PESERTA PIDI
WAHANA RSU MITRA MEDIKA AMPLAS BATCH II
GROUP 22 MEI 2021-21 SEPTEMBER 2021
PERITONITIS
Disusun Oleh :
dr. Yohanna Fransisca Sinuhaji
Pembimbing :
dr. Hendry, M.KM
DAFTAR ISI i
BAB I PENDAHULUAN 1
1.3 Manfaat 2
2.3 Peritonitis 5
2.4 Apendiks 15
i
2.5 Apendisitis 17
17
2.5.2 Patofisiologi Apendisitis 17
2.5.3 Determinan Apendisitis 18
2.5.4 Klasifikasi Apendisitis 20
2.5.4.1 Apendisitis Akut 20
2.5.4.2 Apendisitis Infiltrat 21
2.5.4.3 Apendisitis Abses 21
2.5.4.4 Apendisitis Perforasi 21
2.5.4.5 Apendisitis Kronis 22
2.5.5 Diagnosis Apendisitis 22
2.5.5.1 Manifestasi Klinis 22
2.5.5.2 Pemeriksaan Fisik 23
2.5.5.3 Pemeriksaan Penunjang 23
2.5.5.4 Sistem Skoring 25
2.4.6 Diagnosis Banding Apendisitis 26
24.7 Komplikasi Apendisitis 27
BAB IV FOLLOW UP 34
BAB V DISKUSI 42
BAB VI KESIMPULAN 48
DAFTAR PUSTAKA 49
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Prognosis buruk sering dijumpai akibat kondisi pasien dengan disfungsi
organ berat karena komplikasi penyebabnya, berupa kegagalan kontrol sumber
peritonitis
2
2
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menguraikan teori-teori
tentang peritonitis mulai dari definisi sampai prognosisnya. Penyusunan penulisan
laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan Program
Internsip Dokter Indonesia.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang peritonitis.
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai peritonitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
dalam diafragma. Aliran getah bening dari saluran limfatik diafragma ini melalui
limfatik subpleural ke kelenjar getah bening regional dan akhirnya ke saluran toraks.
Relaksasi diafragma selama pernafasan membuka stomata, dan tekanan intratoraks
negatif menarik cairan dan partikel, termasuk bakteri, ke dalam stomata. Kontraksi
diafragma selama inspirasi mendorong getah bening melalui saluran limfatik
mediastinum ke dalam saluran toraks.5
Peritoneum dan rongga peritoneum merespons infeksi dengan lima cara:
1. Bakteri dengan cepat dikeluarkan dari rongga peritoneum melalui stomata
diafragma dan limfatik.
2. Makrofag peritoneal melepaskan mediator proinflamasi yang mendorong migrasi
leukosit ke dalam rongga peritoneum dari mikrovaskular di sekitarnya.
3. Degranulasi sel mast peritoneal melepaskan histamin dan produk vasoaktif
lainnya, menyebabkan vasodilatasi lokal dan ekstravasasi cairan kaya protein
yang mengandung komplemen dan imunoglobulin ke dalam ruang peritoneal.
4. Protein dalam cairan peritoneal membuat bakteri opsonisasi, yang bersama
dengan aktivasi kaskade komplemen, mendorong fagositosis dan destruksi
bakteri yang dimediasi oleh neutrofil dan makrofag.
5. Bakteri berada dalam matriks fibrin, sehingga mendorong pembentukan abses
dan membatasi penyebaran infeksi secara umum.5
2.3. Peritonitis
2.3.1 Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum dan rongga peritoneum dan
paling sering disebabkan oleh infeksi lokal atau umum. Peritonitis primer terjadi
akibat infeksi bakterial, klamidia, jamur, atau mikobakteri tanpa adanya perforasi
saluran cerna, sedangkan peritonitis sekunder terjadi pada keadaan perforasi saluran
cerna. Penyebab yang sering dari peritonitis bakterial sekunder termasuk penyakit
tukak lambung, apendisitis akut, divertikulitis kolon, dan penyakit radang panggul.5
6
1. Peritonitis primer
Peritonitis primer, sering juga disebut sebagai spontaneous bacterial
peritonitis, kemungkinan tidak memiliki penyebab khusus tetapi digambarkan
sebagai kelompok penyakit yang memiliki penyebab berbeda-beda tetapi
merupakan infeksi pada rongga peritoneum tanpa ada sumber yang jelas.
