Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN PERITONITIS

DI RAWAT INAP D (RID)

RUMAH SAKIT WAVA HUSADA KABUPATEN MALANG

DEPARTEMEN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

NAMA: EMILIYA DWI ARISMA

NIM: 2230015

PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM PROFESI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

MALANG

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Masalah Peritonitis Di Ruang Rawat Inap D
(RID) Rumah Sakit Wava Husada Kabupaten Malang , yang Dilakukan Oleh :

Nama : Emiliya Dwi Arisma

NIM : 2230015

Prodi : PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM PROFESI

Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Progam Pendidikan Profesi Ners
Program Profesi Departemen Keperawatan Medikal Bedah, yang dilaksanakan pada tanggal 12
September 2022 yang telah disetujui dan disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Kepanjen, September 2022

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(.............................................) (............................................)
A. DEFINISI

Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang sebesar dalam tubuh yang terdiri dua
bagian utama yaitu peritoneum parietal yang melapisi dinding rongga abdominal, dan rongga
peritoneum viseral yang meliputi semua organ yang berada pada didalam rongga itu (Pearce,2009).
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum ( lapisan membran serosa rongga
abdomen ) dan organ didalamnya (Muttaqin & Sari, 2011).Peritonitis adalah peradangan pada
peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa
(Jitwiyono & Kristiyanasari, 2012).
B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya peritonitis adalah Invasi kuman bakteri ke dalam rongga peritoneum,bakteri
yang paling sering menyebabkan infeksi, meliputi
1. Gram negative meliputi Escherichia coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%),
Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya (20%).
2. Gram positif, seperti Streptococcus pneumoniae (15%), Streptococcus lainnya (15%), dan
Staphylococcus (3%). Mikroorganisme anaerob kurang dari 5%. (Cholongitas, 2005).
Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan juga oleh berbagai kelainan pada
gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen (Rotstein, 1997) atau
perforasi organ pascatrauma abdomen (Ivatury, 1998). Biasanya, akibat dari infeksi bakteri :
organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ reproduktif
internal. Peritonitis dapat juga akibat dari sumber eksternal seperti cedera atau trauma ( misal : luka
tembak atau luka tusuk) atau oleh inflamasi yang luas yang berasal dari organ diluar area
peritonium, seperti ginjal. Inflamasi dan ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab
umum lain dari peritonitis adalah apendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus.
Peritonitis juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal.
(Brunner dan Suddarth, 2001)

C. PATOFISIOLOGIS
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen (peningkatan aktivitas
inhibitor aktivator plasminogen) dan fibrin karantina dengan pembentukan adhesi berikutnya.
Produksi eksudat fibrinosa merupakan reaksi penting pertahanan tubuh, tetapi sejumlah besar
bakteri dapat dikarantina dalam matriks fibrin. Matriks fibrin tersebut memproteksi bakteri dari
mekanisme pembersihan oleh tubuh (van Goor, 1998). Pembentukan abses merupakan strategi
pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan
infeksi persisten dan sepsis yang mengancam jiwa. Awal pembentukan abses melibatkan pelepasan
bakteri dan agen potensi abses menuju kelingkungan steril. Pertahanan tubuh tidak dapat
mengeliminasi agen infeksi dan mencoba mengontrol penyebaran melalui sistem kompartemen.
Proses ini dibantu oleh kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu fagositosis.
Kontaminasi transien bakteri pada peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit viseral primer)
merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri telah ditunjukkan untuk mengubah
respon imun ke inokulasi peritoneal berulang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan insidensi
pembentukan abses, perubahan konten bakteri, dan meningkatnya angka kematian. Studi terbaru
menunjukkan bahwa infeksi nosokomial di organ lain (misalnya pneumonia, sepsis, infeksi luka)
juga meningkatkan kemungkinan pembentukan abses abdomen berikutnya (Bandy, 2008).
Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa, menempel menjadi satu dengan
permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum, maka aktivitas motilitas usus menurun dan meningkatkan risiko ileus paralitik (Price,
1995).
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi dengan cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, misalnya interleukin, dapat memulai
respons hiperinflamatorius sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan
banyak organ. Oleh karena itu tubuh mencoba untuk mengimpensasi dengan cara retensi cairan dan
elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardia awalnya meningkatkan
curah jantung, tetapi kemudian akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi hipovolemia
(finlay,1999).
Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami edema. Edema
disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus, serta edema seluruh organ
intraperitoneal dan edema dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hopovolemik. Hipovolemik bertambahan dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada,
serta muntah. Terjebaknya cairan dirongga peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intraabdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit, dan menimbulkan
penurunan perfusi..
Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren. Pasien dengan
peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis
tersier berkembang lebih sering pada pasien dengan kondisi penyakit signifikan yang sudah ada
sebelumnya dan pada pasien dengan penurunan fungsi imun. Meskipun jarang diamati pada
peritonitis tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier pada pasien memerlukan masuk ICU pada
peritonitis yang parah dapat mencapai 50-74% (Sawyer, 1991).
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam rongga abdomen biasanya
sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi
bakterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam
rongga peritonial menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler,
dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus peralitik,
disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus. (Brunner dan Suddarth, 2001).
D. PATHWAY
E. Manisfestasi klinis
a Nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan, terlokalisasi, lebih
terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh gerakan. Area yang sakit dari
abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan, dan otot menjadi kaku. Nyeri tekan lepas
dan ileus peralitik dapat terjadi.
b Mual dan muntah
c Penurunan peristaltik.
d Suhu dan frekuensi nadi meningkat,
e Terdapat peningkatan jumlah leukosit.

