Anda di halaman 1dari 10

i

MAKALAH UAS
MK. PATOGENESIS PENYAKIT (SVB563)

DIAGNOSIS OF FELINE INFECTIOUS PERITONITIS


BY IMMUNOHISTOCHEMISTRY AND
HISTOPATHOLOGY METHOD

Disusun oleh:
RISKA ASRIA SA’ADATUR RAHMI B3501202039

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIS HEWAN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021

i
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 1
METODE 2
HASIL DAN PEMBAHASAN 2
SIMPULAN 7
DAFTAR PUSTAKA 8

i
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Feline infectious peritonitis merupakan penyakit virus yang sangat
menular pada kucing, umunya selalu menyebabkan kematian. Penyakit ini
disebabkan oleh feline corona virus (FCoV) dari genus Alphacorona virus, family
coronaviridae. Ada dua tipe feline corona virus (FCoV) yaitu feline enteric
coronavirus (FECV) dan feline infectious peritonitis (FIP). Virus ini dapat juga
menyerang anjing, babi, bahkan manusia. Penyakit ini merupakan penyakit virus
sistemik dan patogenesisnya belum sepenuhnya diketahui (Kipar dan Meli, 2014).
Feline enteric coronavirus (FECV) biasanya menginfeksi bagian sel epitel
usus dan dikeluarkan melalui kotoran, air liur. Virus FECV dapat bertahan lama di
lingkungan ± 6 minggu. Litter box atau debu yang terkontaminasi sangat berperan
dalam penyebaran virus ini. Kucing yang terinfeksi FECV tetap terlihat sehat,
tidak menunjukkan gejala sakit apapun. Namun dalam beberapa kasus, kucing
yang terinfeksi FECV akhirnya akan mengalami infeksi FIPV karena FECV
bermutasi menjadi FIPV. Sedangkan Feline infectious peritonitis virus (FIPV)
dibagi menjadi dua yaitu FIP basah (wet FIP atau effusive form) dan FIP kering
(dry FIP atau noneffusive form). Tipe basah menyebabkan sekitar 70-80% dari
keseluruhan kasus penyakit ini dan lebih ganas dari tipe kering. FIP biasanya
menyerang kucing umur 6 bulan hingga 2 tahun. Tetapi virus yang menyebabkan
FIP pada kucing, tidak dapat menyerang manusia. Feline infectious peritonitis
juga dikenal dengan radang selaput rongga perut.
Kejadian FIP efusi ataupun non efusi tergantung respon dari tubuh inang,
telah dilaporkan bahwa FIP non efusi merupakan bentuk kronis yang berkembang
berminggu-minggu dari penyakit ini,, sedangkan FIP efusi merupakan bentuk akut
berkembang selama 2-14 hari (Ciftci et al., 2018).
Penularan FIP umumnya secara per oral. Selanjutnya, Feline corona virus
bereplikasi pada sel-sel enterosit beberapa bagian usus. Virus menginfeksi dan
bereplikasi pada sel-sel makrofag regional pada jaringan usus kemudian
bersirkulasi dalam peredaran darah serta menginfeksi sel-sel monosit. Kejadian
FIP memiliki presentase morbiditas yang rendah serta memiliki mortalitas yang
tinggi. Kucing penderita FIP menunjukkan gejala klinis umum seperti; demam,
kurang nafsu makan, kelemahan, penurunan berat badan, inkoordinasi, serta
ascites. Namun, muntah, diare serta ikterus juga sering ditemukan. Tidak ada
pengobatan untuk FIP dan jarang penderita FIP yang bertahan hidup, tetapi terapi
support dapat diberikan. Sebagian besar kucing tidak menunjukkan gejala yang
nyata namun virus tetap berkembang di dalam tubuh (Simon et al., 2005).
Diagnosis awal untuk penyakit ini melalui gejala klinis, temuan klinis
agak sulit sehingga diperlukan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia.
Kedua pemeriksaan tersebut merupakan gold standar untuk penyakit FIP (Tasker,
2018).

