Anda di halaman 1dari 24

TUGAS PARASITOLOGI

“ Tripanosoma dan Plasmodium Falcifarum”

OLEH :

NI KOMANG AYU WIDYANTARI

(P07134018064)

SEMESTER IV B

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

TAHUN 2020
1. Tripanosoma
Trypanosoma adalah protozoa berflagel yang bersifat parasit didalam darah atau
jaringan berbagai jenis vertebrata, bentuknya panjang bergelombang, kedua
ujungnya lancip dan menulari manusia melalui gigitan lalat pengisap darah atau
melalui feses arthropoda. Infeksi karena Trypanosoma disebut trypanosomiasis.
Dalam siklus hidupnya, Trypanosoma memiliki dua bentuk, yaitu berflagela pada
fase ekstrakuler dan tidak berflagel pada fase intraseluler. Sebagian dari siklus
hidupnya melekat di sel lambung atau menghisap darah manusia. Hospes
perantara Trypanosoma adalah hewan-hewan penghisap darah.
 Filum : Sarcomastigophora
 Subfilum : Mastigophora
 Kelas : Zoomastigophora
 Ordo : Kinetoplastorida
 Subordo : Trypanosomarina
 Famili : Trypanosomatidae
 Genus : Trypanosoma
 Spesies :
- Trypanosoma brucei
- Trypanosoma evansi
- Trypanosoma equiperdum
- Trypanosoma lewisi
- Trypanosomacruzi

A. Morfologi

Morfologi Trypanosoma dalam darah tampak sebagai flagelata yang pipih


panjang (kira-kira 15-20 mikron), berujung runcing di bagian posterior,
mempunyai flagel kurang dari sepertiga panjang tubuh, mempunyai sitoplasma
dengan granula inti di tengah yang berwarna tua, serta terdapat kinetoplast.
Morfologi yang seperti ini dapat membuat Trypanosoma bergerak aktif secara
berombak dan memutar disebabkan oleh flagel kontraktilnya (Eki dkk, 2018).
Trypanosoma adalah parasit protozoa berflagella yang termasuk dalam
genus uniselular. Penyakit yang ditimbulkan oleh Trypanosoma disebut
Trypanosomias. Infeksi Trypanosoma pada umumnya disebabkan oleh T. evansi
dan T. cruzi. Trypanosoma evansi menyebabkan penyakit Surra, sedangkan
Trypanosoma cruzi menyebabkan penyakit Chagas.

Gambar 2 menunjukkan morfologi bentuk T. evansi dan T. lewisi. Secara


bentukan mikroskopis, dapat dibedakan antara T. evansi dengan T. lewisi
berdasarkan dari ukuran kinetoplas, ukuran tubuh, posisi inti sel dan membran
undulant.

B. Siklus Hidup
Siklus hidup protozoa famili Trypanosomatidae dapat dilihat pada gambar
di atas. Dari mulai belum tumbuh flagella, hingga memiliki flagella bebas yang
panjang dan membran undulata di sepanjang tubuhnya. Berikut adalah fase
pertumbuhannya :

1. Amastigote
Stadium amastigote disebut juga dengan stadium Leismanial. Bentuknya
bulat dan belum memiliki flagella bebas (free flagellum). Karena flagella
internanya mengalami degenarasi menjadi benang fibril yang tipis dan
kecil.

2. Paramastigote
Stadium paramastigote berbentuk lonjong namun masih melingkar
sehingga tampak bentukan bulat saja. Dengan inti sel yang sudah
berpindah ke bagian posterior tubuh dan flagella anterior yang mulai
memanjang.
3. Promastigote
Pada stadium promastigote atau leptomonad, protozoa sudah berbentuk
lonjong dengan flagella anterior panjang yang keluar dari kinetoplast
sebagai flagella bebas (free flagellum). Namun pada fase ini, protozoa
belum memiliki undulating membrane.

4. Epimastigote
Stadium epimastigote disebut juga dengan stadium chritidial. Pada
stadium ini, protozoa berbentuk memanjang dengan undulating membrane
yang pendek dan flagella bebas yang memanjang.
5. Trypomastigote
Stadium trypomastigote atau trypanosome berbentuk memanjang seperti
pada fase epimastigote, akan tetapi undulating membrane telah tumbuh
sepanjang tubuh protozoa.

C. Patologis
Trypanosoma adalah parasit protozoa yang memiliki lagella. Trypanosoma
merupakan parasit darah yang hidup di sel darah merah. Pada umumnya manusia
memiliki kekebalan alamiah terhadap infeksi. Trypanosoma, sehingga infeksi
Trypanosoma tidak bersifat patogen pada manusia dan umumnya tidak
menimbulkan gejala klinis. Infeksi Trypanosoma yang tidak patogen ke manusia
biasanya disebabkan oleh spesies, T. brucei, T. vivax, T. congolense, T. evansi
dan T. lewisi (Novita, 2019).
Seiring dengan adanya dampak perubahan iklim menyebabkan perubahan
tingkah laku vektor dan agen penyakit trypanosoma. Infeksi Trypanosoma yang
awalnya tidak patogen ke manusia menjadi patogen. Beberapa penelitian terkait
menemukan bahwa infeksi oleh T. evansi dan T. lewisi bersifat patogen ke
manusia bahkan dapat menyebabkan kematian. Trypanosoma pada manusia
endemis di Afrika dan Amerika Selatan. Penyakit tripanosoma di Afrika dikenal
dengan nama Human African Trypanosomiasis atau penyakit tidur yang
disebabkan oleh T. brucei gambiense yang bersifat kronis dan T. rhodesiense yang
bersifat akut. Penyakit tripanosoma di manusia di Amerika Selatan dikenal
dengan Changas yang disebabkan oleh T. cruzi. Spesies Trypanosoma lainnya
yang bersifat zoonosis disebabkan oleh T. evansi dan T. lewisi. Kejadian T. evansi
terdapat di India pada seorang peternak berumur 45 19,20 tahun pada tahun 2004.
Kasus T. lewisi berbeda dengan spesies Trypanosoma lainnya yang memiliki
induk semang hewan ternak. Induk semang T. lewisi adalah tikus dan juga
membutuhkan kutu tikus atau lalat sebagai vektor penyakit (Novita, 2019).
Trypanosoma evansi pada awalnya tidak terdeteksi sebagai agen penyakit
zoonosis karena manusia memiliki faktor tripanolitik yang terdapat pada serum
darah normal yang dapat melisiskan T. evansi (Desquesnes et al. 2013). Namun,
dengan munculnya kasus Surra pada manusia di beberapa negara mematahkan
hipotesis tersebut dan diketahui telah terjadi resistensi T. evansiterhadap faktor
tripanolitik tersebut, mampu menginfeksi manusia. Selain memiliki perubahan
sifat yaitu menjadi resisten terhadap faktor tripanolitik. Trypanosoma evansi
memiliki daerah geograis yang cukup luas, menyebar dari Afrika hingga ke benua
Asia Tenggara. Parasit yang memiliki penyebaran daerah geograis yang makin
luas dan mengalami perubahan inang spesiik serta peka terhadap terjadinya
resistensi obat akan menjadi faktor pemicu timbulnya zoonosis baru yang
mengancam kesehatan manusia. Keadaan ini sudah diwakilkan oleh
Trypanosoma sp. (Novita, 2019).
Manusia akan terinfestasi bila bentuk tripomastigot metasiklik yang dikeluarkan
bersama tinja serangga, ketika serangga tersebut menghisap darah, masuk melalui
luka bekas gigitan atau luka bekas garukan yang disebabkan oleh rasa gatal akibat
reaksi alergi dari air liur serangga tersebut. Setelah masuk, bentuk metasiklik akan
melakukan invasi ke jaringan sekitarnya dan mulai memperbanyak diri di dalam
sel. Pada manusia, T. cruzi dapat di temukan dalam dua bentuk, yaitu bentuk
amastigot dan tripomastigot. Bentuk tripomastigot tidak membelah dalam darah,
tetapi terbawa keseluruh bagian tubuh. Bentuk tripomastigot metasiklik yang
menginfestasi hospes, secara aktif masuk atau ditelan oleh histiosit dan
menyerang sel lemak serta sel otot disekitar tempat inokulasi. Pada manusia,
parasit kehilangan flagela dan bertransformasi menjadi bentuk amastigot, yang
dapat memasuki otot dan berkembang biak, menimbulkan miositis.

