Anda di halaman 1dari 6

ESSAY

Kelebihan dan kekurangan pemeriksaan Leptospira pada penyakit tropic menggunakan


MAT, ELISA, RIA dan IHA.

HENDI WIJAYANTO
NIM 1901200521

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendedes Malang


Prodi S1 Keperawatan
2019
A. Pendahuluan
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia dan
hewan, serta digolongkan penyakit zoonosis. Berdasarkan penyebab, leptospirosis
adalah zoonosis bakterial, sedangkan berdasarkan cara penularan, leptospirosis
merupakan direct zoonosis karena tidak memerlukan vektor. Leptospirosis pada manusia
ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman Leptospira sp. dengan reservoir utama
adalah roden. Kuman Leptospira sp. hidup di dalam ginjal penjamu reservoir dan
dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Penyakit ini terdistribusi luas di seluruh dunia dan
dilaporkan pertama kali pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi
disertai beberapa gejala gangguan saraf serta pembesaran hati dan limfa, (Ramadhani,
T., & Yunianto, B. 2012)
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,
khususnya negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis yang memiliki curah hujan
tinggi. Leptospirosis adalah salah satu penyakit infeksi yang terabaikan atau Neglected
Infectious Diseases (NIDs) yaitu penyakit infeksi yang endemis pada masyarakat miskin
atau populasi petani dan pekerja yang berhubungan dengan air dan tanah di negera
berkembang. Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling luas tersebar di seluruh
dunia, kecuali daerah kutub. Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Leptospira yang pathogen, ( Febrian, F., & Solikhah, S, 2013)

B. Pemeriksaan Laboratorium untuk menegakkan diagnosa leptospira


A. Microscopic Agglutination Test (MAT)
Leptospirosis adalah penyakit pada manusia dengan gejala yang sangat
bervariasi, sehingga sulit dibedakan dengan penyakit lain. Sampai saat ini, untuk
diagnosis standar penyakit leptospirosis masih dengan pemeriksaan serologis
menggunakan tes microscopic agglutination test (MAT). Sebenarnya tes MAT
mempunyai banyak kelemahan, karena untuk melakukannya diperlukan antigen yang
hidup dari semua serovar yang ada, terutama serovar yang endemus di daerah
pemeriksaan. Untuk memenuhi kebutuhan antigen, maka dilakukan pembiakan
bakteri secara terus-menerus yang mempunyai risiko tinggi bagi petugas yang
melakukannya. Disamping itu, untuk menilai hasil MAT sampel tunggal sangat sulit,
karena pada penderita masih ada titer agglutinin yang persisten, dan adanya variasi
titer antibodi yang sangat dipengaruhi oleh banyaknya paparan yang terjadi di
masing-masing daerah, sehingga sampel perlu diambil dua kali (pada fase akut dan
pada fase konvalesen), agar peningkatan titer yang terjadi antara sampel pertama
dan kedua dapat dinilai.
Nilai peningkatan titer MAT yang dianggap positif, bila terdapat peningkatan
titer empat kali lipat antara sampel pertama dan kedua. Bila sampel hanya diambil
satu kali, penilaian dapat dilakukan dengan melihat tingginya titer hasil MAT. Nilai titer
yang dianggap positif untuk daerah non-endemis adalah 1:200, sedangkan untuk
daerah endemis 1:800, atau malahan disarankan 1:1600. Walaupun demikian, tes
MAT tetap menjadi rujukan untuk tes serologis yang lain, karena tes-tes ini sering
bereaksi silang dengan antibodi yang disebabkan oleh penyakit lain.
MAT dapat memberikan data tentang perkiraan serovar yang menginfeksi,
sehingga dapat digunakan sebagai informasi epidemiologi yang berguna. MAT juga
mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi, sehingga dapat dipakai untuk
mendiagnosis penyakit. MAT merupakan metode yang sangat cocok digunakan untuk
epidemiologi survey serelogi, karena ia dapat juga digunakan untuk mendeteksi
serum dari spesies binatang, dan banyaknya antigen serovar yang digunakan
dapat ditambah atau dikurangi tergantung kebutuhan. Informasi yang diberikan
oleh MAT hanya kesan umum tentang serogrup yang terdapat dalam populasi.
Kesimpulan tentang serovar yang menginfeksi secara pasti tidak dapat ditarik tanpa
melakukan biakan bakteri, (Setiawan, I. 2008)

B. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Tes ELISA sangat popular dan bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan
sudah tersedia secara komersial dengan antigen yang diproduksi sendiri (in house).
Untuk mendeteksi IgM umumnya digunakan antigen spesifik genus yang bereaksi
secara luas, teknik ini kadang-kadang juga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG.
Adanya antibodi IgM merupakan pertanda adanya infeksi baru Leptospira, atau
infeksi yang terjadi beberapa minggu terakhir. Test ELISA cukup sensitif untuk
mendeteksi Leptospira dengan cepat pada fase akut, dan lebih sensitif dibandingkan
dengan MAT.1 Tes ini dapat mendeteksi antibodi IgM yang muncul pada minggu
pertama sakit, sehingga cukup efektif untuk mendiagnosis penyakit, (Setiawan, I.
2008)
Metode ELISA telah banyak dimodifikasi, misalnya, Dot-ELISA spesifik IgM
dikembangkan menggunakan antigen Leptospira polivalen yang diteteskan di atas
kertas filter selulose sumur mikrotiter. Dengan metode ini, jumlah reagen yang
dibutuhkan sedikit. Di samping untuk mendeteksi IgM, metode ini dimodifikasi untuk
mendeteksi IgG dan IgA. Dipstick assay telah digunakan secara luas di beberapa
negara. Dari hasil pemeriksaan sampel darah yang diambil pada fase akut, tes ini
memberikan sensitifitas 60,1%, dan bila sampel darah diambil pada fase konvalesen
sensitifitasnya meningkat menjadi 87,4%.
Dari hasil penelitian ternyata sensitifitas IgM-ELISA dan IgM-dipstick
komersial untuk mendeteksi leptospirosis akut adalah 89,6-98% dan spesifisitasnya
90-92,7% dengan nilai ramal positif 87,6-90% dan nilai ramal negatif 90,7- 92%.
Pemeriksaan dot immunoblot dengan menggunakan conjugate koloid emas dapat
memberikan hasil pemeriksaan dalam waktu 30menit

C. RIA (Radioimmunoassay)
Pengukuran konsentrasi progesteron ini dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik Radioimmunoassay (RIA). Teknik RIA, yang diperkenalkan oleh
Berson dan Yalow, merupakan teknik yang sangat sensitif untuk mengukur
konsentrasi hormon dalam darah tanpa perlu melakukan bioassay. RIA merupakan
teknik analisa secara in vitro dengan menggunakan perunut radoaktif yang
didasarkan pada prinsip imunologi. Hasil analisis menggunakan teknik RIA sangat
peka karena menggunakan zat radioaktif yang dapat dideteksi dengan alat yang
mempunyai kepekaan yang tinggi, serta spesifik karena berdasarkan pada reaksi
imunologi dimana terjadi ikatan spesifik antara antibodi dengan antigen tertentu saja.
Teknik RIA banyak digunakan dalam analisis zat-zat yang ada dalam contoh biologis
seperti cairan tubuh (serum, urine) atau zat yang mempunyai kadar rendah yang
dengan teknik lain sulit ditentukan.
Teknik RIA dapat menentukan suatu kuantitas yang diketahui dari antigen
dibuat menjadi radioaktif dengan diberi label isotop radioaktif gamma dari iodine yang
dilekatkan pada tirosin. Antigen berlabel radioaktif ini lalu dicampur dengan jumlah
yang diketahui dari antibodi untuk antigen tersebut, dan sebagai hasilnya keduanya
terikat secara kimia satu dengan yang lainnya. Lalu suatu sampel serum dari pasien
berisi kuantitas yang tidak diketahui dengan antigen yang sama ditambahkan. Hal ini
mengakibatkan antigen tak berlabel (dingin) dari serum berkompetisi dengan antigen
berlabel radioaktif (panas) untuk ikatan antibodi, (Duria, N., Santoso, B.,
Lelananingtiyas, N., & Santoso, W. B. 2013)
Prinsip RIA sederhana yaitu: isotop di mix dengan antibodi kemudian
disisipkan pada sampel darah pasien. Substansi non radioaktif dalam darah akan
menggantikan posisi radioaktif pada antibodi yang mengakibatkan radioktif lepas.
Radiaoktif yang bebas ini kemudian diukur untuk menentukan berapa banyak
substansi dalam darah Anti serum untuk hormon yang diuji harus memiliki spesifik
yang tinggi.
RIA lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan langsung dengan mikroskop
lapangan gelap, tetapi kurang sensitif dibandingkan biakan, terutama untuk
pemeriksaan urine. Metode chemiluminescent immunoassay memberi hasil tidak
berbeda dengan ELISA, (Setiawan, I. 2008)
Keuntungan metode RIA adalah : Sensitivitas dan presisi yang tinggi , Mudah
dikerjakan, Pekerjaannya lebih cepat dan tidak memerlukan sampel yang besar.
Kerugian metode RIA adalah : Reagen kurang stabil, Memerlukan proteksi terhadap
bahan radioaktif (radioactive hazardous), (Duria, N., Santoso, B., Lelananingtiyas, N.,
& Santoso, W. B. 2013).

