Anda di halaman 1dari 24

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Virus merupakan agen infeksi non seluler yang dapat memperbanyak diri hanya
didalam sel. Virus yang menginfeksi sel eukatiotik terdiri dari asam nukleat yaitu DNA
ataupun RNA. Virus memerlukan hospes untuk melakukan replikasi guna
memperbanyak diri. Akibat infeksi virus dapat pada sel dapat menyebabkan sel lisis
setelah sel bereplikasi, atau dapat menjadi infeksi laten terjadi saat virus tetap berada di
sitoplasma dan bergabung dengan genom hospes (Stanfield, 2006).
Virus merupakan agen infeksi yang dapat menyerang semua hewan. Virus yang
menyerang ternak akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi, gangguan
sistem reproduksi, dan kematian. Banyaknya virus yang dapat menginfeksi hewan
sehingga diperlukan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan serologis merupakan suatu
metode mendiagnosa etiologis virus penyebab infeksi pada hewan. Pemeriksaan
serologis dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi antibodi dengan menggunakan antigen
yang telah diketahui. Dasar dari uji serologis ialah mereaksikan antara antigen dan
antibodi dengan menggunakan serum yang merupakan dasar pada reaksi imunologis
(mims, 2004).
Uji serologis yang sering digunakan untuk mengidentifikasi secara cepat salah
satunya ialah menggunakan uji hemaglutinasi (HA). Uji hemaglutinasi merupakan uji
serologis yang banyak digunakan untuk virus dengan hemaglitinin yang dapat
mengaglutinasi eritrosit salah satunya pada ayam. virus pada ayam yang mempunyai
hemaglitinin antara lain yaitu Avian influenza, New castle disease dan egg drop
sindrom. Uji HA merupakan uji cepat terhadap virus yang dapat digunakan sebagai
kontrol terhadap penyakit dalam suatu populasi agar dapat ditekan penyebarannya
(grimes, 2002).
uji lain yang relatif mudah untuk mengidentifikasi virus ialah menggunakan uji
Agar Gel Presipitation Test (AGPT). Agar Gel Presipitation Test merupakan uji yang

sering digunakan untuk mendeteksi antibodi. Prinsip AGPT ialah mereaksikan antigen
yang telah diketahui dengan antibodi yang diuji. Terbentuknya presipitasi merupakan
bentuk pengendapan yang menandakan telah terjadi ikatan antara antigen dan antibodi
secara spesifik. Oleh karena itu uji serologis dapat digunakan untuk mempelajari
penyakit pada unggas yang disebabkan oleh virus dengan cara mengisolasi,
mengidentifikasi virus penyebab wabah penyakit pada unggas.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana proses identifikasi hasil pengujian antigen dan antibodi dari sampel

ayam sakit?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui proses identifikasi hasil pengujian antigen dan antibodi dari

sampel ayam sakit,


1.4 MANFAAT

Manfaat yang dapat diambil dari rotasi koasistensi laboratorium virologi adalah
mengetahui dan menerapkan langkah-langkah pemeriksaan dan isolasi virus untuk
memudahkan mengidentifikasi virus penyebab penyakit pada sampel ayam sakit untuk
menegakan diagnosa penyakit.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Virus
Virus merupakan parasit intraseluler obligat yang memiliki ukurannya 20-200 nm.
Virus memiliki siklus reproduksi yang semuanya berlangsung didalam hospes dengan
cara menginvasi sel hospes untuk membentuk material genetik dan penyususn tubuh
virus. Partikel virus mengandung DNA atau RNA yang dapat berbentuk untai tunggal
atau ganda. Bahan genetik kebanyakan virus hewan dan manusia berupa DNA, dan
pada virus tumbuhan kebanyakan adalah RNA yang beruntai tunggal. Bahan genetik
tersebut diselubungi lapisan protein yang disebut kapsid. Kapsid bisa berbentuk bulat
(sferik) atau heliks dan terdiri atas protein yang disandikan oleh genom virus (cheng,
2004).
Virus yang biasa menyerang unggas diantaranya ialah New Castle disease. Penyakit
New castle disease disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1 (APMV-1. Virus
famili Paramyxoviridae mempunyai sifat dapat mengaglutinasi sel darah merah
unggas. Proses hemaglutinasi terjadi akibat aktivitas hemaglutinin yang terdapat pada
amplop virus tersebut. Aktivitas hemaglutinasi berlangsung maksimal selama satu jam
karena dipengaruhi oleh kerja enzim neuraminidase yang merusak ikatan pada
reseptor eritrosit dengan hemaglutinin dari virus famili Paramyxoviridae (Kencana,
2012). Famili Paramyxoviridae berbentuk pleomorfik, biasanya berbentuk bulat
dengan diameter 100-500 nm, namun ada pula yang berbentuk filamen, dan
beramplop. Kerugian akibat penyakit ND disebabkan karena angka kesakitan
(morbiditas) maupun angka kematian (mortalitas) pada ternak unggas yang sangat
tinggi. Mortalitas maupun morbiditas dapat mencapai 50-100% akibat infeksi VND

