Anda di halaman 1dari 7

SURRA

Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi.
Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini memiliki prevalensi yang
tinggi di daerah tropis dan berdampak kerugian ekonomi yang tinggi. Kerugian yang diakibatkan
oleh T. evansi ini diperkirakan mencapai US$ 22.4 juta per tahun (Ronoharjo et al., 1986).  Kerugian
ekonomi akibat infeksi penyakit Surra diperkirakan lebih besar daripada trypanosomiasis yang
menyerang ternak di Afrika, yang diperkirakan berkisar US$ 1.3 Milyar mengingat kerugian akibat
turunnya produksi daging dan susu.
Secara umum gejala-gejala klinis Trypanosoma evansi adalah non spesifik dan tidak cukup hanya
dilihat dari gejala pathognomonis untuk diagnosis, namun perlu metode laboratoris untuk
mendeteksi adanya parasit. Pemeriksaan darah hewan seringkali menjadi masalah mengingat
trypanosoma terdeteksi hanya pada saat parasitemia tinggi. Diagnosa terhadap penyakit Surra dapat
dilakukan dengan ditemukannya parasit Trypanosoma evansi dalam darah yang hanya mungkin
ditemukan pada saat parasitemia. Oleh karena parasitemia terjadi sewaktu-waktu, kemungkinan
peneguhan diagnosa yang didasarkan hanya pada penemuan langsung parasit adalah relatif kecil
(Nurcahyo, 2014).
Metode diagnosa yang lain perlu dilakukan seperti wet blood film (WBF), pengecatan preparat darah
tipis dan tebal (stained thin and thick blood smears). Adanya parasit yang terdeteksi pada
pemeriksaan darah adalah merupakan tujuan utama sebagai gold standard method yang dipakai di
beberapa laboratorium. Selain di dalam darah, parasit juga dapat ditemukan dalam pemeriksaan
cairan tubuh dan jaringan (OIE, 2009).
Pengecatan preparat apus darah dengan Giemsa memiliki sensitifitas rendah. Pada infeksi subklinis,
sering kali sulit menemukan parasit dalam darah.  Lebih 50%-80% dari kejadian infeksi
trypanosomiasis tidak terdeteksi secara mikroskopis langsung. Kemampuan diagnosis dapat secara
signifikan ditingkatkan dengan metode Haematocrit Centrifugation Technique (HCT) yang memiliki
sensitivitas hingga 85 trypanosoma/ml (Reid et al., 2001). Dalam daerah yang sama, metode ini
digunakan untuk mendeteksi trypanosomiasis di lapangan. Lebih lanjut, sensitivitas deteksi parasit ini
dapat ditingkatkan lagi dengan menggunakan buffy coat (lapisan sel darah putih yang berada di atas
dari sel darah merah setelah dilakukan sentrifugasi seluruh sampel darah). Selain itu, metode
sentrifugasi anion exchange juga sensitif untuk mendeteksi trypanosoma dalam darah dan dapat
untuk mendeteksi satu trypanosoma tiap dua mililiter darah (Sachs, 1984).
Metode inokulasi tikus (Mouse inoculation) secara umum dapat diterima sebagai metode yang paling
sensitif untuk mendeteksi trypanosomiasis. Jika dengan menggunakan buffy coat untuk
menginokulasi mencit, maka sensitivitasnya dapat ditingkatkan 4x lebih baik. Meskipun demikian,
metode ini memerlukan banyak hewan percobaan yang mengakibatkan metode ini kurang praktis
(Monzon et al., 1990).
Metode serologi telah lama digunakan untuk mendeteksi trypanosomiasis. Deteksi Trypanosoma
equiperdum (dourine) telah digunakan di Kanada pada tahun 1920 dengan menggunakan
metode Complement Fixation test (CFT). Beberapa metode imunologis juga digunakan untuk
mendeteksi antibodi sebagai respon adanya antigen T. evansi. Kemajuan ELISA telah meningkatkan
kemampuan diagnosa serologis yang jauh lebih baik. Metode ELISA dapat digunakan pula untuk
mempelajari data-data epidemiologi dan memonitor pengaruh implementasi dari penerapan suatu
strategi pengendalian terhadap trypanosomiasis. Beberapa metode berbasis antigen juga
dikembangkan seperti CATT (Card Agglutination Test) yang sangat bermanfaat untuk penelitian sero-
epidemiologi trypanosomiasis pada sapi, kerbau dan unta (Njiru et al., 2004). Untuk itu perlu
dilakukan evaluasi dan validasi terkait enzym immonoassays terhadap antigen dan antibodi yang
digunakan untuk survey lapangan. Beberapa reaksi serologis telah dikembangkan untuk menunjukkan
parasit secara tidak langsung, diantaranya adalah teknik serologi seperti Fluorescent antybody test
(FAT), Radio immunoassay, Enzymlinked immunosorbent assay (ELISA) dan CATT untuk mendeteksi
antibodi trypanosoma yang ada dalam serum atau plasma. CATT telah banyak digunakan untuk
mendeteksi T. gambiense di Afrika dan kemudian pada tahun 1992 dikembangkan untuk mendeteksi
antibodi terhadap T. evansi (Van Meirvenne dan Magnus, 1992). Prinsip dari CATT ini adalah direct
agglutination test untuk mendeteksi antibodi terhadap parasit trypanosoma dalam serum atau
plasma dari hewan yang terinfeksi.
Metode deteksi antibodi berdasarkan antigen antibodi monoklonal dan poliklonal telah
dikembangkan untuk T. evansi. Pengembangan antibodi poliklonal untuk deteksi trypanosomiasis
ternyata menunjukkan reaksi silang dengan berbagai spesies Trypanosoma pada hewan. Antibodi
poliklonal dari Trypanosoma dapat mengenali seluruh stadium dalam siklus hidup tetapi tidak semua
spesies Trypanosoma, dan antibodi monoklonal mampu mengenali epitop parasit ini.
Suatu Immunoassay juga telah berhasil diterapkan pada berbagai berbagai sampel di lapangan
dengan sistem eksperimental secara in vitro. Antibodi poliklonal yang telah dimurnikan dari protein
ekstraseluler Trypanosoma telah digunakan untuk diagnosa ELISA dengan hasil yang baik (OIE, 2009).
            Keunggulan dari teknik antibodi monoklonal adalah kemampuannya sebagai pelacak yang
sangat kuat untuk mengidentifikasi imunodeterminan spesifik pada infeksi parasiter, sehingga 
dengan cepat dapat diketahui status infeksinya. Kemampuan antibodi yang spesifik mengenal satu
epitop dari satu antigen, membuat teknik ini sangat penting (Desquesnes, 1996).
Deteksi antigen dari Trypanosoma dengan menggunakan ELISA, dikembangkan untuk penerapan yang
lebih luas. Konfirmasi dari ELISA sangat bervariasi, tergantung dari tujuan yang akan dicapai.
Sensitifitas dan spesifitasnya akan lebih meningkat dengan adanya antibodi monoklonal dan sistim
indikator yang ada. Uji dengan antibodi monoklonal akan lebih spesifik dibanding antibodi poliklonal.
Ini disebabkan karena antibodi monoklonal ditujukan hanya pada salah satu epitop atau permukaan
antigen dengan spesifitas yang dikehendaki. Dalam hubungannya dengan deteksi antigen sensitifitas,
dapat didefinisikan adanya sejumlah antigen yang terdeteksi oleh suatu uji, sedangkan spesifitas,
merupakan suatu kemampuan untuk membedakan senyawa-senyawa yang berkeluarga dekat (OIE,
2009).
            Teknik ini merupakan pengembangan dari ELISA biasa yang ditujukan untuk menangkap
antigen. Konfigurasi ini menggunakan antibodi yang dilapisi fase padat untuk menangkap antigen
secara spesifik. Konfigurasi selanjutnya sama dengan teknik yang digunakan pada ELISA langsung.
Antibodi penangkap antigen dapat dilihat di gambar. Sistim indikator yang dibuat konstan dan
berubah adalah titer antibodi primer untuk antigen spesifik. Jika antigen yang akan dilacak, maka
dapat digunakan antibodi berlabel ensim yang spesifik sebagai indikatornya. Apabila antibodi
monoklonal yang dipilih dalam suatu uji, maka akan lebih banyak dipakai sebagai indikator yang
bereaksi dengan epitop yang diteliti, daripada sebagai antibodi penangkapnya (Burgess, 1995).
Deteksi dengan menggunakan metode molekuler dapat dilakukan dengan cepat dengan spesifitas
dan sensitivitas yang tinggi. Pada tataran laboratorium berhasil diuji coba penggunaan DNA probe
untuk mendeteksi DNA trypanosoma dalam darah atau jaringan (Reid et al., 2000). Selain itu deteksi
dengan PCR menggunakan berbagai macam primer juga telah dilakukan misalnya dengan primer NRP,
TBR atau TEPAN yang lebih spesifik. Teknik molekuler yang lain yang telah terbukti berhasil baik
adalah Loop-mediated isothermal amplification (LAMP) (Thekisoe et al., 2005) dan Taqman (Taylor et
al., 2008).
MENGENAL PERAN LALAT TABANIDAE
Membicarakan epidemiologi suatu penyakit maka tidak akan lepas dari tiga faktor yang saling terkait
yaitu hospes (host), penyebab penyakit (agent), dan lingkungan (environment). Tripanosomosis atau
yang juga dikenal sebagai penyakit “SURRA” disebabkan agenparasit Trypanosoma evansi.

Penyakit ini dianggap berasal dari Afrika dan menyebar luas hampir di seluruh dunia. Penyakit ini
pertama kali ditemukan oleh Evans pada tahun 1880 di India, sedangkan di Indonesia pertama kali
dikenal oleh Penning pada tahun 1897 pada seekor kuda di Semarang. Terutama menyerang hospes
kuda, kerbau, sapi, dan unta, walaupun hewan terdomestikasi lain dan hewan liar juga dapat
terserang Ditandai dengan gejala kelemahan, anemia dan ikterus, udema di bagian bawah tubuh,
pengeluaran cairan mukus sampai purulen dari hidung dan mata serta gejala-gejala syaraf pada yang
kronis.

Penyebaran agen penyakiy melibatkan mediator vektor antara lain serangga. Karena agen penyakit
ini hanya dapat dipindahkan secara langsung (direct transmission) dan memiliki ketahanan hidup
yang kecil di luar tubuh hospes, maka serangga menjadi vektor utama dalam penyebaran penyakit.
Serangga sebagai vektor mekanik penyakit surra di Indonesia menyimpulkan bahwa seluruh lalat
penggigit dan penghisap darah famili Tabanidae merupakan vektor yang lebih baik dibandingkan
dengan nyamuk atau lalat penggigit famili Muscidae seperti Stomoxys sp.

Lalat famili Tabanidae tergolong dalam kelompok besar yang terdiri dari genus pemakan sari
tumbuhan antara lain seperti Pangonia dan Scaptia serta genus pemakan darah
terutama Chrysops, Tabanus, dan Haematopota. Lalat famili Tabanidae termasuk dalam
ordo Diptera telah dikenal sebagai vektor yang potensial bagi agen penyakit surra. Di dunia telah
dilaporkan terdapat sekitar 4,300 spesies lalat. Sedangkan di Indonesia pernah dilaporkan terdapat
28 spesies dari genus Tabanus, 3 spesies dari genus Chrysops, dan 5 dari genus Haematopota yang
bertindak sebagai vektor penyakit surra. Ketiga genus tersebut, hanya lalat betina yang makan darah
secara berulang dalam  hidupnya.

Seperti lalat lainnya, siklus hidup dari telur menjadi dewasa melalui proses metamorphosis sempurna,
dengan melalui tahap perkembangan larva dan pupa sebelum menjadi dewasa.

Lalat-lalat famili Tabanidae bersifat sebagai vektor mekanik yang hanya berfungsi memindahkan


agen penyakit (T. evansi) dari satu hewan ke hewan yang lain tanpa adanya perubahan sifat dan
bentuk agen dalam tubuh lalat. Penularan dilakukan secara inokulasi memasukan agen penyakit ke
dalam tubuh hewan melalui proses penggigitan pada waktu menghisap darah.

Namun terdapat beberapa hal yang menentukan keberhasilan vektor dalam menularkan agen
penyakit surra kepada hospesnya, antara lain:

Faktor lingkungan
Perbedaan faktor lingkungan menyebabkan adanya perbedaan dalam penyebaran agen penyakit di
alam. Pada temperatur, kelembaban dan ketinggian yang berbeda menunjukan perbedaan sangat
nyata antara insidensi lalat pengisap darah jenis Stomoxys sp, Tabanus sp, Fucelia
sp dan Ochthiphila sp akibat perbedaan jumlah dan jenis lalat pengisap darah dilingkungan. Kenaikan
kelembaban dan penurunan temperatur berpengaruh terhadap kenaikan populasi vektor dan juga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan lain seperti pola beternak, macam tanah, vegetasi, dan genangan
air. Selain itu penyakit juga dipengaruhi musim atau bersifat seasonal dan insidensi lebih tinggi
selama musim hujan dan setelah musim hujan akibat jumlah lalat Tabanus yang berlebihan. 

Faktor biologis agen penyakit (T. evansi)


–          Terbatasnya daya hidup agen penyakit.

Keterbatasan daya hidup agen penyakit di dalam tubuh vektornya sangat menentukan keberhasilan
penyebaran penyakit surra. Dilaporkan bahwa peluang transmisi itu sebesar 0.5 dalam interval waktu
15 menit, dan akan menurun menjadi 0.04; 0.003; 0.001 dan 0.0003 dalam interval waktu masing-
masing 1, 3, 6, dan 24 jam. Selain itu juga dibuktikan bahwa tidak ditemukannya agen penyakit dalam
saluran pencernaan dan kelenjar ludah lalat Tabanidae setelah 24 jam, lalat tidak dapat menginfeksi
hewan lain. Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa di dalam sampel darah yang diberi
antikoagulan Heparin, T.evansi masih dapat hidup lebih dari 24 jam pada suhu 4  ?C. Sehingga lalat
butuh waktu relatif singkat untuk berpindah dari satu hewan ke hewan lain guna menyebarkan agen
penyakit. Dengan demikian maka salah satu cara pencegahannya adalah dengan memutus sikus
penularan agen penyakit dengan memutus proses berpindahnya lalat dari satu hewan ke hewan lain
untuk menghisap darah.

–          Jumlah agen penyakit dalam darah hospes.

Efisiensi transmisi secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah agen parasit dalam darah hospes yang
terinfeksi (parasitaemia). Transmisi antar hospes akan berhasil apabila setidaknya 1 agen penyakit
dalam 6 nL darah.

 Faktor biologis vektor

1. –          Merupakan vektor mekanik.Dalam epidemiologi penyakit surra, peran vektor


lalat Tabanidae merupakan vektor mekanik bagi agen penyakit (T. evansi), yang berarti tidak terjadi
pertambahan jumlah agen penyakit di dalam tubuh lalat karena kurangnya maxicircle DNA yang
dibutuhkan dalam perkembangan vektor.

–          Perilaku makan yang cenderung hanya pada satu lokasi.

