Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

PESERTA PIDI
WAHANA RSU MITRA MEDIKA AMPLAS BATCH II
GROUP 22 MEI 2021-21 SEPTEMBER 2021

PERITONITIS

Disusun Oleh :
dr. Yohanna Fransisca Sinuhaji

Pembimbing :
dr. Hendry, M.KM

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM MITRA MEDIKA AMPLAS
KOTA MEDAN
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Tujuan 2

1.3 Manfaat 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 Anatomi Peritoneum 3

2.2 Fisiologi Peritoneum 4

2.3 Peritonitis 5

2.3.1 Definisi Peritonitis 5

2.3.2 Etiologi Peritonitis 5

2.3.3 Klasifikasi Peritonitis 6

2.3.4 Patofisiologi Peritonitis 8

2.3.5 Gejala Klinis Peritonitis 9

2.3.6 Diagnosis Peritonitis 10

2.3.7 Diagnosis Banding Peritonitis 11

2.3.8 Tatalaksana Peritonitis 12

2.3.9 Prognosis Peritonitis 14

2.3.10 Komplikasi Peritonitis 15

2.4 Apendiks 15

2.4.1 Anatomi Apendiks 15


2.4.2 Fisiologi Apendiks 17

i
2.5 Apendisitis 17

2.5.1 Definisi Apendisitis

17
2.5.2 Patofisiologi Apendisitis 17
2.5.3 Determinan Apendisitis 18
2.5.4 Klasifikasi Apendisitis 20
2.5.4.1 Apendisitis Akut 20
2.5.4.2 Apendisitis Infiltrat 21
2.5.4.3 Apendisitis Abses 21
2.5.4.4 Apendisitis Perforasi 21
2.5.4.5 Apendisitis Kronis 22
2.5.5 Diagnosis Apendisitis 22
2.5.5.1 Manifestasi Klinis 22
2.5.5.2 Pemeriksaan Fisik 23
2.5.5.3 Pemeriksaan Penunjang 23
2.5.5.4 Sistem Skoring 25
2.4.6 Diagnosis Banding Apendisitis 26
24.7 Komplikasi Apendisitis 27

BAB III STATUS PASIEN 29

BAB IV FOLLOW UP 34

BAB V DISKUSI 42

BAB VI KESIMPULAN 48

DAFTAR PUSTAKA 49

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi
aseptik pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difus dan riwayat akut atau kronik.1
Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab tersering dari akut abdomen.
Akut abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang dapat terjadi karena masalah
bedah dan non bedah. Peritonitis secara umum adalah penyebab kegawatan abdomen
yang disebabkan oleh bedah. Peritonitis tersebut disebabkan akibat suatu proses dari
luar maupun dalam abdomen. Proses dari luar misalnya karena suatu trauma,
sedangkan proses dari dalam misal karena apendisitis perforasi.2
Menurut survei World Health Organization (WHO) pada tahun 2005
jumlah kasus peritonitis didunia adalah 5,9 juta kasus. Di Republik Demokrasi
Kongo, periode 1 Oktober –10 Desember 2004, telah terjadi 615 kasus peritonitis
berat (dengan atau tanpa perforasi) termasuk 134 kematian (tingkat fasilitas kasus,
21,8%) yang merupakan komplikasi dari demam tifoid.3
Di Indonesia, ditemukan kasus peritonitis dengan jumlah 98 orang di RSUP
Dr. M. Djamil Padang, dengan prevalensi peritonitis 68,4% pada laki-laki dan angka
tersebut lebih tinggi dibandingkan angka kejadian peritonitis pada perempuan yaitu
sebesar 31,6%. Kelompok usia terbanyak yang mengalami peritonitis adalah 10-
19 tahun sebesar 24,5% yang diikuti oleh usia 20-29 tahun sebesar 23,5 %.
Didapati juga bahwa peritonitis akibat perforasi apendiks merupakan jenis
peritonitis yang paling sering terjadi dengan prevalensi 64,3% dari seluruh kasus
peritonitis. Lama rawatan terbanyak pada 4-7 hari sebesar 45,9% dengan frekuensi
pasien dalam kondisi keluar sebagian besar dalam keadaan hidup.4

1
Prognosis buruk sering dijumpai akibat kondisi pasien dengan disfungsi
organ berat karena komplikasi penyebabnya, berupa kegagalan kontrol sumber
peritonitis

2
2

(terlambatnya pembedahan), terapi antibiotika yang tidak adekuat, serta


infeksi nosokomial. Komplikasi peritonitis berupa gangguan pembekuan darah,
Acute Respiratory Distress Syndrome, dan sepsis yang dapat menyebabkan syok
dan kegagalan banyak organ hingga kematian.4

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menguraikan teori-teori
tentang peritonitis mulai dari definisi sampai prognosisnya. Penyusunan penulisan
laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan Program
Internsip Dokter Indonesia.

1.3 Manfaat
Adapun manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang peritonitis.
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai peritonitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Peritoneum


Peritoneum terdiri dari satu lembar epitel simple squamous yang berasal dari
mesodermal, disebut mesothelium, terletak pada stroma jaringan ikat tipis. Luas
permukaannya 1,0 sampai 1,7 m2, kira-kira sama dengan luas permukaan tubuh total.
Pada pria, rongga peritoneum tertutup rapat, sedangkan pada wanita, rongga
peritoneum terbuka ke luar melalui ostia tuba falopi.5
Membran peritoneal dibagi menjadi komponen parietal dan viseral.
Peritoneum parietal menutupi permukaan dinding perut anterior, lateral, dan posterior
serta permukaan inferior diafragma dan panggul. Peritoneum viseral menutupi
sebagian besar permukaan organ intraperitoneal (yaitu lambung, jejunum, ileum,
kolon transversal, hati, dan limpa) dan aspek anterior organ retroperitoneal (yaitu
duodenum, kolon kiri dan kanan, pancreas, ginjal, dan kelenjar adrenal). 5
Rongga peritoneum dibagi lagi menjadi kompartemen atau ruang yang saling
berhubungan oleh 11 ligamen dan mesenterium. Ligamen atau mesenterium
peritoneal termasuk ligamen koroner, gastrohepatik, hepatoduodenal, falciform,
gastrocolic, duodenocolic, gastrosplenic, splenorenal, dan frenikokolik dan
mesokolon transversal dan mesenterium usus halus. Struktur ini membagi perut
menjadi sembilan ruang potensial: subphrenic kanan dan kiri, subhepatik,
supramesenterika dan inframesenterika, sulcus paracolic kanan dan kiri, panggul, dan
ruang yang lebih kecil.5
Ligamen, mesenterium, dan ruang peritoneum ini mengarahkan sirkulasi
cairan di rongga peritoneum sehingga berguna dalam memprediksi rute penyebaran
penyakit menular dan ganas. Misalnya, perforasi duodenum akibat penyakit tukak
lambung dapat menyebabkan pergerakan cairan (dan perkembangan abses) di ruang
subhepatik, saluran paracolic kanan, dan panggul. Pasokan darah ke peritoneum
visceral berasal dari pembuluh darah splanikus, sedangkan peritoneum parietal
disuplai oleh cabang pembuluh interkostalis, subkostal, lumbal, dan iliaka. 5

3
4

Gambar 2.1 Anatomi Peritoneum5

2.2 Fisiologi Peritoneum


Peritoneum adalah membran dua arah dan semipermeabel yang mengontrol
jumlah cairan di dalam rongga peritoneum, mendorong sekuestrasi dan pembuangan
bakteri dari rongga peritoneum, dan memfasilitasi migrasi sel inflamasi dari
mikrovaskular ke dalam rongga peritoneum. Biasanya, rongga peritoneum berisi
kurang dari 100 mL cairan serosa steril. Mikrovili pada permukaan apikal
mesothelium peritoneum secara nyata meningkatkan luas permukaan dan mendorong
penyerapan cairan yang cepat dari rongga peritoneum ke dalam limfatik dan portal
serta sirkulasi sistemik. Jumlah cairan di dalam rongga peritoneum dapat meningkat
hingga beberapa liter pada berbagai penyakit seperti sirosis, sindrom nefrotik, dan
karsinoma peritoneal.5
Sirkulasi cairan di dalam rongga peritoneum didorong sebagian oleh
pergerakan diafragma. Pori-pori antar sel di peritoneum yang menutupi permukaan
inferior diafragma (disebut stomata) berkomunikasi dengan kumpulan limfatik di
5

dalam diafragma. Aliran getah bening dari saluran limfatik diafragma ini melalui
limfatik subpleural ke kelenjar getah bening regional dan akhirnya ke saluran toraks.
Relaksasi diafragma selama pernafasan membuka stomata, dan tekanan intratoraks
negatif menarik cairan dan partikel, termasuk bakteri, ke dalam stomata. Kontraksi
diafragma selama inspirasi mendorong getah bening melalui saluran limfatik
mediastinum ke dalam saluran toraks.5
Peritoneum dan rongga peritoneum merespons infeksi dengan lima cara:
1. Bakteri dengan cepat dikeluarkan dari rongga peritoneum melalui stomata
diafragma dan limfatik.
2. Makrofag peritoneal melepaskan mediator proinflamasi yang mendorong migrasi
leukosit ke dalam rongga peritoneum dari mikrovaskular di sekitarnya.
3. Degranulasi sel mast peritoneal melepaskan histamin dan produk vasoaktif
lainnya, menyebabkan vasodilatasi lokal dan ekstravasasi cairan kaya protein
yang mengandung komplemen dan imunoglobulin ke dalam ruang peritoneal.
4. Protein dalam cairan peritoneal membuat bakteri opsonisasi, yang bersama
dengan aktivasi kaskade komplemen, mendorong fagositosis dan destruksi
bakteri yang dimediasi oleh neutrofil dan makrofag.
5. Bakteri berada dalam matriks fibrin, sehingga mendorong pembentukan abses
dan membatasi penyebaran infeksi secara umum.5

2.3. Peritonitis
2.3.1 Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum dan rongga peritoneum dan
paling sering disebabkan oleh infeksi lokal atau umum. Peritonitis primer terjadi
akibat infeksi bakterial, klamidia, jamur, atau mikobakteri tanpa adanya perforasi
saluran cerna, sedangkan peritonitis sekunder terjadi pada keadaan perforasi saluran
cerna. Penyebab yang sering dari peritonitis bakterial sekunder termasuk penyakit
tukak lambung, apendisitis akut, divertikulitis kolon, dan penyakit radang panggul.5
6

2.3.2 Etiologi Peritonitis


Agen infeksius masuk ke rongga peritoneum melalui viskus perforasi, luka
tembus dinding perut, atau pemasangan benda asing yang sedang atau terinfeksi
(misalnya, kateter dialisis peritoneal kronis). Kondisi yang paling sering
mengakibatkan masuknya bakteri ke dalam peritoneum adalah apendiks yang
mengalami perforasi, pecah, perforasi divertikulum, perforasi tukak lambung, hernia
inkarserata, gangrene kandung empedu, volvulus, infark usus, kanker, penyakit
radang usus, atau obstruksi usus. 6
Bakteri peritonitis juga bisa terjadi tanpa adanya sumber bakteri
intraperitoneal (peritonitis bakteri primer atau spontan). Kondisi ini terjadi dalam
kondisi asites dan sirosis hati pada 90% kasus, biasanya pada pasien dengan asites
dengan konsentrasi protein rendah (<1 g / L). 6
Peritonitis aseptik dapat disebabkan oleh iritasi peritoneum yang abnormal
adanya cairan fisiologis (mis., cairan lambung, empedu, enzim pankreas, darah, atau
urin) atau benda asing yang steril (misalnya spons bedah atau instrumen, pati dari
sarung tangan bedah) di rongga peritoneum atau sebagai komplikasi penyakit
sistemik langka seperti lupus erythematosus dan porfiria.6

2.3.3. Klasifikasi Peritonitis


Peritonitis berdasarkan luas infeksinya dibagi menjadi peritonitis
lokalisata dan peritonitis generalisata(Skipworth & Fearon, 2005). Peritonitis
berdasarkan etiloginya dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis primer,
peritonitis sekunder dan peritonitis tersier.4

1. Peritonitis primer
Peritonitis primer, sering juga disebut sebagai spontaneous bacterial
peritonitis, kemungkinan tidak memiliki penyebab khusus tetapi digambarkan
sebagai kelompok penyakit yang memiliki penyebab berbeda-beda tetapi
merupakan infeksi pada rongga peritoneum tanpa ada sumber yang jelas.
Penyebaran patogen dari peritonitis primer baik secara hematogen maupun
7

limfatik. Penderita sirosis hepatis dan asites memiliki faktor risiko untuk
terjadinya peritonitis primer.8

2. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder, yang juga disebut sebagai surgical peritonitis,
merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi. Peritonitis sekunder
disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang berasal dari traktus
gastrointestinal (Japanesa, Zahari, & Rusjdi, 2016). Peritonitis sekunder terjadi
akibat adanya proses inflamasi pada rongga peritoneal yang bisa disebabkan
oleh inflamasi, perforasi, ataupun gangrene dari struktur intraperitoneum
maupun retroperitoneum. Perforasi akibat ulkus peptikum, apendisitis,
divertikulitis, kolesistitis akut, pankreatitis dan komplikasi pasca operasi
merupakan beberapa penyebab tersering dari peritonitis sekunder. Penyebab non-
bakterial lainnya termasuk bocornya darah ke dalam rongga peritoneum akibat
robekan pada kehamilan di tuba fallopi, kista ovarian, atau aneurisma yang
menyebabkan rangsang nyeri innervasi pada peritoneum yang menyebabkan
penderita merasakan nyeri abdomen.7

Tabel 2.1 Kondisi yang memungkinkan terjadinya peritonitis sekunder


bakteialis.7
8

3. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier terjadi saat gejala klinis peritonitis dan tanda-tanda
sistemik sepsis menetap setelah mendapat pengobatan yang tidak adekuat untuk
peritonitis primer atau sekunder. Peritonitis tersier disebabkan iritan langsung
yang sering terjadi pada pasien immunocompromised dan orang-orang dengan
kondisi komorbid.4