F. Komplikasi
1. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis.
2. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia.
3. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan
terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah
1. Eviserasi luka
2. Pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang mengalami
nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan sesuatu terbuka” harus dilaporkan. Luka yang tiba-
tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa menunjukkan adanya dehisens luka.
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (OKTAVIANI, 2019), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien
dengan abdominal pain meliputi:
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan DL
- Amilase Kadar serum
- Gas Darah Arteri
- Urin
- EKG
- Rotgen thorak
- Rotgen Abdomen
- Ultrasonografi
- CT scan
- IVU (urografi intravena)
H. Penatalaksanaan
a. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari penatalaksanaan medis.
Beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan
dan elektrolit bergerak dari lumen usus kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan
dalam ruang vaskuler.
b. Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri.
c. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
d. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dan
dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan
distres pernapasan.
e. Terapi oksigen dengan kanula rasal atau masker akan meningkatkan oksigenisasi secara
adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi diperlukan.
f. Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis besar dari
antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai organisme penyebab infeksi
diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang tepat dapat dimulai.
g. Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab.
Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi dengan atau tanpa
anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses). Pada sepsis yang luas,
perlu dibuat diversi fekal.
` Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Pasien mengeluh nyeri perut.
b. Nadi meningkat.
c. Tekanan darah meningkat.
d. RR meningkat.
e. Pasien tampak meringis.
f. Pasien mengatakan nyeri ringan – sedang.
g. Pasien hanya minum < 8 gelas sehari
h. Pasien muntah-muntah
i. Pasien tampak lemah.
j. Lidah dan mukosa bibir pasien kering.
k. Turgor kulit tidak elastis.
l. Urine sedikit dan pekat.
m. Pasien mengatakan mual dan tidak nafsu makan.
n. Pasien hanya makan sedikit dari porsi yang diberikan.
o. Berat badan pasien turun.
p. Pasien tampak lemah dan kelelahan.
q. Aktivitas pasien terganggu.

2. Pemeriksaan Fisik
Dilaksanakan dengan memeriksa dulu keadaan umum penderita (status generalis)
untuk evaluasi keadaan sistim pemafasan, sistim kardiovaskuler dan sistim saraf yang
merupakan sistim vital. Pemeriksaan keadaan lokal (status lokalis abdomen)
dilaksanakan dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Tanda-tanda khusus
pada akut abdomen tergantung pada penyebabnya seperti trauma, peradangan,
perforasi atau obstruksi (Rahayu, 2016).
a. Inspeksi
Tanda-tanda khusus pada trauma daerah abdomen adalah:
1) Penderita kesakitan. Pernafasan dangkal karena nyeri di daerah abdomen.
2) Penderita pucat, keringat dingin.
3) Bekas-bekas trauma pada dinding abdomen, memar, luka.

b. Palpasi
1) Palpasi akan menunjukkan 2 gejala:
a) Perasaan nyeri

Perasaan nyeri yang memang sudah ada terus menerus akan


bertambah sehingga dikenal gejala nyeri tekan dan nyeri lepas.
b) Kejang otot

Kejang otot ditimbulkan karena rasa nyeri pada peritonitis diffusa


yang karena rangsangan palpasi bertambah sehingga secara refleks terjadi
kejang otot.
c. Perkusi

Perkusi pada akut abdomen dapat menunjukkan 2 hal:


1) Perasaan nyeri oleh ketokan pada jari. Ini disebut sebagai nyeri ketok.
2) Bunyi timpani karena disebabkan distensi usus yang berisikan gas pada ileus
obstruksi rendah.

d. Auskultasi

Auskultasi tidak memberikan gejala karena pada akut abdomen terjadi


perangsangan peritoneum yang secara refleks akan mengakibatkan ileus paralitik.

e. Pemeriksaan Rectal

Toucher atau perabaan rektum dengan jari telunjuk juga merupakan


pemeriksaan rutin untuk mendeteksi adanya trauma pada rektum apakah berisi
feses atau teraba tumor.
DAFTAR PUSTAKA

OKTAVIANI, M.D. (2019). ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN ABDOMINAL

PAIN DI RUANG BOUGENVILLE 3 RSUD dr. LOEKMONO HADI KUDUS. 64

PPNI (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,

Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018) Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil

Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,

Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta:EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktik Klinik Edisi 6.
Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8.
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai