Anda di halaman 1dari 6

Helsa Apty Tamara l Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Peritonitis Sekunder

Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Peritonitis Sekunder


Helsa Apty Tamara1, Rizki Hanriko2
1,2
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak

Peritonitis adalah peradangan yang terjadi pada peritoneum. Peritonitis salah satu keadaan gawat darurat yang
memerlukan diagnosis cepat dan harus segera ditangani. Mortalitas kasus ini secara keseluruhan adalah 6%, tetapi
kematian meningkat menjadi 35% pada pasien yang mengalami sepsis berat. Peritonitis sekunder disebabkan
hilangnya integritas saluran cerna atau organ visceral lainnya. Tanda-tanda klinis pada pasien dengan peritonitis
mungkin ringan sampai berat dan seringkali tidak spesifik. Pemeriksaan penunjanng yang dapat dilakukan meliputi
pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan pencitraan. Tatalaksana berupa stabilisasi, pemberian antibiotik, dan
nutrisi. Tindakan operatif berupa laparotomi eksplorasi dengan debridement dan lavage bedah. Drainase peritoneal
terbuka atau drainase hisap tertutup harus dipertimbangkan untuk penatalaksanaan peritonitis. Pentingnya diagnosis
peritonitis sekunder secara tepat dan cepat memicu penulis untuk memperdalam pengetahuan mengenai peritonitis
sekunder, meliputi definisi, epidemiologi, etiologi, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang tentang peritonitis
sekunder.

Kata kunci: Peritonitis Sekunder, Laparotomi Eksplorasi, Drainase

Clinical Approach and Management of Secondary Peritonitis


Abstract

Peritonitis is inflammation of the peritoneum. Peritonitis is an emergency that requires a quick diagnosis and must be
treated immediately. The overall case fatality was 6%, but mortality increased to 35% in patients with severe sepsis.
Secondary peritonitis is caused by loss of integrity of the gastrointestinal tract or other visceral organs. Clinical signs in
patients with peritonitis may be mild to severe and are often nonspecific. Supportive examinations that can be carried
out include complete blood laboratory examinations and imaging. Management includes stabilization, administration of
antibiotics, and nutrition. The operative procedure was exploratory laparotomy with surgical debridement and lavage.
Open peritoneal drainage or closed suction drainage should be considered for the management of peritonitis. The
importance of diagnosing secondary peritonitis accurately and quickly triggers the authors to deepen their knowledge of
secondary peritonitis, including definition, epidemiology, etiology, clinical symptoms and investigations of secondary
peritonitis.

Keywords: Secondary Peritonitis, Exploratory Laparotomy, Drainage

Korespondensi: Helsa Apty Tamara, alamat Jl. Prof. Dr. Ir. Sumantri Brojonegoro No. 1 Kedaton Bandar Lampung, HP
089624472057, email Helsaapty@gmail.com

JK Unila | Volume 6 | Nomor 2| Desember 2022 | 63


Helsa Apty Tamara l Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Peritonitis Sekunder

Pendahuluan belakang selubung posterior peritoneum


dan termasuk aorta, esofagus, bagian kedua
Peritonitis merupakan peradangan dan ketiga duodenum, kolon asendens dan
pada rongga peritoneum. Berdasarkan desendens, pankreas, ginjal, ureter, dan
penyebab yang mendasari, peritonitis kelenjar adrenal 5.
terbagi atas primer, sekunder, dan tersier 1. Asal peritonitis dan efek pengobatan
Peritonitis sekunder terjadi akibat antimikroba adalah faktor utama yang
kontaminasi langsung peritoneum oleh mempengaruhi tingkat keparahan peritonitis
tumpahan isi traktus gastrointestinal atau dan hasilnya. Mortalitas dan morbiditas
urogenital atau organ padat terkait 2. Oleh sepsis atau peritonitis berat dapat dikurangi
karena itu, peritonitis sekunder didefinisikan dengan obat perawatan kritis canggih,
sebagai iritasi pada lapisan peritoneum termasuk resusitasi cairan, terapi
perut yang disebabkan oleh kontak langsung vasopresor, dan kontrol sumber bedah atau
dengan kontaminan peritoneum 3. intervensi 6.
Peritonitis sekunder menyumbang Peritonitis menjadi salah satu keadaan
1% dari kunjungan instalasi gawat darurat gawat darurat yang memerlukan diagnosis
dan merupakan penyebab utama kedua cepat dan harus segera ditangani. Oleh
sepsis pada pasien di unit perawatan intensif karena itu ditulisnya artikel ini bertujuan
secara global. Kematian secara keseluruhan untuk mengulas pendekatam klinis dan
adalah 6%, tetapi kematian meningkat tatalaksana yang tepat terkait peritonitis
menjadi 35% pada pasien yang mengalami sekunder.
sepsis berat 2. World Health Organization
menunjukkan angka mortalitas peritonitis Isi
sebesar 5,9 juta per tahun dengan angka Peritonitis sekunder merupakan
kematian 9661 ribu orang meninggal. infeksi akut peritoneum akibat hilangnya
Amerika Serikat merupakann negara dengan integritas saluran cerna atau organ visceral
angka peritonitis terbesar. Jumlah penderita lainnya. Penyebab peritonitis sekunder
peritonitis di Indonesia berjumlah 9% dari terdiri dari perforasi spontan (misalnya,
jumlah penduduk atau sekitar 179.000 karena divertikulitis, radang usus buntu,
penderita 4 kolesistitis), perforasi traumatis organ
Peritoneum adalah membrane serosa visceral, atau penyebab iatrogenik (misalnya,
yang melapisi rongga perut. Secara perforasi, kebocoran anastomosis) 7.
embriologis peritoneum berasal dari Peritoneum terbentuk dari satu lapis
mesoderm yang terdiri dari sel-sel mesotelial sel mesotelial yang melapisi dinding perut
yang didukung oleh lapisan tipis jaringan (peritoneal parietal) dan melapisi organ
fibrosa. Peritoneum berfungsi untuk visceral (peritoneum visceral). Lapisan ini
menopang organ-organ abdomen dan Bersama dengan lamina basal dan stroma
bertindak sebagai saluran untuk lewatnya submesotelialnya menciptakan penghalang
saraf, pembuluh darah, dan limfatik. semipermeable sebagai tempat pertukaran
Peritoneum terdiri dari 2 lapisan dengan air dan zat terlarut secara pasif. Partikel dan
celah diataranya. Celah ini berisi 50-100 ml bakteri akan dibersihkan melalui saluran
cairan serosa yang mencegah gesekan dan limfatik antara sel mesotelial yang
memungkinkan lapisan dan organ bergerak terkonsentrasi pada permukaan diafragma.
bebas. Lapisan luar adalah peritoneum Kegagalan pembersihan mikroba
parietal, yang menempel pada dinding perut intraabdomen melalu aliran limfatik akibat
dan panggul. Lapisan visceral bagian dalam kontaminasi yang tidak terkendali dapat
membungkus organ dalam yang terletak di menyebabkan bakteriemia dan sepsis yang
dalam ruang intraperitoneal. Rongga cepat.
peritoneum berisi omentum, ligamen, dan Peritonitis sekunder biasanya bersifat
mesenterium. Organ intraperitoneal polimikrobial. Bakteri yang berada di
meliputi lambung, limpa, hati, bagian peritoneum akan dikenali secara langsung
pertama dan keempat duodenum, jejunum, oleh reseptor dari system imun bawaan dan
ileum, kolon transversum, dan kolon secara todak langsung melalui molekul yang
sigmoid. Organ retroperitoneal terletak di dilepas dari sel mesotel yang cidera. Tahap
JK Unila | Volume 6 | Nomor 2| Desember 2022 | 64
Helsa Apty Tamara l Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Peritonitis Sekunder

