Anda di halaman 1dari 18

Skenario 4.

Anak loro batuk, bathuk bapak melu loro


Fulan, seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa bapaknya ke klinik
dokter umum dengan keluhan batuk berdahak selama 1 bulan yang lalu. Dahak kental
berwarna kuning kehijauan. Batuk tidak pernah reda dan semakin lama semakin
parah. BB tidak naik dalam 6 bulan terakhir. Pasien sering demam nglemeng dalam 2
minggu terakhir. Pasien tinggal bersama ayah, ibu dan kakeknya. Kakek pasien
memiliki sakit paru-paru dan menjalani pengobatan OAT sejak 4 bulan yang lalu.
Pasien lahir ditolong oleh dukun dan tidak mendapatkan imunisasi apapun sejak lahir.
Dokter akan mengirim pasien untuk foto rontgen dada di laboratorium langganannya,
karena dokter diberi imbalan 20% dari biaya pemeriksaan penunjang. Keluarga
pasien harus membayar mahal untuk pemeriksaan rontgen, sementara keluarga pasien
termasuk golongan menengah kebawah dan bapaknya hanya seorang cleaning
service.

Step 1
1. OAT: obat anti tuberculosis
2. Dahak: bahan yang dikeluarkan dari paru, trakea, bronkus, yang dibatukkan
melalui mulut
3. Batuk: reflex ekspirasi paksa yang kuat terhadap pasien dalam upaya untuk
mengeluarkan iritan dari trakea
4. Imuniasasi: pemberian vaksin ke dalam tubuh dengan bakteri yang
dilemahkan

Step 2
1. Mengapa batuknya berdahak dang dahak bewarna kuning kehijauan
2. Mengapa BB pasien turun?
3. Hubungan tidak diimunisasi dengan gajala pada pasien?
4. Apa indikasi x foto thorax?
5. Apa hubungan riwayat kakek pasien dengan keluahan pasien?
6. Bagaimana sikap dokter pada skenario?
7. Apa yang terjadi pada pasien?

Step 3

1. Mengapa batuknya berdahak dan Mengapa dahak berwarna kuning kehijauan?


Batuk adalah pengeluaran sejumlah volume udara secara mendadak
dari rongga toraks melalui epiglotis dan mulut. Melalui mekanisme tersebut
dihasilkan aliran udara yang sangat cepat yang dapat melontarkan keluar
material yang ada di sepanjang saluran respiratorik, terutama saluran yang
besar. Dengan demikian batuk mempunyai fungsi penting sebagai salah satu
mekanisme utama pertahanan respiratorik. Mekanisme lain yang bekerja sama
dengan batuk adalah bersihan mukosilier (mucociliary clearance). Batuk akan
mencegah aspirasi makanan padat atau cair dan berbagai benda asing lain dari
luar. Batuk juga akan membawa keluar sekresi berlebihan yang diproduksi di
dalam saluran respiratorik, terutama pada saat terjadi radang oleh berbagai
sebab.Selain sebagai mekanisme pertahanan respiratorik, batuk juga dapat
berfungsi sebagai ‘alarm’ yang memberitahu adanya gangguan pada sistem
respiratorik atau sistem organ lainnya yang terkait. Hampir semua keadaan
yang mengganggu sistem respiratorik dan beberapa gangguan ekstra-
respiratorik, memberikan gejala batuk. Pada anak, batuk mungkin ‘normal’
atau merupakan gejala penyakit respiratorik dan jarang merupakan gejala
penyakit non-respiratorik.
Dahak bisa karna corpus alienum. Mucus yg ada disaluran pernafasan
akan meningkat, shg dahak bias keluar dgn mekanisme batuk. Warna dahak
dipengaruhi oleh luka saluran nafas, mikroorganisme apa yg sedang
menginfeksi. Mucus diproduksi setiap hari, mucus akan berjalan berjalan ke
faring, produksi mucus berlebih disebabkan karna adanya infeksi dan
gangguan fisik yang menyebabkan mucus siliar terganggu. (1)
Adanya dahak disertai dengan ada nya warna dan ciri khas lain dapat
menandakan terdapat kelainan juga pertanda yang disebabkan oleh faktor
resiko yaitu:
1) Jika volume sputum banyak dan purulent adanya supurasi
menandakan bronkiatis.
2) Adanya alergi
3) Infeksi paru paru
4) Merokok
5) Terpapar polusi udara dan asap rokok
6) Penyakit GERD dan sinusitis
Berdasarkan dari warna nya juga dapar dilihat:
1) Hijau : ada penimbunan nanah
2) Hijau lalu kuning: adanya penimbunan sputum pada malam
hari.
Berwarna hijau karna menunjukan adanya infeksi karna mengandung
nanah. Adanya vedoperoksidase.
Dan masih banyak faktor resiko lain juga dengan menggali lebih
terkait faktor lain pada anamnesa juga pemeriksaan fisik atau pemeriksaan
penunjang untuk melihat hasil akhir dari penyakit.(2)

2. Mengapa BB pasien turun?


Ada dua system di hipotalamus. Melanocortin (pro-opiomelanocortin)
merupakan system saraf serotoninergik. Jika melanocortin dirangsang maka
akan terjadi anorexia (tidak nafsu makan). Sebalikannya, NPY bersifat
prophagic, artinya jika dirangsang maka nafsu
makanakan meningkat. Interaksi kedua system inilah yang mengatur imbang
asupan dan pemakaian energy. Pada banyak penyakit sistemik, sitokin factor
pemicu proteilisis akan diproduksi oleh sel darah putih, dan ini akan
merangsang pembentukan serotonin dan merangsang melanocortin. Efek
perangsangan ini adalah anoreksia. Serotonin berasal dari triptofan. Tripofan
masuk kedalam system saraf pusat melalui saluran yang sama dengan BCAA
(branch-chained aminoacids). Jadi triptofan bersaing dengan BCAA. Ada
bukti bahwa peningkatan triptofan di otak akan menyebabkan rasa letih
(central fatigue). Pemberian BCAA (leucine, isoleucine, valine) akan
memblok masuknya triptofan, disusul dengan penurunan serotonin. Kemudian
napsu makan akan meningkat. (3)

3. Hubungan tidak diimunisasi dengan gejala pada pasien?


Pencegahan TB pada anak dapat dilakukan pada program imnuisasi BCG.
Imunisasi adalah proses seorang dibuat resisten terhadap suatu dengan
pemberian vaksin. Vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin) adalah
Mycobacterium bovis yang dilemahkan untuk vaksin TB dan infeksi
mycobacterium lain.
Insiden TB pada anak yang mendapat vaksin TB berhubungan dengan
kualitas vaksin yang digunakan, cara pemberian, dan intensitas paparan
infeksi. Anak yang sudah diberi vaksin BCG masih memiliki kemungkinan
insiden TB akibat beberapa faktor tersebut. Pada skenario, anak Fulan tidak
mendapat vaksin apapun sjak lahir, ditambah kakek yang sedang menjalani
pengobatan OAT yang tinggal serumah. Usia Fulan 4 tahun, dimana pada usia
tersebut imunitas seluler belum berkembang sempurna, sedangkan imunitas
untuk melawan kuman TB adalah imunitas seluler yang tidak diturunkan
melalui plasenta. (4)
4. Apa indikasi x foto thorax?
a. Pasien dengan riwayat batuk
b. Pasien dengan sesak
c. Nyeri dada
d. Untuk check up
e. Kelainan-kelainan pada dinding thorax. (5)

5. Apa hubungan riwayat kakek pasien dengan keluhan pasien?


OAT sendiri merupakan pengobatan untuk penderita TBC paru.
Dimana penyakit tuberculosis ini sangat mudah sekali menyebar melalui
udara. Seperti penderita bersin, batuk, percikan ludah. Ketika menghirup
udara yang tercemar dan system imun tidak berhasil menyingkirkan bakteri,
maka bakteri akan berdiam diparu paru. (5)

