Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN HASIL DISKUSI

FOCUS GROUP DISCUSSION

SKENARIO 1 : ORF Pada Kambing

Disusun Oleh :

Kelompok

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
I. Judul / Topik Diskusi

“ ORF Pada Kambing “

II. Tujuan Pembelajaran


A. Tujuan Instruksional umum
Mahasiswa mampu memahami MK yang dipelajari melalui implementasi integrasi dan
sinergi antar MK untuk saling melengkapi / meningkatkan / mempertajam dan berbagi
konsep keilmuan, keterampilan dan perilaku.
B. Tujuan Instruksional khusus
Dapat memahami berbagai metode isolasi dan identifikasi virus penyebab ORF pada
Kambing.

III. Skenario
Sudah dua hari beberapa ekor kambing peranakan Ettawa di Kandang kelompok
ternak tidak mau makan, dan tampak lesu. Setelah diperiksa oleh dokter hewan ternyata
terdapat vesikula, pustule bahkan ulser dan krusta di sekitar mulut, hidung dan gusi. Dokter
hewan menyarankan agar kambing yang sakit segera dipisahkan dengan kelompok kambing
yang sehat karena penyakit ini sangat menular dan bersifat zoonosis. Dokter hewan
memberikan injeksi antihistamin dan antiinflamasi. Pengambilan sampel kulit pada bagian
lesi yang khas dilakukan untuk pemeriksaan histopatologis dan isolasi virus. Hasil inokulasi
virus pada telur ayam berembrio menunjukkan adanya noduli berwarna putih pada membran
korioalantois. Hasil pemeriksaan histopatologis menunjukkan adanya Bollinger body pada
epitel kulit dan lapisan membran korioalantois.

IV. Bahasan Diskusi


1. Topik Diskusi
Diskusikan bagaimana cara melakukan isolasi dan identifikasi virus tersebut
2.Pembahasan
i. Isolasi Virus
Isolasi virus ORF dapat dilakukan dengan mengambil sampel kulit
yang menunjukkan lesi yang khas untuk penyakit ORF. Setelah diambil,
organ dibuat suspensi untuk diinokulasikan ke telur berembrio dengan cara
diencerkan menggunakan PBS (Phospate Buffer Saline) dan diberi antibiotik
dan antifungi untuk mencegah kontaminasi. Setelah itu telur dapat
diinokulasikan ke telur ayam berembrio. Inokulasi virus Parapox dilakukan
melalui membrane korioalantois. Setelah diinkubasikan, telur yang sudah
diinokulasi oleh virus akan menunjukkan adanya nodul berwarna putih pada
membrane korioalantois.
ii. Identifikasi
Identifikasi virus dapat dilakukan dengan melihat perubahan
patologis, uji serologis berupa uji Hemaglutinasi, Uji Hemaglutinasi Inhibisi,
dan ELISA. Serta uji molekuler menggunakan PCR.
a. Perubahan Patologis
Secara makroskopis, penyakit ini menunjukkan gejala adanya lesi
berupa vesikula, pustule dan krusta. (Murphy, 1990)
Pada pemeriksaan histopatologis, hasil kerokan lesi yang diwarnai
dengan pewaranaan Hematoxilin-Eosin, akan ditemukan degenerasi
ballooning, hyperkeratosis, dan adanyan badan inklusi intrasitoplasmik
yang disebut Bollinger Bodies. (Frandsen, 2017)

Gambar 1. Hiperkeratosis pada epidermis akibat ORF virus. (Frandsen,


2017)

Gambar 2. Bollinger Bodies (Frandsen, 2017)