D. Gejala Klinis

Manifestasi yang muncul pada stadium akut penyakit ini dapat ditandai
dengan demam, limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Di lokasi gigitan
serangga, peradangan lokal (melibatkan jaringan dan otot subkutan)
menghasilkan pembengkakan yang dikenal sebagai chagoma. Selama tahap
parasitemia akut, infestasi akut miokard dapat terjadi, menyebabkan miokarditis
berat dan gangguan konduksi jantung. Manifestasi klinis pada tahap awal miositis
termasuk kelemahan otot, nyeri tekan, dan eritema seperti klinis dari polymiositis
dan dermatomiositis. Otot rangka mungkin terlibat dalam tahap kronis juga dan
dapat berlangsung selama beberapa dekade.

E. Diagnosis

Diagnosis spesies Trypanosoma umumnya menggunakan preparat ulas darah


yang diwarnai dengan Giemsa. Hasil positif dinyatakan jika ditemukan morfologi
parasit pada pemeriksaan mikroskop. Uji antibodi dapat menggunakan uji
aglutinasi langsung, ELISA. Uji lanjutan untuk membedakan antar spesies
Trypanosoma perlu pemeriksaan biomolekular seperti Polymerase Chain
Reaction (PCR). Uji PCR sangat sensitif sehingga sering ditemukan hasil false
positif. Untuk mensiasati hal tersebut, diagnosis juga dapat dilakukan dengan uji
ampliikasi sinyal asam nukleus yang spesiik terhadap masing masing spesies
Trypanosoma (Novita, 2019).

Pemeriksaan penunjang untuk memastikan adanya trypanosomiasis pada otot


dapat dilakukan pemeriksaan serologi dengan metode ELISA dimana dengan
metode ini tingkat sensitivitasnya tinggi. Uji ini cukup sensitif mendeteksi
infestasi dini. Uji Ab-ELISA mendeteksi adanya antibodi mulai minggu ke-2
pasca infestasi, sedang Ag-ELISA memberi harapan paling sensitif mendeteksi sel
mati dari parasite. Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan uji aglutinasi
langsung maupun elektrokardiogram. Pada pemeriksaan histologi, bagian-bagian
jaringan yang terinfestasi dapat menunjukkan kelompok-kelompok amastigote
dalam sel otot yang dikelilingi oleh peradangan akut atau kronis. Apabila
terinfestasi parasit ini dan sudah termanifestasi pada tulang, maka perlu dilakukan
perawatan medis yang sesuai untuk menanganinya. Pada infestasi Trypanosoma
sp., Benznidazole adalah obat trypanosidal yang cukup efektif pada fase akut
penyakit. Ini mengurangi komplikasi jantung dan parasitemia dan telah ditemukan
bermanfaat pada fase kronis awal. Selain itu dapat menggunakan obat Nifortimox,
suatu derivate nitrofurfurilidin yang mengandung harapan dapat menyembuhkan
penyakit yang akut dan kronis awal. Obat ini harus diberikan dalam jangka waktu
lama dan mempunyai efek samping. Dosis yang digunakan adalah 5-6 mg/kgBB
dalam 15 hari kemidian dosis 3-4 mg/kgBB dalam 75 hari. Obat ini lebih dapat
ditoleransi oleh orang yang berusia muda dari pada usia lanjut dan tidak boleh
diberikan pada masa hamil. Keberhasilan pengobatan ditegakkan apabila dari tes
serologis menunjukkan hasil negatif setidaknya satu tahun setelah perawatan
selesai. Efek samping kedua obat diatas, dapat ringan sampai berat diantaranya
polineuropati perifer, eksitasi psikis, alergi kulit, gangguan gastric, dan lekopenia.

F. Epidemiologi

Epidemiologi tripanosomiasis berawal dari Afrika Barat, meluas ke Afrika


Tengah, Afrika Utara, hingga ke benua Asia yaitu Srilanka, India dan Asia
Tenggara yaitu di Thailand dan Malaysia. Trypanosoma brucei adalah penyebab
Human African Trypanosomiasis yang endemik di Afrika, termasuk di Ghana,
Kongo, Etiopia dan Mesir. Trypanosoma evansi bersifat endemis di India,
sedangkan T. lewisi daerah endemisitas meluas dari India hingga ke Asia
Tenggara yaitu Thailand dan Malaysia (Novita, 2019). Outbreak tripanosomiasis
yang disebabkan oleh T. cruzi atau penyakit Chagas terjadi di Kolombia pada
kurun waktu tahun 1992-2009 sebanyak 11 outbreak dengan angka kematian
sebesar 16%. Pada tahun 17 2014 terdapat dua outbreak yang serupa.
OutbreakChagas juga terjadi di Chili. Trypanosoma evansi sebagai penyebab
penyakit Surra masih endemis di India hingga ke Asia Tenggara. Hal ini
dihubungkan dengan kepadatan populasi hewan ternak dan jarak antara
pemukiman penduduk dengan lokasi pe ternakan sehingga memudahkan
penularan penyakit Surra dari hewan ternak yang disebarkan melalui lalat
(Novita, 2019).

Indonesia merupakan negara berjumlah penduduk tertinggi di Asia


Tenggara dan memiliki kepadatan populasi hewan ternak. Dampak perubahan
iklim juga dirasakan di 0 Indonesia berupa kenaikan temperatur lingkungan
berkisar 1-1.5 C yang berpengaruh terhadap perkembangbiakan vektor dan
reservoir penyakit parasit. Ternak di Indonesia belum bebas penyakit Surra yang
disebabkan oleh Trypanosoma evansi. Potensi terjadinya infeksi Surra dan
Trypanosoma spesies lainnya cukup tinggi di Indonesia, karena Thailand,
Vietnam dan Malaysia memiliki kasus tripanosomiasis pada manusia.
Kelembaban udara di Indonesia tinggi sehingga memicu kecepatan
perkembangbiakan vektor dan reservoir tripanosoma. Vektor tripanosoma adalah
kutu dan lalat, reservoir penyakit adalah tikus yang berjumlah banyak di
Indonesia. Tripanosoma pada manusia terjadi pada tahun 2014 di Indonesia
(artikel belum terpublikasi). Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji Trypanosoma
sebagai agen penyakit yang berpeluang menimbulkan penyakit parasit zoonosis
emerging. Metode tulisan ini berupa kajian dari literaturliteratur yang ada di
Google scholar dan Pubmed, dengan pencarian menggunakan kata kunci:
Trypanosoma pada manusia, emerging parasit, Asia Tenggara. Berdasarkan hasil
dari penelusuran literatur, didapatkan data bahwa Indonesia memiliki peluang
terjadinya infeksi Trypanosoma pada manusia karena ternak di Indonesia belum
bebas dari Surra, populasi vektor dan reservoir cukup tinggi dan lingkungan yang
hangat dipicu dengan kepadatan penduduk menjadi faktor risiko terjadinya
penyakit ini. Adanya kedekatan tempat tinggal antara manusia dengan hewan
ternak, dan juga tikus sebagai reservoir juga menjadi faktor risiko tersendiri.
Indonesia berpeluang terjadinya penyakit parasit emerging yang zoonosis yaitu
Trypanosomapada manusia.
2. Plasmodium palcifarum