Melalui beberapa pengamatan terhadap mobilitas lalat sewaktu mencari darah diketahui bahwa lalat
cenderung makan darah hanya pada satu lokasi sehingga jarang atau mungkin tidak ada lalat yang
akan menempuh jarak yang cukup jauh untuk memperoleh darah.

–          Jarak waktu yang panjang antar makan darah

Hasil penelitian menunjukkan vektor lalat  memilki perilaku makan darah jika akan bertelur dengan
jumlah darah tertentu untuk sekali prosesbertelur, dan itu dilakukan setiap 4-5 hari. Tanpa adanya
gangguan sewaktu proses makan, maka perilaku makan lalat ini tidak menunjang terjadinya transmisi
agen penyakit karena jangka waktu yang panjang sampai lalat kembali makan darah sehingga
memperkecil peluang transmisi akibat keterbatasan daya tahan hidup agen penyakit di dalam tubuh
lalat.

–          Tingkat populasinya dalam periode waktu tertentu.


Peran lalat sebagai vektor penyakit surra juga dibatasi oleh tingkat populasi dalam periode waktu
tertentu. Dilaporkan bahwa melimpahnya populasi lalat disuatu tempat tidak berhubungan dengan
tempat diperolehnya darah tetapi dengan habitat larvanya.

–          Waktu yang panjang dalam satu generasi.

Sedangkan tingkat populasi dalam periode waktu tertentu ditentukan oleh waktu yang diperlukan
dalam satu siklus hidup lalat ini. Periode larva lalat Tabanidae membutuhkan waktu yang panjang
dalam melengkapi siklus hidupnya. T. taeniola melengkapi siklus hidupnya 1-11 minggu pada suhu
konstan 32-35 0C, bahkan dapat mencapai 42 minggu dalam suhu 22 0C dengan perpanjangan
waktu stadium prepupal. Waktu yang mencolok diperlukan oleh T. calens yang melengkapi siklus
hidupnya dalam 2-3 tahun. Sementara pemeliharaan T. nigrovittatus dalam laboratorium
membutuhkan waktu 78-155 hari dari telur hingga menjadi lalat dewasa. Waktu yang dibutuhkan
dalam satu siklus hidup lalat Tabanidae menunjukkan bahwa pelipat gandaan jumlah lalat ini dari
seekor betina Tabanidae memakan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan jenis seranga lain
yang dapat berperan sebagai vektor mekanikagen penyakit surra seperti Haematobia irritans
exiqua dan Stomoxys sp. yang melengkapi siklus hidupnya dari 3-5 minggu.

–          Daya reproduksi dan mortalitas larva maupun lalat dewasa.

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat populasi lalat ini adalah daya reproduksi dan mortalitas larva
maupun dewasanya. Dilapangan, lalat dewasa dapat hidup selama 3-4 minggu dan menghasilkan 5-6
kelompok telur, yang terdiri dari 200-1000 telur dalam satu kelompok. Akan tetapi daya reproduksinya
yang tinggi ini tidak ditunjang oleh daya hidup larva maupun dewasanya. Dilaporkan bahwa mortalitas
larva T. nigrovittatus mencapa 70.3-94.5%. Sedangkan tingkat kelestarian harian populasi lalat
dewasa T. iyoensis sebesar 73% yang akan menurun menjadi 11% setelah seminggu dan 13%
setelah 3 minggu.

