Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beberapa penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus semakin beragam baik jenis
maupun jumlah kasusnya. Ada beberapa jenis penyakit virus yang dahulu sebenarnya
sudah bisa diatasi dengan pemberian vaksin, namun setelah beberapa tahun akhirnya
muncul kembali kasus infeksi virus tersebut, contoh kasus adalah Penyakit polio yang
dahulu sudah bisa diatasi dengan vaksin, namun beberapa kasus akhirnya muncul
kembali. Contoh kasus tersebut menantang beberapa ahli dan teknokrat bidang
kesehatan terutama penyakit infeksi untuk selalu meng”update” perkembangan
kesehatan di Indonesia. Seiring dengan perkembangan teknologi, ternyata juga
diimbangi dengan perkembangan jenis kasus infeksi virus yang semakin beragam.

Teknik diagnosis infeksi virus beberapa tahun yang lalu dilakukan dengan kultur,
dengan teknik in vivo, in ovo dan in vitro. In vivo dilakukan dengan meninokulasikan
virus ke dalam hewan percobaan, kemudian yang diamati adalah symptom yang timbul
pada hewan tersebut. In ovo, dilakukan dengan teknik kultur virus pada telur
berembrio, dengan teknik khusus, kemudian setelah inkubasi beberapa waktu bisa
diamati reaksi hasil inflamasi infeksi virus pada telur berupa pock. Sedangkan secara In
vitro baru beberapa waktu terakhir ini berkembang dengan sangat pesat. Teknik kultur
ini menggunakan media biakan sel hidup, yang biasanya dilakukan dengan
meng”ekstrak” ginjal kera atau embrio ayam. Dengan menggunakan teknik pembuatan
media maka akan didapatkan biaskan sel monolayer untuk mengkulturkan virus,
indikator adanya pertumbuhan virus biasanya dilakukan dengan melihat
keberadaan plaque pada permukaan media.

1
Seiring dengan perkembangan teknologi, maka diagnosis penyakit virus menggunakan
beberapa teknik yang lebih modern, melalui beberapa pendekatan antara lain dengan
deteksi antigen virus, melalui berbagai pemeriksaan, hal ini juga sering rumit dan belum
dapat dilaksanakan di setiap laboratorium. Pemeriksaan ini menggunakan basic biologi
molekuler dan teknik hibridisasi molekuler, antigen dan diagnosis protein specific,
membutuhkan pengetahuan dan pengalaman serta ketrampilan di laboratorium. Teknik
diagnosis yang lebih banyak digunakan adalah dengan deteksi genom virus, cara ini
bisa dilakukan dengan beberapa teknik, antara lain dengan RNA-Polyacrylamide gel
Latex, hibridisasi genom, dan amplifikasi genom dengan reaksi Polymerase Chain
Reaction (PCR). Untuk keperluan lebih lanjut berhubungan dengan identifikasi dan
deteksi adanya mutasi menggunakan teknik squensing DNA. Cara yang paling popular
untuk identifikasi virus pada masa ini adalah dengan menggunakan uji immunologi
serologi, antara lain dengan melihat respon abtibodi (IgM dan IgG). Juga pemeriksaan
adanya peningkatan titer dengan Tes ikatan Komplemen (Complement Fixation Test =
CFT), Tes Aglutinasi, Tes Penghambatan Hemaglutinasi (HI), Tes Presipitasi, Tes
Netralisasi, Fluorescence Antibody Tes (FAT), Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
(ELISA), Radio Immuno Assay (RIA), Counter Immuno Elektroforesis (CIE),
immunoflourecent / Immunohistokimia Enzim.

Pemilihan teknik diagnosis unutk virus tentu saja tergantung dari tujuan diagnosisnya,
apakah untuk deteksi keberadaan virus, keperluan epidemiologi, keperluan monitoring
prognosis penyakit infeksi, pengujian antiretroviral, ataupun untuk penelitian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan tes serologi aglutinasi terhadap infeksi virus?
2. Apa yang dimaksud dengan tes serologi presipitasi terhadap infeksi virus?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui proses tes serologi aglutinasi terhadap infeksi virus.
2. Mengetahui proses tes serologi presipitasi terhadap infeksi virus.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tes Serologi Aglutinasi Terhadap Infeksi Virus

Uji aglutinasi merupakan salah satu uji serologi yang digunakan untuk mendiagnosa
suatu penyakit. Uji aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menambahkan antibodi yang
homolog pada antigen yang dapat berupa sel ataupun partikel lateks yang telah diserapi
antigen yang dapat larut. Penambahan antibodi pada pertikel lateks ini dapat menyebabkan
terjadinya proses aglutinasi atau penggumpalan, sehingga menyebabkan terbentuknya
agregat sel-sel yang kasat mata. Proses penggumpalan ini disebabkan karena antibodi
berlaku sebagai jembatan untuk membentuk jaringan kisi-kisi antibodi dan antigen
partikulat sehingga membentuk gumpalan.