2.3.4 Patofisiologi Peritonitis


Patofisiologi peritonitis terjadi melalui 3 fase, yaitu :
a. Fase I
Fase I melibatkan pembuangan kontaminan secara cepat dari rongga
peritoneum ke dalam sirkulasi sistemik. Hal ini terjadi karena cairan peritoneal yang
terkontaminasi bergerak ke arah sefal sebagai respons terhadap gradien tekanan yang
dihasilkan oleh diafragma. Cairan melewati stomata di peritoneum diafragma dan
diserap ke dalam kumpulan limfatik. Getah bening mengalir ke saluran limfatik
utama melalui nodus substernal. Hasil septikemia sebagian besar melibatkan anaerob
fakultatif Gram-negatif dan dikaitkan dengan morbiditas tinggi. 8
b. Fase II
Fase II melibatkan interaksi sinergis antara aerob dan anaerob saat mereka
bertemu dengan komplemen inang dan fagosit. Aktivasi komplemen adalah kejadian
lini pertama pada peritonitis dan melibatkan imunitas bawaan dan didapat; aktivasi
terjadi terutama oleh jalur klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang mendukung.
Surfaktan fosfolipid yang diproduksi oleh sel mesothelial peritoneal bekerja secara
sinergis dengan komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Sel
mesotel peritoneal juga merupakan sekretor kuat dari mediator pro-inflamasi,
termasuk interleukin-6, dan interleukin-8, monocyte chemoattractant protein-1,
protein inflamasi makrofag-1α dan tumor nekrosis factor-α. Oleh karena itu, sel
mesothelial peritoneal memainkan peran sentral dalam jalur pensinyalan sel yang
mengarah ke perekrutan fagosit ke rongga peritoneum dan peningkatan regulasi sel
mast dan fibroblas di submesothelium. 8
9

c. Tahap III
Tahap III adalah upaya pertahanan tuan rumah untuk melokalisasi infeksi
terutama melalui produksi eksudat fibrinosa yang menjebak mikroba di dalam
matriksnya dan mendorong mekanisme efek fagositik lokal. Ini juga berfungsi untuk
mendorong perkembangan abses. Pengaturan pembentukan dan degradasi fibrin
sangat penting untuk proses ini. Aktivitas pengaktifan plasminogen yang dihasilkan
oleh sel mesothelial peritoneal menentukan apakah fibrin yang terbentuk setelah
cedera peritoneal dilapisi atau diatur menjadi adhesi fibrosa. Secara khusus, faktor
nekrosis tumor-α merangsang produksi aktivator-inhibitor plasminogen-1 oleh sel
mesothelial peri-toneal, yang menghambat degradasi fibrin.8

2.3.5 Gejala Klinis Peritonitis


Manifestasi utama peritonitis adalah nyeri perut akut dan nyeri tekan, biasanya
disertai demam. Lokasi nyeri tergantung pada penyebab yang mendasari dan apakah
peradangan terlokalisasi atau digeneralisasikan. Peritonitis terlokalisasi paling sering
terjadi pada pasien tanpa komplikasi apendisitis dan divertikulitis, dan temuan fisik
terbatas pada daerah peradangan. 6
Peritonitis umum dikaitkan dengan peradangan yang meluas dan nyeri tekan
dan rebound abdomen yang menyebar. Kekakuan dinding perut sering terjadi pada
peritonitis lokal dan umum. Bising usus biasanya tidak ada. Takikardia, hipotensi,
dan tanda dehidrasi sering terjadi. Leukositosis dan asidosis yang ditandai adalah
temuan laboratorium yang umum. 6
Foto polos abdomen mungkin menunjukkan pelebaran usus besar dan kecil
dengan edema dinding usus. Udara bebas di bawah diafragma dikaitkan dengan
viskus berlubang. CT dan / atau ultrasonografi dapat mengidentifikasi adanya bebas
cairan atau abses. Jika ada asites, diagnosis paracentesis dengan jumlah sel (> 250
neutrofil / + L biasa terjadi pada peritonitis), protein dan tingkat dehidrogenase laktat,
dan kultur sangat penting. Pada lansia dan pasien dengan imunosupresi, tanda-tanda
iritasi peritoneal mungkin ada lebih sulit dideteksi.6
10

2.3.6 Diagnosis Peritonitis

A. Anamnesis
Nyeri adalah gejala yang paling umum dan mungkin terlokalisasi atau diffuse;
biasanya konstan dan memiliki karakter yang tajam dan menusuk. Perforasi viseral
menyebabkan nyeri hebat yang tiba-tiba biasanya muncul pertama kali di area
perforasi, tetapi mungkin menjadi lebih umum saat kontaminasi peritoneal menyebar.
Nyeri akan dirujuk ke ujung bahu ipsilateral jika peritoneum diafragma terlibat.
Anoreksia, malaise, mual dan muntah adalah gambaran umum yang berhubungan.
Konstipasi biasanya muncul, kecuali jika terjadi abses panggul (yang dapat
menyebabkan diare).8

B. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umum
Pasien dengan peritonitis tampak pucat, lesu dan cemas; mata cekung karena
dehidrasi. Pengamatan teratur akan menunjukkan tanda-tanda sindrom respons
inflamasi sistemik atau, paling buruk, syok septik, syok hipovolemik atau kegagalan
multi-organ. 8
2. Abdomen
Pasien akan berbaring telentang dan relatif tidak bergerak dengan pernapasan
dangkal. Lutut ditekuk dan ditarik untuk mengurangi ketegangan di dinding perut.
Pada peritonitis difus, spasme otot abdomen akan menyebabkan kekakuan seperti
papan dan kegagalan abdomen untuk bergerak saat pernapasan. Palpasi abdomen
memperburuk nyeri sehingga harus dilakukan dengan hati-hati dan lembut. Lokasi
nyeri tekan maksimum biasanya berhubungan dengan lokasi patologi. Tanda-tanda
penyakit patognomonik spesifik mungkin secara klinis terbukti (misalnya tanda
Rovsing pada apendisitis akut). Pemeriksaan colok dubur akan menunjukkan nyeri
tekan anterior pada peritonitis pelvis. Auskultasi akan mengkonfirmasi kecurigaan
ileus saat bising usus berkurang dan akhirnya menghilang. 8

C. Pemeriksaan Penunjang
11

1. Pemeriksaan darah
Hitung darah lengkap akan menunjukkan leukositosis. Urea dan
elektrolit akan menunjukkan dehidrasi dan gagal ginjal akut dimana hasil ini
akan digunakan untuk pedoman penggantian cairan dan elektrolit. Tes fungsi
hati dan serum amilase - konsentrasi amilase yang tinggi dalam serum
merupakan diagnostik pankreatitis akut, tetapi peningkatan konsentrasi yang
cukup dapat disebabkan oleh kejadian intra-abdominal lainnya (misalnya
ulkus duodenum). Gas darah arteri mencerminkan asidosis metabolik, sering
didahului oleh tekanan karbon dioksida arteri yang rendah yang disebabkan
oleh hiperventilasi. 8
2. Radiologi
Foto thoraks erect akan menunjukkan pneumoperitoneum pada sekitar
70-80% perforasi viseral. Radiografi dekubitus lateral kiri abdomen adalah
alternatif bagi mereka yang tidak dapat duduk. Radiografi terlentang abdomen
kurang informatif, tetapi memiliki tampilan 'ground glass' pada kasus
peritonitis difus. Ultrasound mungkin berperan dalam mengkonfirmasi atau
mengecualikan diagnosis spesifik (misalnya abses subphrenic). Computerized
Tomography (CT) jauh lebih akurat dalam prediksi negatif daripada
ultrasound, dan telah menggantikan laparotomi diagnostik buta untuk mencari
sepsis tersembunyi. Akurasi diagnostik dari USG dan CT juga telah
ditegaskan dalam kasus apendisitis akut yang samar-samar secara klinis. 8

2.3.7 Diagnosis Banding Peritonitis


Diagnosis banding antara lain ulkus peptikum, gastritis, pankreatitis akut,
kolesistitis, kolik bilier, torsio ovarium, endometriosis, penyakit inflamasi pelvis,
salpingitis akut, apendisitis akut, diverticulum merkel, tifoid, kolitis, penyakit Chron,
dan konstipasi.8