Tujuan
- untuk mengetahui pathogenesis penyakit Feline infectious peritonitis
(FIP).
- Untuk mengetahui diagnosis penyakit Feline infectious peritonitis
- Untuk mengetahui histopatologi dan imunohistokimia penyakit Feline
ionfectious peritonitis

METODE

Kucing yang digunakan yaitu kucing yang menunjukkan gejala klinis FIP
dan kucing tersebut mati. Pertama dilakukan pemeriksaan cadaver dan
diperhatikan semua perubahan yang terlihat. Kemudian dilakukan pengambilan
sampel serta dimasukkan ke dalam formaldehid seperti, paru-paru, hati, otak,
limpa, ginjal, usus, dan kelenjar getah bening untuk pemeriksaan histopatologi
dan imunohistokimia.
Selanjutnya dibuat preparat histopat dengan pewarnaan hematoksilin-
eosin dan metyl green pyronin (MGP) untuk mengidentifikasi plasma sel pada
jaringan. Pemeriksaan imunohistokimia (IHC) dilakukan menggunakan antibody
primer spesifik FIVPV (FIPV3-70, sc-65653, monoclonal.1:100) pada bagian
jaringan yang dipilih.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Temuan makroskopis, A. Pembesaran perut yang parah, B. Cairan


yang mengandung gumpalan fibrin di perut, C. Struktur nodular berwarna kuning-
putih pada serosa usus, D. Fokal nekrotik warna abu-abu-putih menyebar di
parenkim

2
Pada pemeriksaan makroskopik, cairan kira-kira satu liter warna kuning
dengan konsistensi putih telur mengandung gumpalan putih di rongga perut
ditentukan (Gambar 1A-B). Lapisan serosa dari semua bagian usus ditutupi
dengan eksudat fibrinous. Selain itu, nodul berwarna kuning-putih, yang
berukuran sekitar 0,5 cm dari ukuran kepala peniti diamati pada serosa usus
(Gambar 1C). Demikian pula, serositis fibrinosa tampak granular terdeteksi di
peritoneum. Penebalan tepi hati, warna gelap dan plak fibrin terdeteksi.
Ditemukan difus fokus nekrotik berwarna abu-abu-putih menyebar di parenkim
pada potongan hati (Gambar 1D). Paru-paru ditemukan bervolume. Sedikit
pertumbuhan diamati di ginjal dan serat fibrin yang mudah dipisahkan terdeteksi
di kapsul. Tidak ada temuan makroskopik di otak, mata, dan organ lainnya.

Gambar 2. Temuan pemeriksaan histopatologi. A: Perihepatitis fibrosa dan fokal


nekrotik menyebar ke parenkim hati, HE, 10X, B: Fokal granulomatosa tanpa
nekrosis di hati, HE, 20X, C: Pyogranuloma perivaskular di hati, HE, 10X, D:
Banyak sel plasma dengan sitoplasma merah di serosa usus, MGP, 20X.

Pada pemeriksaan histopatologi, perihepatitis fibrinosa terdiri dari fibrin


dan agregat sel inflamasi lokal diamati dalam kapsul hati (Gambar 2A). Fokal
granulomatosa dengan ukuran berbeda, dengan atau tanpa nekrosis, ditemukan di
parenkim. Diamati bahwa fokal parenkim tanpa nekrosis terdiri dari makrofag,
limfosit, infiltrasi sel plasma (Gambar 2B). Pada granuloma nekrotik, ditemukan
koagulasi yang besar daerah nekrosis dengan makrofag kariorhectic dan
neutrophil granulosit (Gambar 2C).
Perdarahan terlihat di sekitar pyogranuloma. Demikian pula bahwa
pyogranuloma perivaskular terbentuk di sekitar vena sentral di hati (Gambar 2C).
Serta adanya infiltrasi sel mononuclear di area portal. Selanjutnya, degenerasi
hidropik dan kolestasis intrahepatik diamati dalam hepatosit. Pada bagian usus

