BAB 1 PENDAHULUAN
Virus merupakan agen infeksi non seluler yang dapat memperbanyak diri hanya
didalam sel. Virus yang menginfeksi sel eukatiotik terdiri dari asam nukleat yaitu DNA
ataupun RNA. Virus memerlukan hospes untuk melakukan replikasi guna
memperbanyak diri. Akibat infeksi virus dapat pada sel dapat menyebabkan sel lisis
setelah sel bereplikasi, atau dapat menjadi infeksi laten terjadi saat virus tetap berada di
sitoplasma dan bergabung dengan genom hospes (Stanfield, 2006).
Virus merupakan agen infeksi yang dapat menyerang semua hewan. Virus yang
menyerang ternak akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi, gangguan
sistem reproduksi, dan kematian. Banyaknya virus yang dapat menginfeksi hewan
sehingga diperlukan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan serologis merupakan suatu
metode mendiagnosa etiologis virus penyebab infeksi pada hewan. Pemeriksaan
serologis dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi antibodi dengan menggunakan antigen
yang telah diketahui. Dasar dari uji serologis ialah mereaksikan antara antigen dan
antibodi dengan menggunakan serum yang merupakan dasar pada reaksi imunologis
(mims, 2004).
Uji serologis yang sering digunakan untuk mengidentifikasi secara cepat salah
satunya ialah menggunakan uji hemaglutinasi (HA). Uji hemaglutinasi merupakan uji
serologis yang banyak digunakan untuk virus dengan hemaglitinin yang dapat
mengaglutinasi eritrosit salah satunya pada ayam. virus pada ayam yang mempunyai
hemaglitinin antara lain yaitu Avian influenza, New castle disease dan egg drop
sindrom. Uji HA merupakan uji cepat terhadap virus yang dapat digunakan sebagai
kontrol terhadap penyakit dalam suatu populasi agar dapat ditekan penyebarannya
(grimes, 2002).
uji lain yang relatif mudah untuk mengidentifikasi virus ialah menggunakan uji
Agar Gel Presipitation Test (AGPT). Agar Gel Presipitation Test merupakan uji yang
sering digunakan untuk mendeteksi antibodi. Prinsip AGPT ialah mereaksikan antigen
yang telah diketahui dengan antibodi yang diuji. Terbentuknya presipitasi merupakan
bentuk pengendapan yang menandakan telah terjadi ikatan antara antigen dan antibodi
secara spesifik. Oleh karena itu uji serologis dapat digunakan untuk mempelajari
penyakit pada unggas yang disebabkan oleh virus dengan cara mengisolasi,
mengidentifikasi virus penyebab wabah penyakit pada unggas.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana proses identifikasi hasil pengujian antigen dan antibodi dari sampel
ayam sakit?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui proses identifikasi hasil pengujian antigen dan antibodi dari
Manfaat yang dapat diambil dari rotasi koasistensi laboratorium virologi adalah
mengetahui dan menerapkan langkah-langkah pemeriksaan dan isolasi virus untuk
memudahkan mengidentifikasi virus penyebab penyakit pada sampel ayam sakit untuk
menegakan diagnosa penyakit.