Pada uji aglutinasi digunakan untuk antigen berukuran besar, pada reaksi ini antibodi
dikontakkan dengan antigen yang merupakan bagian permukaan suatu material misalnya
eritrosit, mikroorganisme atau partikel anorganik (polystyrenelatex) yang telah dicoated
dengan Ag. Reaksi Ab-Ag membentuk agregat yang dapat diamati atau aglutinasi.

Uji aglutinasi ini tidak hanya dapat digunakan untuk diagnosis penyakit menular
tertentu yang reaksi aglutinasi antigen-antigennya yang telah diketahui oleh serum
penderita, tetapi juga dapat digunakan untuk mengetahui mikroorganisme atau bakteri
yang belum diketahui.

Contoh uji aglutinasi adalah sebagai berikut :

 Haemagglutination Inhibition (HI) Test

Prinsip dasar HI Test adalah hambatan reaksi agglutinasi sel darah merah (RBC) oleh
virus akibat terikatnya virus tersebut oleh antibodi spesifik. Oleh karena itu, uji ini hanya
dapat dilakukan untuk mikroba yang mengagglutinasi RBC. Pada ayam, virus AI, ND, IB

3
(setelah ditambah enzim tertentu) dan egg drop syndrome serta Mycoplasma dapat diuji
dengan HI Test.

Secara singkat, metode kerja uji HI adalah pengenceran bertingkat serum sampel hingga
pengenceran terbesar yang masih sanggup menghambat aglutinasi RBC. Hasil positif jika
tidak terjadi aglutinasi dan hasil negatif jika terjadi agglutinasi.

Hasil yang didapat diformulasikan sehingga diketahui titer antibodinya sehingga dapat
dibandingkan dengan standar titer protektif. Titer protektif adalah batas minimal jumlah
antibodi dalam tubuh yang masih mampu melindungi terhadap virus tertentu. Standar titer
protektif antibodi tergantung dari jenis virus spesifik. Sebagai contoh, titer protektif ND
untuk ayam layer adalah 64, berarti jika di bawah nilai tersebut, maka antibodi di dalam
tubuh ayam tidak dapat melindungi ayam dari virus, begitu juga sebaliknya. Selain titer
tersebut, kita juga perlu memperhatikan persentase kebal dan keseragamannya.

Gambar 1. HI test

(Pengenceran serum bertingkat dari terkecil (kiri) ke terbesar (kanan). Hasil positif
tidak terjadi agglutinasi (sepuluh kolom kiri) dan hasil negatif terjadi aglutinasi (dua kolom
kanan)

4
CONTOH JURNAL :

KARAKTERISASI DAN IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA (AI)


Dyah Ayu Hewajuli dan N.L.P.I Dharmayanti
Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
(Makalah Diterima 8 Desember 2007 – Revisi 28 Mei 2008)

Virus Influenza merupakan suatu virus RNA beruntai tunggal yang mempunyai
envelope dengan delapan segmen, berpolaritas negatif dan berbentuk bulat atau filamen
dengan diameter 50 – 120 nm x 200 – 300 nm. Virus ini termasuk ke dalam famili
Orthomyxoviridae. Berdasarkan perbedaan antigen nukleoprotein dan matrik yang
menyusunnya, virus ini diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu virus Influenza tipe A, B
dan C. Virus Infuenza A ditemukan pada unggas, manusia, babi, kuda dan kadang-kadang
pada mamalia lain, misalnya cerpelai, anjing laut dan ikan paus. Sedangkan virus Influenza
B dan C hanya ditemukan pada manusia (OIE, 2004).
Avian Influenza atau flu burung merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
virus yang termasuk virus Influenza tipe A. Masing-masing segmen dari virus Influenza
tipe A terdiri dari protein Polymerase component 2 (PB2), Polymerase component 1 (PB1)
dan Polymerase component (PA) yang mengkodekan Polymerase, Haemaglutinin (HA),
Nucleocapsid (NP), Neuraminidase (NA), Matrix Protein 1 (M1), Matrix Protein 2 (M2),
Non Structural Protein 1(NS1) dan Non Structural Protein 2 (N2). Protein-protein tersebut
mempunyai peran masing-masing terhadap kehidupan virus Influenza tipe A. Gambar 1
menunjukkan struktur gen yang dimiliki oleh virus Influenza .
Protein HA berperan dalam proses interaksi langsung dengan reseptor yang ada di
permukaaan sel (attachment). Sedangkan protein NA berperan dalam proses pelepasan
virus dari sel (budding). Disamping peran yang disebutkan di atas, protein HA dan NA juga
berfungsi sebagai antigen. Berdasarkan atas sifat antigen dari protein Haemaglutinin (HA)
dan Neuraminidase (NA) yang menyusun Influenza tipe A maka virus ini dapat
diklasifikasikan lagi menjadi beberapa subtipe. Sehingga penamaan subtipe virus Infuenza
tipe A berdasarkan HA dan NA ini yaitu HxNx, sebagai contoh H5N1, H9N2 dan lain-lain.
Sampai saat ini ditemukan 15 jenis HA (H1 – H16) dan 9 jenis NA (N1 N9) (HARDERdan
WERNER, 2006). Virus Infuenza tipe A yang menginfeksi manusia, babi dan kuda

5
mempunyai protein HA dan NA yang berbeda sedangkan pada burung dapat ditemukan
semua subtipe HA dan NA. Sehingga pada unggas kemungkinan bisa ditemukan 144
kombinasi antigen yang mampu membentuk subtipe yang berbeda (HALMINTON, 2007)

 Metode diagnosis Avian Influenza

Pada saat ini, terdapat dua macam metode diagnostik yang diterapkan untuk infeksi
virus Avian Influenza yaitu metode konvensional (aspek virologi) dan metode molekuler.
Sampai saat ini metode konvensional merupakan metode yang masih rutin dilakukan di
laboratorium-laboratorium diagnostik. Metode ini biasanya digunakan untuk diagnosis awal
infeksi virus Avian Influenza. Akan tetapi uji-uji yang termasuk metode konvensional
biasanya membutuhkan lebih banyak waktu dan biaya. Untuk itu sekarang telah
dikembangkan suatu metode molekular yang lebih efektif dibandingkan metode

6
konvensional (HARDERdan WERNER, 2006). Berdasarkan teknik diagnostic yang ada,
pada prinsipnya diagnosis virus Avian Influenza dilakukan dengan uji serologi, isolasi dan
identifikasi virus serta uji patogenitas. Metode konvensional Uji serologi digunakan untuk
mendeteksi titer antibodi terhadap virus Avian Influenza. Uji ini menggunakan sampel
serum dari hewan yang diduga terinfeksi virus Avian Influenza. Sampel serum yang telah
diperoleh dapat diuji dengan uji Haemagglutination (HA) dan Haemagglutination Inhibition
(HI), Neuraminidase Inhibition (NI), Agar Gel Immunodiffusion (AGID), Serum
Neutralisation (SN) dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA).

1. Isolasi dan identifikasi virus Avian Influenza


Sampel yang digunakan untuk isolasi virus Avian Influenza dapat diperoleh dari
unggas hidup maupun mati. Sampel dari unggas hidup dapat berupa swab kloaka, swab
trakea dan feses segar sedangkan dari unggas mati meliputi organ (trakea, air sac, usus,
ginjal, paru, otak, hati), swab kloaka, swaboro-nasal dan feses. Apabila sampel dari feses
atau organ maka terlebih dahulu harus disentrifus dengan kecepatan 1000 g untuk
memperoleh supernatan. Supernatan yang telah diperoleh kemudian diinokulasikan pada

7
telur ayam SPF atau SAN yang berumur 9 – 11 hari. Telur diamati setiap hari terhadap
kematian embrio. Apabila kematian embrio terjadi kurang dari 24 jam pasca inokulasi
maka dianggap sebagai kematian karena faktor non spesifik. Sedangkan telur-telur yang
embrionya mati lebih dari 24 jam pascainokulasi maka harus dilanjutkan dengan
pemeriksaan terhadap hemaglutinasi (HA) untuk mendeteksi virus Influenza tipe A atau
Avian Paramyxovirus. Cairan alantois yang tidak menunjukkan aktivitas hemaglutinasi
dianggap sebagai virus negatif hemaglutinasi. Namun demikian, partikel-partikel Virus
kemungkinan masih ada sehingga diperlukan pasase II. Tetapi jika pasase II, cairan alantois
tidak menghasilkan aktivitas HA, maka sampel dianggap sebagai virus negatif
hemaglutinasi (OIE, 2004).

Sumber :

8
2. Haemagglutination (HA) dan Haemagglutination Inhibition (HI)
Uji HA dan HI dilakukan berdasarkan sifat virus Avian Influenza yang dapat
mengaglutinasi sel darah merah (RBC) dan kemampuan antibodi spesifik untuk
menghambat aglutinasi tersebut. Hemaglutinasi merupakan proses penggumpalan sel darah
merah yang terlihat seperti butir-butir pasir. Uji ini merupakan salah satu uji serologi
standar yang direkomendasikan OIE untuk mendeteksi keberadaan antibodi yang terdapat
pada serum yang diperiksa. Pada prinsipnya uji HI adalah reaksi ikatan antara antibodi
yang terkandung dalam serum yang diperiksa dan jumlah antigen hemaglutinin Avian
Influenza yang digunakan sebanyak 4 HAU (Haemagglutination Unit). Umumnya uji ini
cukup sensitif dan mampu memberikan hasil yang spesifik terhadap subtipe antigen virus
Avian Influenza. Reaksi silang heterolog kemungkinan bisa terjadi antara subtipe-subtipe
virus Influenza tipe A. Namun demikian, reaksi homolog akan selalu menunjukkan hasil
yang lebih sering terjadi daripada reaksi heterolog.
Disamping yang telah disebutkan di atas, uji HA dan HI juga masih mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan lainnya. Kelebihan dari uji ini adalah relatif simpel,
murah serta reagen dan RBC yang diperlukan untuk pengujian dapat dipersiapkan dengan
mudah oleh masing-masing laboratorium. Sedangkan kekurangan-kekurangan yang