strain velogenik terutama pada kelompok ayam yang peka, 50% pada strain
mesogenik, dan 30% pada infeksi virus strain velogenik (Tabbu, 2000
Penularan virus new castle disease dapat terjadi secara langsung antar ayam dalam
satu kelompok ternak tertular. Sumber virus biasanya berasal dari ekskreta ayam
terinfeksi baik melalui pakan, air minum, lendir, feses, maupun udara yang tercemar
virus, peralatan, dan pekerja kandang. Masa inkubasi dan gejala klinis penyakit ND
pada ayam bervariasi, tergantung pada strain virus dan status kebal ayam saat
terinfeksi. Pada infeksi virus strain lentogenik, penyakit bersifat subklinis, atau
ditandai dengan gangguan respirasi yang bersifat ringan seperti bersin dan keluar
leleran dari hidung. Infeksi virus strain mesogenik bersifat akut ditandai dengan
gangguan respirasi dan kelainan saraf. Gejala klinis pada ayam ditandai dengan
penurunan nafsu makan, jengger dan pial sianosis, pembengkakan di daerah kepala,
bersin, batuk, ngorok, dan diare putih kehijauan. Infeksi virus strain velogenik bersifat
fatal, seringkali diikuti dengan angka kematian yang tinggi. Gejala tersebut sangat
bervariasi, diawali dengan konjungtivitis, diare serta dikuti dengan gejala saraf seperti
tremor, tortikolis, atau kelumpuhan pada leher dan sayap. Pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ialah dengan melakukan
vaksinasi ND berkala sejak umur muda baik dengan vaksin hidup maupun vaksin mati
(Ghiamirad et al., 2010).
2.2. Uji Imunoserologis
antibodi atau imunoglobulin merupakan senyawa protein yang dapat ditemukan
dalam darah dan cairan tubuh lainnya. Antibodi memiliki fungsi sebagai sistem
kekebalan tubuh untuk mengenali dan menonaktifkan benda asaing seperti bakteri,
virus atau parasit lainnya. Antibodi memiliki struktur pada bagian ujung yang kecil

yang dinamakan bagian hypervariable yang memungkinkan pengikatan target yang


berbeda yang dinamakan antigen. Reaksi imunologis yang terjadi apabila terjadi
interaksi antara antigen dan antibodi. Interaksi yang terjadi merupakan mekanisme
pertahanan tubuh terhadap infeksi virus, bakteri atau racun, mekanisme pertahanan
terjadi dengan antigen asing bertujuan untuk meningkatkan antibodi spesifik guna
melawan infeksi. Antibodi akan mengikat antigen dan membntuk komplek yang lebih
besar antara antigen-antibodi. Kompleks antibodi terbentuk karena setiap antibodi
dapat mengikat lebih dari satu antigen, dan setiap antigen dapat terikat oleh lebih dari
satu molekul antibodi. Tes imunologis memainkan peran penting dalam mendiagnosa
penyakit, monitoring tingkat respon sistem imun humoral dan mengidentifikasi
molekul biologis. Tes imunologis dan serologis memiliki tingkat kecepatan dan
sensitivitas masing-masing dan dapat dilakukan uji secara kualitatif dan kuantitatif
(Steven, 2010). Uji serologis yang dapat dilakukan salah satunya HA dan AGPT.
Uji hemaglutinasi merupakan uji kualitatif yang bertujuan untuk mendeteksi virus
yang memiliki hemaglutinin dan uji kuantitatif yang bertujuan mengukur titer antigen.
Prinsip dari uji hemaglutinasi ialah terjadinya reaksi antara antigen yang ditambahkan
dengan eritrosit maka akan terjadi aglutinasi pada eritrosit yang terjadi secara merata
pada dasar lubang plate dan penjernihan dari cairan pada bagian atas tanpa terjadinya
pengendapan eritrosit (Ernawati, 2008).
uji presipitation adalah salah satu metode sederhana yang mendeteksi reaksi
antigen-antibodi. kebanyakan antigen multivalent sehingga mampu membentuk satu
aggregat dengan adanya antibodi yang seuai. Jika antigen terlarut bergabung dengan
antibodinya dalam lingkungan yang mengandung elektrolit ( NaCl ) pada suhu dan pH
yang cocok, maka gabungan antigen antibodi ini menjadi presipitat yang tidak dapat

larut. Uji AGPT memiliki kegunaan untuk screening di lapangan untuk menentukan
adanya antigen penyebab penyakit sebelum diterapkkan tehnik lain untuk identifikasi
virus dan karakterisasi (Islam, 2011). Garis presipitasi yang terbentuk dalam agar
terjadi ketika antigen dan antibodi menyebar dan terikat membentuk garis atau ketika
antibodi yang dimasukkukan ke dalam agar dan antigen berdifusi menuju ke tempat
antibodi sehingga akan terbentuk garis presipitasi. Ikatan antibodi dan antigen
terbentuk apabila proporsi antara antigen dan antibodi seimbang.