strain velogenik terutama pada kelompok ayam yang peka, 50% pada strain
mesogenik, dan 30% pada infeksi virus strain velogenik (Tabbu, 2000
Penularan virus new castle disease dapat terjadi secara langsung antar ayam dalam
satu kelompok ternak tertular. Sumber virus biasanya berasal dari ekskreta ayam
terinfeksi baik melalui pakan, air minum, lendir, feses, maupun udara yang tercemar
virus, peralatan, dan pekerja kandang. Masa inkubasi dan gejala klinis penyakit ND
pada ayam bervariasi, tergantung pada strain virus dan status kebal ayam saat
terinfeksi. Pada infeksi virus strain lentogenik, penyakit bersifat subklinis, atau
ditandai dengan gangguan respirasi yang bersifat ringan seperti bersin dan keluar
leleran dari hidung. Infeksi virus strain mesogenik bersifat akut ditandai dengan
gangguan respirasi dan kelainan saraf. Gejala klinis pada ayam ditandai dengan
penurunan nafsu makan, jengger dan pial sianosis, pembengkakan di daerah kepala,
bersin, batuk, ngorok, dan diare putih kehijauan. Infeksi virus strain velogenik bersifat
fatal, seringkali diikuti dengan angka kematian yang tinggi. Gejala tersebut sangat
bervariasi, diawali dengan konjungtivitis, diare serta dikuti dengan gejala saraf seperti
tremor, tortikolis, atau kelumpuhan pada leher dan sayap. Pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ialah dengan melakukan
vaksinasi ND berkala sejak umur muda baik dengan vaksin hidup maupun vaksin mati
(Ghiamirad et al., 2010).
2.2. Uji Imunoserologis
antibodi atau imunoglobulin merupakan senyawa protein yang dapat ditemukan
dalam darah dan cairan tubuh lainnya. Antibodi memiliki fungsi sebagai sistem
kekebalan tubuh untuk mengenali dan menonaktifkan benda asaing seperti bakteri,
virus atau parasit lainnya. Antibodi memiliki struktur pada bagian ujung yang kecil
larut. Uji AGPT memiliki kegunaan untuk screening di lapangan untuk menentukan
adanya antigen penyebab penyakit sebelum diterapkkan tehnik lain untuk identifikasi
virus dan karakterisasi (Islam, 2011). Garis presipitasi yang terbentuk dalam agar
terjadi ketika antigen dan antibodi menyebar dan terikat membentuk garis atau ketika
antibodi yang dimasukkukan ke dalam agar dan antigen berdifusi menuju ke tempat
antibodi sehingga akan terbentuk garis presipitasi. Ikatan antibodi dan antigen
terbentuk apabila proporsi antara antigen dan antibodi seimbang.
BAB 3 METODOLOGI
Alat dan bahan yang dipergunakan untuk uji hemaglutinin ialah TAB yang
berumur 10 hari. Sampel organ dari ayam yang dicurigai terserang ND yaitu otak,
paru-paru, trachea, limpa, proventrikulus. Serum anti ND, eritrosit 5%, alkohol 70%,
pensil, kertas label, alu dan mortar, aquades, paku, jarum suntik, egg tray, selotip,
refrigator, Lampu teropong, PZ / PBS, Mikropipet 25l dan 50 l, Mikroplate.
Alat yang digunakan untuk pengujian agar presipitasi ini adalah cawan petri, gelas
obyek, gel punch dan kertas hisap. Bahan yang digunakan antara lain adalah larutan
agar (8 gram NaCl; 1,5 gram agar), antigen dan antibodi standard, antigen dan antibodi
yang akan diuji.
1.2 Metode Kerja
1.2.1 Uji HA
1.2.1.1. Inokulasi Sampel Virus Pada TAB
Sampel organ yang didapatkan dibuat suspensi 10% dengan cara organ
dihaluskan menggunakan mortar dan ditambahi dengan PZ steril sebanyak 4,5
ml. Sampel yang telah homogen disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm
selama 15 menit. Hasil sentrifuse diambil supernatannnya dan ditambahkan
antibiotik penstrep (penicilin dan streptomicin) sebanyak 2 ml dan dibiarkan
pada suhu ruang selama kurang lebih 1-2 jam sebelum inokulasi agar memberi
waktu bagi antibiotik untuk bereaksi terhadap bakteri.
Penanaman virus dari sampel yang diduga terinfeksi ND ditanam pada
TAB (telur ayam berembrio) yang berumur 10 hari. TAB sebelum ditanami
virus, maka dilakukan peneropongan untuk memastikan embior dalam TAB
masih hidup. Embrio yang masih hidup ditandai dengan adanya pembuluh
darah dan telur diteropong terlihat terang.Peneropongan memiliki tujuan untuk
mengetahui letak kantong udara dan menandai daerah dengan sedikit pembuluh
darah yang dijadikan sebagai tempat untuk inokulasi virus. Tempat inokulasi
virus berjarak 0,3 cm dari tanda batas kantung udara, ditandai dengan pensil
dan dilubangi dengan paku. Bagian telur sebelum diinjeksi didisinfeksi
menggunakan alkoloh 70%. Injeksi dilakukan pada daerah yang telah dilubangi
dengan menggunakan spuit ukuran jarum 26 G. Injeksi dilakukan sejajar
dengan sumbu panjang telur sedalam 1 cm. Suspensi yang diinjeksikan pada
masing-masing telur sekitar 0,2 ml. TAB yang telah diinjeksi kemudian ditutup
lubangnya dengan selotip bertujuan untuk menghindari kontaminasi oleh
bakteri maupun virus lain. Telur diletakkan pada rak telur diposisikan kantung
udara berada dibagian atas. Telur dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu
38-39oC dan kelembapan berkisar 60-70%. Telur diamati setiap 24 jam sekali,
untuk melihat perkembangan telur. Telur yang telah mati akan dikeluarkan dari
ruang inkubator. Telur yang mati ditandai dengan warna gelap pada saat
peneropongan, tidak adanya pembuluh darah. telur yang telah mati segera
dimasukkan ke dalam refrigerator pada suhu 4oC.
1.2.1.2. Pemanenan Virus Dan Uji HA.
Telur akan dipanen virusnya apabila telah lebih dari lima hari. Telur yang
masih hidup akan diletakkan didalam refrigerator dan didiamkan minimal 4
jam untuk membunuh embrio yang masih hidup dan untuk mengurangi
kontaminasi cairan oleh eritrosit. Telur yang telah dikeluarkan dari refrigerator
dilap cangkangnya dan disemprot dengan alkolol 70%. Panen virus diawali
dengan memecahkan cangkan diatas kantung udara dengan menggunakan
gunting untuk membuat satu lubang. Pengambilan cairan alantois dilakukan
dengan menggunakan mikropipet untuk selanjutnya dilakukan uji HA.
Uji HA diawali dengan mengisi lubang mikroplate dengan 0,025 PZ
mulai dari lubang 1-6. Tiap satu sampel organ terdapat 3 ulangan. Tiap lubang
10
Organ
Otak 1
Otak 2
Trakhea 1
Trakhea 2
Paru-paru 1
Paru-paru 2
Limpa 1
Limpa 2
Proventrikulus
Proventrikulus
A
Y
A
M
A
Y
A
M
Otak
Proventrikulus
Paru-paru
Ulangan 3 (C)
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup
11
Keterangan
Trakhea
Trakhea
Trakhea
Limpa
Limpa
Limpa
Proventrikulus
Proventrikulus
Proventrikulus
Otak
Otak
Otak
Paru
Paru
Paru
: tidak aglutinasi
: aglutinasi
REAGEN
1.
As EDS 28
Plate 1
As AI
Serum X
Ag EDS 4 HAU
Ag EDS 28
Ag AI 4 HAU
Ag AI >> 4
Ag ND 4 HAU
HASIL
REAKSI
12
As EDS
2.
Plate 2
Ag EDS 28
Ag EDS 4 HA
As ND 1
3.
Plate 3
Ag ND 28
Ag ND 4 HA
As ND 2
4.
Plate 4
Ag ND 28
Ag ND 4 HA
As AI
5.
Plate 5
Ag X
As X
6.
Plate 6
As AI
As ND 3
As AI
7.
Plate 7
As AI
As ND 3
Serum X
8.