awal respon tergantung pada masuknya otot dan pelindung dinding perut tersebut.
makrofag dan produksi sitokin proinflamasi Pasien biasanya berbaring diam. Sebaliknya,
termasuk faktor nekrosis tumor α, peritonitis visceral menghasilkan nyeri
interleukin 1, dan interleukin 6. Neutrofil "kolik" khas, yang bersifat paroksismal dan
tiba dalam waktu dua sampai empat jam dan dirujuk ke bagian perut anterior garis tengah
merupakan jenis sel yang dominan di yang sesuai dengan badan sel saraf aferen
peritoneum dari 48 hingga 72 jam. yang terkait. Pasien biasanya menggeliat
Penghancuran bakteri melepaskan kesakitan. Peradangan visceral dapat
lipopolisakarida dan komponen seluler menyebabkan gejala yang berhubungan
lainnya yang selanjutnya merangsang dengan peritonitis parietal ketika prosesus
respons pro-inflamasi inang. Respon visceral transmural dan organ visceral yang
inflamasi lokal yang kuat diperlukan untuk terlibat cukup dekat dengan permukaan
mengontrol peritonitis. Namun, jika respon peritoneum parietal untuk menyebabkan
inflamasi lokal menyebar ke sirkulasi peradangan sekunder 2.
sistemik, dapat menyebabkan sepsis dan Pasien dengan keluhan nyeri abdomen
meningkatkan mortalitas 2. akut harus dilakukan penilaian keseluruhan
Peritonitis adalah kombinasi proses dan tanda-tanda vital. Pemeriksaan harus
infeksi dan inflamasi, sehingga meskipun menentukan waktu, lokasi, dan karakter
peritoneum bersih dari infeksi dengan nyeri pada pasien. Riwayat demam dengan
pembedahan dan antibiotik, morbiditas dan suhu >380C, anoreksia, malaise, perut
mortalitas peritonitis secara keseluruhan kembung, mual, muntah, konstipasi dapat
terkait dengan inflamasi sistemik dan cidera ditemukan dalam kasus ini. Pemeriksaan
organ. Respon inflamasi sistemik bergantung harus fokus pada identifikasi peritonitis
pada kemampuan inang menahan sumber umum yaitu, tanda ileus paralitik berupa
kontaminasi. Aktivitas kaskade koagulasi bising usus menurun, perkusi hipertimpani,
mengarah pada produksi fibrin lokal yang rigiditas, rebound tenderness, sakit di
berpotensi menutup area kontaminasi untuk seluruh kuadran abdomen 4.
memfasilitasi pembentukan abses. Pemeriksaan penunjang yang dapat
Omentum mayor memainkan peran penting dilakukan yaitu pengujian laboratorium dan
baik sebagai penyebaran neutrophil cepat pencitraan. Hasil pemeriksaan lab dapat
maupun sebagai penghalang fisik yang berupa peningkatan jumlah sel darah putih
berkontribusi pada pengurungan infeksi. dan disertai hitung jenis shift to the left.
Mekanisme ini akan mengatasi sumber Akan tetapi, leukositosis saja tidak memiliki
kontaminasi dan mencegah penyebaran peran dalam diagnosis rutin peritonitis
bakteri serta sitoki inflamasi ke dalam aliran sekunder. L-Laktat diproduksi sebagai
darah 2. produk sampingan dari glikolisis di semua sel
Persarafan peritoneum parietal dan manusia. Dalam keadaan hipoksia, akan
visceral menentukan gejala yang dialami terjadi peningkatan kadar L-laktat dan
pasien. Peritoneum parietal dipersarafi oleh dilepaskan ke dalam system vena. Oleh
saraf frenikus, torako-abdominal, karena itu, L-laktat menjadi penanda
subkosatal, dan lumbosacral di perut bagian nonspesifik hipoperfusi sistemik. Asidosis
atas dan oleh saraf obturator di panggul. metabolik menjadi prediktor adanya cidera
Saraf ini mengandung serabut saraf motorik, dan kematian sel yang terjadi pada
sensorik, dan simpatis. Sebaliknya, peritonitis sekunder. Prokalsitonin mungkin
persarafan ke peritoneum visceral melalui memiliki beberapa nilai dalam membedakan
saraf splanknikus dan oleh pleksus celiac dan infeksi bakteri dari sumber inflamasi. Protein
mesenterika. Peritoneum parietal sensitif reaktif C memiliki peran dalam memprediksi
terhadap tekanan, suhu, dan laserasi, perlunya pembedahan pada pasien dengan
sedangkan peritoneum visceral hanya nyeri perut, atau dalam mengidentifikasi
sensitif terhadap iritasi kimia dan distensi 8. pasien pasca operasi yang mengalami
Peritonitis parietal bermanifestasi komplikasi septik 2. Pemeriksaan urea dan
sebagai nyeri yang tajam, konstan, dan elektrolit digunakan untuk melihat ada
terlokalisir. Jika bagian peritoneum yang tidaknya dehidrasi maupun gagal ginjal akut.
terkena berada disamping otot superfisial, Tes fungsi hati dan serum amilase berguna
peritonitis dapat dikaitkan dengan kekakuan untuk mengidentifikasi penyebab peritonitits
JK Unila | Volume 6 | Nomor 2| Desember 2022 | 65
Helsa Apty Tamara l Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Peritonitis Sekunder

sekunder 4. perawatan suportif agresif dan suplementasi


Pemeriksaan pencitraan akan nutrisi, jika diindikasikan. Celiotomy garis
menunjukkan gambaran pneuperitoneum tengah ventral dari xiphoid ke pubis
atau adanya udara atau gas di rongga memungkinkan laparotomi eksplorasi
peritoneum (free air). Tanda ini menyeluruh untuk menentukan penyebab
menunjukkan adanya kebocoran organ yang yang mendasarinya. Kasus adanya
berongga contohnya gaster. Pengambilan kebocoran GI, prosedur tambahan seperti
foto polos disrankan pasien dalam posisi tambalan serosal atau pembungkus
duduk. Tanda yang berhubungan dengan omentum dari tempat yang diperbaiki
radiografi rongga perut yaitu direkomendasikan untuk mengurangi
cupola/saddlebag/mustache sign, decubitus insidensi kebocoran atau terbukanya
abdomen sign, Ringler’s sign, football Kembali jahitan usus pasca operasi 1.
sign,inverted V sign, doge’s cap sign, double Peritonitis lokal harus diobati dengan
bubble sign, continuous diaprag sign, dan lavage pada area yang terkena pada awalnya
uracus sign. Pencitraan CT scan dan USG untuk meminimalkan penyebaran infeksi.
memiliki peranan penting dalam diagnosis Bilas seluruh rongga perut dengan cairan
dan menentukan terapi. Pemeriksaan CT isotonik steril (dihangatkan hingga suhu
scan tidak dilakukan pada pasien dengan tubuh) diperlukan untuk menghilangkan
kondisi tidak stabil sedangkan USG dapat bakteri, serta isi GI, urin, atau empedu.
digunakan untuk evaluasi di UGD karena Penambahan antiseptik dan antibiotik pada
cepat, mobile, dan tanpa paparan radiasi4. cairan lavage tidak bermanfaat dan
Prinsip penatalaksanaan peritonitis sebenarnya dapat merugikan dengan
sekunder adalah resusitasi cairan, menginduksi peritonitis kimiawi. Bilas
penggunaan antibiotik empiris, dan rongga perut dilanjutkan sampai cairan yang
mengontrol fokus septik. Pasien dengan diambil menjadi jernih 1.
sepsis harus menerima resusitasi segera Drainase peritoneum perlu dilakukan
dengan kristaloid dengan tujuan tekanan setelah debridement dan lavage selesai.
vena setara 8-12 mmHg, tekanan arteri rata- Drainase peritoneum dapat terbuka maupun
rata minimal 65 mmHg, output urin minimal tertutup. Drainase peritoneum terbuka
0,5 mL/kg/jam. Terapi empiris berupa dilakukan dengan pola kontinu sederhana
antibiotic spektrum luas termasuk gram dari bahan jahitan yang tidak dapat diserap
positif, negatif, dan anaerob. Pasien dengan di otot rektus abdominis, ditempatkan cukup
sepsis atau syok septik antibiotic harus longgar untuk memungkinkan drainase
diberikan dalam waktu satu jam 2. melalui celah 1 hingga 6 cm di dinding
Pengobatan empiris peritonitis sekunder tubuh. Drainase ditutupi dengan perban
mencakup kombinasi antibiotik, seperti steril untuk menyerap cairan dan melindungi
Cephalosporins generasi kedua atau ketiga isi abdomen dari lingkungan. Perban diganti
(Cefuroxime/Ceftriaxone), plus dua kali selama 24 jam pertama kemudian
Metronidazole atau Piperacillin/Sulbactam. minimal sekali sehari setelahnya. Pergantian
Akantetapi kombinasi cephalosporin plus ini disesuaikan dengan jumlah drainase yang
metronidazole pada beberapa kasus tidak dihasilkan. Penutupan perut biasanya
cukup karena resistensi biologis dari bakteri dilakukan 3 sampai 5 hari setelah operasi
yng ditemukan. Pasien dengan sepsis berat, awal 1.
antibiotik spektrum luas, seperti Drainase peritoneum tertutup
Meropenem/Carbapenem plus Vancomysin (misalnya , Jackson-Pratt) dianjurkan pada
sering digunakan dengan tingkat sensitivitas pasien peritonitis umum. Drainase berupa
98% 6. saluran pembuangan di antara hati dan
Pasien dengan peritonitis umum atau diafragma menuju ke dinding tubuh melalui
peritonitis lokal dengan ketidakstabilan sayatan paramedian dan dijahit di kulit.
hemodinamik membutuhkan pembedahan Selanjutnya abdomen akan ditutup dan
segera 2. Tujuan perawatan bedah untuk dipasang reservoir hisap yang terhubung ke
pasien dengan peritonitis septik termasuk tabung dengan vakum. Tabung tersebut
menyelesaikan penyebab infeksi, akan menampung cairan drainase yang
mengurangi infeksi dan bahan asing, dan dicatat volumenya setiap 4-6 jam atau lebih
mendukung pemulihan pasien dengan sering jika diperlukan. Selanjutnya cairan
JK Unila | Volume 6 | Nomor 2| Desember 2022 | 66
Helsa Apty Tamara l Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Peritonitis Sekunder

harus dibuang dengan teknik aseptik. Selang malaise, perut kembung, mual, muntah,
akan dilepas Ketika volume produksi cairan sembelit muncul. Pemeriksaan harus
telah menurun secara signifikan dan analisis fokus pada identifikasi peritonitis umum,
laboratorium menunjukkan resolusi yaitu gejala ileus paralitik yang
peritonitis (menurunnya neutrophil, tidak dimanifestasikan oleh penurunan bising
ditemukan bakteri). Kelebiha drainase usus, perkusi hipertimpani, kekakuan,
tertutup adalah penurunan risiko infeksi nyeri tekan, dan nyeri di semua kuadran
nosocomial, pengurangan lamanya perut. Pemeriksaan penunjang yang dapat
perawatan intensif dan penggunaan perban, dilakukan berupa pemeriksaan
penurunan risiko pengeluaran isi abdomen.
laboratorium darah lengkap, fungsi hati,
Kerugiannya adalah saluran dapat
fungsi ginjal, dan amilase. Selain itu, foto
menginduksi beberapa produksi cairan dan
polos abdomen bermanfaat untuk melihat
dapat tersumbat, meskipun drainase aktif
dipertahankan hingga 8 hari 1. ada tidaknya free air yang menunjukkan
Nutrisi enteral secara langsung akan perforasi organ berongga. CT scan dan
menurunkan risiko translokasi bakteri USG dapat dilakukan akan tetapi perlu
melintasi dinding usus. Oleh karenyanya, kondisi pasien yang stabil bila akan
pemasangan selang makan (nasogastric dilakukan CT scan. Tatalaksana peritonitis
tube, gastrostomy atau jejunostomy) perlu sekunder berupa terapi cairan, nutrisi,
dipertimbangkan selama eksplorasi bedah antibiotic, dan pembedahan. Drainase
awal. Terapi cairan intravena yang agresif pasca bedah dapat dilakukan secara
perlu dilakukan terutama pada pasien yang terbuka maupun tertutup. Hal ini
mengalami kehilangan cairan terus menerus berkaitan dengan perawatan dan
dari rongga peritoneum yang meradang. monitoring pasien pascaoperasi
Elektrolit dan status asam-basa harus dinilai
secara rutin selama periode pasca operasi Simpulan
dan dikoreksi sesuai kebutuhan. Karena Peritonitis adalah kasus darurat yang
anemia dan hipoproteinemia merupakan perlu segera dikenali untuk menentukan
komplikasi umum pada pasien ini, terapi tatalaksana selanjutnya. Pemahaman
komponen darah dan dukungan koloid tentang patogenesis dan patofisiologi
sintetik sering diperlukan, dengan tujuan peritonitis sekunder akan membawa klinisi
mempertahankan volume sel. Hipotensi tepat mendiagnosisnya. Tatalaksana holistik
pascaoperasi dapat diobati dengan terapi perlu diperhatikan mulai dari perioperatif,
vasopresor tetapi hanya setelah mengatasi intraoperatif, dan postoperative.
hipovolemia yang mendasarinya. Analgesia
yang tepat diperlukan untuk memastikan Daftar Pustaka
kenyamanan pasien dan untuk mengurangi
1. Volk SW. Chapter 122 - Peritonitis.
efek negatif kardiovaskular yang terkait
Small Anim Crit Care Med (Second Ed.
dengan stimulasi simpatis yang terlalu aktif 1.
2015;(January):643-648.
Ringkasan 2. Ross JT, Matthay MA, Harris HW.
Secondary peritonitis: Principles of
Peritonitis sekunder merupakan
diagnosis and intervention. BMJ.
kondisi yang membutuhkan penanganan
2018;361. doi:10.1136/bmj.k1407
segera stelah diagnosis yang cepat dan
3. Clements TW, Tolonen M, Ball CG,
tepat. Peritonitis sekunder merupakan
Kirkpatrick AW. Secondary Peritonitis
radang pada peritoneum yang disebabkan
and Intra-Abdominal Sepsis: An
oleh adanya infeksi akut peritoneum
Increasingly Global Disease in Search of
akibat hilangnya integritas saluran cerna Better Systemic Therapies. Scand J
atau organ visceral lainnya. Pasien dengan Surg. 2021;110(2):139-149.
nyeri perut akut harus dievaluasi untuk doi:10.1177/1457496920984078
pemulihan umum dan tanda-tanda vital. 4. Enrico P, Okaniawan P, Ayu I, et al.
Pemeriksaan harus menentukan waktu, DIAGNOSIS DAN PENDEKATAN TERAPI
tempat dan sifat nyeri pasien. Dalam hal PASIEN PERITONITIS. Ganesha Med J.
ini, demam di atas 380 C, anoreksia, 2022;2(2):120-128.
JK Unila | Volume 6 | Nomor 2| Desember 2022 | 67
Helsa Apty Tamara l Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Peritonitis Sekunder

5. Kalra A, Wehrle C, Tuma F. Anatomy, 7. van Ruler O, Boermeester MA. Surgical


Abdomen, and pelvis, Peritoneum. In: treatment of secondary peritonitis: A
StatPearls. Stat Pearls Publishing; continuing problem. Chirurg.
2022. 2017;88(1):1-6. doi:10.1007/s00104-
6. Grotelüschen R, Heidelmann LM, 015-0121-x
Lütgehetmann M, et al. Antibiotic 8. van Baal JOAM, Van de Vijver KK,
sensitivity in correlation to the origin of Nieuwland R, et al. The histophysiology
secondary peritonitis: a single center and pathophysiology of the
analysis. Sci Rep. 2020;10(1):1-9. peritoneum. Tissue Cell. 2017;49(1):95-
doi:10.1038/s41598-020-73356-x 105. doi:10.1016/j.tice.2016.11.004

JK Unila | Volume 6 | Nomor 2| Desember 2022 | 68

Anda mungkin juga menyukai