Penyebaran patogen dari peritonitis primer baik secara hematogen maupun
7
limfatik. Penderita sirosis hepatis dan asites memiliki faktor risiko untuk
terjadinya peritonitis primer.8
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder, yang juga disebut sebagai surgical peritonitis,
merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi. Peritonitis sekunder
disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang berasal dari traktus
gastrointestinal (Japanesa, Zahari, & Rusjdi, 2016). Peritonitis sekunder terjadi
akibat adanya proses inflamasi pada rongga peritoneal yang bisa disebabkan
oleh inflamasi, perforasi, ataupun gangrene dari struktur intraperitoneum
maupun retroperitoneum. Perforasi akibat ulkus peptikum, apendisitis,
divertikulitis, kolesistitis akut, pankreatitis dan komplikasi pasca operasi
merupakan beberapa penyebab tersering dari peritonitis sekunder. Penyebab non-
bakterial lainnya termasuk bocornya darah ke dalam rongga peritoneum akibat
robekan pada kehamilan di tuba fallopi, kista ovarian, atau aneurisma yang
menyebabkan rangsang nyeri innervasi pada peritoneum yang menyebabkan
penderita merasakan nyeri abdomen.7
3. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier terjadi saat gejala klinis peritonitis dan tanda-tanda
sistemik sepsis menetap setelah mendapat pengobatan yang tidak adekuat untuk
peritonitis primer atau sekunder. Peritonitis tersier disebabkan iritan langsung
yang sering terjadi pada pasien immunocompromised dan orang-orang dengan
kondisi komorbid.4
c. Tahap III
Tahap III adalah upaya pertahanan tuan rumah untuk melokalisasi infeksi
terutama melalui produksi eksudat fibrinosa yang menjebak mikroba di dalam
matriksnya dan mendorong mekanisme efek fagositik lokal. Ini juga berfungsi untuk
mendorong perkembangan abses. Pengaturan pembentukan dan degradasi fibrin
sangat penting untuk proses ini. Aktivitas pengaktifan plasminogen yang dihasilkan
oleh sel mesothelial peritoneal menentukan apakah fibrin yang terbentuk setelah
cedera peritoneal dilapisi atau diatur menjadi adhesi fibrosa. Secara khusus, faktor
nekrosis tumor-α merangsang produksi aktivator-inhibitor plasminogen-1 oleh sel
mesothelial peri-toneal, yang menghambat degradasi fibrin.8
A. Anamnesis
Nyeri adalah gejala yang paling umum dan mungkin terlokalisasi atau diffuse;
biasanya konstan dan memiliki karakter yang tajam dan menusuk. Perforasi viseral
menyebabkan nyeri hebat yang tiba-tiba biasanya muncul pertama kali di area
perforasi, tetapi mungkin menjadi lebih umum saat kontaminasi peritoneal menyebar.
Nyeri akan dirujuk ke ujung bahu ipsilateral jika peritoneum diafragma terlibat.
Anoreksia, malaise, mual dan muntah adalah gambaran umum yang berhubungan.
Konstipasi biasanya muncul, kecuali jika terjadi abses panggul (yang dapat
menyebabkan diare).8
B. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umum
Pasien dengan peritonitis tampak pucat, lesu dan cemas; mata cekung karena
dehidrasi. Pengamatan teratur akan menunjukkan tanda-tanda sindrom respons
inflamasi sistemik atau, paling buruk, syok septik, syok hipovolemik atau kegagalan
multi-organ. 8
2. Abdomen
Pasien akan berbaring telentang dan relatif tidak bergerak dengan pernapasan
dangkal. Lutut ditekuk dan ditarik untuk mengurangi ketegangan di dinding perut.
Pada peritonitis difus, spasme otot abdomen akan menyebabkan kekakuan seperti
papan dan kegagalan abdomen untuk bergerak saat pernapasan. Palpasi abdomen
memperburuk nyeri sehingga harus dilakukan dengan hati-hati dan lembut. Lokasi
nyeri tekan maksimum biasanya berhubungan dengan lokasi patologi. Tanda-tanda
penyakit patognomonik spesifik mungkin secara klinis terbukti (misalnya tanda
Rovsing pada apendisitis akut). Pemeriksaan colok dubur akan menunjukkan nyeri
tekan anterior pada peritonitis pelvis. Auskultasi akan mengkonfirmasi kecurigaan
ileus saat bising usus berkurang dan akhirnya menghilang. 8
C. Pemeriksaan Penunjang
11
1. Pemeriksaan darah
Hitung darah lengkap akan menunjukkan leukositosis. Urea dan
elektrolit akan menunjukkan dehidrasi dan gagal ginjal akut dimana hasil ini
akan digunakan untuk pedoman penggantian cairan dan elektrolit. Tes fungsi
hati dan serum amilase - konsentrasi amilase yang tinggi dalam serum
merupakan diagnostik pankreatitis akut, tetapi peningkatan konsentrasi yang
cukup dapat disebabkan oleh kejadian intra-abdominal lainnya (misalnya
ulkus duodenum). Gas darah arteri mencerminkan asidosis metabolik, sering
didahului oleh tekanan karbon dioksida arteri yang rendah yang disebabkan
oleh hiperventilasi. 8
2. Radiologi
Foto thoraks erect akan menunjukkan pneumoperitoneum pada sekitar
70-80% perforasi viseral. Radiografi dekubitus lateral kiri abdomen adalah
alternatif bagi mereka yang tidak dapat duduk. Radiografi terlentang abdomen
kurang informatif, tetapi memiliki tampilan 'ground glass' pada kasus
peritonitis difus. Ultrasound mungkin berperan dalam mengkonfirmasi atau
mengecualikan diagnosis spesifik (misalnya abses subphrenic). Computerized
Tomography (CT) jauh lebih akurat dalam prediksi negatif daripada
ultrasound, dan telah menggantikan laparotomi diagnostik buta untuk mencari
sepsis tersembunyi. Akurasi diagnostik dari USG dan CT juga telah
ditegaskan dalam kasus apendisitis akut yang samar-samar secara klinis. 8
Oksigen aliran tinggi sangat penting untuk semua pasien syok. Hipoksia dapat
dipantau dengan oksimetri nadi atau pengukuran arteri gas darah. Resusitasi cairan
awalnya dengan kristaloid (i.v.), volumenya tergantung pada derajat syok dan
dehidrasi. Penggantian elektrolit (terutama kalium) mungkin diperlukan. Pasien harus
dipasang kateter untuk memantau setiap jam keluaran urin. Pemantauan tekanan vena
sentral dan penggunaan inotropik mungkin sesuai pada sepsis berat atau pada pasien
dengan komorbiditas. Analgesia opiat (i.v.) dan antiemetik yang sesuai akan
dibutuhkan. Antibiotik harus berspektrum luas, mencakup aerob dan anaerob, dan
diberikan secara intravena. Sefalosporin dan metronidazole generasi ketiga adalah
strategi utama yang umum. Untuk pasien yang mengalami peritonitis di rumah sakit
(misalnya anastomosis kebocoran) atau yang membutuhkan perawatan intensif, terapi
lini kedua dengan meropenem atau kombinasi piperasilin dan tazobaktam disarankan.
Terapi antijamur juga harus dipertimbangkan untuk menutupi kemungkinan spesies
Candida. Penggunaan antibiotik secara dini dan tepat adalah kunci untuk mengurangi
kematian pada pasien dengan syok septik terkait dengan peritonitis. Tabung
nasogastrik dan aspirasi meredakan muntah dan distensi abdomen dan mengurangi
risiko aspirasi radang paru-paru.8
A. Pembedahan
Pembedahan laparotomi biasanya dilakukan melalui sayatan di garis tengah
atas atau bawah (tergantung pada lokasi patologi yang dicurigai). Tujuannya adalah
untuk:
1. Menentukan penyebab peritonitis
2. Mengontrol asal mula sepsis dengan pengangkatan organ yang meradang atau
iskemik (atau penutupan viskus yang berlubang)
3. Melakukan toilet / lavage peritoneal yang efektif.
Antibiotik dilanjutkan selama lima hari pasca operasi dalam kasus peritonitis
umum atau kompleks. Relaparotomi memiliki peran penting dalam pengobatan
pasien dengan peritonitis sekunder berat yang, setelah laparotomi primer, memiliki
gambaran sepsis yang terus berlanjut atau memburuk. Namun, harus selalu diingat
bahwa banyak pasien sepsis tidak memerlukan relapotomi tetapi mungkin hanya
13
memerlukan ventilasi mekanis, antimikroba, dan dukungan organ dalam waktu lama.