2.3.8 Tatalaksana Peritonitis


12

Oksigen aliran tinggi sangat penting untuk semua pasien syok. Hipoksia dapat
dipantau dengan oksimetri nadi atau pengukuran arteri gas darah. Resusitasi cairan
awalnya dengan kristaloid (i.v.), volumenya tergantung pada derajat syok dan
dehidrasi. Penggantian elektrolit (terutama kalium) mungkin diperlukan. Pasien harus
dipasang kateter untuk memantau setiap jam keluaran urin. Pemantauan tekanan vena
sentral dan penggunaan inotropik mungkin sesuai pada sepsis berat atau pada pasien
dengan komorbiditas. Analgesia opiat (i.v.) dan antiemetik yang sesuai akan
dibutuhkan. Antibiotik harus berspektrum luas, mencakup aerob dan anaerob, dan
diberikan secara intravena. Sefalosporin dan metronidazole generasi ketiga adalah
strategi utama yang umum. Untuk pasien yang mengalami peritonitis di rumah sakit
(misalnya anastomosis kebocoran) atau yang membutuhkan perawatan intensif, terapi
lini kedua dengan meropenem atau kombinasi piperasilin dan tazobaktam disarankan.
Terapi antijamur juga harus dipertimbangkan untuk menutupi kemungkinan spesies
Candida. Penggunaan antibiotik secara dini dan tepat adalah kunci untuk mengurangi
kematian pada pasien dengan syok septik terkait dengan peritonitis. Tabung
nasogastrik dan aspirasi meredakan muntah dan distensi abdomen dan mengurangi
risiko aspirasi radang paru-paru.8
A. Pembedahan
Pembedahan laparotomi biasanya dilakukan melalui sayatan di garis tengah
atas atau bawah (tergantung pada lokasi patologi yang dicurigai). Tujuannya adalah
untuk:
1. Menentukan penyebab peritonitis
2. Mengontrol asal mula sepsis dengan pengangkatan organ yang meradang atau
iskemik (atau penutupan viskus yang berlubang)
3. Melakukan toilet / lavage peritoneal yang efektif.
Antibiotik dilanjutkan selama lima hari pasca operasi dalam kasus peritonitis
umum atau kompleks. Relaparotomi memiliki peran penting dalam pengobatan
pasien dengan peritonitis sekunder berat yang, setelah laparotomi primer, memiliki
gambaran sepsis yang terus berlanjut atau memburuk. Namun, harus selalu diingat
bahwa banyak pasien sepsis tidak memerlukan relapotomi tetapi mungkin hanya
13

memerlukan ventilasi mekanis, antimikroba, dan dukungan organ dalam waktu lama.
Memperoleh pengendalian sepsis yang efektif pada operasi pertama sangat penting
karena setiap operasi berikutnya bertemu dengan peningkatan risiko morbiditas dan
mortalitas. Laparoskopi terbukti efektif dalam penanganan apendisitis akut dan ulkus
duodenum perforasi. Ini dapat digunakan dalam kasus perforasi kolon, tetapi tingkat
konversi ke laparotomi lebih tinggi. 8
B. Antibiotik Spektrum Luas
Pemberian antibiotik terdapat single agent dan multiple agent. Single agent
yaitu berupa Ceftriaxone 1-2 gram intravena selama 24 jam atau Cefotaxime 1-
2 gram intravena. Sedangkan multiple agent yaitu Ampiciline 2 gram intravena,
Gentamicine 1,5mg/kg/hari, dan Clindamycine 600-900 mg intravena atau
Metronidazole 500 mg intravena.9
Tabel 2.2 Terapi Antimikroba Empiris9

C. Kontrol Nyeri
Pemberian berupa morfin atau meperidine untuk mengurangi rasa nyeri
abdomen yang dirasakan oleh penderita.

2.3.9 Prognosis Peritonitis


14

Kemampuan pasien peritonitis sekunder untuk bertahan hidup tergantung pada


banyak faktor meliputi, usia, status gizi, kadar albumin, kondisi komorbid atau
kondisi lain yang menyertai, adanya keganasan, lama waktu
terkontaminasinya peritoneum, kapan dimulainya pengobatan, keberadaan benda
asing, dan kemampuan tubuh untuk mengontrol sumber infeksi, dan jenis
mikroorganisme yang terlibat. Prognosis memburuk jika ditemukan banyak
mikroorganisme pada eksudat peritoneum. Angka kematian akan meningkat jika
sumber kontaminasinya berasal dari bagian yang lebih distal gastrointestinal.10
Mortalitas daripada peritonitis berdasarkan etiologinya, berkisar antara 10-80
%. Pada peritonitis yang disebabkan oleh apendistis, perforasi ulkus peptikum, serta
salpingitis, angka mortalitas <10%. Pada peritonitis yang disebabkan oleh
divertikulitis, perforasi usus halus tanpa adanya keterlibatan vaskular, kolesistitis,
serta akibat trauma, angka mortalitas <20%. Sedangkan pada peritonitis berat yang
biasa disebabkan oleh perforasi usus besar, iskemik usus halus, acute nectrotizing
pancreatitis, serta komplikasi pasca operasi, angka mortalitas berkisar antara 20
hingga 80%.11
Tabel 2.3 Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi11

2.3.10 Komplikasi Peritonitis


15

Peritonitis memiliki banyak komplikasi yang mengancam nyawa, misalnya


thrombosis vena mesenterika, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome),
kegagalan multi-organ, sepsis hingga kematian. Komplikasi yang berat lebih
sering dihubungkan pada peritonitis sekunder.4
Bakterimia adalah suatu kondisi dimana terdapatnya bakteri di sistem
pembuluh darah tubuh. Systemic Inflamatory Response System (SIRS) adalah
manifestasi global dari aktivasi sistem imun bawaan. SIRS umumnya adalah respon
fisiologis umum yang tidak spesifik terhadap infeksi. Sepsis adalah infeksi yang
berkaitan dengan respon inflamasi yang menimbulkan keadaan serius. Sindrom
sepsis adalah sekumpulan gejala yang diakibatkan oleh karena sepsis yang tidak
ditangani secara adekuat yang dapat menyebabkan syok sepsis. Syok sepsis
menjadi komplikasi yang memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi.12

2.4 Apendiks

2.4.1. Anatomi Apendiks

Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-


kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat
perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans
sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih
akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah
ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens appendicitis pada usia
tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada
bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan
sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik appendicitis
ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang
sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%,
preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%,
seperti terlihat pada gambar dibawah ini.13
16

Gambar 2.4 Appendiks pada saluran pencernaan13

Gambar 2.5 Anatomi appendiks13 Gambar 2.6 Posisi Appendiks13

Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan


limfoid. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu
setelah lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah
sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu,
mengalami atropi dan menghilang pada usia 60 tahun. Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dari
arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X.
Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus.
Appendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian
bawah arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi
penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren.13
17

2.4.2 Fisiologi Apendiks


Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah
Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah
penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit
sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.13

2.5 Apendisitis
2.5.1 Definisi Apendisitis

Apendisitis adalah infeksi pada apendiks karena tersumbatnya lumen oleh


fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat
terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan
Enterobius vermikularis. Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400
kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi
jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya
1%.14

2.5.2 Patofisiologi Apendisitis


Apendisitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan
ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendicitis.14
18

Obstruksi intraluminal appendiks menghambat keluarnya sekresi mukosa dan


menimbulkan distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada dinding appendiks
akan terganggu. Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan luka pada
dinding appendiks. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang ada di usus
besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses
irreversibel meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan.14

Apendisitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan
muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel
radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi
granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh
fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut apendisitis akut supuratif. Edema
dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi ganggren,
warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding
appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan
pembuluh darah kongesti.15