Subordo haemosporina terdiri dari tiga famili, yaitu Plamodiidae,


Haemoproteidae dan Leucocytozoonidae. Macrogametocyt dan microgametocyst
berkembang secara terpisah. Bentuk zygot adalah motil disebut ookinet,
sedangkan sporozoit berada dalam dinding spora. Protozoa ini adalah
heteroxegenous, dimana merozoit diproduksi di dalam hospes vetebrata dan
sporozoit berkembang dalam hospes invertebrata, dan merupakan suatu protozoa
darah yang klasifikasinya:

Filum : Apicomplexa

Kelas : Sporozoa

Sub kelas : Cocidiidae

Ordo : Eucoccidiidae

Sub ordo : Haemosporidiidae

Famili : Plasmodiidae

Genus : Plasmodium

Spesies : Plasmodium falciparum

A. Morfologi Parasit
Penelitian berikut akan membahas tentang malaria falciparum,
sehingga morfologi yang akan dibahas adalah morfologi dari Plasmodium
falciparum secara mikroskopis yaitu sebagai berikut :

1. Tropozoit muda
Berbentuk cincin, terdapat dua buah kromatin, bentuk marginal, sel
darah merah tidak membesar, tampak sebagian sitoplasma parasit berada
di bagian tepi dari eritrosit ( bentuk accole atau form appliqué). Pada
bentuk tropozoit lanjut mengandung bintik-bintik Maurer (Maurer dots).
2. Skizon
Pigmen menggumpal di tengah, skizon muda berinti < 8 dan skizon tua
berinti 8-24. Jarang ditemukan, biasanya ditemukan dengan tropozoit
dewasa yang berjumlah banyak. Bentuknya kecil sitoplasma pucat, pigmen
berwarna gelap. Pada skizon dewasa terdapat merozoit yang berjumlah 20.

3. Makrogametosit
Berbentuk pisang langsing, inti padat di tengah, pigmen mengelilingi inti,
sitoplasma biru kelabu.
Parasit malaria mempunyai predileksi untuk sel darah merah
tertentu. Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale mempunyai afinitas
terhadap retikulosit, Plasmodium falciparum tidak pandang umur sel, dan
Plasmodium malariae mengutamakan sel-sel tua.

B. Siklus Hidup
Siklus hidup Plasmodium terdiri dari 2, yaitu siklus sporogoni
(siklus seksual) yang terjadi pada nyamuk dan siklus skizogoni (siklus
aseksual) yang terdapat pada manusia. Siklus ini dimulai dari siklus
sporogoni yaitu ketika nyamuk mengisap darah manusia yang terinfeksi
malaria yang mengandung plasmodium pada stadium gametosit. Setelah
itu gametosit akan membelah menjadi mikrogametosit (jantan) dan
makrogametosit (betina). Keduanya mengadakan fertilisasi menghasilkan
ookinet. Ookinet masuk ke lambung nyamuk membentuk ookista. Ookista
ini akan membentuk ribuan sprozoit yang nantinya akan pecah dan
sprozoit keluar dari ookista. Sporozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh
nyamuk, salah satunya di kelenjar ludah nyamuk. Dengan ini siklus
sporogoni telah selesai.
Siklus skizogoni terdiri dari 2 siklus, yaitu siklus eksoeritrositik
dan siklus eritrositik. Dimulai ketika nyamuk menggigit manusia sehat.
Sporozoit akan masuk kedalam tubuh manusia melewati luka tusuk
nyamuk. Sporozoit akan mengikuti aliran darah menuju ke hati, sehingga
menginfeksi sel hati dan akan matang menjadi skizon. Siklus ini disebut
siklus eksoeritrositik. Pada Plasmodium falciparum dan Plasmodium
malariae hanya mempunyai satu siklus eksoeritrositik, sedangkan
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale mempunyai bentuk hipnozoit
(fase dormant) sehingga siklus eksoeritrositik dapat berulang. Selanjutnya,
skizon akan pecah (4) mengeluarkan merozoit yang akan masuk ke aliran
darah sehingga menginfeksi eritrosit dan di mulailah siklus eritrositik.
Merozoit tersebut akan berubah morfologi menjadi tropozoit belum
matang lalu matang dan membentuk skizon lagi yang pecah dan menjadi
merozoit lagi. Diantara bentuk tropozoit tersebut ada yang menjadi
gametosit dan gametosit inilah yang nantinya akan dihisap lagi oleh
nyamuk. Begitu seterusnya akan berulang-ulang terus. Gametosit tidak
menjadi penyebab terjadinya gangguan klinik pada penderita malaria,
sehingga penderita dapat menjadi sumber penularan malaria tanpa
diketahui (karier malaria).
C. Patofisiologi