Memperoleh pengendalian sepsis yang efektif pada operasi pertama sangat penting
karena setiap operasi berikutnya bertemu dengan peningkatan risiko morbiditas dan
mortalitas. Laparoskopi terbukti efektif dalam penanganan apendisitis akut dan ulkus
duodenum perforasi. Ini dapat digunakan dalam kasus perforasi kolon, tetapi tingkat
konversi ke laparotomi lebih tinggi. 8
B. Antibiotik Spektrum Luas
Pemberian antibiotik terdapat single agent dan multiple agent. Single agent
yaitu berupa Ceftriaxone 1-2 gram intravena selama 24 jam atau Cefotaxime 1-
2 gram intravena. Sedangkan multiple agent yaitu Ampiciline 2 gram intravena,
Gentamicine 1,5mg/kg/hari, dan Clindamycine 600-900 mg intravena atau
Metronidazole 500 mg intravena.9
Tabel 2.2 Terapi Antimikroba Empiris9
C. Kontrol Nyeri
Pemberian berupa morfin atau meperidine untuk mengurangi rasa nyeri
abdomen yang dirasakan oleh penderita.
2.4 Apendiks
2.5 Apendisitis
2.5.1 Definisi Apendisitis
Apendisitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan
muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel
radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi
granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh
fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut apendisitis akut supuratif. Edema
dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi ganggren,
warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding
appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan
pembuluh darah kongesti.15
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.16
a. Faktor Host
1. Umur
Apendisitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa
muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis tertinggi pada usia
10-19 tahun dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000
19
penduduk.37 Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena jaringan
limfoid mencapai puncak pada usia pubertas.16
2. Jenis Kelamin
3. Ras
Faktor ras berhubungan dengan pola makan terutama diet rendah serat dan
pencarian pengobatan. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, IR kulit putih :
kulit hitam yaitu 15,4 : 10,3 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,5 : 1.37 Penelitian
Richardson et al (2004) di Afrika Selatan, IR kulit putih : kulit hitam yaitu 2,9 : 1,7
per 1.000 penduduk dengan rasio 1,7 : 1.32 Penelitian Ponsky (2004) di Children's
National Medical Center Amerika Serikat dengan desain Case Control pada anak
umur 5-17 tahun didapat penderita ruptur apendisitis 1,66 kali lebih besar pada anak
keturunan Asia (Odds Ratio [OR]: 1,66; 95% Confidence Interval [CI] : 1,24-2,23)
dan 1,13 kali lebih besar pada anak kulit hitam (OR: 1,13; 95% CI: 1,01-1,30)
dibandingkan anak bukan penderita ruptur apendisitis.38 Penelitian Smink (2005) di
Boston dengan desain Case Control pada anak umur 0-18 tahun didapat penderita
ruptur apendisitis 1,24 kali lebih besar pada anak kulit hitam (OR: 1,24; 95% CI:
1,10–1,39) dan 1,19 kali lebih besar pada anak hispanik (OR: 1,19; 95% CI: 1,10–
1,29) dibandingkan anak bukan penderita ruptur apendisitis.17
b. Faktor Agent
Eschericia coli, Splanchicus sp, Lactobacilus sp, Pseudomonas sp, dan Bacteriodes
splanicus. Bakteri penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan aerob 4%.18
c. Faktor Environment
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-
tanda peritonitis umum.19,20
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat
mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.19,20
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan
pelvic.19,20
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan
otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m.
psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Pada uji obturator
dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
appendiks yang meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.16
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
24
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan
meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses
elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan
90%.16
b. Radiologi
c. Analisa urin
g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan apendisitis dengan obstruksi usus
halus atau batu ureter kanan.