b. Uji Hemaglutinasi dan Hemaglutinasi Inhibisi
Uji hemaglutinasi inhibisi digunakan untuk melihat kemampuan virus
dalam mengaglutinasi eritrosit. Apabila virus mampu mengaglutinasi
eritrosit, maka dapat disimpulkan bahwa virus tersebut memiliki protein
hemmaglutinin di permukaannya. Uji ini dilakukan dengan cara
mencampurkan beberapa tetes suspense virus ke suspense eritrosit.
(Fitrawati dan Wibowo, 2015)
Penentuan kuantifikasi antibodi antibodi dan identifikasi virus dapat
dilakukan dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Uji ini memiliki
prinsip mengukur level antibodi dengan cara dilusi yang dapat
mencegah hemaglutinasi eritrosit oleh virus. Komponen dasar uji HI
adalah antigen HA, serum yang didilusi dan konsentrasinya menurun,
dan suspensi eritosit. Hasil uji HI positif ditandai dengan adanya
pengendapan eritrosit berbentuk titik di tengah sumuran. (Fitrawati &
Wibowo, 2015)
c. ELISA
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik
biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk
mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Dalam
pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan
pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada
permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya.
Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir,
ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal
yang dapat dideteksi.
Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan
spesifitas untuk antigen tertentu. Sampel dengan jumlah antigen yang
tidak diketahui diimobilisasi pada suatu permukaan solid (biasanya
berupa lempeng mikrotiter polistirene), baik yang non-spesifik (melalui
penyerapan pada permukaan) atau spesifik (melalui penangkapan oleh
antibodi lain yang spesifik untuk antigen yang sama, disebut
‘sandwich’ ELISA). Setelah antigen diimobilisasi, antibodi pendeteksi
ditambahkan, membentuk kompleks dengan antigen. Antibodi
pendeteksi dapat berikatan juga dengan enzim, atau dapat
dideteksi secara langsung oleh antibodi sekunder yang berikatan
dengan enzim melalui biokonjugasi. Di antara tiap tahap, plateharus
dicuci dengan larutan deterjen lembut untuk membuang kelebihan
protein atau antibodi yang tidak terikat. Setelah tahap pencucian
terakhir, dalam plate ditambahkan substrat enzimatik untuk
memproduksi sinyal yang visibel, yang menunjukkan kuantitas antigen
dalam sampel. Teknik ELISA yang lama menggunakan substrat
kromogenik, meskipun metode-metode terbaru mengembangkan
substrat fluorogenik yang jauh lebih sensitif (Brahmana, 1981).
d. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik amplifikasi DNA
atau RNA secara in vitro. Dengan adanya PCR maka kita dapat
memperbanyak sekuens gen tertentu untuk berbagai kepentingan, salah
satunya kepentingan diagnostik.
Berbagai bahan yang harus disiapkan untuk melaksanakan teknik
PCR adalah sampel DNA, primer berupa fragmen dari sekuens DNA
yang ingin kita perbanyak, dNTP sebagai Building Block dari DNA
yang akan kita amplifikasi, Taq Polymerase untuk proses replikasi
DNA, dan buffer. Enzim Polymerase yang digunakan dalam PCR
haruslah enzim yang tahan pemanasan pada suhu yang tinggi, biasanya
diambil dari bakteri yang berhabitat di mata air panas.
Setiap siklus dari PCR terdiri dari tiga tahap, yaitu denaturation,
annealing dan elongation. Denaturation merupakan proses pemanasan
hingga 90oC-94oC agar DNA sampel kita dapat terdenaturasi.
Annealing adalah proses penempelan primer pada sekuens DNA yang
ingin kita amplifikasi, pada proses ini suhu diturunkan hingga 72oC.
kemudian proses Elongation adalah proses DNA polymerase
memperpanjang sekuens DNA yang kita inginkan. Siklus ini terus
diulang sehingga sekuens DNA yang kita inginkan akan bertambah
banyak.
V. Kesimpulan
A. Bovine Spongioform Encephalopathy (BSE) adalah penyakit yang bersifat progresif
menyerang system syaraf pusat (central nervous system/CNS) pada sapi dewasa
B. Prion adalah partikel protein menular, lebih kecil dari virus, yang tidak mengandung
asam nukleat (DNA atau RNA tidak)
C. Pada pemeriksaan histopatologi dapat dilihat kelainan pada sistem saraf pusat. Terdapat
vakuola pada neuron dan perubahan seperti sponge pada gray matter otak merupakan
gambaran khas dari BSE
D. Sampel yang digunakan untuk deteksi BSE adalah bagian otak
E. Ujia sampel yang dapat dilakukan adalah uji Immnohistokimia dan Uji Western Blot
F. Amphotericin adalah Senyawa obat yang dapat menghambat laju penyakit prion
menggunakan sel dari jaringan syaraf otak

VI. Luaran Pembelajaran


VII. Daftar Pustaka

Bradley R. 2003. BSE Risks for Humans Consuming Beef and Beef Products: How Any
Risks Are Managed. Veterinary Research Communications, 27: 15–23.

Brown P, Will RG, Bradley R, Asher DM, Detwiler L. 2001. Bovine Spongiform
Encephalopathy and Variant Creutzfeldt-Jakob Disease: Background, Evolution,
and Current Concerns. J Emerging Infectious Diseases 7: 6-16.

Budka H. Goossens B, Ru G. 2008. BSE and TSEs: Past, Present and Future. Trends in
Food Sci & Tech19: 34-39.

[CFSPH] Center for Food Security and Public Health. 2007. Bovine Spongiform |
Encephalopathy-Mad Cow Disease, BSE. Iowa: College of Veterinary Medicine,
Iowa State University.

Koeijer A, Schreuder B, Bouma A. 2002. Factors that influence the age distribution of BSE
cases: potentials for age targeting in surveillance. Livestock Production Science
76: 223 –233.

Kusumo,W. 2015. http://vetoncalls.blogspot.co.id/2012/01/bovine-spongiform-


encephalopathy-bse.html. Diakses 4 Oktober 2015 pukul 19.00

Yudhi.2015.http://yudhiestar.blogspot.co.id/2010/01/metode-nekropsi-kambing.html.
| Diakses 5 oktober 2015 pukul 17.00

Naipospos TSP. 2010. Faktor Risiko Masuknya Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE)
ke Indonesia Melalui Importasi Produk Hewan. www.tatavetblog.blogspot.com
[28 November 2010].

OIE [World Organization of Animal Healh]. 2010. Bovine spongiform encephalopathy.


Terrestrial Animal Health Code. Chapter 2.4.6.

Sitepoe, M. 2000. Wabah Penyakit Sapi Gila. : Keterkaitannya dengan berbagai aspek.
Jakarta : Grasindo

Taylor D. 2001. Inactivation of the BSE agent. C. R. Biologies 325: 75–76.

Uskens U. 2001. Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), Transmissible Spongiform


Encephalopathy, Mad Cow Disease. J Environ Sci & Pollut Res 8: 79 – 83.

Anda mungkin juga menyukai