoonotic fasciolosis in Vietnam:molecular identification and geographical
distribution. (Disesrtasi). Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gent.
Shaikh AA, Bilqees FF, and Khan MM. 2004. Bile Duct Hyperplasia an Assosiated
Abnormalities in Buffaloes Infected with Fasciola gigantica. Pakistan J. Zool 36(3):
231-237.
Sripa B, Kaewkes S, Sithithaworn P, Mairiang E, Laha T, Smout M, Pairojkul C, Bhudhisawardi
V, Tesana S, Thinkamrop B, Bethony JM, Loukas A, and Brindley PJ. 2007. Liver Fluke
Induces Cholangiocarsinoma. PLoS Med 4(7).
Sukhdeo MVK, Sangster NC, and Mettrick DF. 1988. Permanent Feeding Sites Of Adult F.
Hepatica In Rabbits. Int. J Parasitol 18: 509-512.
Suweta IGP. 1984. The situation of liver fluke infestation in cattle in bali. Progress report IFS.
Udayana University. Hal 349-351.
Tarmudji, Ginting N. 1983. Derajat kerusakan hati akibat fasciolosis pada sapi-sapi Friesian
holstein betina di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Balai Penelitian Penyakit Hewan.
Bogor. Penyakit Hewan 15(25) : 83-85.
Tizard IR. 2004. Veterinary Immunology: An Introduction. 6thed. USA, Pennsylvania: W.B.
Saunders.
Valero MA, Santana M, Morales M, Hernandes JL, and Mas-Coma S. 2003. Risk of Gallstone
Disease in Advanced Chronic Phase of Fasciolasis: An Experimental Study in a Rat
Model. Spain: Universidad de Valencia.

Anda mungkin juga menyukai