D. Indirect Hemagglutination (IHA)


Uji Hemaglutinasi Tak Langsung (IHA) Prinsip dasar : spesiman hewan coba
yang disensitisasi antigen HSV bila direaksikan dengan serum penderita
(mengandung antibodi terhadap HSV) dapat terjadi aglutinasi. Keunggulan IHA yaitu
hasil diperoleh dalam satu hari, dapat melacak antibodi yang baru, diproduksi pada
infeksi primer maupun antibodi stabil pada infeksi laten, dan menahun.
Uji Hambatan Hemagglutinasi (IHA INHIBITION)• Prinsip didasarkan
kemampuan antigen homolog menghambat antibodi secara lengkap dan antigen
yang heterolog hanya memberikan hambatan parsial. Kekemahannya yaitu baik
antigen IHA disensitisasi harus diproduksi secara local. Penentuan tipe HSV antisera
dengan uji hambatan IHA : IHA dengan sel yang IHA dengan sel yang Tipe Ab HSV
tersensitisasi HSV-1 tersensitisasi HSV-2 setelah absorbsi serum setelah absorbsi
serum dengan dengan HSV-1 HSV-2 Kontrol HSV-1 HSV-2 Kontrol 1 O + + O O + 2
O O + + O + 1 dan 2 O + + + O +Tipe tidak tentu O O + O O + + = aglutinasi (penurunan
titer kurang dari 4 kali dibandingkan kontrol) O = hambatan (penurunan titer lebih dari
4 kali dibandingkan kontrol), (Probohoesodo, M. Y. 2018)
Probohoesodo, M. Y. (2018). Nilai diagnostik malaria antigen cassette penyakit
malaria. Indonesian journal of clinical pathology and medical laboratory, 16(1), 7-10.
Saad, M. B., & Hassan, A. K. M. (1989). Indirect haemagglutination (IHA) and
immunoelectrophoresis in the diagnosis of hydatidosis in Sudanese camels. Revue
d’élevage et de médecine vétérinaire des pays tropicaux, 42(1), 41-44.
Duria, N., Santoso, B., Lelananingtiyas, N., & Santoso, W. B. (2013). Preparasi Sampel untuk
Pengukuran Hormon Progesteron Sapi pada Aplikasi Teknik
Radioimmunoassay. PRIMA-Aplikasi dan Rekayasa dalam Bidang Iptek Nuklir, 8(1),
28-34.
Setiawan, I. (2008). Pemeriksaan Laboratorium untuk mendiagnosis penyakit
leptospirosis. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 18(1 Mar).
Ramadhani, T., & Yunianto, B. (2012). Reservoir dan Kasus Leptospirosis di Wilayah Kejadian
Luar Biasa. Kesmas: National Public Health Journal, 7(4), 162-168.
Febrian, F., & Solikhah, S. (2013). Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis di Kabupaten
Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011. Kes Mas: Jurnal Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Daulan, 7(1).

Anda mungkin juga menyukai