D. Gejala Klinik
Biasanya sebelum timbul demam, penderita malaria akan mengeluh
lesu, sakit kepala, nyeri pada tulang dan otot, kurang napsu makan, rasa tidak
enak pada perut, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin dipunggung.
Umumnya keluhan seperti ini timbul pada malaria yang disebabkan oleh
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale sedangkan pada malaria yang
disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae,
keluhankeluhan tersebut tidak jelas. Serangan demam yang khas pada malaria
terdiri dari tiga stadium, yaitu :

1. Stadium dingin
Stadium tersebut mulai dengan menggigil dan perasaan yang
sangat dingin. Penderita biasanya menutupi tubuhnya dengan segala
macam pakain dan selimut yang tersedia. Nadi cepat tetapi lemah, bibir
dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, penderita mungkin
muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium tersebut
berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
2. Stadium demam
Stadium tersebut penderita merasa kepanasan, muka merah, kulit
kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala, mual serta
muntah. Nadi menjadi kuat, sangat haus dan suhu badan dapat meningkat
sampai 41°C. Stadium tersebut berlangsung antara 2-12 jam, demam
disebabkan karena pecahnya skizon darah yang telah matang dan
masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah.
3. Stadium berkeringat
Stadium tersebut penderita berkeringat banyak sekali, sehingga
tempat tidurnya basah, kemudian suhu badan menurun dengan cepat,
kadang sampai dibawah normal. Penderita dapat tidur dengan nyenyak,
badan terasa lemas setalah bangun. Stadium ini berlangsung 2-4 jam.
Gejala tersebut tidak selalu ditemukan pada setiap penderita, dan ini
tergantung pada spesies parasit, umur dan tingkat imunitas penderita
(Sucipto, 2015).

Gejala yang biasanya muncul pada malaria falciparum ringan


samadengan malaria lainnya, seperti demam, sakit kepala, kelemahan,
nyeritulang, anoreksia, perut tidak enak.