9
dimiliki uji ini diantaranya titrasi antigen harus dilakukan setiap pengujian, interpretasi
hasil uji memerlukan keahlian khusus serta adanya prosedur yang berbeda dari masing-
masing laboratorium dapat memberikan hasil yang berbeda (SELLECK, 2007).
Prosedur standar dalam uji HI menggunakan microtiter plate V dengan ukuran
0,075 ml. Reagen yang diperlukan dalam uji ini adalah PBS 0,1 M dalam kondisi pH 7,0 –
7,2. RBC dapat diambil dari minimal 3 ayam Specific Pathogen Free (SPF). Tetapi apabila
tidak tersedia ayam SPF, maka RBC dapat diperoleh dari ayam Specific Antibody
Neutralisation (SAN). Kemudian RBC yang telah diperoleh dilarutkan dalam larutan
Alsever dengan perbandingan volume sama. Selanjutnya RBC harus dicuci dengan PBS
sebanyak 3 kali sebelum digunakan sebagai suspensi RBC 1%. Untuk mengidentifikasi
antigen Avian Infuenzamaka diperlukan panel antigen AI subtipe H1-H16, apabila uji HI
yang dilakukan menggunakan salah satu subtipe antigen AI serta mampu menginhibisi
terjadinya aglutinasi maka positif terhadap subtipe tersebut. Setiap melakukan pengujian HI
harus selalu menggunakan kontrol positif dan negatif terhadap antigen dan antisera (OIE,
2004).
Hasil uji HI dapat diintepretasikan sebagai antibodi negatif terhadap subtipe antigen
AI apabila serum kontrol menunjukkan aglutinasi serta serum yang diuji tidak mengalami
inhibisi. Serum yang menunjukkan inhibisi pada pengenceran 1 : 16 atau lebih besar dari
4HAU maka antigen dinyatakan positif mengandung antibody yang memadai. Namun
demikian, ada beberapa laboratorium yang lebih memilih menggunakan 8HAU dalam
melakukan uji HI (OIE, 2004). Pengujian HI di Balai Besar Penelitian Veteriner
menggunakan 4HAU. Hasil titer antibodi AI dianggap rendah apabila <4 log 2, titer
antibodi AI sedang antara 4 – 7 log2, titer antibodi AI tinggi apabila > 7 log 2. Peraturan
Menteri Pertanian No 28/OT 140/5/2008 menyatakan pemeriksaan serologi yang dilakukan
dengan uji HI yang menggunakan antigen H5 pada unggas yang divaksinasi dengan vaksin
AI dianggap protektif apabila titer bereaksi positif ≥4 log2. Namun demikian pada kondisi
lapangan, titer yang dianggap protektif bervariasi tergantung dari kondisi peternakan
tersebut. Penelitian yang dilakukan Indriani dan Dharmayanti (2006), untuk mendeteksi
antibodi AI H5N1 dari ayam yang mendapat program vaksinasi menggunakan vaksin
inaktif AI H5N1 pada sampel kuning telur memperlihatkan sampel ekstrak kuning telur dan

10
serum baik dari flok yang divaksinasi dengan vaksin AI A/Chicken/West Java/67-2/2003,
maupun flok yang divaksinasi dengan vaksin komersial memberikan hasil positif antibodi
virus AI H5N1 dengan uji HI. Hasil titer antibodi virus AI H5N1 terlihat berkisar antara 2 –
9 log2 pada ekstrak kuning telur dan serum berkisar 4 – 8 log2. Perbedaan ini mungkin
disebabkan kandungan antibodi yang diturunkan oleh induk dalam kuning telur mempunyai
titer antibodi lebih rendah dari kandungan titer antibodi yang terdapat di dalam serum
induk. BECKet al.(2003) menyatakan juga bahwa antibodi AI dapat dideteksi lebih awal
dari ayam yang terinfeksi virus hidup daripada ayam yang divaksinasi AI adjuvan.

2.2 Tes Serologi Presipitasi Terhadap Infeksi Virus

Pada uji presipitin terjadi reaksi antara satu antigen yang dapat larut dengan
antibodi homolognya. Reaksi ini berlangsung dengan poembentukan presipitat (endapan)
kasat mata pada batas permukaan reaktan-reaktan bersangkutan. Reaksi semacam itu
biasanya dilakukan dengan menggunakan antibodi (antiserum) dengan jumlah konstan dan
antigenj dengan berbagai pengenceran. Dengan mengingat bahwa konsentrasi antibodi itu