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.16

2.5.3 Determinan Apendisitis

a. Faktor Host

1. Umur

Apendisitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa
muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis tertinggi pada usia
10-19 tahun dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000
19

penduduk.37 Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena jaringan
limfoid mencapai puncak pada usia pubertas.16

2. Jenis Kelamin

Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific Morbidity Rate


(SSMR) pria : wanita yaitu 8,8 : 6,2 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,4 : 1.14
Penelitian Gunerhan (2008) di Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 : 144,6
per 100.000 penduduk dengan rasio 1,07: 1.17 Kesalahan diagnosa apendisitis 15-
20% terjadi pada perempuan karena munculnya gangguan yang sama dengan
apendisitis seperti pecahnya folikel ovarium, salpingitis akut, kehamilan ektopik,
kista ovarium, dan penyakit ginekologi lain.16

3. Ras

Faktor ras berhubungan dengan pola makan terutama diet rendah serat dan
pencarian pengobatan. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, IR kulit putih :
kulit hitam yaitu 15,4 : 10,3 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,5 : 1.37 Penelitian
Richardson et al (2004) di Afrika Selatan, IR kulit putih : kulit hitam yaitu 2,9 : 1,7
per 1.000 penduduk dengan rasio 1,7 : 1.32 Penelitian Ponsky (2004) di Children's
National Medical Center Amerika Serikat dengan desain Case Control pada anak
umur 5-17 tahun didapat penderita ruptur apendisitis 1,66 kali lebih besar pada anak
keturunan Asia (Odds Ratio [OR]: 1,66; 95% Confidence Interval [CI] : 1,24-2,23)
dan 1,13 kali lebih besar pada anak kulit hitam (OR: 1,13; 95% CI: 1,01-1,30)
dibandingkan anak bukan penderita ruptur apendisitis.38 Penelitian Smink (2005) di
Boston dengan desain Case Control pada anak umur 0-18 tahun didapat penderita
ruptur apendisitis 1,24 kali lebih besar pada anak kulit hitam (OR: 1,24; 95% CI:
1,10–1,39) dan 1,19 kali lebih besar pada anak hispanik (OR: 1,19; 95% CI: 1,10–
1,29) dibandingkan anak bukan penderita ruptur apendisitis.17

b. Faktor Agent

Proses radang akut appendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang ada di


usus besar. Pada kultur ditemukan kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan
20

Eschericia coli, Splanchicus sp, Lactobacilus sp, Pseudomonas sp, dan Bacteriodes
splanicus. Bakteri penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan aerob 4%.18

c. Faktor Environment

Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola makan


dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi
lemak dan rendah serat. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran konsumsi rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Kebiasaan konsumsi
rendah serat mempengaruhi defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen
sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi.16

2.5.4 Klasifikasi Apendisitis

Adapun klasifikasi apendisitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai


berikut:

2.5.4.1 Apendisitis Akut

a. Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan


obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks
jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah
umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis
kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak
ada eksudat serosa.19,20

b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan


terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
21

ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-
tanda peritonitis umum.19,20

c. Apendisitis Akut Gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat
mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.19,20

2.5.4.2 Apendisitis Infiltrat

Apendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat


dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya. 19,
20

2.5.4.3. Apendisitis Abses

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan
pelvic.19,20

2.5.4.4 Apendisitis Perforasi

Apendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang


menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.19,20
22

2.5.4.5. Apendisitis Kronis

Apendisitis kronis merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai


proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami
fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa,
muskularis propia, dan serosa.19,20

2.5.5 Diagnosis Apendisitis

2.5.5.1 Manifestasi Klinis

Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu:16

1. Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen


atau di kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini
samar-samar, ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang.
Sesudah empat jam biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang
kemudian beralih ke kuadran bawah kanan. Rasa nyeri menetap dan secara
progesif bertambah hebat apabila pasien bergerak.
2. Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan
merupakan kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.
3. Demam tidak tinggi (kurang dari 380C), kekakuan otot, dan konstipasi.
4. Apendisitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat
nyeri lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa
nyeri terasa lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya.
5. Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan
23

juga di daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal.


Rasa nyeri ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila
posisi appendiks di pelvic. Letak appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri.10
2.5.5.2 Pemeriksaan Fisik
Inspeksi pada apendisitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan
terlihat distensi perut. Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan
terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan
bawah merupakan kunci diagnosa apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan
dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing
Sign).16 Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada
perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).16

Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk


menentukan letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang terletak
di daerah pelvic.16

Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan
otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m.
psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Pada uji obturator
dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
appendiks yang meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.16

2.5.5.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
24

(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan
meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses
elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan
90%.16

b. Radiologi

Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography


Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94%
dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan
mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
yaitu 90-100% dan 96-97%.10

c. Analisa urin

Bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran


kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan


hati, kandung empedu, dan pankreas.

e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya


kemungkinan kehamilan.

f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium


enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan
karsinoma colon.

g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan apendisitis dengan obstruksi usus
halus atau batu ureter kanan.
25

2.5.5.4 Sistem Skoring


Terdapat sistem skoring yang dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis
apendisitis yaitu Alvarado score. Alvarado score pertama digunakan pada tahun 1986
dan berguna dalam menyingkirkan diagnosis apendisitis dan menentukan apakah
pasien membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.21
Tabel 2.4 Alvarado score21
26

2.5.6 Diagnosis Banding Apendisitis

Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis karena


penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
apendisitis, diantaranya:22

1. Gastroenteritis
Ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang
menonjol dibandingkan apendisitis akut.

2. Limfadenitis Mesenterika
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri
perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan perut.

3. Demam dengue
Dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil positif untuk
Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang meningkat.

4. Infeksi Panggul
Salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendicitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi
panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.

5. Gangguan alat reproduksi perempuan


Folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada
pertengahan siklus menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam
waktu 24 jam.

6. Kehamilan ektopik
27

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak jelas
seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan
menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik.

7. Divertikulosis Meckel
Gambaran klinisnya hampir sama dengan apendisitis akut dan sering
dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada apendisitis akut sehingga
diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.

8. Ulkus peptikum perforasi


Sangat mirip dengan apendisitis jika isi gastroduodenum mengendap turun ke
daerah usus bagian kanan sekum.

9. Batu ureter
Jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai apendisitis
retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria, dan terjadi demam
atau leukositosis.

2.5.7 Komplikasi Apendisitis

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan apendisitis. Faktor


keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Proporsi komplikasi apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil
dan orang tua.

Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada
orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43
Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan
28

belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada


orang tua terjadi gangguan pembuluh darah.23

Adapun jenis komplikasi diantaranya:

1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.16

2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar
ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam.19 Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.23

3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.15,20
BAB III
STATUS PASIEN

DATA PASIEN
Nama Pasien : MA
Usia : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Medan
No. RM : 066614
Tanggal masuk : 10 Juli 2021

ANAMNESIS

Keluhan Utama : Nyeri seluruh lapangan perut

Telaah : Hal ini telah dialami pasien sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri bersifat menusuk-nusuk dan terus
menerus. Nyeri semakin memberat jika pasien bergerak,
bersin, batuk, atau menekuk perutnya. Pada awalnya, nyeri
dirasakan di ulu hati kemudian berpindah ke perut kanan
bawah, dan ke seluruh lapangan perut. Demam dijumpai sejak
3 hari SMRS. Mual dijumpai. Muntah dijumpai sebanyak 2
kali berisi makanan dan minuman yang dikonsumsi. Pasien
mengaku belum BAB sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, namun pasien masih dapat buang angin. Nafsu makan
berkurang. BAK dalam batas normal. Pasien mengaku selama
ini BAB sering tidak lancar dan sulit mengeluarkan BAB.