3
tejadi degenerasi dan deskuamasi di lamina epitelis, serta edema dan infiltrasi sel
mononuklear di lamina propria. Eksudat fibrin padat dan infiltrasi sel inflamasi
diamati di tunica serosa, mulai dari yang kecil dan vena berukuran sedang yang
terlihat menyebar ke tunika muskularis. Selain itu, pada bagian serosa terlihat
adanya makrofag, limfosit, dan infiltrasi sel plasma (Gambar 3).
Dalam pewarnaan MGP, beberapa sel-sel inflamasi pada lesi di hati dan
usus ditemukan menjadi sel plasma (Gambar 2D). penebalan kapsul karena
eksudasi fibrin ringan, degenerasi hidropik di epitel tubulus dan cairan kaya
protein di tubulus lumen terdeteksi di ginjal tetapi tidak ada lesi granulomatosa
diamati. Penebalan pada septum interalveolar karena terjadinya infiltrasi sel
mononuklear dan edema pada alveolus.

Gambar 3. Temuan pemeriksaan histopatologi di usus (jejenum). A: Penebalan


karena eksudat fibrinous dan infiltrasi sel mononuklear di tunika muskularis
(panah merah) dan granuloma nekrotik (panah hitam) di tunika serosa, HE, 4X, B:
Infiltrasi sel mononuklear (panah merah) dan nodul non-nekrotik di serosa (panah
hitam), HE, 4X

4
Gambar 4. Temuan pemeriksaan imunohistokimia. A: Imunoreaktivitas terhadap
antibodi FIPV dalam makrofag pada parenkim tanpa fokal nekrosis di hati, IHC,
DAB chromogen, Mayer hematoxylin, 40X, B: Imunoreaktivitas di makrofag
membatasi pyogranuloma nekrotik di hati, IHC, DAB chromogen, Mayer
hematoxylin, 20X, C: Imunoreaktivitas dalam sel mononuklear di dalam serosa
usus, IHC, DAB chromogen, Mayer hematoxylin, 20X, D: Imunoreaktivitas di sel
plasma di serosa usus, IHC, DAB chromogen, Mayer hematoxylin, 20X.

Pemeriksaan imunohistokimia mengungkapkan antigen virus dalam


makrofag dalam parenkim tanpa fokal nekrosis di hati (Gambar 4A). Di sisi lain,
imunoreaktivitas positif diamati pada makrofag yang membatasi nekrotik
piogranuloma (Gambar 4B). Demikian pula, pewarnaan positif adalah diperoleh
dalam sel-sel inflamasi di daerah portal. Tidak ada reaksi imun ditemukan pada
lapisan epitel di usus.
Imunoreaktivitas ini terbatas hanya pada makrofag, limfosit, dan sel
plasma pada lesi di lapisan serosa usus, serta pada makrofag lamina propria dan
tidak pada eritrosit. Pada pemeriksaan IHK tidak ditemukan adanya reaksi imun
pada ginjal dan jaringan lainnya. Reaksi imun paling kuat terdapat pada sel hati
dan usus karena disana terjadi inflamasi yang sangat banyak.
FIP merupakan penyakit umum yang sering terjadi pada kucing, namun
sering tidak terdiagnosa. Tidak adanya diagnostic langsung untuk mendiagnosa
penyakit ini karena ketidakpastian dari virus dan interaksi host dan penyakit
(Pedersen, 2014).
Dalam penelitian ini anorexia, muntah dan diare secara klinis diamati dan
dievaluasi sebagai gastroenteritis klasik namun tidak spesifik untuk penyakit
FIP. Meskipun tidak dievaluasi dalam penelitian ini, telah dilaporkan bahwa
parameter seperti neutrofili, limfopenia, trombositopenia, anemia,
hiperbilirubinemia dan hipergamaglobulenemia serta parameter klinis seperti