BAB 3 METODOLOGI

1.1 Alat Dan Bahan

Alat dan bahan yang dipergunakan untuk uji hemaglutinin ialah TAB yang
berumur 10 hari. Sampel organ dari ayam yang dicurigai terserang ND yaitu otak,
paru-paru, trachea, limpa, proventrikulus. Serum anti ND, eritrosit 5%, alkohol 70%,
pensil, kertas label, alu dan mortar, aquades, paku, jarum suntik, egg tray, selotip,
refrigator, Lampu teropong, PZ / PBS, Mikropipet 25l dan 50 l, Mikroplate.
Alat yang digunakan untuk pengujian agar presipitasi ini adalah cawan petri, gelas
obyek, gel punch dan kertas hisap. Bahan yang digunakan antara lain adalah larutan
agar (8 gram NaCl; 1,5 gram agar), antigen dan antibodi standard, antigen dan antibodi
yang akan diuji.
1.2 Metode Kerja
1.2.1 Uji HA
1.2.1.1. Inokulasi Sampel Virus Pada TAB

Sampel organ yang didapatkan dibuat suspensi 10% dengan cara organ
dihaluskan menggunakan mortar dan ditambahi dengan PZ steril sebanyak 4,5
ml. Sampel yang telah homogen disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm
selama 15 menit. Hasil sentrifuse diambil supernatannnya dan ditambahkan
antibiotik penstrep (penicilin dan streptomicin) sebanyak 2 ml dan dibiarkan
pada suhu ruang selama kurang lebih 1-2 jam sebelum inokulasi agar memberi
waktu bagi antibiotik untuk bereaksi terhadap bakteri.
Penanaman virus dari sampel yang diduga terinfeksi ND ditanam pada
TAB (telur ayam berembrio) yang berumur 10 hari. TAB sebelum ditanami
virus, maka dilakukan peneropongan untuk memastikan embior dalam TAB
masih hidup. Embrio yang masih hidup ditandai dengan adanya pembuluh
darah dan telur diteropong terlihat terang.Peneropongan memiliki tujuan untuk
mengetahui letak kantong udara dan menandai daerah dengan sedikit pembuluh

darah yang dijadikan sebagai tempat untuk inokulasi virus. Tempat inokulasi
virus berjarak 0,3 cm dari tanda batas kantung udara, ditandai dengan pensil
dan dilubangi dengan paku. Bagian telur sebelum diinjeksi didisinfeksi
menggunakan alkoloh 70%. Injeksi dilakukan pada daerah yang telah dilubangi
dengan menggunakan spuit ukuran jarum 26 G. Injeksi dilakukan sejajar
dengan sumbu panjang telur sedalam 1 cm. Suspensi yang diinjeksikan pada
masing-masing telur sekitar 0,2 ml. TAB yang telah diinjeksi kemudian ditutup
lubangnya dengan selotip bertujuan untuk menghindari kontaminasi oleh
bakteri maupun virus lain. Telur diletakkan pada rak telur diposisikan kantung
udara berada dibagian atas. Telur dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu
38-39oC dan kelembapan berkisar 60-70%. Telur diamati setiap 24 jam sekali,
untuk melihat perkembangan telur. Telur yang telah mati akan dikeluarkan dari
ruang inkubator. Telur yang mati ditandai dengan warna gelap pada saat
peneropongan, tidak adanya pembuluh darah. telur yang telah mati segera
dimasukkan ke dalam refrigerator pada suhu 4oC.
1.2.1.2. Pemanenan Virus Dan Uji HA.
Telur akan dipanen virusnya apabila telah lebih dari lima hari. Telur yang
masih hidup akan diletakkan didalam refrigerator dan didiamkan minimal 4
jam untuk membunuh embrio yang masih hidup dan untuk mengurangi
kontaminasi cairan oleh eritrosit. Telur yang telah dikeluarkan dari refrigerator
dilap cangkangnya dan disemprot dengan alkolol 70%. Panen virus diawali
dengan memecahkan cangkan diatas kantung udara dengan menggunakan
gunting untuk membuat satu lubang. Pengambilan cairan alantois dilakukan
dengan menggunakan mikropipet untuk selanjutnya dilakukan uji HA.
Uji HA diawali dengan mengisi lubang mikroplate dengan 0,025 PZ
mulai dari lubang 1-6. Tiap satu sampel organ terdapat 3 ulangan. Tiap lubang

cairan alantois dan PZ dihomogenkan dengan mempergunakan mikropipet


pada masing-masing lubang dengan cara hisap-tiup, dilanjutkan dengan
memindah cairan lubang pertama sebanyak 0.025 ml ke lubang 2 sampai 6.
Langkah selanjutnya ialah mengisi tiap lubang dengan 0,05 ml eritrosit ayam
0,5 % . lalu dihomogenkan dengan cara digoyang (shake). Inkubasi mikroplate
selama 30 menit pada suhu kamar. Hasil positif terjadi apabila didapatkan
hemaglutinasi pada lubang microplate. Hemaglutinasi dengan titer 24 dapat
dilajutkan dengan uji HI (Kencana, 2012).
1.2.2. AGPT

agar dalam plat/gelas obyek dibuat dengan cara melarutkan agarose 1%


yang mengandung 9% NaCl dalam akuades, lalu dipanaskan sampai mendidih.
Setelah agak dingin, larutan dituangkan pada gelas obyek secara merata ke seluruh
permukaan. Biarkan agar membeku lalu dibuat sumur-sumur dengan diameter 2-3
mm sebanyak 3 lubang dengan jarak sama dengan diameter lubang. Larutan
antiserum diteteskan sebanyak 0, 025 ml

di sumur tengah dan antigen pada

masing-masing lubang sebanyak 0, 025 ml dan diteteskan di sumur bagian pinggir.


Gelas obyek yang telah berisi reaktan disimpan di dalam cawan petri, alasnya
diberi kertas saring basah. Keesokan harinya gelas obyek diperiksa, bila hasilnya
positif maka akan terlihat garis putih di antara sumur bagian tengah dan bagian
pinggir. (gholib, 2005).