11
konstan, maka dapat kita lihat bahwa hanya terbentuk sejumlah kecil presipitat bila
antibodinya berlebihan. Dengan ditambahnya konsentrasi antigen, maka jumlah presipitat
meningkat dan mencapai maksimum bila perbandingan antara antigen dan antibodinya
optimum. Sesudah zone ini, dengan bertambahnya konsentrasi antigen, maka jumlah
presipitat menurun lagi. Jadi ada tiga zone reaksi antigen-antibodi pada uji presipitin : zone
kelebihan antibodi, zone setara, dan zone kelebihan antigen.
Pada zone kelebihan antibodi, semua antigen telah bereaksi dengan antibodi dan
telah diendapkan (tidak ada antigen bebas di dalam supernatan). Sebaliknya di dalam zone
kelebihan antigen, semua antibodi telah bereaksi dengan antigen (tidak ada antibodi di
dalam supernatan), tetapi kompleks yang terbentuk tetap dapat larut karena banyaknya
kelebihan antigen mengikat antibodi menjadi kompleks yang berukuran kecil yang tidak
terikat saling membentuk agregat besar yang kasat mata.di dalam zone setara terjadi
presipitasi antigendan antibodi secara maksimum (tidak terdapat antigen bebas maupun
antibodi bebas di dalam supernatan) karena keduanya terdapat dalam proporsi optimum
sehingga dapat membentuk kisi-kisi antigen dan antibodi yang menjadi kasat mata dan
tidak dapat larut. Karena alasan ini, maka uji presipitin akan paling bermanfaat bila
memungkinkan reaktan berdifusi sampai konsentrasi optimumnya tercapai.
Secara umum, reaksi serologi dapat digambarkan sebagai berikut:

Terdapat beberapa cara pengujian pada metode presipitasi, yakni:


1. Uji tabung
Dengan mencampur pada tabung, masukkan dilusi antigen atau antibodi dengan jumlah
tertentu. Dilusi dilakukan dari konsentrasi tinggi (tabung pertama) sampai konsentrasi
terendah (tabung terakhir). Presipitat timbul pada tabung yang mengandung Ag dan Ab
secara proporsional.

12
2. Presipitasi Cincin
Uji cincin adalah uji presipitin yang paling sederhana. Antigen dilapiskan pada serum
(antibodi), terjadi difusi setelah mencapai ikatan proporsional dengan antibodi akan
menghasilkan presipitasi berbentuk cincin. Kedalam sebuah tabung bermulut kecil
diletakkan larutan antigen diatas larutan serum yang mengandung antibodi. Kedua
larutan tersebut akan berdifusi sampai keduanya mencapai konsentrasi optimum untuk
terjadinya presipitasi, pada titik tersebut muncullah suatu zona rapat atau cincin endapan
diantara kedua larutan.

3. Difusi Gel
Pada pengujian ini memungkinkan antigen dan antibodi berdifusi perlahan dari arah
tertentu melalui gel. Ketepatan yang lebih tinggi dan pemisahan komponen di dalam
campuran antigen dan antibodi dapat diperoleh dengan cara membiarkan reaktan-
reaktan tersebut berdifusi bersama-sama dalam di dalam suatu gel agar.
Pada cara ini homogenitas dan derajat kemurnian dari berbagai antigen dapat diuji. Pita
presipitasi terbentuk pada setiap antigen dapat saling bertemu, atau bersilangan
menunjukkan:
 bersambungan, antigen identik secara imunologik (terhadap serum uji)
 bercabang, antigen berhubungan sebagian
 bersilangan, menunjukkan antigen tidak berhubungan

4. Metode difusi tunggal


Di sini anti serum dalam agar semi solid, zona buffer dari agar dan antigen terpisah
secara vertikal dalam tabung. Garis presipitasi terbentuk dalam zona buffer.Dalam
metode difusi tunggal yang dirancang Oudin, antigen ditaruh diatas gel agar yang
mengandung antiserum di dalam suatu tabung reaksi bermulut sempit. Setelah dibiarkan
selama beberapa jam atau beberapa hari, antigen itu merembes ke dalam gel membentuk
pita-pita endapan pada berbagai taraf, bergantung kepada jumlah dan macam antigen-
antibodi yang ada. Karena presipitasi terjadi ketika antigen menembus gel, maka cincin
endapan mula-mula muncul di dekat puncak gel dan nampaknya bergerak perlahan ke

13
arah bawah. Efek semacam ini mungkin sesungguhnya disebabkan karena adanya
peningkatan jumlah antigen yang menyebabkan endapan itu melarut (karena reaksi
antigen-antibodi itu dapat balik). Presipitasi terbentuk kembali pada posisi yang lebih
kebawah dalam tabung tersebut, yaitu pada tempat konsentrasi antigen yang optimum.
Faktor-faktor yang menentukan taraf untuk terjadinya reaksi ialah ukuran molekul dan
konsentrasi nisbi reaktan.

5. Metode difusi ganda


Oakley dan Fulthorpe memodifikasi teknik Oudin dalam metode difusi tunggal dengan
cara menaruh antiserum di dalam agar di dasar tabung reaksi dan melapisinya dengan
gel agar lalu diatasnya ditaruh larutan antigen. Kedua reaktan itu berdifusi kearah
masing-masing di dalam agar dan presipitasi terjadi pada titik terdapatnya konsentrasi
optimum. Ini adalah difusiganda satu dimensi. Metode difusi ganda dua dimensi yang
dirancang oleh Ouchterlony mempunyai keuntungan dibandingkan dengan metode
sebelumnya, bahwa berbagai antigen dan antiserum dapat dibandingkan secara langsung.
Dalam uji ini, reaktan merembes dari sumur-sumur yang berisi antiserum dan antigen
homolog dalam konsentrasi optimum. Bila pita endapan yang dibentuk kedua antigen
dan antibodi itu melebur pada titik pertemuannya, maka berarti kedua antigen itu sama.
Bila bersilangan, artinya kedua antigen itu berbeda.
Agar dituang pada plat. Di bagian tengah diisi antigen atau antiserum sedangkan sera
atau ekstrak di bagian tepi. Pita presipitasi terbentuk dalam gel pada posisi Ag dan Ab
mencapai proporsi optimal setelah berdifusi. Dapat dimodifikasi dengan uji mikrodilusi
menggunakan obyek gelas