 Dari berbagai keterangan di atas dapat dikatakan bahwa secara epidemiologis peran
lalat Tabanidae sebagai vektor mekanik hanya berarti pada sekelompok hewan di suatu lokasi yang
tebatas saja , tidak berarti banyak dalam penyebaran penyakit surra pada areal yang luas. Walaupun
jangkauan terbang lalat ini dapat diperluas oleh tiupan angin, transmisi penyakit masih dibatasi oleh
daya hidup agen penyakit di dalam tubuh lalat karena tidak terjadi pertambahan jumlah agen penyakit
di dalam tubuh lalat ini. Dengan demikian tampaknya penyebaran penyakit antar daerah lebih banyak
disebabkan oleh perpindahan hewan yang dilakukan oleh manusia. Selain itu beberapa tindakan
manusia yang tanpa sengaja membuat tempat-tempat perindukan lalat ini seperti bendungan atau
rawa-rawa yang kesemuanya itu menjadi pertimbangan dalam usaha-usaha pencegahan dan
pemberantasan penyakit surra.
PENDAHULUAN
Protozoa dari genus Trypanosoma adalah penyebab trypanosomiasis yang menyerang hewan dan manusia.
Selama ini, trypanosomiasis pada manusia (Human Sleeping Sickness, Human African Trypanosimiasis/HAT)
lebih banyak dilaporkan terjadi di Afrika yang disebabkan oleh Trypanosoma brucei rhodesiense (Afrika Timur
dan Selatan) atau Trypanosoma brucei gambiense (Afrika Tengah dan Barat). Kedua penyakit ini memiliki
manifestasi klinis yang berbeda, yaitu penyakit yang disebabkan oleh T. b. rhodesiense berjalan relatif akut
(dalam beberapa minggu), sedangkan untuk T. b. gambiense relatif berjalan kronis (Warpe & More 2014).
Berbeda dengan trypanosomiasis di Afrika, penyakit serupa juga terjadi di Amerika, tetapi disebabkan oleh
Trypanosoma cruzi dan dikenal dengan nama penyakit Chagas (Parashar et al. 2016). Penyakit-penyakit
tersebut dapat mengakibatkan kematian pada manusia.
Spesies Trypanosoma yang lain diketahui mampu menyerang berbagai jenis ternak, seperti Trypanosoma
brucei brucei (penyebab penyakit Nagana di daerah Amerika dan Afrika), Trypanosoma congolense dan
Trypanosoma vivax yang cenderung menyerang hewan kecil dan hewan domestik serta Trypanosoma
equiperdum yang umumnya menyerang kuda (Parashar et al. 2016). Diantara spesies Trypanosoma yang
menyerang ternak, Trypanosoma evansi adalah spesies yang memiliki daerah penyebaran paling luas, yaitu
meliputi benua Afrika, Timur Tengah, Asia, termasuk Amerika Selatan dan Utara (Vanhollebeke et al. 2006).
Parasit ini diidentifikasi pertama kali oleh seorang dokter hewan Inggris bernama Griffith Evans pada tahun
1881 yang diisolasi dari kuda dan unta. Desquesnes et al. (2013) menyebutkan bahwa T. evansi mampu
menginfeksi hampir semua hewan.
Secara genetik dan morfologi, T. evansi memiliki kekerabatan yang dekat dengan jenis spesies
Trypanosoma yang menginfeksi manusia (T. brucei brucei). Namun, protozoa ini tidak mampu untuk
melakukan siklus perkembangan hidupnya di dalam vektor lalat Tsetse karena tidak adanya bentukan
maksisirkel (suatu organel dalam tubuh Trypanosoma). Akibatnya, T. evansi dalam tubuh lalat penghisap
hanya bersifat sementara tanpa mengalami amplifikasi dalam tubuh vektor. Perkembangan siklus hidup T.
evansi selanjutnya terjadi pada tubuh inang (Brun 2005). Patogenitasnya tergantung pada spesies inang
dan tingkat virulensi strain T. evansi (Misra et al. 2016).
Trypanosoma evansi ditransmisikan dengan cara mekanik murni oleh vektor (lalat penghisap darah
seperti Tabanus spp, Stomoxys spp, Chrysops spp) dan secara kongenital melalui induk atau plasma. Cara
penularan lain adalah melalui mukosa kelamin saat
kopulasi, luka yang terbuka dan memakan jaringan
yang terinfeksi, terutama pada hewan karnivora (Womack et al. 2006). Penularan T. evansi secara oral
dilaporkan oleh Raina et al. (1985) pada anjing dan mencit yang memakan daging yang dikontaminasi T.
evansi. Parasit terdeteksi di sistem peredaran darah pada hari ke delapan pasca-memakan daging,
sedangkan pada mencit terdeteksi pada hari kedua. Vergne et al. (2011) juga melaporkan penularan secara
oral pada tikus Wistar pasca memakan organ berdarah yang mengandung T. evansi, sehingga
keberadaannya perlu diwaspadai sebagai reservoir dan vektor penyakit ini.