5
aktivitas enzim hati: ureum dan kreatinin tidak patognomonik untuk FIP
(Hartmann et a., 2003).
Adanya temuan postmortem yaitu pembesaran abdomen serta adanya
cairan berwa kuning dengan gumpalan putih pada rongga peritoneum dianggap
sebagai gejala klinis paling mencolok pada penyakit FIP (Pedersen, 2009). Efusi
juga dapat terjadi di jantung dan hati karena adanya gangguan limfatik. Adanya
akumulasi cairan di rongga abdomen tidak cukup mendiagnosis penyakit ini.
Dilaporkan bahwa secara makroskopis terlihat peritoneum, usus, lapisan serosa
hati ditutupi oleh eksudat fibrinous serta struktur granular berwarna abu-abu lebih
banyak terlihat pada FIP efusi dibandingkan FIP non efusi (Pedersen, 2009).
Pada infeksi eksperimental telah diinformasikan bahwa betuk non efusi
selalu menguki bentuk efusi jangka pendek (Pedersen, 2014). Dalam bentuk
nonefusi dilaporkan bahwa diikuti dengan adanya gejala saraf pusat dan gangguan
mata sebanyak 60% kasus. Lesi FIP nonefusi menyebar dari permukaan serosa
atau pleura ke parenkim organ. Secara mikroskopis ditekankan bahwa bentuk
nonefusi ditandai dengan granuloma khas sedangkan FIP efusi ditandai dengan
pyogranuloma. Terjadinya kematian pada hewan yang terinfeksi setalah
pembengkakan abdomen dan eksudasi cairan kira-kira satu minggu setelah
timbulnya gejala awal. Kecendurangan lesi di hati akan menyebar ke organ
parenkim dan secara mikroskopis adanya granuloma dan pyogranuloma tipikal
menandakan bahwa penyakit telah telah dimulai dari bentuk nonefusi dan menjadi
efusi walaupun tidak ada gejala saraf dan gangguan pada mata.
Secara histopatologi adanya multifocal inflamasi pada lesi, infiltrasi sel ke
granuloma bahkan adanya lesi yang lebih besar karena gabungan dari beberapa
lesi yang terbentuk pada hati. Selanjutnya adanya granuloma nekrotik di sekitar
pembuluh darah. Adanya akumulasi limfoplasmasitik pada area portal yang sangat
signifikan. Teridentifikasinya makrofag kariohektik serta neutrophil disekitar
makrofag, limfosit, sel plasma dan sejumlah kecil granulosit dan neutrophil. Pada
parenkim granuloma tanpa nekrosis adanya makrofag pada bagian cental dan
limfosit pada sel plasma disekitarnya.
Telah dilaporkan bahwa pyogranuloma dibentuk oleh neutrophil dan sel-
sel inflamasi lainnya pada FIP efusi. Sebaliknya makrofag yang dipenuhi antigen
dalam granuloma dengan adanya limfosit (kebanyakan B-limfosit) dan sel plasma
namun tidak ada neutrophil dan nekrosis ini merupakan ciri khas dari FIP
nonefusi (Pedersen, 2009). Berdasarkan hal tersebut, keberadaan kedua jenis
granuloma terutama pada organ hati dievaluasi sebagai bentuk campuran dari FIP.
Secara imunologis dinyatakan bahwa jika respon system imun tubuh
terhadap antigen virus sebagian besar bersifat humoral maka ini tergolong FIP
efusi dan sebaliknya jika imunitas seluler lemah ini termasuk FIP non efusi. Pada
penelitian ini, pewarnaan metyl green pyronin berfungsi untuk melihat
pembetukan granuloma tersebut merupakan sel plasma. Terlihat sel plasma
berkumpul pada bagian vena portal dan lapisan serosa usus. Selain itu sel lain
sangat sedikit pada bagian tersebut sehingga mengidentifikasikan bahwa
kekebalan humoral lebih berperan daripada kekebalan seluler dalam peradangan
pada kasus FIP.
Meskipun temuan histopatologi sangat penting pada kasus FIP, konfirmasi
IHK juga sangat direkomendasikan (Kiper dan Meli 2014). Metode IHK 100%
telah dilaporkan bahwa sangat bagus mendiagnosis kedua bentuk FIP dengan