Plate 8
As ND 1
Ag X
As EDS
Ag AI 4 HAU
Ag EDS 4 HAU
Ag EDS 28
Ag EDS 4 HAU
As X
As AI
As ND 3
As AI >>4
Ag ND 4 HAU
Ag ND 28
As ND 1
As EDS
As AI
As ND 1
Ag ND 4 HAU
Ag ND 2 8
As ND 3
As X
As X
As AI
Ag AI>> 4
Ag AI 4 HAU
As ND 3
As EDS
Ag ND 4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag EDS 28
Ag ND 28
Ag X
Ag ND 4 HAU
Ag ND 28
Ag AI 4 HAU
Ag ND 4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag AI >> 4
Ag ND 4 HAU
Ag ND 28
Ag ND 4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag EDS 4 HAU
Ag ND 4 HAU
Ag ND 28
As ND 1
As ND 2
As EDS
As AI
As ND 3
Ag EDS 28
13
9.
Plate 9
As AI
As X
As ND
10.
Plate 10
As EDS
Serum X
Ag AI
Ag ND 28 HAU
Ag EDS 4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag >> 4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag AI>>4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag ND 4 HAU
AgEDS4 HAU
Ag ND 4 HAU
Ag ND 28
Ag EDS 4 HAU
Ag EDS 28
Ag AI
Ag EDS
Ag ND
As EDS
As AI >>4
As ND
As AI
4.2 Pembahasan
4.2.1. TAB dan Uji HA
Sampel organ yang akan dipergunakan merupakan organ ayam yang
didapatkan dari lapang dengan diagnosis mengarah kepada infeksi virus New castle
disease. Virus New castle disease ditandai dengan adanya perubahan anatomi pada
14
organ yaitu hemoragi pada organ paru-paru, trachea dan proventrikulus. Lesi dapat
terjadi pada organ saluran pencernaan dan saluran pernafasan dikarenakan pada
organ tersebut terjadi replikasi virus pada epitel mukosa. Virus ND yang terdapat
pada organ memiliki dua spike glikoprotein yang berperan sebagai patogenesitas ND
berupa hemaglutinin dan fusion protein. Fusion protein terbelah menjadi F1 dan F2
sebagai partikel virus yang infeksius. Pembelahan fusion protein dimediasi oleh
protease yang terdapat pada seluruh sel hospes. sehingga virus ND dapat dengan
mudah menyebar ke organ tersebut. Fusion protein yang telah membelah bersifat
infeksius yang akan menyebabkan kerusakan organ yang ditandai dengan adanya
respon inflamasi dan terjadi pelepasan mediator inflamasi yang menginduksi
terjadinya cedera pada organ pencernaan dan pernafasan yang mengakibatkan
pendarahan yang parah dan nekrosis pada organ (Putra, 2012; Sun, 2009). Organ
limpa dari sampel ditemukan mengalami pembesaran merupakan respon inflamasi
dan hiperplasia limfosit yang terjadi selama replikasi virus ND dalam jaringan
limfoid. Lesi akibat infeksi virus ND pada paru-paru yang digambarkan dengan
terjadinya pendarahan, edema, dan kongesti. Lesi pada paru diakibatkan karena
terjadi gannguan sirkulasi yang terjadi karena terjadi viremia (mathias, 2010).
Virus yang terdapat pada suspensi organ yang ditanam pada bagian alantois
akan berkembang pada embrio. Perkembangan telur pada cairan alantois akan
mengakibatkan kematian dikarenakan bagian alantois merupakan bagian yang kaya
akan pembuluh darah yang menghubungkan antara embrio dengan kuning telur yang
berperan untuk traspostasi nutrisi dari albumin dan kuning telur kepada embrio ayam
dan terdapat pertukaran gas selama dua pertiga akhir perkembangan embrio
(Jacobsen, 2010). Adanya virus ND yang berkembang pada bagian alantois akan
15
16
17
memiliki hemaglutinin yang dapat menyebabkan kematian embrio pada hari ke 2-12
hari paska inokulasi virus. Virus ILT secara makroskopis menunjukkan lesi berupa
konjungtivitis, hemoraghi pada trakea dan laring dan paru (asmara, 2002). Adanya
pendarahan yang terjadi pada virus IBD dan ILT dapat dijadikan diagnosa banding
terhadap virus ND, dikarenakan virus ND memiliki penampakan secara makroskopis
pada ayam yang tidak menunjukkan lesi yang spesifik (Putra, 2012).
Agen lain yang dapat menyebabkan terjadinya kematian embrio ialah adanya
infeksi jamur. jamur yang mungkin untuk menginfeksi embrio ialah aspergilus
fumigatus. Menurut Jacobsen (2010) Aspergilus fumigatus mampu menginfeksi telur
berembrio umur 9 hari dan menyebakan kematian pada hari ke 2 sampai hari ke 4
pasca inokulasi aspergilus pada telur berembrio. Kematian embrio yang terinfeksi
aspergilus fumigatus mencapai 100% pada hari ke empat pasca inokulasi dosis
tinggi yaitu konidia 104. Inokulasi dosis rendah yaitu konidia dosis 102 menyebabkan
kematian sekitar 20% dari hari ke 2 sampai hari ke 4. Infeksi aspergilus fumigatus
mengakibatkan hepar mengalami dilatasi pembuluh darah, hemorrahi, dan kongesti.
Jamur aspergilus dikenal sebagai jamur pencemar pada hachery dengan jalur
penularan melalui transovarial dari induk ataupun mencemari saat telur dimesin
penetasan dengan cara penetrasi melalui pori-pori kecil pada permukaan cangkang
telur (Kwanashie, 2012). Infeksi aspergilus pada embrio terlihat dengan terjadinya
penebalan membran alantois disertai terbentuknya koloni yang menyebar berwarna
hijau, hitam atau putih. Embrio ayam yang mati menunjukkan kekerdilan, pneumonia
(Jezdimirovic, 2013).
4.2.2 Uji Agar Gel Precipitation Test (AGPT).
18
Hasil dari uji AGPT dengan menggunakan antigen dan antibodi virus ND, AI
dan EDS dengan berbagai variasi titer pada 10 plate menunjukkan 1 hasil positif
pada sampel Antiserum Newcastle Disease (AsND) dengan Antigen Newcastle
Disease (AgND) titer 28, dengan terbentukknya garis presipitasi berwarna putih.
Garis presipitasi pada AGPT terbentuk akibat adanya endapan antigen oleh antibodi
yang sesuai dan menandakan terjadinya ikatan komplek antigen dengan antibodi
(Syukron, 2013).
Garis presipitasi yang terbentuk antara asND dengan agND 2 8 menunjukkan
bahwa antigen agND 28 homolog dengan asND, sehingga menyebabkan terjadinya
difusi terhadap satu sama lain dari sumur masing-masing, sehingga terbentuk garis
presipitasi diantara dua sumuran tersebut. Hasil pengujian AGPT tersebut
menunjukkan antigen yang spesifik terhadap anti serum ND yang diketahui ialah
antigen ND 28. Pengendapan atau presipitasi terjadi apabila antigen memiliki sifat
multivalent yaitu memiliki beberapa epitop antigenik yang masing-masing dapat
berikatan dengan antibodi. Antibodi setidaknya memiliki 2 bagian yang dapat
berikatan dengan antigen. Terbentuknya garis presipitasi menunjukkan jumlah
antigen yang ditambahkan memiliki jumlah molekul antigen dan antibodi pada rasio
As ND
Sampel
ND yang diuji
Ag ND 28 HAU
19
antigen ND, sampel antiserum AI dengan antigen AI, serta sampel antiserum EDS
dengan antigen EDS pada pengujian digunakan dengan variasi pada antigen yang
memiliki titer berbeda pada uji AGPT tidak menunjukkan adanya garis presipitasi
setelah diinkubasi selama 48 jam tidak menunjukkan garis presipitasi yang
merupakan endapan dari komplek antibodi dan antigen yang terbentuk dan berdifusi
pada agar. Tidak terbentuknya garis presipitasi dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu afinitas dan aviditas antibodi, suhu inkubasi, keasaaman pH dan
perbandingan antara antigen dan antibodi (Ernawati, 2008).