10

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil
4.1.1 TAB dan UJI HA ND.
Tabel 1. Perubahan makroskopis organ
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Organ
Otak 1
Otak 2
Trakhea 1
Trakhea 2
Paru-paru 1
Paru-paru 2
Limpa 1
Limpa 2
Proventrikulus
Proventrikulus

Perubahan patologi anatomi


Tidak ada perubahan
Tidak ada perubahan
hemoraghi
hemoraghi
hemoraghi
hemoraghi
membesar
membesar
Hemoraghi (petechie)
Hemoraghi (petechie)

Tabel 2. hasil inokulasi pada TAB

A
Y
A
M

Inokulasi dilakukan pada tanggal : 07 Mei 2015


Ayam 1 inokulasi pada pukul : 17.30 WIB
Ayam 2 inokulasi pada pukul : 17.45 WIB
Sampel
TAB(Mati Jam Ke)
Ulangan 1 (A)
Ulangan 2 (B)
trakea
Hidup
Mati tgl 10-5-2015
Pukul 09.08 wib
Limpa
Hidup
Hidup
Otak
Hidup
Hidup
Proventrikulus
Hidup
Hidup
Paru-paru
Hidup
Hidup
trakea
Mati tgl 09-5-2015 Mati tgl 09-5-2015
Pukul 09.30
Pukul 09.36
Limpa
Hidup
Hidup

A
Y
A
M

Otak
Proventrikulus
Paru-paru

Ulangan 3 (C)
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup

Mati tgl 11-5-2015


Pukul 15.37
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup
Hidup
Mati tgl 10-5-2015 Mati tgl 09-5-2015 Mati tgl 09-5-2015
Pukul 09.08
Pukul 09.05
Pukul 9.30

11

Tabel 3. identifikasi virus dengan uji HA pada ayam 1 dan 2


No A
B
C
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Keterangan

Keterangan
Trakhea
Trakhea
Trakhea
Limpa
Limpa
Limpa
Proventrikulus
Proventrikulus
Proventrikulus
Otak
Otak
Otak
Paru
Paru
Paru

: tidak aglutinasi
: aglutinasi

Gambar 4.1 hasil Uji Hemaglutinasi


4.1.2. Hasil
Uji AGPT
NO PLATE

REAGEN

1.

As EDS 28

Plate 1

As AI
Serum X

Ag EDS 4 HAU
Ag EDS 28
Ag AI 4 HAU
Ag AI >> 4
Ag ND 4 HAU

HASIL
REAKSI

12

As EDS
2.

Plate 2

Ag EDS 28
Ag EDS 4 HA
As ND 1

3.

Plate 3

Ag ND 28
Ag ND 4 HA
As ND 2

4.

Plate 4

Ag ND 28
Ag ND 4 HA
As AI

5.

Plate 5

Ag X
As X

6.

Plate 6

As AI
As ND 3
As AI

7.

Plate 7

As AI
As ND 3
Serum X

8.

Plate 8

As ND 1
Ag X

As EDS

Ag AI 4 HAU
Ag EDS 4 HAU
Ag EDS 28
Ag EDS 4 HAU
As X
As AI
As ND 3
As AI >>4
Ag ND 4 HAU
Ag ND 28
As ND 1
As EDS
As AI
As ND 1
Ag ND 4 HAU
Ag ND 2 8
As ND 3
As X
As X
As AI
Ag AI>> 4
Ag AI 4 HAU
As ND 3
As EDS
Ag ND 4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag EDS 28

Ag ND 28
Ag X
Ag ND 4 HAU
Ag ND 28
Ag AI 4 HAU
Ag ND 4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag AI >> 4
Ag ND 4 HAU
Ag ND 28
Ag ND 4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag EDS 4 HAU
Ag ND 4 HAU
Ag ND 28
As ND 1
As ND 2
As EDS
As AI
As ND 3
Ag EDS 28

13

9.

Plate 9

As AI
As X
As ND

10.

Plate 10

As EDS
Serum X
Ag AI

Ag ND 28 HAU
Ag EDS 4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag >> 4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag AI>>4 HAU
Ag AI 4 HAU
Ag ND 4 HAU
AgEDS4 HAU
Ag ND 4 HAU
Ag ND 28
Ag EDS 4 HAU
Ag EDS 28
Ag AI
Ag EDS
Ag ND
As EDS
As AI >>4
As ND
As AI

4.2 Pembahasan
4.2.1. TAB dan Uji HA
Sampel organ yang akan dipergunakan merupakan organ ayam yang
didapatkan dari lapang dengan diagnosis mengarah kepada infeksi virus New castle
disease. Virus New castle disease ditandai dengan adanya perubahan anatomi pada