6. Immunoelektroforesis
Jika terdapat sejumlah Ag dalam larutan seperti serum, sulit memisahkan pita presipitasi
yang timbul pada setiap reaksi Ab-Ag, bila hanya menggunakan cara difusi di atas.
Komponen serum dipisahkan dengan elektroforesis dalam agar gel dan antiserum
dibiarkan berdifusi melalui komponen yang dihasilkan pada pita-pita yang terbentuk.

14
7. lektroforesis "roket"
Merupakan metode kuantitatif, dilakukan elektroforesis antigen ke dalam gel yang telah
mengandung antibodi. Presipitasi yang terjadi berbentuk roket, panjang masing-masing
roket menunjukkan konsentrasi antigen.

8. Immunodifusi radial tunggal


Antiserum monospesifik ditambahkan ke dalam gel, kemudian dituang pada slide
petridisk atau lempeng plastik. Dibuat lubang gel, larutan antigen dimasukkan pada
lubang. Terjadi difusi sehingga terbentuk zona sirkuler yang menunjukkan jarak
proporsional dengan jumlah antigen yang ditambahkan pada setiap lubang. Kuantitasi
antigen yang diperiksa diketahui dari perbandingan cincin presipitasi dibandingkan
dengan cincin presipitasi kontrol.

9. Radioimunoassai
Radioimunoasai ialah suatu teknik mikro dengan kepekaan tinggi untuk meentukan
jumlah antigen yang amat sedikit. Teknik ini pada hakikatnya merupakan proses dua
langkah. Langkah yang pertama menyangkut kompetensi antara antigen uji (tidak
berlabel atau tidak radio aktif) dengan konsentrasi yang tidak diketahui (beragam) dan
suatu antigen indikator yang dikenal (berlabel atau radioaktif) dengan konsentrasi yang
sudah diketahui (daoat dihitung). Mereka berkompetensi untuk bereaksi dengan antibodi
yang dikenal dan jumlahnya terbatas, yang spesifik bagi antigen yang diberi label
radioisotop. Ketiga reaktan ini diinkubasikan selama beberapa jam sehingga dapat
terjadi reaksi pengikatan antigen-antibodi.
Langkah kedua menyangkut ditambahkannya kedalam sistem itu antiserum (anti-
antibodi) yang spesisifik dan erhadapnya mampu mengikat komponen antibodi dari
kompleks kekebalan yang tebentuk selama inkubasi pada langkah yang pertama. Ini
mengakibakan terjadinya presipitasi kompleks antigen-antibodi.Radioaktivitas endapan
tersebut ditetapkan di dalam detektor dan penghitung radioisotop.
Bila antigen uji pada langkah pertama telah bereaksi dengan antibodi, maka antigen
indikator radioaktif tidak dapat bereaksi dengan antibodi itu. Hitungan radioaktifnya

15
akan redah karena antigen indikator tidak terdapat dalam endapan. Namun demikian,
bila antigen uji itu tidak bereaksi dengan antibodi, maka antibodi itu tentunya bebas
untuk mengikat antigen indikator radioaktif. Maka hitungan radioaktifnya akan tinggi
karena antigen indikator terikat dalam endapan. Jadi identitas dan konsentrasi antigen uji
dapat ditentukan oleh radioaktivitas endapan.Teknik radioimunoasai ini penting untuk
menentukan adanya antigen hepatitis B, yang mungkin ada di dalam serum donor darah
yang tidak memperlihatkan gejala (donor yang membawa virus (antigen) tanpa
memperlihatkan gejala). Substansi-substansi lain yang dapat diukur dengan
radioimunoasai meliputi insulin, testosteron, estradiol, igE manusia, serta bahan - bahan
lain yang biasanya ada dalam jumlah amat kecil di dalam darah atau air seni.

Contoh :
1. Uji Serologi Virus Tumbuhan
Contoh jurnal :

Uji Serologi Tomato Infectious Chlorosis Virus (TICV) Pada Tanaman Tomat
Ni Nengah Putri Adnyani
Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Bogor 2015

Tomato infectious chlorosis virus (TICV) adalah salah satu virus yang
menyebabkan penyakit pada tanaman tomat (Tsai et al. 2004).Virus pada tanaman tomat ini
pertama kali ditemukan di California pada tahun 1993 (Duffus et al) Infeksi TICV pada
tanaman tomat mengakibatkan gejala klorosis yang sangat parah pada seluruh daun
sehingga tanaman tampak kuning, penyakit yang ditimbulkanini disebut klorosis atau
kuning (Vaira et al. 2002).
Reaksi antara antibodi dan antigen terjadi pada reaksi pertahanan hewan apabila
kemasukan antigen (patogen atau benda asing). Reaksi khas itu dapat juga terjadi secara in
vitro apabila antibodi yang diproduksi hewan itu diisolasi dan direaksikan dengan antigen
yang mengimbasnya. Sifat khas reaksi antibodi dan antigen dimanfaatkan sebagai alat

16
identifikasi patogen dan diagnosis penyakit virus pada tanaman. Selain untuk mendeteksi
dan mengidentifikasi virus penyebab penyakit, uji serologi juga berguna dalam mengukur
konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh
serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios 2005).