25
1. Gastroenteritis
Ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang
menonjol dibandingkan apendisitis akut.
2. Limfadenitis Mesenterika
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri
perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan perut.
3. Demam dengue
Dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil positif untuk
Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang meningkat.
4. Infeksi Panggul
Salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendicitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi
panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
6. Kehamilan ektopik
27
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak jelas
seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan
menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik.
7. Divertikulosis Meckel
Gambaran klinisnya hampir sama dengan apendisitis akut dan sering
dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada apendisitis akut sehingga
diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.
9. Batu ureter
Jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai apendisitis
retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria, dan terjadi demam
atau leukositosis.
Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada
orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43
Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan
28
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.16
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar
ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam.19 Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.23
3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.15,20
BAB III
STATUS PASIEN
DATA PASIEN
Nama Pasien : MA
Usia : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Medan
No. RM : 066614
Tanggal masuk : 10 Juli 2021
ANAMNESIS
Telaah : Hal ini telah dialami pasien sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri bersifat menusuk-nusuk dan terus
menerus. Nyeri semakin memberat jika pasien bergerak,
bersin, batuk, atau menekuk perutnya. Pada awalnya, nyeri
dirasakan di ulu hati kemudian berpindah ke perut kanan
bawah, dan ke seluruh lapangan perut. Demam dijumpai sejak
3 hari SMRS. Mual dijumpai. Muntah dijumpai sebanyak 2
kali berisi makanan dan minuman yang dikonsumsi. Pasien
mengaku belum BAB sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, namun pasien masih dapat buang angin. Nafsu makan
berkurang. BAK dalam batas normal. Pasien mengaku selama
ini BAB sering tidak lancar dan sulit mengeluarkan BAB.
29
30
PEMERIKSAAN FISIK
Kondisi Umum :
Sensorium : Compos mentis
VAS :8
Tekanan darah : 130/90 mmHg
HR : 114 kali per menit
RR : 20 kali per menit
Suhu : 38,9 C
SpO2 : 99%
Status Lokalisata :
Kepala dan leher :
Kepala dan leher simetris, TVJ normal, Trakea medial, pembesaran KGB (-), Struma
(-)
Mata :
Konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor.
Telinga/Hidung/Rongga Mulut :
Dalam batas normal
Thorax :
Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri,
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler kanan dan kiri
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
31
Abdomen :
Inspeksi : Simetris, distensi (-)
Palpasi : Defans muscular (+), Nyeri tekan seluruh lapangan perut (+), MC
Burney tenderness (+), Blumberg sign (+), Dunphy sign (+), Psoas
sign (+), Obturator sign (+), Hepar/Lien/Renal tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) Menurun
Pinggang :
Nyeri ketok sudut costo-vertebra (-)
Ekstremitas :
Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat, CRT <2 detik
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat, CRT <2 detik
Pemeriksaan Laboratorium :
Hitung Jenis
32
Basofil 0% 0-2 %
Eosinofil 1% 1-8 %
Neutrofil Segmen 91 % 44-74 %
Limfosit 3% 15-43 %
Monosit 5% 6-14 %
Masa Perdarahan (BT) 4 menit 2-6 %
Masa Pembekuan (CT) 8 menit 6-12 %
HIV Rapid Test Negatif Negatif
HBsAg Negatif Negatif
Rapid Antigen SARS Negatif Negatif
CoV-2
Alvarado Score : 10
Diagnosis Banding:
1. Peritonitis ec. ulkus peptikum
2. Peritonitis ec.tifoid perforasi
3. Pankreatitis akut
Tatalaksana :
Pasien puasa
Pasang NGT dan Kateter
IVFD Ringer Laktat 20 tpm makro
Inj Norages 1000mg IV
Inj Ranitidine 50mg IV
Konsul dr. Owen, SpB :
33
BAB IV
FOLLOW UP
Hari I (11/07/2021)
S : Nyeri luka post operasi dijumpai, flatus dijumpai, BAB belum dijumpai
O : Sensorium : Compos mentis