Riwayat penyakit sebelumnya : tidak ada

29
30

Riwayat pengobatan : tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK

Kondisi Umum :
Sensorium : Compos mentis
VAS :8
Tekanan darah : 130/90 mmHg
HR : 114 kali per menit
RR : 20 kali per menit
Suhu : 38,9 C
SpO2 : 99%

Status Lokalisata :
Kepala dan leher :
Kepala dan leher simetris, TVJ normal, Trakea medial, pembesaran KGB (-), Struma
(-)

Mata :
Konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor.

Telinga/Hidung/Rongga Mulut :
Dalam batas normal

Thorax :
Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri,
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler kanan dan kiri
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
31

Abdomen :
Inspeksi : Simetris, distensi (-)
Palpasi : Defans muscular (+), Nyeri tekan seluruh lapangan perut (+), MC
Burney tenderness (+), Blumberg sign (+), Dunphy sign (+), Psoas
sign (+), Obturator sign (+), Hepar/Lien/Renal tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) Menurun

Pinggang :
Nyeri ketok sudut costo-vertebra (-)

Ekstremitas :
Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat, CRT <2 detik
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat, CRT <2 detik

Pemeriksaan Laboratorium :

Jenis Tes Hasil Normal


Hitung darah Lengkap
Hemoglobin 14,9 g/dL 12,5-16,3 g/dL
Eritrosit 4,64 Juta/mm3 4,06-5,63 Juta/mm3
Leukosit 22.590 /mm3 3.600-10.200 /mm3
Hematokrit 44,2 % 40-52 %
Trombosit 219.900/mm3 150.000 – 450.000
MCV 95,3 fL 80-100 fL
MCH 32 pg 26-34 pg
MCHC 33,6 g/dL 32-36 g/dL

Hitung Jenis
32

Basofil 0% 0-2 %
Eosinofil 1% 1-8 %
Neutrofil Segmen 91 % 44-74 %
Limfosit 3% 15-43 %
Monosit 5% 6-14 %
Masa Perdarahan (BT) 4 menit 2-6 %
Masa Pembekuan (CT) 8 menit 6-12 %
HIV Rapid Test Negatif Negatif
HBsAg Negatif Negatif
Rapid Antigen SARS Negatif Negatif
CoV-2

Alvarado Score : 10

Pemeriksaan Radiologis : Jantung dan paru dalam batas normal

Diagnosis : Peritonitis ec. Susp Apendisitis perforasi

Diagnosis Banding:
1. Peritonitis ec. ulkus peptikum
2. Peritonitis ec.tifoid perforasi
3. Pankreatitis akut

Tatalaksana :
Pasien puasa
Pasang NGT dan Kateter
IVFD Ringer Laktat 20 tpm makro
Inj Norages 1000mg IV
Inj Ranitidine 50mg IV
Konsul dr. Owen, SpB :
33

IVFD RL 20 tpm makro


Inj Norages 1000mg IV (K/P demam)
Inj Ranitidine 50mg IV/12 jam
Inj Ketorolac 30mg IV/8 jam
R/ Laparatomy eksplorasi cito

Konsul dr. Fadil, SpAn :


NGT dan kateter
Inj sotatic 1 amp (extra)
Acc tindakan

Laporan Prosedur Laparotomi :


1. Pasien tidur terlentang dengan General Anesthesia
2. Prosedur aseptik dan antiseptik lapangan operasi dilakukan
3. Insisi kutis, subkutis, fascia, dan otot
4. Peritoneum dibuka, dijumpai pus sekitar 200 cc, lalu pus dievakuasi
5. Omentum disisihkan, tampak appendic gangrene retro caecal dengan perforasi di
pangkal
6. Perlengketan dibebaskan
7. Appendectomy dengan double ligation
8. Cuci berulang-ulang dengan normal saline hingga bersih
9. Kontrol perdarahan, pasang drain di cavum douglas
10. Jahit luka lapis demi lapis, operasi selesai.
34

BAB IV
FOLLOW UP

Hari I (11/07/2021)
S : Nyeri luka post operasi dijumpai, flatus dijumpai, BAB belum dijumpai
O : Sensorium : Compos mentis
TD : 100/89 mmHg
HR : 98 x/i
RR : 20 x/i
T : 36 C
VAS :6
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Bibir : Sianosis (-), kering (-)
Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II normal, regular
Abdomen : Inspeksi : Simetris, distensi (-), luka operasi kering, tampak
terpasang drain di sebelah kanan dengan cairan
minimal
Auskultasi : Suara peristaltik usus (+) Normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
35

Perkusi : Timpani
Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (-)
Genitalia : Terpasang kateter
A : Post Laparatomi ec Peritonitis ec Apendisitis Perforasi (H-1)
P : IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
Injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam IV
Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam IV
Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam IV
Drips Fentanyl 200 mcg + 50 ml Ns 0,9% (3-5 ml/jam) IV
Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam IV
Drips Paracetamol 1 g/8 jam IV
Diet M2 Tinggi Kalori Tinggi Protein
Mobilisasi duduk

Hari II (12/07/2021)
S : Nyeri luka post operasi dijumpai, flatus dijumpai, BAB belum dijumpai
O : Sensorium : Compos mentis
TD : 123/80 mmHg
HR : 90 x/i
RR : 20 x/i
T : 37,4 C
VAS :6
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Bibir : Sianosis (-), kering (–)
Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
36

Palpasi : SF kanan = kiri


Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II normal, regular
Abdomen : Inspeksi : Simetris, distensi (-), luka operasi kering, tampak
terpasang drain di sebelah kanan dengan cairan
minimal
Auskultasi : Suara peristaltik usus (+) Normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (-)
Genitalia : Terpasang kateter
A : Post Laparatomi ec Peritonitis ec Apendisitis Perforasi (H-2)
P : IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
Injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam IV
Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam IV
Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam IV
Drips Fentanyl 200 mcg + 50 ml Ns 0,9% (3-5 ml/jam) IV
Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam IV
Drips Paracetamol 1 g/8 jam IV
Diet M2 Tinggi Kalori Tinggi Protein
Aff kateter
Mobilisasi duduk

Hari III (13/07/2021)


S : Nyeri luka post operasi berkurang, flatus dijumpai, BAB dijumpai
O : Sensorium : Compos mentis
TD : 110/70 mmHg
HR : 84 x/i
37

RR : 20 x/i
T : 36,2 C
VAS :5
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Bibir : Sianosis (-), kering (-)
Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II normal, regular
Abdomen : Inspeksi : Simetris, distensi (-), luka operasi kering, tampak
terpasang drain di sebelah kanan dengan cairan
minimal
Auskultasi : Suara peristaltik usus (+) Normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (-)
Genitalia : Dalam batas normal
A : Post Laparatomi ec Peritonitis ec Apendisitis Perforasi (H-3)
P : IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
Injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam IV
Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam IV
Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam IV
38

Drips Fentanyl 200 mcg + 50 ml Ns 0,9% (3-5 ml/jam) IV


Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam IV
Diet MB Tinggi Kalori Tinggi Protein
Mobilisasi duduk

Hari IV (14/07/2021)
S : Nyeri luka post operasi berkurang, flatus dijumpai, BAB dijumpai
O : Sensorium : Compos mentis
TD : 139/91 mmHg
HR : 82 x/i
RR : 20 x/i
T : 36,9 C
VAS :4
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Bibir : Sianosis (-), kering (-)
Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II normal, regular
Abdomen : Inspeksi : Simetris, distensi (-), luka operasi kering, tampak
terpasang drain di sebelah kanan dengan cairan
minimal
Auskultasi : Suara peristaltik usus (+) Normal
39