14

organ yaitu hemoragi pada organ paru-paru, trachea dan proventrikulus. Lesi dapat
terjadi pada organ saluran pencernaan dan saluran pernafasan dikarenakan pada
organ tersebut terjadi replikasi virus pada epitel mukosa. Virus ND yang terdapat
pada organ memiliki dua spike glikoprotein yang berperan sebagai patogenesitas ND
berupa hemaglutinin dan fusion protein. Fusion protein terbelah menjadi F1 dan F2
sebagai partikel virus yang infeksius. Pembelahan fusion protein dimediasi oleh
protease yang terdapat pada seluruh sel hospes. sehingga virus ND dapat dengan
mudah menyebar ke organ tersebut. Fusion protein yang telah membelah bersifat
infeksius yang akan menyebabkan kerusakan organ yang ditandai dengan adanya
respon inflamasi dan terjadi pelepasan mediator inflamasi yang menginduksi
terjadinya cedera pada organ pencernaan dan pernafasan yang mengakibatkan
pendarahan yang parah dan nekrosis pada organ (Putra, 2012; Sun, 2009). Organ
limpa dari sampel ditemukan mengalami pembesaran merupakan respon inflamasi
dan hiperplasia limfosit yang terjadi selama replikasi virus ND dalam jaringan
limfoid. Lesi akibat infeksi virus ND pada paru-paru yang digambarkan dengan
terjadinya pendarahan, edema, dan kongesti. Lesi pada paru diakibatkan karena
terjadi gannguan sirkulasi yang terjadi karena terjadi viremia (mathias, 2010).
Virus yang terdapat pada suspensi organ yang ditanam pada bagian alantois
akan berkembang pada embrio. Perkembangan telur pada cairan alantois akan
mengakibatkan kematian dikarenakan bagian alantois merupakan bagian yang kaya
akan pembuluh darah yang menghubungkan antara embrio dengan kuning telur yang
berperan untuk traspostasi nutrisi dari albumin dan kuning telur kepada embrio ayam
dan terdapat pertukaran gas selama dua pertiga akhir perkembangan embrio
(Jacobsen, 2010). Adanya virus ND yang berkembang pada bagian alantois akan

15

memudahkan terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat penetrasi virus dan


terjadinya viremia akan memudahkan virus menyebar pada organ organ penting yang
ditandai dengan terjadinya kongesti pada pembuluh darah organ yang akan
mengganggu sirkulasi dan mengakibatkan kematian sel dan kerusakan organ. Virus
yang berkembang dapat menyebabkan kematian embrio apabila virus yang ditanam
merupakan strain virus yang ganas. Waktu kematian dapat digunakan untuk
menentukan strain virus yang menginfeksi. Kematian embrio terjadi pada hari ke dua
paska inokulasi pada TAB paru-paru ulangan ke 2 dan 3, serta TAB trachea ulangan
ke 1 dan 2 dari sampel ayam 2. Kematian embrio menunjukkan derajat virulensi dari
virus ND. Bentuk virus ND velogenik akan mengakibatkan mortalitas pada embrio
ayam kurang dari 60 jam setelah inokulasi. Kematian yang terjadi antara 60 jam-90
jam dikategorikan ke dalam virus ND golongan mesogenik. Virus ND yang termasuk
ke dalam golongan lentogenic akan mengakibatkan kematian embrio ayam lebih dari
90 jam (Alexander, 2008). Embrio ayam 2 mengalami kematian 40 jam setelah
diinokulasi, sehingga kematian embrio diduga disebabkan oleh adanya virus ND
golongan velogenik. Virus ND golongan velogenik merupakan virus dengan derajat
keganasan tertinggi dari virus ND yang menyebabkan terjadinya mortalitas tinggi
pada ayam yang bisa mencapai 100%. Virus ND velogenik pada ayam akan
menyebabkan terjadinya diare yang diikuti gejala saraf deperti tremor, tortikolis atau
kelumpuhan pada leher dan sayap.
Pengamatan yang dilakukan pada hari ketiga paska inokulasi ditemukan
terjadi kematian embrio pada trachea ulangan 2 dari sampel ayam 1 dan paru-paru
ulangan 1 dari sampel ayam 2. Kematian embrio yang terjadi dikategorikan ke dalam
infeksi virus ND golongan mesogenik, dikarenakan kematian embrio terjadi 64 jam

16

setelah inokulasi. Pengamatan pada tanggal 11 ditemukan kematian embrio pada


limpa ulangan 2 ayam 2. Kematian terjadi 94 jam setelah inokulasi. Kematian embrio
ayam diduga disebabkan oleh virus ND strain lentogenik. kematian embrio ayam
bergantung pada strain virus dan status kebal ayam saat terinfeksi.
Cairan alantois yang dipanen segera diuji dengan menggunakan uji HA.hasil
pengujian HA ialah bahwa pada sampel ayam 1 dan ayam 2 tidak terjadi aglutinasi
eritrosit. Tidak terjadinya aglutinasi pada eritrosit dapat disebabkan oleh adanya virus
yang tidak memiliki hemaglutinin yang dapat mengaglutinasi eritrosit. Hemaglutinin
dapat dimiliki oleh virus new castle disease dan avian influenza. karena virus
tersebut mempunyai protein hemaglutinin yang mempunyai kemampuan untuk
berikatan secara spesifik pada reseptor permukaan sel yang peka dan memfasilitasi
terjadinya infeksi. Reseptor yang akan berikatan dengan hemaglitinin juga dimiliki
oleh membran plasma sel darah merah ayam sehingga apabila terdapat virus ND atau
AI dengan proporsi yang seimbang dengan sel darah merah maka akan terjadi
hemaglutinasi (Tabbu, 2006).
Virus yang tidak memiliki hemaglutinin yang dapat menyebabkan kematian
embrio diantaranya ialah Infectius bursal disease (IBD) dan ILT. Virus IBD
merupakan virus yang berbentuk icosahedral yang terdiri dari 2 segmen untaian
ganda RNA, yang termasuk dalam famili Birnaviridae. Virus IBD memiliki
perubahan makroskopis berupa terjadinya kongesti dan hemoragi pada usus, ginjal,
hati, jantung dan paru-paru dan limpa (wahyuwardani, 2011). virus IBD dapat pula
mengakibatkan terjadinya kematian embrio setelah 3-5 hari pasca inokulasi apabila
ditanam dalam media TAB (Putra, 2012). Virus infectious laryngotracheitis
merupakan virus dari famili herpesviridae. Virus ILT merupakan virus yang tidak

17

memiliki hemaglutinin yang dapat menyebabkan kematian embrio pada hari ke 2-12
hari paska inokulasi virus. Virus ILT secara makroskopis menunjukkan lesi berupa
konjungtivitis, hemoraghi pada trakea dan laring dan paru (asmara, 2002). Adanya
pendarahan yang terjadi pada virus IBD dan ILT dapat dijadikan diagnosa banding
terhadap virus ND, dikarenakan virus ND memiliki penampakan secara makroskopis
pada ayam yang tidak menunjukkan lesi yang spesifik (Putra, 2012).
Agen lain yang dapat menyebabkan terjadinya kematian embrio ialah adanya
infeksi jamur. jamur yang mungkin untuk menginfeksi embrio ialah aspergilus
fumigatus. Menurut Jacobsen (2010) Aspergilus fumigatus mampu menginfeksi telur
berembrio umur 9 hari dan menyebakan kematian pada hari ke 2 sampai hari ke 4
pasca inokulasi aspergilus pada telur berembrio. Kematian embrio yang terinfeksi
aspergilus fumigatus mencapai 100% pada hari ke empat pasca inokulasi dosis
tinggi yaitu konidia 104. Inokulasi dosis rendah yaitu konidia dosis 102 menyebabkan
kematian sekitar 20% dari hari ke 2 sampai hari ke 4. Infeksi aspergilus fumigatus
mengakibatkan hepar mengalami dilatasi pembuluh darah, hemorrahi, dan kongesti.
Jamur aspergilus dikenal sebagai jamur pencemar pada hachery dengan jalur
penularan melalui transovarial dari induk ataupun mencemari saat telur dimesin
penetasan dengan cara penetrasi melalui pori-pori kecil pada permukaan cangkang
telur (Kwanashie, 2012). Infeksi aspergilus pada embrio terlihat dengan terjadinya
penebalan membran alantois disertai terbentuknya koloni yang menyebar berwarna
hijau, hitam atau putih. Embrio ayam yang mati menunjukkan kekerdilan, pneumonia
(Jezdimirovic, 2013).
4.2.2 Uji Agar Gel Precipitation Test (AGPT).

18

Hasil dari uji AGPT dengan menggunakan antigen dan antibodi virus ND, AI
dan EDS dengan berbagai variasi titer pada 10 plate menunjukkan 1 hasil positif
pada sampel Antiserum Newcastle Disease (AsND) dengan Antigen Newcastle
Disease (AgND) titer 28, dengan terbentukknya garis presipitasi berwarna putih.
Garis presipitasi pada AGPT terbentuk akibat adanya endapan antigen oleh antibodi
yang sesuai dan menandakan terjadinya ikatan komplek antigen dengan antibodi
(Syukron, 2013).
Garis presipitasi yang terbentuk antara asND dengan agND 2 8 menunjukkan
bahwa antigen agND 28 homolog dengan asND, sehingga menyebabkan terjadinya
difusi terhadap satu sama lain dari sumur masing-masing, sehingga terbentuk garis
presipitasi diantara dua sumuran tersebut. Hasil pengujian AGPT tersebut
menunjukkan antigen yang spesifik terhadap anti serum ND yang diketahui ialah
antigen ND 28. Pengendapan atau presipitasi terjadi apabila antigen memiliki sifat
multivalent yaitu memiliki beberapa epitop antigenik yang masing-masing dapat
berikatan dengan antibodi. Antibodi setidaknya memiliki 2 bagian yang dapat
berikatan dengan antigen. Terbentuknya garis presipitasi menunjukkan jumlah
antigen yang ditambahkan memiliki jumlah molekul antigen dan antibodi pada rasio
As ND

optimal sehingga dinamakan titik equivalence (Amrita, 2011).