Media yang dipergunakan merupakan merupakan agar yang akan dilubangi
sebagai tempat antigen dan antibodi. Pembuatan lubang yang tidak seragam akan
mempengaruhi jumlah konsentrasi antigen dan antibodi. Konsentrasi antara antigen
dan antibodi harus seimbang. Jumlah konsentrasi antigen atau antibodi yang tidak
seimbang dapat mempengaruhi proses terbentuknya endapan atau presipitasi. Jumlah
antigen yang jauh lebih tinggi dari jumlah molekul antibodi akan mengakibatkan
tidak terjadinya reaksi silang karena hanya satu bagian dari molekul antibodi yang
digunakan dan banyak antibodi bebas yang terdapat pada larutan/gel. komplek yang
terbentuk akan berukuran kecil dan mudah larut sehingga tidak terlihat dengan mata
telanjang. sebaliknya Jumlah antibodi yang jauh lebih tinggi daripada jumlah
molekul antigen maka pada setiap antibodi binding site akan mengikat setiap antigen.
komplek yang terbentuk kecil dan mudah larut sehingga tidak telihat dengan mata
secara langsung (Steven, 2010). Sumuran yang dibuat harus memiliki jarak yang
sama. Jarak yang berjauhan akan berpengaruh terhadap terbentuknya garis
presipitasi. Jarak yang tidak sama antara sumuran satu dengan lain akan menghambat
terbentuknya garis presipitasi karena kecepatan antara antigen atau antibodi berdifusi
20
tidak sama sehingga jarak yang jauh mengakibatkan tidak terbentuknya garis
presipitasi (Swayne et al., 2006).
Suhu merupakan salah satu indikator kesuksesan terjadinya ikatan antara
antigen dan antibodi. Suhu optimal untuk terjadinya reaksi antara antigen dan
antibodi ialah berada pada kisaran suhu 4 oC. Uji AGPT yang diletakkan dalam suhu
ruang kemungkinan mengakibatkan kelembapan akan berkurang yang akan
menyebabkan pori-pori dari agar sebagai tempat berdifusinya antigen dan antibodi
akan mengecil karena kering. Kelembapan yang rendah serta suhu yang tinggi akan
mengakibatkan antibodi kehilangan kapasitasnya untuk berikatan dengan antigen
dan antigen yang sensitif dengan perubahan suhu akan mengalami denaturasi
sehingga komplek antigen antibodi yang terbentuk sedikit sehingga tidak mampu
membentuk garis presipitasi pada agar. Kegagalan terbentuknya garis presipitasi
dapat disebabkan oleh faktor afinitas dan aviditas antibodi. Uji AGPT membutuhkan
antibodi dan antigen dengan konsentrasi tinggi, apabila antibodi yang digunakan
memiliki afinitas dan aviditas yang rendah maka tidak akan terbentuk garis
presipitasi. Afinitas antibodi ialah kekuatan reaksi antara determinan antigenik
tunggal dengan satu bagian pada antibodi. Aviditas diartikan sebagai ukuran
kekuatan reaksi antara banyak determinat antigen dengan antibodi multivalent.