Palpasi : Nyeri tekan (-)


Perkusi : Timpani
Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (-)
Genitalia : Dalam batas normal
A : Post Laparatomi ec Peritonitis ec Apendisitis Perforasi (H-4)
P : Injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam IV
Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam IV
Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam IV
Inj Fentanyl 200 mcg + 50 ml Ns 0,9% (3-5 ml/jam) -> stop
Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam IV
Inj Ondansentron 4mg/12 jam IV
Aff drain
GV
Threeway
Mobilisasi jalan
Diet MB Tinggi Kalori Tinggi Protein

Hari V (15/07/2021)
S : Nyeri luka post operasi berkurang, flatus dijumpai, BAB dijumpai
O : Sensorium : Compos mentis
TD : 120/70 mmHg
HR : 82 x/i
RR : 20 x/i
T : 36,9 C
VAS :3
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Bibir : Sianosis (-), kering (-)
40

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1


Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II normal, regular
Abdomen : Inspeksi : Simetris, distensi (-), luka operasi kering ditutup
verban
Auskultasi : Suara peristaltik usus (+) Normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (-)
Genitalia : Dalam batas normal
A : Post Laparatomi ec Peritonitis ec Apendisitis Perforasi (H-5)
P : Injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam IV
Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam IV
Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam IV
Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam IV
Injeksi Ondansentron 4mg/12 jam IV
PBJ
Cefixime tab 2x200mg
Metronidazole tab 3x1000mg
Omeprazole caps 2x20mg
Natrium diclofenac tab 2x50mg
BAB V
DISKUSI

TEORI KASUS
Peritonitis adalah peradangan pada Laki-laki usia 21 tahun datang
peritoneum dan rongga peritoneum dan dengan nyeri dialami di seluruh
paling sering disebabkan oleh infeksi lapangan perut. Hal ini telah dialami
lokal atau umum pasien sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri bersifat menusuk-
Kondisi yang paling sering nusuk dan terus menerus. Nyeri
mengakibatkan masuknya bakteri ke semakin memberat jika pasien
dalam peritoneum adalah apendiks yang bergerak, bersin, batuk, atau
mengalami perforasi, pecah, perforasi menekuk perutnya. Pada awalnya,
divertikulum, perforasi tukak lambung, nyeri dirasakan di ulu hati kemudian
hernia inkarserata, gangrene kandung berpindah ke perut kanan bawah, dan
empedu, volvulus, infark usus, kanker, ke seluruh lapangan perut. Demam
penyakit radang usus, atau obstruksi dijumpai sejak 3 hari SMRS. Mual
usus. dijumpai. Muntah dijumpai sebanyak
2 kali berisi makanan dan minuman
yang dikonsumsi. Pasien mengaku
belum BAB sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, namun pasien
masih dapat buang angin. Nafsu
makan berkurang. Buang air kecil
dalam batas normal. Pasien mengaku
selama ini BAB sering tidak lancar
dan sulit mengeluarkan BAB.

42
43

Klasifikasi Peritonitis
Berdasarkan anamnesis pasien,
1. Peritonitis primer (spontaneous
dijumpai adanya keluhan nyeri perut
bacterial peritonitis)
Infeksi pada rongga peritoneum sebelah kanan bawah satu hari

tanpa ada sumber yang jelas baik sebelum masuk rumah sakit.

secara hematogen maupun limfatik. Penyebab keluhan ini salah satunya


adalah apendisitis.
2. Peritonitis sekunder (surgical
peritonitis)
Pasien juga mengaku tidak memiliki
Inflamasi pada rongga peritoneal
riwayat penyakit lainnya ataupun
yang bisa disebabkan oleh
mengonsumsi obat-obatan, sehingga
inflamasi, perforasi, ataupun
gangren dari struktur kemungkinan imunokompromised

intraperitoneum maupun bisa disingkirkan.

retroperitoneum. Perforasi akibat


ulkus peptikum, apendisitis, Dari hasil laparatomi, dijumpai
divertikulitis, kolesistitis akut, adanya appendic gangrene retro
pankreatitis dan komplikasi pasca caecal dengan perforasi di pangkal.
operasi merupakan beberapa Sehingga kasus ini dapat
penyebab tersering dari peritonitis diklasifikasikan sebagai peritonitis
sekunder. Penyebab non-bakterial sekunder akibat perforasi apendiks.
lainnya termasuk bocornya darah
ke dalam rongga peritoneum akibat
robekan pada kehamilan di tuba
fallopi, kista ovarian, atau aneurisma

3. Peritonitis tersier
Disebabkan iritan langsung yang
sering terjadi pada pasien
immunocompromised dan orang-
orang dengan kondisi komorbid
44

Gejala Klinis : Pada pasien dijumpai :


1. Nyeri perut akut
1. Nyeri perut akut
2. Nyeri tekan seluruh lapangan
2. Nyeri tekan yang terlokalisasi atau
perut
generalisata
3. Demam
3. Demam
4. Mual dan muntah
4. Kekakuan dinding perut
5. Tidak BAB
5. Bising usus biasanya tidak ada.
6. Kekakuan dinding perut (defans
6. Takikardia, hipotensi, dan tanda
muscular)
dehidrasi
7. Takikardi
7. Leukositosis dan asidosis 6
8. Bising usus menurun
8. Foto polos abdomen mungkin
9. Leukositosis
menunjukkan pelebaran usus besar
dan kecil dengan edema dinding
usus.
Diagnosis : Anamnesis
Anamnesis : Pasien laki-laki, 38 tahun, datang ke
Nyeri dapat terlokalisasi atau IGD dengan keluhan nyeri seluruh
difus; biasanya konstan, tajam dan lapangan perut sejak 2 hari SMRS.
menusuk. Perforasi viseral menyebabkan Nyeri terasa menusuk-nusuk dan
nyeri hebat yang tiba-tiba biasanya terus menerus dan semakin
muncul pertama kali di area perforasi, memberat jika pasien bergerak atau
tetapi mungkin menjadi lebih umum saat batuk.
kontaminasi peritoneal menyebar. Nyeri Awalnya pasien mengeluhkan nyeri
akan dirujuk ke ujung bahu ipsilateral di ulu hati kemudian berpindah ke
jika peritoneum diafragma terlibat. perut sebelah kanan bawah kemudian

Anoreksia, malaise, mual dan muntah menyebar ke seluruh perut. Mual

adalah gambaran umum yang dijumpai. Muntah dijumpai. BAB


45

berhubungan. Konstipasi biasanya tidak dijumpai. sejak 1 hari sebelum


muncul, kecuali jika terjadi abses masuk rumah sakit.
panggul.