 Agarose Gel Precipitation Test (AGPT)


AGPT merupakan teknik imunopresipitasi dan banyak dipakai untuk mengukur titer
antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibanding dengan uji pengikatan
primer namun relatif mudah dilakukan. Pada uji ini digunakan selapis media agar yang
dilubangi. Kemudian ke dalam sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan antigen
dan antiserum yang telah mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi akan
berdifusi ke sekitar sumur secara radial. Apabila antigen bereaksi dengan antibodi spesifik
akan terbentuk kompleks antigen-antibodi yang banyak sehingga kompleks mengendap
dan terjadi presipitasi yang membentuk garis putih. Tetapi bila tidak ada kesesuaian antara
antigen dan antibodi, maka garis presipitasi tidak akan terbentuk (Haryadi 2006).
Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam reaksi presipitasi.
Pembentukan presipitasi terbentuk apabila antara konsentrasi antigen dengan antibodi
tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya
kembali komplek yang terbentuk yang disebut postzone effect, sedangkan antibodi berlebih
mengakibatkan komplek antigen-antibodi tetap ada dalam larutan prozone effect (Haryadi
2006)
Reaksi antigen-antibodi pada AGPT dilakukan pada media 1% gel agarosa (Sigma,
USA). Gel dibuat dengan melarutkan 0.1 g agarosa, 0.01 g natrium azida dalam 5 ml
phosphate buffer saline (PBS) pH 7.2 dan 5 ml akuabidesyang dipanaskan dalam
microwave selama 1 menit. Agar cair tersebut kemudian dituangkan di atas kaca preparat
setebal sekitar 2 mm dan dibiarkan pada suhu ruang sampai membeku. Pada agar beku
tersebut dibuat 2 lubang berdiameter 4 mm dengan jarak 4 mm untuk diisi dengan reaktan
yang berbeda yaitu antigen dan antibodi masing-masing sebanyak 20 μl. Antigen adalah
cairan perasan tanaman tomat yang positif terserang TICV dan yang sehat masing-masing
sebanyak 0.1 g yang telah dilumatkan dalam 1x PBS dengan perbandingan 1:10 (b/v).

17
Antibodi berupa antiserum TICV yang telah tersedia di Laboratorium Virologi Tumbuhan
IPB yaitu hasil immunisasi kelinci dengan protein produk ekspresi gen CP TICV pada E.
coli (Kurniawati 2012). Untuk pengukuran titer antiserum, dilakukan reaksi antara antigen
tanpa pengenceran (siapan cairan perasantanaman tomat) dan antiserum dengan seri
pengenceran dupleks mulai 1/1sampai 1/64. Pengamatan terhadap terbentuknya garis
presipitasi reaksi antigen-antibodi pada media agarosadiamati setiap hari dan
didokumentasikan.Metode ini dilakukan berdasarkan prosedur dari Noordam (1973).

Melalui AGPT, terjadinya reaksi (pengenalan) antibodi (antiserum) terhadap antigen


(partikel TICV dalam cairan perasan tanaman tomat) ditandai dengan terbentuknya garis
presipitasi berwarna putih pada gel agarosa di antara lubang yang diberi cairan antiserum
dan yang diberi cairan perasan tanaman

Terbentuknya garis presipitasi ini membutuhkan waktu 2 hari setelah dimasukkannya


antiserum dan cairan perasan tanaman dalam masing-masing lubang gel. Tampaknya difusi
antibodi maupun antigen (partikel TICV) dalam gel agarosa berjalan lambat sampai kedua
komponen tersebut bertemu dan saling berikatan membentuk kompleks antigen-antibodi
(Ag-Ab). Kompleks Ag-Ab terjadi sedikit demi sedikit dan terakumulasi dalam jumlah
yang memadai sampai dapat terlihat dengan mata telanjang (Nickel et al. 2004).

18
2. Uji Serologi Virus Pada Manusia

Contoh Jurnal :

KARAKTERISASI DAN IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA (AI)


Dyah Ayu Hewajuli dan N.L.P.I Dharmayanti
Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
(Makalah Diterima 8 Desember 2007 – Revisi 28 Mei 2008)

 Agar Gel Immunodiffusion (AGID)