6. Bagaimana sikap dokter pada skenario?


Dokter seharusnya bersifat independen dalam menghadapi pasien,
dalam menegakkan diagnosis serta memberikan terapi disesuaikan dengan
kebutuhan dan keadaan pasien, bukan atas dasar balas jas terhadap kerjasama
pihak ketiga. Seperti sebagai mitra dari salah satu laboratorium pemeriksaan
penunjang karena telah diberi imbalan jasa. Dokter melanggar kode etik
kedokteran Indonesia pasal tiga yaitu dalam melakukan pekerjaan , seorang
dokter tidak boleh dipengaruhi yang menyebabkan hilangnya kemandirian
profeis dan kebebasan. Serta kode etik kedokteran Indonesia pasal 7c yaitu
seorang dokter harus menghormati sejawat dan pasien di mana pasien berhak
menapatkan pemeriksaan penunjang di tempat yang leih terjangkau
harganya.(6)
7. Apa yang terjadi pada pasien?
Kemungkinan pasien mengalami TB paru, karena batuk disertai darah,
demam, berlangsunglama, terdapat keringat dingin, nafsu makan menurun,
perasaan tidak enak dan malaise. Serta didukung dengan adanya riwayat
kakek pasien yang mengalmi pengobatan OAT, yaitu untuk penderita
tuberculosis paru.(6)

Step 4

Faktor
Resiko Gejala

Anamnesi
s

Diagnosis
Banding

Pemeriksaan Fisik &


Pemeriksaan Fisik

Penegakan
Diagnosis

Patofisiologi Tatalaksana
Etiologi TBC Komplikasi Peran
TBC TBC
& Faktor & Prognosis Dokter
Resiko TBC Keluarga
Step 5

1. Etiologi dan factor resiko TB


2. Patofisiologi TB
3. Penagakan diagnosis ( skoring TB) dan DD
4. Tatalaksana
5. Komplikasi dan prognosis
6. Peran dokter keluarga

Step 6
Belajar mandiri

Step 7

1. Etiologi dan factor resiko TB

Etiologi

Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Mycobacterium tuberculois.


Ukuran dari bakteri cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dan
bentuk dari bakteri ini yaitu batang, tipis, lurus atau agak bengkok, bergranul,
tidak mempunyai selubung tetapi kuman ini mempunyai lapisan luar yang
tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Sifat dari bakteri ini
agak istimewa, karena bakteri ini dapat bertahan terhadap pencucian warna
dengan asam dan alkohol sehingga sering disebut dengan bakteri tahan asam
(BTA). Selain itu bakteri ini juga tahan terhadap suasana kering dan dingin.
Bakteri ini dapat bertahan pada kondisi rumah atau lingkungan yang lembab
dan gelap bisa sampai berbulan-bulan namun bakteri ini tidak tahan atau dapat
mati apabila terkena sinar, matahari atau aliran udara. (7)
Faktor- Faktor Risiko :

Beberapa faktor karakteristik individu yang menjadi faktor risiko


terhadap kejadian TB paru adalah:

a. Faktor usia

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Haryanto dkk.(2004), kasus kematian


penderita TB paru hampir tersebar pada semua kelompok usia dan paling
banyak pada kelompok usia produktif yaitu usia 20-49 tahun sekitar 58%.Di
Indonesia sendiri diperkirakan 75% penderita TB paru adalah usia produktif
yaitu usia 15-50 tahun.

b. Faktor jenis kelamin

Jenis kelamin juga mempengaruhi kejadian TB paru karena berdasarkan hasil


penelitian yang dilakukan Aditama (2005) bahwa prevalensi TB paru
terbanyak diderita oleh laki-laki. karena sebagian besar laki-laki mempunyai
kebiasaan merokok sehingga mudah terkena TB paru. Selain dari kebiasaan
merokok laki-laki lebih beresiko terkena TB paru dibandingkan dengan
perempuan hal ini berkaitan erat dengan interaksi sosial yang lebih tinggi pada
laki-laki dibandingkan perempuan

c. Faktor lingkungan

Beberapa factor lingkungan yang menjadi factor resiko terhadap kejadian


TB paru adalah :

- Kepadatan hunian rumah


- ventilasi rumah
- Udara yang masuk tidak tercemar
d. Status Gizi

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi, dan
lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan
terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor
penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa
maupun anak-anak.(8)

2. Patofisiologi TB

Menurut Somantri (2008), infeksi diawali karena seseorang menghirup


basil Mycobacterium tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas
menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan
Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari
paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah
ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area lain dari paru
(lobus atas). Selanjutnya sistem kekebalan tubuh memberikan respons dengan
melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi
fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis
menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Infeksi awal biasanya
timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.Interaksi antara
Mycobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal
infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma.
Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh
makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi
massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon
tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri yang menjadi nekrotik
yang selanjutnya membentuk materi yang berbentuk seperti keju (necrotizing
caseosa).Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan
kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif. (9)

Menurut Widagdo (2011), setelah infeksi awaljika respons sistem


imun tidak adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang
kian parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya
tidak aktif kembali menjadi aktif, Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami
ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam
bronkus.Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk
jaringan parut.Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan
timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan
seterusnya.Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini
berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian
bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit
(membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan
granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan memberikan
respons berbeda kemudian pada akhirnya membentuk suatu kapsul yang
dikelilingi oleh tuberkel. (10)

3. Penagakan diagnosis dan DD


a. Anamnesis
a) Demam
b) Batuk sampai berdarah
c) Sesak napas
d) Nyeri dada
e) Kelainan umum :
Anoreksia, penurunan berat badan dan nafsu makan, meriang, keringat
malam.
b. Pemeriksaan Umum
a) Keadaan umum: pucat/anemis, demam sub febril
b) Predilasi : apeks paru,infiltrat luas :perkusi redup dan auskultasi suara
napas bronkial,. Bila terjadi penebalan pleura : suara napas vasikuler
lemah
c) Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis ditemukan atrofi dan retraksi
otot interkosta
d) Bila TB mengenai pleura terjadi efusi pleura, paru tampak tertinggal
pada pernapasan, perkusi pekak
c. Pemeriksaan penunjang
a) Darah : kursng spesifik, LED dapat meningkat dengan perubahan
leukosist dan limfosit
b) Mantox test :PPD, STU
c) Bakteriologi : BA sputum, dan biakan kuman
d) HPLC
e) PCR
f) DNA

Diagnosi banding
a) Peunonia
b) Abses paru
c) Kanker paru
d) Bronkiektasis. (11)
4. Tatalaksana

Obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai sebagai tatalaksana lini


pertama adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin, dan
etambutol, yang tersedia dalam tablet tunggal maupun dalam sediaan dosis
tetap (fixed dose combination). Jenis obat lini kedua adalah kanamisin,
kuinolon, dan derivat rifampisin dan isoniazid.
Dosis OAT adalah sebagai berikut :

1. Rifampisin (R) diberikan dalam dosis 10 mg/KgBB per hari secara oral,
atau 10 mg/kgBB oral dua kali seminggu dengan perlakuan DOT,
maksimal 600 mg/hari. Dikonsumsi pada waktu perut kosong agar baik
penyerapannya.

2. Isoniazid (H) diberikan dalam dosis 5 mg/kgBB oral tidak melebihi 300
mg per hari untuk TB paru aktif, sedangkan pada TB laten pasien
dengan berat badan >30 kg diberikan 300 mg oral. Pemberian isoniazid
juga bersamaan dengan Piridoksin (vitamin B6) 25-50 mg sekali sehari
untuk mencegah neuropati perifer

3. Pirazinamid (Z) pada pasien dengan HIV negatif diberikan 15-30


mg/kgBB per hari secara oral dalam dosis terbagi, tidak boleh melebihi
dua gram per hari. Atau dapat diberikan dua kali seminggu dengan dosis
50 mg/kg BB secara oral

4. Etambutol (E) pada fase intensif dapat diberikan 20 mg/kgBB.


Sedangkan pada fase lanjutan dapat diberikan 15 mg/kgBB , atau 30
mg/kgBB diberikan 3 kali seminggu, atau 45 mg/kgBB diberikan 2 kali
seminggu

5. Streptomisin (S) dapat diberikan 15 mg/kgBB secara intra muskular,


tidak melebihi satu gram per hari. Atau dapat diberikan dengan dosis
dua kali per minggu, 25-30 mg/kgBB secara intra muskular, tidak
melebihi 1,5 gram per hari

Panduan pemberian OAT yang digunakan oleh Program Nasional


Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :

Kategori 1 : 2RHZE/4RH3

Kategori 2 : 2 RHZES/RHZE/5RH3E3

Kategori 1
OAT Kategori 1 diberikan pada pasien baru, yaitu pasien TB paru
terkonfirmasi bakteriologis, TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB
ekstra paru. OAT kategori 1 diberikan dengan cara RHZ diberikan selama 2
bulan, dilanjutkan dengan RH 4 bulan.

Kategori 2
OAT Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang sudah
diberikan tatalaksana sebelumnya, yaitu pada pasien kambuh, pasien gagal
pengobatan dengan kategori 1, dan pasien yang diobati kembali setelah
putus obat.

Terapi MDR-TB

Gunakan sedikitnya 4-5 obat yang tidak pernah diberikan sebelumnya,


dimana obat-obat tersebut masih sensitif secara in vitro. Jangan gunakan
obat yang sudah resisten. Ada baiknya mengonsultasikan pasien dengan
MDR-TB kepada spesialis penyakit paru.
Berikut ini adalah pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien
dengan MDR-TB, dengan catatan bahwa obat-obat ini masih sensitif :

a. Grup 1: first- lineterapi oral, misalnya: pirazinamid, etambutol,


rifampisin
b. Grup 2: injeksi, misalnya: kanamisin, amikasin, capreomycin,
streptomisin

c. Grup 3: golongan fluoroquinolon, misalnya: levofloksasin,


moxifloksasin, ofloksasin

d. Grup 4: second- lineterapi oral bakteriostatik, misalnya: cycloserine,


terizidone, asam para aminosalisilat (PAS), etionamide, protionamide
e. Grup 5: obat-obat ini tidak dianjurkan oleh WHO untuk penggunaan
rutin karena efektifitasnya masih belum jelas. Namun diikutsertakan
dengan alasan bahwa bilamana ke 4 grup obat tersebut diatas tidak
mungkin diberikan kepada pasien, seperti pada XDR-TB.(12)

5. Komplikasi dan prognosis

Terdapat berbagai macam komplikasi TB paru, dimana komplikasi


dapat terjadi di paru-paru, saluran nafas, pembuluh darah, mediastinum,
pleura ataupun dinding dada (Jeoung dan Lee, 2008). Komplikasi TB ini
dapat terjadi baik pada pasien yang diobati ataupun tidak. Secara garis besar,
komplikasi TB dikategorikan menjadi:
a. Lesi Parenkim
- Tuberkuloma dan thin-walled cavity.
- Sikatriks dan destruksi paru.
- Aspergilloma.
- Karsinoma bronkogenik.
b. Lesi Saluran Nafas
- Bronkiektasis.
- Stenosis trakeobronkial.
- Bronkolitiasis.
c. Komplikasi Vaskular
- Trombosis dan vaskulitis.
- Dilatasi arteri bronchial.
- Aneurisma rassmussen.
d. Lesi Mediastinum
- Kalsifikasi nodus limfa.
- Fistula esofagomediastinal.
- Tuberkulosis perikarditis.
e. Lesi Pleura
- Chronic tuberculous empyema dan fibrothorax.
- Fistula bronkopleura.
- Pneumotoraks.
f. Lesi dinding dada
- TB kosta.
- Tuberculous spondylitis.
- Keganasanyang berhubungan dengan empyema kronis (Kim et al,
2001).
Prognosis dapat menjadi buruk bila dijumpai keterlibatan ekstraparu,
keadaan immunodefisiensi, usia tua, dan riwayat pengobatan TB
sebelumnya. Pada suatu penelitian TB di Malawi, 12 dari 199 orang
meninggal, dimana faktor risiko terjadinya kematian diduga akibat
BMI yang rendah, kurangnya respon terhadap terapi dan
keterlambatan diagnosa (Herchline, 2013). Kesembuhan sempurna
biasanya dijumpai pada kasus non-MDR dan nonXDR TB, ketika
regimen pengobatan selesai. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
terapi dengan sistem DOTS memiliki tingkat kekambuhan 0-14 %.
Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah, kekambuhan biasanya
timbul 12 bulan setelah pengobatan selesai dan biasanya diakibatkan
oleh relaps. Hal ini berbeda pada negara dengan prevalensi TB yang
tinggi, dimana kekambuhan diakibatkan oleh reinfeksi (Herchline,
2013). (13)

6. Peran dokter keluarga

Pencegahan :

a. Tutupi mulut saat bersin, batuk, dan tertawa, atau kenakan Apabila
menggunakan tisu untuk menutup mulut, buanglah segera setelah
digunakan.
b. Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.
c. Pastikan rumah memiliki sirkulasi udara yang baik, misalnya dengan
sering membuka pintu dan jendela agar udara segar serta sinar
matahari dapat masuk.
d. Jangan tidur sekamar dengan orang lain, sampai dokter menyatakan
TBC yang Anda derita tidak lagi menular.

peran tenaga kesehatan dalam promosi kesehatan sebagai upaya


pencegahan kasus TB, mengetahui peran tenaga kesehatan dalam
pengawasan minum obat sebagai upaya pencegahan kasus TB, mengetahui
motivasi/dorongan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dalam upaya
penanganan TB,Menggunakan tiga stategi yaitu meliputi: promosi
kesehatan, PMO (Pengawas Menelan Obat) dan juga
motivasi/dorongan).(14)
DAFTAR PUSTKA

1. Chang AB. Causes, assessement and measurement of cough in children.


Dalam: Chung KF, Widdicombe J, Boushey H. Penyunting. Cough.
Massachusetts: Blackwell Publishing, 2003.
2. Cloutier MM. Cough. Dalam: Loughlin GM, Eigen H. Penyuntings.
Respiratory disease in children. Baltimore. Williams & Wilkins 1994.
3. Guyton A.C, dan Hall, J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Singapura : Elsevier. 2014
4. A.Price, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC. 2006
5. Price, W. Patofisiologi Konsep Klinis Perjalanan Penyakit. Jakarta. EGC.
6. Anies, dr. Ensiklopedia Penyakit. Jogjakarta. Kanisius. 2015.
7. Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga; 2011.
8. Depkes RI., 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta
: Gerdunas TB. Edisi 2 hal. 4-6.
9. Soemantri, Irman. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan
Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Salemba Merdeka. Jakarta.
10. Widagdo. 2011. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi Pada Anak.
Jakarta: CV Sagung Seto.
11. WHO.2003.treatment of tuberculosis giudeline for international
programs.3rd Ed
12. Depkes RI,2001.pedoman penanggulanggan nasional tuberkulos.hal 1-51.
13. Bahar, A., 2000. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor
Soeparman . jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
14. Departemen Kesehatan RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberculosis D. T. N. Dinihari & D. V. Siagian, eds., Jakarta : Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Anda mungkin juga menyukai