Semakin tinggi afinitas antibodi terhadap antigen maka akan terbentuk interaksi yang
stabil. Antibodi yang memiliki aviditas yang tinggi berupa antibodi yang bersifat
multivalent dengan antigen multivalent akan lebih stabil ikatannya dan mudah
terdeteksi. pH berpengaruh pada aktivitas dari antigen dan antibodi. pH yang optimal
untuk terjadinya reaksi antara antigen dan antibodi berkisar pada pH 6-8,5. Antigen
tidak akan membentuk garis presipitasi apabila kondisi pH dibawah standar,
21
dikarenakan antigen akan terlarut dan tidak berdifusi melalui agar pada konsentrasi
garam yang tinggi atau pH yang rendah (Crowl, 2014).
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Identifikasi uji HA menunjukkan hasil tidak terbentuk aglutinasi eritrosit.
Faktor yang mempengarruhi tidak terjadinya hemaglutinasi dapat disebabkan
oleh adanya virus yang tidak mampu menghemaglutinasi
2.
identifikasi pada uji AGPT menunjukkan hasil terbentuk garis presipitasi pada
antibodi ND dengan antigen ND 28 yang menunjukkan sifat homolog.
22
Daftar pustaka
Amrita.2011.Ouchterloby double diffusion. http://vlab.amrita.edu/?sub=3&brch=70&sim
=638&cnt=6. [diakses tanggal 22 Juni 2015].
Cheng, H. And Hammar, L. (2004). Cellular Microbiology.World Scientifis Publishing Co.
Pte. Ltd. Singapore.
CIDRAP (Center For Infectious Disease Research & Policy). 2004. Highly Pathogenic
Avian Influenza (Fowl Plaque). Academic Health Center, University Of Minnesota.
Pp. 14.
Crowle, A.J. 2014. Immunodiffusion Second Edition. Academic Press, Inc. New York:
123-125.
Damayanti, R., N.L.P. I. D. Harmayanti, R. I. N. D.Riani , T. S. Yafriati, L. P. Arede,
A. W Iyono Dan D. Arminto . 2004. Gambaran Klinis Dan Patologis Ayam Yang
Terserang Flu Burung Sangat Patogenik (HPAI) Di Beberapa Peternakan Di Jawa
Timur Dan Jawa Barat. JITV
Ernawati, R., A.D. Raharja, N. Sianita, Dan F.A Rantam. 2008. Petunjuk Praktikum
Pemeriksaan Virologik Dan Serologik. Lab Virologi Dan Imunologi. Departemen
Mikrobiologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Unair
Ghiamirad, M., A. Pourbakhsh, H. Keyvanfar, Momayaz, S. Charkhkar, And A. Ashtari.
2010. Isolation And Characterization Of Newcastle Disease Virus From Ostriches
In Iran. African J. Of Microbiology Research 4(23):2492-2497.
Gholib , D.J.2005. Pengembangan Teknik Serologi Untuk Pemeriksaan Aspergillosis
Ayam. JITV Vol. 10 No. 2.
Grimes, S.E. 2002. A Basic Laboratory Manual For The Small Scale Production And
Testing Of 1 2 Newcastle Disease Vaccine. FAO Regional Office For Asia And
The Pacific.
Islam, M. N. And M. Z. I. Khan. 2011. Comparison Of Agar Gel Immunodiffusion Test,
Immunohistochemsitry And Reverse Transcription - Polymerase Chain Reaction
For Detection Of Infectious Bursal Disease Virus. Bangl. J. Vet. Med. (2011). 9 (2) :
121 125
Jacobsen, I.D., K. Groe, And Angela Berndt. 2010. Embryonated Eggs As An Alternative
Infection Model To Investigate Aspergillus Fumigatus Virulence. Infection And
Immunity Vol.78 No. 7: 2995-3006
Jezdimirovic, N.V., D.P. jakic and D.N Cvetojevic. 2013. Micromorphological changes on
the embryonic membranes of turkey egg infected with aspergillus fumigatus and
their importance for embryonic survival. Jour. Nat.Sci, matica srpska novi sad, No.
124: 263-271.