Semua virus Influenza tipe A memiliki kemiripan dengan antigen protein Nukleokapsid dan
Matrik. Hal inilah yang menjadi dasar dilakukan uji AGID. Uji AGID merupakan uji untuk
mendeteksi antibodi terhadap kelompok virus Influenza tipe A. Dalam pelaksanaannya, uji
ini relatif mudah dan murah sehingga uji AGID ini lebih banyak diaplikasikan di
laboratorium - laboratorium diagnostik. Di Indonesia, terdapat beberapa laboratorium
veteriner yang melakukan uji AI dengan AGID, diantaranya adalah Balai Besar Penelitian
Veteriner, Balai Besar Veteriner, serta Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner. Akan
tetapi, uji ini kurang sensitif serta tidak spesifik terhadap subtipe virus Avian Influenza
(SELLECK, 2007).
BECKet al(2003) mendeteksi antibodi dari serum dan kuning telur yang berasal dari
21 hari pasca vaksinasi AI dengan adjuvan memperlihatkan antibodi terdetekasi lebih awal
denganuji AGID daripada uji HI.Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pengujian ini adalah
8% NaCl dalam 0,1 M larutan PBS, 1% agarose, antigen, antiserum positif dan serum yang
akan diperiksa. Suspensi agarose dengan larutan PBS dituang sebanyak 2 – 3 mm dalam
cawan petri. Padatan agar yang telah terbentuk kemudian dibuat lubang dengan pola 6
lubang heksagonal mengelilingi 1 sentral lubang. Lubang sentral untuk pengenceran
antigen, lubang no. 1, 3 dan 5 untuk pengenceran antiserum positif sedangkan lubang no.2,
4 dan 6 untuk pengenceran serum. Antigen yang digunakan dalam pengujian ini diperoleh
dari cairan chorio-allantoistelur SPF umur 10 hari yang telah diinfeksi dengan virus
Influenza tipe A yang sudah mengalami inaktivasi. Aktivasi cairan ini menggunakan
larutan 0,1% formalin atau 1% beta propiolakton. Antigen dan antiserum positif yang akan

19
digunakan sebaiknya dititrasi terlebih dahulu untuk menentukan working solution nya
(OIE, 2004).
Interpretasi hasil dari AGID dilakukan setelah cawan petri tersebut diinkubasikan
selama 24 – 48 jam. Plate diperiksa pada iluminator lapang gelap untuk melihat keberadaan
garis presipitasi pada antiserum positif. Apabila garis presipitasi pada antiserum positif
belum terbentuk selama inkubasi 24 jam maka plate diinkubasikan kembali setelah 24 jam.
Serum positif antibodi ditunjukkan dengan adanya garis presipitasi penuh atau sebagian
dengan ciri yang sama dengan garis presipitasi yang terbentuk oleh antiserum positif.
Apabila garis presipitasi terlihat tidak penuh atau berbelok dari antiserum positif maka
diinterpretasikan sebagai serum positif lemah. Sedangkan serum negatif antibodi akan
menunjukkan tidak ada garis presipitasi dengan anti serum positif. Masing-masing hasil
interpretasi diberi skor dari negatif (-) sampai positif kuat (> 3+) tergantung pada kuat dan
jarak garis presipitasi yang terbentuk (OIE, 2004).

20
positif positif

negatif

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Uji aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menambahkan antibodi yang homolog pada
antigen yang dapat berupa sel ataupun partikel lateks yang telah diserapi antigen yang
dapat larut. Penambahan antibodi pada pertikel lateks ini dapat menyebabkan
terjadinya proses aglutinasi atau penggumpalan, sehingga menyebabkan terbentuknya
agregat sel-sel yang kasat mata. Proses penggumpalan ini disebabkan karena antibodi
berlaku sebagai jembatan untuk membentuk jaringan kisi-kisi antibodi dan antigen
partikulat sehingga membentuk gumpalan.

Pada uji presipitin terjadi reaksi antara satu antigen yang dapat larut dengan antibodi
homolognya. Reaksi ini berlangsung dengan poembentukan presipitat (endapan) kasat
mata pada batas permukaan reaktan-reaktan bersangkutan. Reaksi semacam itu
biasanya dilakukan dengan menggunakan antibodi (antiserum) dengan jumlah konstan
dan antigenj dengan berbagai pengenceran. Dengan mengingat bahwa konsentrasi
antibodi itu konstan, maka dapat kita lihat bahwa hanya terbentuk sejumlah kecil
presipitat bila antibodinya berlebihan. Dengan ditambahnya konsentrasi antigen, maka
jumlah presipitat meningkat dan mencapai maksimum bila perbandingan antara antigen
dan antibodinya optimum. Sesudah zone ini, dengan bertambahnya konsentrasi
antigen, maka jumlah presipitat menurun lagi. Jadi ada tiga zone reaksi antigen-
antibodi pada uji presipitin : zone kelebihan antibodi, zone setara, dan zone kelebihan
antigen.

22
DAFTAR PUSTAKA

Buku Panduan Praktikum Blok Mekanisme Pertahanan Tubuh.Fakultas kedokteran


Universitas Indonesia

Dyah Ayu Hewajuli dan N.L.P.I Dharmayanti.2008.Karakterisasi Dan Identifikasi Virus


Avian Influenza (Ai). Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor
16114 . Diakses pada : http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks /wartazoa
/wazo182-4.pdf?secure=1 (Juni 2017)

Didik Wahyudi. 2013.Diagnosis Virus. Diakses pada https://aaknasional.wordpress.com


/2013/02/21/ diagnosis-virus/ (Juni 2017)

23

Anda mungkin juga menyukai