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum a. Keadaan Umum :

Pasien tampak pucat, lesu dan Sensorium : Compos mentis


Tekanan darah : 113/90 mmHg
cemas; mata cekung karena
HR : 114 kali per menit
dehidrasi. Dapat dijumpai tanda-
RR : 20 kali per menit
tanda sindrom respons inflamasi
Suhu : 38,9 C
sistemik atau, paling buruk, syok
SpO2 : 99%
septik, syok hipovolemik atau
kegagalan multi-organ.
b. Abdomen :
3. Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-)
Inspeksi : Pasien akan berbaring Palpasi : Defans muscular (+),
telentang dan relatif tidak Nyeri tekan seluruh
bergerak dengan pernapasan lapangan perut
dangkal. Perkusi : Timpani
Auskultasi : bising usus berkurang Auskultasi : Peristaltik menurun
dan akhirnya menghilang.
Palpasi : Perut kaku seperti papan
dan kegagalan abdomen untuk c. Pemeriksaan Penunjang

bergerak saat pernapasan, nyeri Pemeriksaan darah


tekan maksimum sesuai lokasi
Leukositosis : 12.300 /mm3
patologi.
Pemeriksaan colok dubur: nyeri tekan
anterior pada peritonitis pelvis.
46

3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah :
Leukositosis.
Urea dan elektrolit
menunjukkan dehidrasi dan
gagal ginjal akut
Peningkatan konsentrasi
amilase yang tinggi
merupakan diagnostik
pankreatitis akut dan
kejadian intra-abdominal
lainnya (misalnya ulkus
duodenum).
Asidosis metabolik

Radiologi
- Foto thoraks erect akan
menunjukkan
pneumoperitoneum pada
sekitar 70-80% perforasi
viseral.
- Radiografi terlentang
abdomen dapat memiliki
tampilan 'ground glass' pada
kasus peritonitis difus.
- Ultrasound mungkin
berperan dalam
mengkonfirmasi atau
47

mengecualikan diagnosis
spesifik (misalnya abses
subphrenic).
- Computerized Tomography
(CT)
Tatalaksana : Tatalaksana di IGD
Pasien puasa
• Oksigen aliran tinggi sangat penting
Pasang NGT dan Kateter
untuk semua pasien syok.
IVFD Ringer Laktat 20 tpm makro
• Hipoksia dapat dipantau dengan
Injeksi Norages 1000mg IV
oksimetri nadi atau pengukuran
Injeksi Ranitidine 50mg IV
arteri gas darah.
• Resusitasi cairan awalnya dengan
Pembedahan
kristaloid (i.v.), volumenya
Laparatomi eksplorasi
tergantung pada derajat syok dan
dehidrasi.
Tatalaksana Pasca Bedah
• Penggantian elektrolit (terutama
IVFD Ringer Laktat 20 gtt/I
kalium) mungkin diperlukan.
Injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam IV
• Pemasangan kateter untuk Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam
memantau urin setiap jam. IV
• Analgesia opiat (i.v.) dan antiemetik Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam IV
yang sesuai akan dibutuhkan. Drips Fentanyl 200 mcg + 50 ml Ns
• Antibiotik harus berspektrum luas, 0,9% (3-5 ml/jam) IV
mencakup aerob dan anaerob, dan Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam IV
diberikan secara intravena. Drips Paracetamol 1 g/8 jam IV
Antibiotik dilanjutkan selama lima Diet M2 Tinggi Kalori Tinggi Protein

hari pasca operasi dalam kasus


peritonitis umum atau kompleks. Tatalaksana Pasien Pulang

• Pembedahan Cefixime tab 2x200mg


48

Tujuannya adalah untuk, Metronidazole tab 3x1000mg


menentukan penyebab peritonitis, Omeprazole caps 2x20mg
mengontrol asal mula sepsis Natrium diclofenac tab 2x50mg

dengan pengangkatan organ yang


meradang atau iskemik (atau
penutupan viskus yang berlubang) ,
melakukan toilet / lavage peritoneal
yang efektif.
BAB VI
KESIMPULAN

Seorang laki-laki, usia 21 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri seluruh
lapangan perut sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis dengan peritonitis
ec suspek apendisitis perforasi dan dilakukan laparatomi eksplorasi. Dari hasil
laparatomi, dijumpai pus di peritoneum dan appendic gangrene retro caecal dengan
perforasi di pangkal. Pasien diberikan antibiotik, antinyeri, dan dirawat selama 5 hari
kemudian pulang berobat jalan.

48
49

DAFTAR PUSTAKA

1. Gearhart SL, Silen W.Acute appendisitis and peritonitis. Dalam:Fauci A,


Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et
al,editor(penyunting).Harrison’s principal ofinternal medicine. Edisi ke-
17Volume II. USA: McGraw-Hill; 2008.hlm.1916-7
2. Daldiyono, Syam AF. Nyeri abdomen akut. Dalam:Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, SetiatiS, editor(penyunting).Buku ajari lmu penyakit
dalam. Edisi ke-5 Jilid ke-1. Jakarta: Interna Publishing; 2010. hlm.474-6
3. WHO. Typhoid fever, Democratic Republic of the Kongo. Weekly
Epidemiological Record.2005. 1, 1-8.
4. Japanesa, A., Zahari, A., & Rusjdi, S. R. Pola Kasus dan Penatalaksanaan
Peritonitis Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2016. 5, 209-213
5. Townsend, CM, Beauchamp, RD, et al. Sabiston Textbook of Surgery : The
Biological Basis of Modern Surgical Practice Ed 18.. Philadelphia : Saunders.
2007.
6. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison’s : Principles of Internal Medicine Ed
17. USA: Mc Geaw Hill Medical. 2008. Sec 1, page 1914-1920.
7. Hasler, W. L., & Owyang, C. Disorder of The Gastrointestinal System. In
Kasper, Fauci, Hauser, & Longo (Eds.), Harrison's Principles of Intenal
Medicine. USA: Mc. Graw Hill Education. 2015. p 1989.
8. Skipworth, R., & Fearon, K. Peritonitis. In Acute Abdomen. England:
University of Oxford. 2005. 6th ed., Vol. 23, p. 98.
9. Kapoor, V. K. Antibiotic Therapy for Peritonitis. 2019. Medscape(disadur pada
8 Mei 2019: https://emedicine.medscape.com/article/1926162-overview/).
10. Romano, A. P. Peritonitis in Geriatric Imaging. In G. Guglielmi, & A.
Guermazi (Eds.), Peritonitis(eds. G. Guglielmi, A. Guermazi ed. Berlin:
Springer. 2013. pp. 741-750).
11. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Surgery . 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
12. Jones, A., & Heffner, A. Sepsis and Shock with infection. In D. Yealy, & C.
Callaway (Eds.), Emergency Departement Critical Care. USA: Oxford
University Press. 2013. pp. 11-21.
13. Townsend C, Beauchamp R, Evers B, Mattox K. Sabiston textbook of surgery.
20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2017.
14. Namsawang, P. Pathological Findings of Vermiform Appendix in Surin
Hospital, Thailand. 2008. http://www.thailand.digitaljournals.org
15. Guyton, H. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta. 1997.
16. Price, S. , Wilson, L. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1995.
50

17. Sabiston, D. Buku Ajar Bedah: Essentials Of Surgery. Bagian 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1994.
18. Zoguẽreh, et al. Acute Appendicitis At The National University Hospital In
Bangui, Central African Republic. Journal of Epidemiology. 2001: Volume 11
issue 2. http://www.ncbi.nlm.nih.gov
19. Dudley, H. Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat. Edisi 11. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 1992.
20. Oswari, E. Bedah dan Perawatannya. Balai penerbit FKUI. Jakarta. 2000.
21. Schwartz S, Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, Dunn D, Hunter J et al.
Schwartz's principles of surgery. 10th ed. New York: McGraw-Hill Education;
2015.
22. Sofii, et al. Uji Diagnostik Jumlah Leukosit Persentase Neutrofil, dan CRP
Pada Apendisitis Komplikasi Dan Simpleks Pasien Dewasa. Berkala Ilmu
Kedokteran Volume 39 No. 1 Maret 2007. http://i-lib.ugm.ac.id
23. Jehan, E. Peran C Reaktive Protein Dalam Menentukan Diagnosa
AppendicitisAkut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September
2006. http://library.usu.ac.id

Anda mungkin juga menyukai