TD : 100/89 mmHg
HR : 98 x/i
RR : 20 x/i
T : 36 C
VAS :6
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Bibir : Sianosis (-), kering (-)
Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II normal, regular
Abdomen : Inspeksi : Simetris, distensi (-), luka operasi kering, tampak
terpasang drain di sebelah kanan dengan cairan
minimal
Auskultasi : Suara peristaltik usus (+) Normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
35
Perkusi : Timpani
Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (-)
Genitalia : Terpasang kateter
A : Post Laparatomi ec Peritonitis ec Apendisitis Perforasi (H-1)
P : IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
Injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam IV
Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam IV
Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam IV
Drips Fentanyl 200 mcg + 50 ml Ns 0,9% (3-5 ml/jam) IV
Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam IV
Drips Paracetamol 1 g/8 jam IV
Diet M2 Tinggi Kalori Tinggi Protein
Mobilisasi duduk
Hari II (12/07/2021)
S : Nyeri luka post operasi dijumpai, flatus dijumpai, BAB belum dijumpai
O : Sensorium : Compos mentis
TD : 123/80 mmHg
HR : 90 x/i
RR : 20 x/i
T : 37,4 C
VAS :6
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Bibir : Sianosis (-), kering (–)
Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
36
RR : 20 x/i
T : 36,2 C
VAS :5
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Bibir : Sianosis (-), kering (-)
Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II normal, regular
Abdomen : Inspeksi : Simetris, distensi (-), luka operasi kering, tampak
terpasang drain di sebelah kanan dengan cairan
minimal
Auskultasi : Suara peristaltik usus (+) Normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (-)
Genitalia : Dalam batas normal
A : Post Laparatomi ec Peritonitis ec Apendisitis Perforasi (H-3)
P : IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
Injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam IV
Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam IV
Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam IV
38
Hari IV (14/07/2021)
S : Nyeri luka post operasi berkurang, flatus dijumpai, BAB dijumpai
O : Sensorium : Compos mentis
TD : 139/91 mmHg
HR : 82 x/i
RR : 20 x/i
T : 36,9 C
VAS :4
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Bibir : Sianosis (-), kering (-)
Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II normal, regular
Abdomen : Inspeksi : Simetris, distensi (-), luka operasi kering, tampak
terpasang drain di sebelah kanan dengan cairan
minimal
Auskultasi : Suara peristaltik usus (+) Normal
39
Hari V (15/07/2021)
S : Nyeri luka post operasi berkurang, flatus dijumpai, BAB dijumpai
O : Sensorium : Compos mentis
TD : 120/70 mmHg
HR : 82 x/i
RR : 20 x/i
T : 36,9 C
VAS :3
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Bibir : Sianosis (-), kering (-)
40
TEORI KASUS
Peritonitis adalah peradangan pada Laki-laki usia 21 tahun datang
peritoneum dan rongga peritoneum dan dengan nyeri dialami di seluruh
paling sering disebabkan oleh infeksi lapangan perut. Hal ini telah dialami
lokal atau umum pasien sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri bersifat menusuk-
Kondisi yang paling sering nusuk dan terus menerus. Nyeri
mengakibatkan masuknya bakteri ke semakin memberat jika pasien
dalam peritoneum adalah apendiks yang bergerak, bersin, batuk, atau
mengalami perforasi, pecah, perforasi menekuk perutnya. Pada awalnya,
divertikulum, perforasi tukak lambung, nyeri dirasakan di ulu hati kemudian
hernia inkarserata, gangrene kandung berpindah ke perut kanan bawah, dan
empedu, volvulus, infark usus, kanker, ke seluruh lapangan perut. Demam
penyakit radang usus, atau obstruksi dijumpai sejak 3 hari SMRS. Mual
usus. dijumpai. Muntah dijumpai sebanyak
2 kali berisi makanan dan minuman
yang dikonsumsi. Pasien mengaku
belum BAB sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, namun pasien
masih dapat buang angin. Nafsu
makan berkurang. Buang air kecil
dalam batas normal. Pasien mengaku
selama ini BAB sering tidak lancar
dan sulit mengeluarkan BAB.
42
43
Klasifikasi Peritonitis
Berdasarkan anamnesis pasien,
1. Peritonitis primer (spontaneous
dijumpai adanya keluhan nyeri perut
bacterial peritonitis)
Infeksi pada rongga peritoneum sebelah kanan bawah satu hari
tanpa ada sumber yang jelas baik sebelum masuk rumah sakit.
3. Peritonitis tersier
Disebabkan iritan langsung yang
sering terjadi pada pasien
immunocompromised dan orang-
orang dengan kondisi komorbid
44
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah :
Leukositosis.
Urea dan elektrolit
menunjukkan dehidrasi dan
gagal ginjal akut
Peningkatan konsentrasi
amilase yang tinggi
merupakan diagnostik
pankreatitis akut dan
kejadian intra-abdominal
lainnya (misalnya ulkus
duodenum).
Asidosis metabolik
Radiologi
- Foto thoraks erect akan
menunjukkan
pneumoperitoneum pada
sekitar 70-80% perforasi
viseral.
- Radiografi terlentang
abdomen dapat memiliki
tampilan 'ground glass' pada
kasus peritonitis difus.
- Ultrasound mungkin
berperan dalam
mengkonfirmasi atau
47
mengecualikan diagnosis
spesifik (misalnya abses
subphrenic).
- Computerized Tomography
(CT)
Tatalaksana : Tatalaksana di IGD
Pasien puasa
• Oksigen aliran tinggi sangat penting
Pasang NGT dan Kateter
untuk semua pasien syok.
IVFD Ringer Laktat 20 tpm makro
• Hipoksia dapat dipantau dengan
Injeksi Norages 1000mg IV
oksimetri nadi atau pengukuran
Injeksi Ranitidine 50mg IV
arteri gas darah.
• Resusitasi cairan awalnya dengan
Pembedahan
kristaloid (i.v.), volumenya
Laparatomi eksplorasi
tergantung pada derajat syok dan
dehidrasi.
Tatalaksana Pasca Bedah
• Penggantian elektrolit (terutama
IVFD Ringer Laktat 20 gtt/I
kalium) mungkin diperlukan.
Injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam IV
• Pemasangan kateter untuk Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam
memantau urin setiap jam. IV
• Analgesia opiat (i.v.) dan antiemetik Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam IV
yang sesuai akan dibutuhkan. Drips Fentanyl 200 mcg + 50 ml Ns
• Antibiotik harus berspektrum luas, 0,9% (3-5 ml/jam) IV
mencakup aerob dan anaerob, dan Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam IV
diberikan secara intravena. Drips Paracetamol 1 g/8 jam IV
Antibiotik dilanjutkan selama lima Diet M2 Tinggi Kalori Tinggi Protein
Seorang laki-laki, usia 21 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri seluruh
lapangan perut sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis dengan peritonitis
ec suspek apendisitis perforasi dan dilakukan laparatomi eksplorasi. Dari hasil
laparatomi, dijumpai pus di peritoneum dan appendic gangrene retro caecal dengan
perforasi di pangkal. Pasien diberikan antibiotik, antinyeri, dan dirawat selama 5 hari
kemudian pulang berobat jalan.
48
49
DAFTAR PUSTAKA
17. Sabiston, D. Buku Ajar Bedah: Essentials Of Surgery. Bagian 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1994.
18. Zoguẽreh, et al. Acute Appendicitis At The National University Hospital In
Bangui, Central African Republic. Journal of Epidemiology. 2001: Volume 11
issue 2. http://www.ncbi.nlm.nih.gov
19. Dudley, H. Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat. Edisi 11. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 1992.
20. Oswari, E. Bedah dan Perawatannya. Balai penerbit FKUI. Jakarta. 2000.
21. Schwartz S, Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, Dunn D, Hunter J et al.
Schwartz's principles of surgery. 10th ed. New York: McGraw-Hill Education;
2015.
22. Sofii, et al. Uji Diagnostik Jumlah Leukosit Persentase Neutrofil, dan CRP
Pada Apendisitis Komplikasi Dan Simpleks Pasien Dewasa. Berkala Ilmu
Kedokteran Volume 39 No. 1 Maret 2007. http://i-lib.ugm.ac.id
23. Jehan, E. Peran C Reaktive Protein Dalam Menentukan Diagnosa
AppendicitisAkut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September
2006. http://library.usu.ac.id