GEJALA KLINIS
Hewan yang belum pernah terinfeksi T. evansi akan menunjukkan gejala penyakit yang lebih parah
dibandingkan dengan hewan yang sudah pernah terinfeksi (Reid et al. 2001). Surra pada kuda terjadi
secara akut dengan tingkat kematian yang tinggi (Luckins 1994), sedangkan gejala Surra pada kuda
yang berasal dari populasi naif terjadi secara akut dengan mortalitas lebih dari 50% (Silva et al. 1995).
Masa inkubasi Surra pada kuda terjadi selama 1-4 minggu diikuti dengan timbulnya gejala demam
selang seling (41,5-44°C) dengan parasitemia yang tinggi, kelemahan, kelesuan, anemia, penurunan
bobot badan, erupsi kulit lokal atau keseluruhan, perdarahan titik pada kelopak mata, mukosa vulva
dan vagina, aborsi, perubahan lokomosi dengan gejala syaraf, serta udema pada kaki, brisket,
abdomen dan testis diikuti kematian hewan dalam 2-8 minggu. Pada sapi dan kerbau, Surra dapat
terjadi secara subakut, kronis atau subklinis, sedangkan pada kambing, domba dan babi bersifat
subklinis. Secara umum infeksi Surra pada sapi dan kerbau menyebabkan terjadinya demam, anemia,
udema kaki, penurunan berat badan, penurunan produksi, gangguan siklus estrus dan kehilangan
tenaga sebagai hewan kerja (Desquesnes et al. 2013).
VEKTOR DAN POTENSI TIKUS DALAM PENULARAN TRYPANOSOMIASIS
Surra disebut juga arthropoda-borne diseases karena melibatkan beberapa spesies lalat pengisap darah
(haematophagous) sebagai vektor mekanik seperti Tabanus spp, Stomoxys spp, Musca spp, Chrysops spp,
Hippobosca spp, Haematopota spp dan Haematobia spp (OIE 2012). Hampir semua lalat penghisap darah
dapat menularkan penyakit ini tetapi lalat golongan Tabanidae (lalat kuda) dan Stomoxys (lalat kandang)
merupakan vektor yang paling umum di Asia Tenggara. Tabanid dilaporkan merupakan vektor yang paling
efektif karena mempunyai bagian mulut yang besar dan dapat menghisap darah lebih dari satu pejamu dalam
waktu yang relatif singkat. Diperkirakan kapasitas menghisap darah lalat Tabanus spp adalah 1-12 l,
sedangkan pada lalat Stomoxys spp hingga 0.03 l (Foil et al. 1987).
Umumnya, lalat-lalat tersebut menghisap darah lebih dari satu pejamu dalam waktu singkat karena
Trypanosoma hanya infektif dalam jangka waktu yang pendek. Di dalam vektor lalat, parasit dapat bertahan
hidup selama kurang lebih 6-12 jam tanpa mengalami perkembangan. Setelah memasuki peredaran darah
inang, Trypanosoma (stadium trypomastigote) segera memperbanyak diri dengan melakukan pembelahan
biner yang terjadi secara longitudinal (Desquesnes et al. 2013). Flagela dan kinetoplas Trypanosoma membelah
secara bersama-sama (Liu et al. 2005). Dalam keadaan tertentu, protozoa ini tidak ditemukan saat dilakukan
pemeriksaan darah perifer karena dapat bersembunyi di dalam kelenjar limfe atau jaringan (Desquesnes et al.
2013).

Anda mungkin juga menyukai