Kencana, G.A.Y., I.M. Kardena Dan I G. N. K. Mahardika. 2012. Peneguhan Diagnosis
Penyakit Newcastle Disease Lapang Pada Ayam Buras Di Bali Menggunakan
Teknik RT-PCR. Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 6 No. 1: 28-31
Kwanashie, C.N., H.M. kazeem and P.A. abdu. 2012. Aspergilus species associated with
dead in shel chick embryo in some hatcheries in northwest nigeria. EJVS 10 (21):
11-14.
Mathias, A. 2010. Lesions And Prevalence Of Newcastle Disease In Chicken Presented For
Necropsy At Faculty Of Veterinary Medicine,Makerere University [Disertasi].
Mims, C., H.M, Goering, I.Roitt, D. Wakelin and Zuckerman. 2004. Medical
Microbiology Edisi Ke-Tiga. Elsevier Mosby, Edinburgh:Hal 29-35.
23
Parede, L., D. Zainuddin Dan H. Huminto. Penyakit Menular Pada Intensifikasi Unggas
Lokal Dan Cara Penanggulangannya. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi
Pengembangan Ayam Lokal .
Putra, H.H., M.H. Wibowo Dan T. Untari.2012. Studi Lesi Makroskopis Dan Mikroskopis
Embrio Ayam Yang Diinfeksi Virus Newcastle Disease Isolat Lapang Yang Virulen.
Jurnal Sain Veteriner 30(1):57-68.
Sendow, I., R.M. A. Adjid, T. Syafriati Dan P. Selleck. 2010.. Studi Retrospeksi Infeksi
Influenza A Pada Babi Sebelum Wabah Avian Influenza H5n1 Pada Unggas Di
Indonesia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner Hal: 772-779.
Stanfield, W.D., J.S. Colome And R.J Cano. 2006. Biologi Molekuler Dan Sel. Erlangga,
Jakarta: 90.
Steven, C.D. 2010. Clinical Immunology And Serology Third Edition. E.A Davis
Company. Philadelphia: 125-128.
Sun, Q., W. Li, R.She And D. Wang. 2009. Evidence For A Role Of Mast Cell In The
Mucosal Injury Induced By Newcastle Disease Virus. Poultry Science 88 (3): 554561
Swayne, D.E., J.R. Glisson, M.W. Jackwood, J.E. Pearson and W.M. Reed. 2006. A
Laboratory Manual for the Isolation and Identification of Avian Pathogens, 4th ed.
International Book Distributing Co. Pub. USA.
Syukron, M.U., I N. Suartha Dan N. S. Dharmawan. 2013. Serodeteksi Penyakit Tetelo
Pada Ayam Di Timor Leste. Indonesia Medicus Veterinus 2(3) : 360 368.
Tabbu, C.R., M.H. Wibowo Dan W. Asmara. Isolasi Dan Identifikasi Serologis Virus Avian
Influenza Dari Sampel Unggas Yang Diperoleh Di D.I. Yogjakarta Dan Jawa
Tengah. J.Sain Vet. Vol 24 No. 1: 77-81.
Vargas, A., M. Zeisser-Labouebe, N. Lange, R. Gurny, and F. Delie. 2007. The chick
embryo and its chorioallantoic membrane (CAM) for the in vivo evaluation of drug
delivery systems. Adv. Drug Deliv. Rev. 59:11621176.
Wahyuwardani, S., D.R. Agungpriyono Dan L. Parede. 2011. Penyakit Gumboro: Etiologi,
Epidemiologi, Patologi, Diagnosis Dan Pengendaliannya. Wartazoa Vol. 21 No. 3:
114-125
Wiyono, A. R. I Ndriani Dan N.L.P.I. Dharmayanti . 2004. Isolasi Dan Karakterisasi
Virus Highly Pathogenic Avian Influenza Subtipe H5 Dari Ayam Asal Wabah Di
Indonesia. JITV Vol. 9 No. 1.
24