Gambar
Ag ND 4HAU

Sampel
ND yang diuji

Ag ND 28 HAU

4.2 Hasil uji


AGPT. Hasil
positif
ditandai
dengan
adanya garis
presipitasi.
antiserum
dengan

19

antigen ND, sampel antiserum AI dengan antigen AI, serta sampel antiserum EDS
dengan antigen EDS pada pengujian digunakan dengan variasi pada antigen yang
memiliki titer berbeda pada uji AGPT tidak menunjukkan adanya garis presipitasi
setelah diinkubasi selama 48 jam tidak menunjukkan garis presipitasi yang
merupakan endapan dari komplek antibodi dan antigen yang terbentuk dan berdifusi
pada agar. Tidak terbentuknya garis presipitasi dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu afinitas dan aviditas antibodi, suhu inkubasi, keasaaman pH dan
perbandingan antara antigen dan antibodi (Ernawati, 2008).
Media yang dipergunakan merupakan merupakan agar yang akan dilubangi
sebagai tempat antigen dan antibodi. Pembuatan lubang yang tidak seragam akan
mempengaruhi jumlah konsentrasi antigen dan antibodi. Konsentrasi antara antigen
dan antibodi harus seimbang. Jumlah konsentrasi antigen atau antibodi yang tidak
seimbang dapat mempengaruhi proses terbentuknya endapan atau presipitasi. Jumlah
antigen yang jauh lebih tinggi dari jumlah molekul antibodi akan mengakibatkan
tidak terjadinya reaksi silang karena hanya satu bagian dari molekul antibodi yang
digunakan dan banyak antibodi bebas yang terdapat pada larutan/gel. komplek yang
terbentuk akan berukuran kecil dan mudah larut sehingga tidak terlihat dengan mata
telanjang. sebaliknya Jumlah antibodi yang jauh lebih tinggi daripada jumlah
molekul antigen maka pada setiap antibodi binding site akan mengikat setiap antigen.
komplek yang terbentuk kecil dan mudah larut sehingga tidak telihat dengan mata
secara langsung (Steven, 2010). Sumuran yang dibuat harus memiliki jarak yang
sama. Jarak yang berjauhan akan berpengaruh terhadap terbentuknya garis
presipitasi. Jarak yang tidak sama antara sumuran satu dengan lain akan menghambat
terbentuknya garis presipitasi karena kecepatan antara antigen atau antibodi berdifusi

20

tidak sama sehingga jarak yang jauh mengakibatkan tidak terbentuknya garis
presipitasi (Swayne et al., 2006).
Suhu merupakan salah satu indikator kesuksesan terjadinya ikatan antara
antigen dan antibodi. Suhu optimal untuk terjadinya reaksi antara antigen dan
antibodi ialah berada pada kisaran suhu 4 oC. Uji AGPT yang diletakkan dalam suhu
ruang kemungkinan mengakibatkan kelembapan akan berkurang yang akan
menyebabkan pori-pori dari agar sebagai tempat berdifusinya antigen dan antibodi
akan mengecil karena kering. Kelembapan yang rendah serta suhu yang tinggi akan
mengakibatkan antibodi kehilangan kapasitasnya untuk berikatan dengan antigen
dan antigen yang sensitif dengan perubahan suhu akan mengalami denaturasi
sehingga komplek antigen antibodi yang terbentuk sedikit sehingga tidak mampu
membentuk garis presipitasi pada agar. Kegagalan terbentuknya garis presipitasi
dapat disebabkan oleh faktor afinitas dan aviditas antibodi. Uji AGPT membutuhkan
antibodi dan antigen dengan konsentrasi tinggi, apabila antibodi yang digunakan
memiliki afinitas dan aviditas yang rendah maka tidak akan terbentuk garis
presipitasi. Afinitas antibodi ialah kekuatan reaksi antara determinan antigenik
tunggal dengan satu bagian pada antibodi. Aviditas diartikan sebagai ukuran
kekuatan reaksi antara banyak determinat antigen dengan antibodi multivalent.
Semakin tinggi afinitas antibodi terhadap antigen maka akan terbentuk interaksi yang
stabil. Antibodi yang memiliki aviditas yang tinggi berupa antibodi yang bersifat
multivalent dengan antigen multivalent akan lebih stabil ikatannya dan mudah
terdeteksi. pH berpengaruh pada aktivitas dari antigen dan antibodi. pH yang optimal
untuk terjadinya reaksi antara antigen dan antibodi berkisar pada pH 6-8,5. Antigen
tidak akan membentuk garis presipitasi apabila kondisi pH dibawah standar,

21

dikarenakan antigen akan terlarut dan tidak berdifusi melalui agar pada konsentrasi
garam yang tinggi atau pH yang rendah (Crowl, 2014).

BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Identifikasi uji HA menunjukkan hasil tidak terbentuk aglutinasi eritrosit.
Faktor yang mempengarruhi tidak terjadinya hemaglutinasi dapat disebabkan
oleh adanya virus yang tidak mampu menghemaglutinasi
2.

identifikasi pada uji AGPT menunjukkan hasil terbentuk garis presipitasi pada
antibodi ND dengan antigen ND 28 yang menunjukkan sifat homolog.