6
mendeteksi antigen FCoV dalam sitoplasma makrofag (Hartmann et al., 2003).
Dalam kasus yang disajikan bahwa positif imunoreaktivitas di plasma sel baik di
granuloma nekrosis ataupun nonnekrosis. Dalam penelitian sebelumnya
menggunanakan 488 kucing yang didiagnosa FIP dan mendiagnosa secara
histopatologi dan IHK dengan imunofluroesens atau pewarnan nonhistokimia
(Hartmann et al., 2003).
Temuan IHK penting lainnya dalam penelitian ini adalah adanya
imunoreaktivitas dalam plasma sel yang merupakan jenis sel utama yang
berkumpul di granuloma dan perivascular (Kipar et al., 1998). Keberadaan sel
plasma diisi dengan antibody khusus untuk virus corona yang merupakan hasil
sintesis secara terus menerus terhadap agen. Imunitas humoral berperan dominan
dalam kasus ini kemudian berkontribusi pada reaksi hipersensitifitas tipe III yang
terbentuk untuk melawan virus dan mengarahkan pembentukan lesi FIP (Kipar
dan Mel, 2014). Tidak adanya imunoreaktivitas dalam enterosit di usus dapat
menunjukkan bahwa terjadinya mutasi FECV menjadi FIPV, yang menunjukkan
tropisme terhadap makrofag/monosit tidak di dalam enterosit.
Dalam sebuah penelitian PCR juga digunakan untuk mendiagnosis
penyakit FIP (Baydar et al., 2014). Namun penggunaal RT-PCR telah dilaporkan
bahwa RT-PCR bukan alat yang handal untuk mendiagnosis penyakit ini (Tasker,
2018). Karena amplifikasi materi genetic virus terlalu sedikit sehingga jika
dilakukan dengan menggunakan PCR maka materi genetic virus tidak akan
terdekteksi (Can-sahna et al., 2007). Bahkan sudah dilaporkan bahwa tes ini juga
tidak bisa membedakan antara FECV dan FIPV (Aitug, 2008).
Dalam studi lain, prevalensi virus corona dengan deteksi antibodi pada
kucing dapat menggunakan Metode ELISA (Pratelli et al 2009). Namun, telah
dilaporkan bahwa banyak kucing yang sehat secara klinis biasanya memiliki titer
antibodi FCoV tinggi, sedangkan 10% kucing dengan FIP memiliki
seronegatif`mengkonfirmasi bahwa kucing terinfeksi FIP (Aytug 2008).

SIMPULAN
Penyakit FIP merupakan penyakit yang memiliki tingkat mortalitas yang
tinggi. Penyebab dari penyakit ini yaitu feline corona virus, diagnosa dapat
dilakukan dengan periksaan histopatologi, IHK, ELISA, RT-PCR. Gold standar
untuk pemeriksaan FIP adalah imunohistokimia.

7
DAFTAR PUSTAKA

Aytug N, 2008. Infectious of feline 1: A challenging diagnosis; feline infectious


peritonitis. J Res Vet Med, 27(1-2), 11-17.
Baydar E, Erözsüz Y, Timurkan MO, Eroksuz H, 2014. Feline infectious
peritonitis with distinct ocular involvement in a cat in turkey. Kafkas Univ
Vet Fak Derg, 20(6), 961-965.
Can-Şahna K, Ataseven VS, Pınar D, Oğuzoğlu TÇ, 2007. The detection of feline
coronaviruses in blood samples from cats by mrna rt-pcr. J Feline Med
Surg, 9(5), 369-372.
Ciftci MK, Ortatatli M, Erer H, Hatipoglu F, et al., 2018. Veteriner sistemik
patoloji 1. Güler Ofset, Konya, Turkey.
Hartmann K, Binder C, Hirschberger J, Cole D, et al., 2003. Comparison of
different tests to diagnose feline infectious peritonitis. J Vet Intern Med,
17(6), 781-790.
Kipar A, Bellmann S, Kremendahl J, Kohler K, et al., 1998. Cellular composition,
coronavirus antigen expression and production of specific antibodies in
lesions in feline infectious peritonitis. Vet pathol, 65(2-4), 243-257.
Kipar, A. dan Meli, M.L. 2014. Feline infectious peritonitis: still an enigma. Vet
Pathol. 51(2): 502-526.
Pedersen NC, 2009. A review of feline infectious peritonitis virus infection: 1963-
2008. J Feline Med Surg, 11(4), 225- 258.
Tasker S, 2018. Diagnosis of feline infectious peritonitis: Update on evidence
supporting available tests. J Feline Med Surg, 20(3), 228-243.

Anda mungkin juga menyukai