22

Daftar pustaka
Amrita.2011.Ouchterloby double diffusion. http://vlab.amrita.edu/?sub=3&brch=70&sim
=638&cnt=6. [diakses tanggal 22 Juni 2015].
Cheng, H. And Hammar, L. (2004). Cellular Microbiology.World Scientifis Publishing Co.
Pte. Ltd. Singapore.
CIDRAP (Center For Infectious Disease Research & Policy). 2004. Highly Pathogenic
Avian Influenza (Fowl Plaque). Academic Health Center, University Of Minnesota.
Pp. 14.
Crowle, A.J. 2014. Immunodiffusion Second Edition. Academic Press, Inc. New York:
123-125.
Damayanti, R., N.L.P. I. D. Harmayanti, R. I. N. D.Riani , T. S. Yafriati, L. P. Arede,
A. W Iyono Dan D. Arminto . 2004. Gambaran Klinis Dan Patologis Ayam Yang
Terserang Flu Burung Sangat Patogenik (HPAI) Di Beberapa Peternakan Di Jawa
Timur Dan Jawa Barat. JITV
Ernawati, R., A.D. Raharja, N. Sianita, Dan F.A Rantam. 2008. Petunjuk Praktikum
Pemeriksaan Virologik Dan Serologik. Lab Virologi Dan Imunologi. Departemen
Mikrobiologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Unair
Ghiamirad, M., A. Pourbakhsh, H. Keyvanfar, Momayaz, S. Charkhkar, And A. Ashtari.
2010. Isolation And Characterization Of Newcastle Disease Virus From Ostriches
In Iran. African J. Of Microbiology Research 4(23):2492-2497.
Gholib , D.J.2005. Pengembangan Teknik Serologi Untuk Pemeriksaan Aspergillosis
Ayam. JITV Vol. 10 No. 2.
Grimes, S.E. 2002. A Basic Laboratory Manual For The Small Scale Production And
Testing Of 1 2 Newcastle Disease Vaccine. FAO Regional Office For Asia And
The Pacific.
Islam, M. N. And M. Z. I. Khan. 2011. Comparison Of Agar Gel Immunodiffusion Test,
Immunohistochemsitry And Reverse Transcription - Polymerase Chain Reaction
For Detection Of Infectious Bursal Disease Virus. Bangl. J. Vet. Med. (2011). 9 (2) :
121 125
Jacobsen, I.D., K. Groe, And Angela Berndt. 2010. Embryonated Eggs As An Alternative
Infection Model To Investigate Aspergillus Fumigatus Virulence. Infection And
Immunity Vol.78 No. 7: 2995-3006
Jezdimirovic, N.V., D.P. jakic and D.N Cvetojevic. 2013. Micromorphological changes on
the embryonic membranes of turkey egg infected with aspergillus fumigatus and
their importance for embryonic survival. Jour. Nat.Sci, matica srpska novi sad, No.
124: 263-271.
Kencana, G.A.Y., I.M. Kardena Dan I G. N. K. Mahardika. 2012. Peneguhan Diagnosis
Penyakit Newcastle Disease Lapang Pada Ayam Buras Di Bali Menggunakan
Teknik RT-PCR. Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 6 No. 1: 28-31
Kwanashie, C.N., H.M. kazeem and P.A. abdu. 2012. Aspergilus species associated with
dead in shel chick embryo in some hatcheries in northwest nigeria. EJVS 10 (21):
11-14.
Mathias, A. 2010. Lesions And Prevalence Of Newcastle Disease In Chicken Presented For
Necropsy At Faculty Of Veterinary Medicine,Makerere University [Disertasi].
Mims, C., H.M, Goering, I.Roitt, D. Wakelin and Zuckerman. 2004. Medical
Microbiology Edisi Ke-Tiga. Elsevier Mosby, Edinburgh:Hal 29-35.

23

Parede, L., D. Zainuddin Dan H. Huminto. Penyakit Menular Pada Intensifikasi Unggas
Lokal Dan Cara Penanggulangannya. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi
Pengembangan Ayam Lokal .
Putra, H.H., M.H. Wibowo Dan T. Untari.2012. Studi Lesi Makroskopis Dan Mikroskopis
Embrio Ayam Yang Diinfeksi Virus Newcastle Disease Isolat Lapang Yang Virulen.
Jurnal Sain Veteriner 30(1):57-68.
Sendow, I., R.M. A. Adjid, T. Syafriati Dan P. Selleck. 2010.. Studi Retrospeksi Infeksi
Influenza A Pada Babi Sebelum Wabah Avian Influenza H5n1 Pada Unggas Di
Indonesia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner Hal: 772-779.
Stanfield, W.D., J.S. Colome And R.J Cano. 2006. Biologi Molekuler Dan Sel. Erlangga,
Jakarta: 90.
Steven, C.D. 2010. Clinical Immunology And Serology Third Edition. E.A Davis
Company. Philadelphia: 125-128.
Sun, Q., W. Li, R.She And D. Wang. 2009. Evidence For A Role Of Mast Cell In The
Mucosal Injury Induced By Newcastle Disease Virus. Poultry Science 88 (3): 554561
Swayne, D.E., J.R. Glisson, M.W. Jackwood, J.E. Pearson and W.M. Reed. 2006. A
Laboratory Manual for the Isolation and Identification of Avian Pathogens, 4th ed.
International Book Distributing Co. Pub. USA.
Syukron, M.U., I N. Suartha Dan N. S. Dharmawan. 2013. Serodeteksi Penyakit Tetelo
Pada Ayam Di Timor Leste. Indonesia Medicus Veterinus 2(3) : 360 368.
Tabbu, C.R., M.H. Wibowo Dan W. Asmara. Isolasi Dan Identifikasi Serologis Virus Avian
Influenza Dari Sampel Unggas Yang Diperoleh Di D.I. Yogjakarta Dan Jawa
Tengah. J.Sain Vet. Vol 24 No. 1: 77-81.
Vargas, A., M. Zeisser-Labouebe, N. Lange, R. Gurny, and F. Delie. 2007. The chick
embryo and its chorioallantoic membrane (CAM) for the in vivo evaluation of drug
delivery systems. Adv. Drug Deliv. Rev. 59:11621176.
Wahyuwardani, S., D.R. Agungpriyono Dan L. Parede. 2011. Penyakit Gumboro: Etiologi,
Epidemiologi, Patologi, Diagnosis Dan Pengendaliannya. Wartazoa Vol. 21 No. 3:
114-125
Wiyono, A. R. I Ndriani Dan N.L.P.I. Dharmayanti . 2004. Isolasi Dan Karakterisasi
Virus Highly Pathogenic Avian Influenza Subtipe H5 Dari Ayam Asal Wabah Di
Indonesia. JITV Vol. 9 No. 1.

24

Anda mungkin juga menyukai