1. Malaria Berat
Menurut WHO, malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh
infeksi Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax aseksual
dengan satu atau lebih komplikasi, akan tetapi Plasmodium vivax
jarang ditemukan pada kasus ini. sebagai berikut :
 Malaria cerebral
Terjadi akibat adanya kelainan otak yang menyebabkan
terjadinyagejala penurunan kesadaran sampai koma, GCS
(Glasgow ComaScale) < 11, atau lebih dari 30 menit setelah
serangan kejang yangtidak disebabkan oleh penyakit lain.
 Anemia Berat
Hb < 5 gr% atau hematokrit < 15% pada hitung parasit >
10.000/µL,bila anemianya hipokromik/mikrositik dengan
mengenyampingkanadanya anemia defisiensi
besi,talasemia/hemoglobinopati lainnya.
 Gagal ginjal akut
Urin < 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau < 12 ml/kgBB
padaanak setelah dilakukan rehidrasi, dan kreatinin > 3 mg%.
 Edema paru / ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)
 Hipoglikemi (gula darah < 40 mg%).
 Syok
 Tekanan sistolik < 70 mmHg disertai keringat dingin atau
perbedaantemperatur kulit-mukosa > 10C.
 Perdarahan spontan dari hidung, gusi, traktus digestivus atau
disertaikelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi
intravaskuler.
 Kejang berulang lebih dari 2x24 jam setelah pendinginan pada
hipertemia.
 Asidemia (pH < 7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat < 15
mmol/L).
 Makroskopik hemoglobinuri (blackwater fever) oleh karena
infeksipada malaria akut (bukan karena obat anti malaria).
E. Diagnosis
Diagnosa berdasarkan pemeriksaan laboratorium, awalnya hanya
berdasarkan pemeriksaan sediaan darah tepi yang telah diwarnai dan diperiksa
dibawah mikroskop. Tujuannya untuk mengetahui keberadaan parasit
Plasmodium sp, menentukan spesiesnya serta menghitung kepadatannya.tapi
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pemeriksaan
laboratorium bukan hanya berdasarkan pemeriksaan mikroskopis, tapi lebih
jauh dilakukan dengan pemeriksaan keberadaan antibodi anti parasit
Plasmodium sp. yang berdasarkan deteksi enzyme-linked immunosorbent
assays (ELISA) melalui pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) juga
pemeriksaan keberadaan DNA parasitnya. Bahkan sekarang ini sudah bisa
dilakukan pemeriksaan secara cepat menggunakan rapid diagnostic test (RDT)
untuk mendeteksi keberadaan antibodi anti parasit Plasmodium sp. yang bisa
dilakukan secara cepat. Dari beberapa jenis pemeriksaan laboratorium, yang
dianggap paling baik sehingga dijadikan sebagai goal standard pemeriksaan
laboratorium malaria adalah pemeriksaan secara mikroskopis. Karena
pemeriksaan berdasarkan mikroskopis mempunyai kelebihan yaitu bisa
menentukan dengan tepat spesies serta stadium parasit Plasmodium sp.
termasuk kepadatannya. Beberapa pemeriksaan untuk mendiagnosa malaria
sebagai berikut :

1. Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis dengan darah tebal dan tipis merupakan
pemeriksaan yang terpenting. Interpretasi pemeriksaan mikroskopis yang
terbaik adalah berdasarkan hitung kepadatan parasit dan identifikasi
parasit yang tepat. Pemeriksaan mikroskopis satu kali yang memberi hasil
negatif tidak menyingkirkan diagnosa demam malaria dan untuk itu
diperlukan pemeriksaan serial dengan interval pemeriksaan diantara satu
hari. Dalam hal ini waktu pengambilan sampel darah sebaiknya pada akhir
periode demam memasuki periode berkeringat (Sucipto, 2015).
Periode ini tropozoit dalam sirkulasi mencapai jumlah maksimal
dan cukup bagus sehingga memudahkan identifikasi spesies parasit.
Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan dengan menggunakan sediaan
darah tebal dan tipis. Pemeriksaan mikroskopis merupakan standart baku
dan apabila dilakukan dengan cara yang benar mempunyai nilai
sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% (Sucipto, 2015).
2. RDT (Rapid Diagnostic Test)
Rapid diagnostic test (RDT) merupakan alat yang mendeteksi
antigen malaria pada sampel darah yang sedikit dengan tes
imunokromatografi. Tes imunokromatografi berdasarkan pada
penangkapan antigen parasit dari darah perifer menggunakan antibodi
monoklonal atau poliklonal terhadap antigen parasit. Untuk setiap antigen
parasit digunakan 2 set antibodi monoklonal atau poliklonal, satu sebagai
antibodi penangkap, dan satu sebagai antibodi deteksi. Antibodi
monoklonal bersifat lebih spesifik tapi kurang sensitif bila dibandingkan
dengan antibodi poliklonal (Lasena et al., 2016)
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode yang berdasrkan deteksi asam nukleat dapat dubagi dalam
2 golongan, yaitu hibridisasi DNA atau RNA berlabel yang sensitifitasnya
dapat ditingkatkan dengan PCR. Beberapa pelacak DNA dan RNA yang
spesifik telah dikembangkan untuk mengidentifikasi keempat spesies
plasmodium terutama untuk Plasmodium falciparum dan ternyata tes ini
sangat spesifik (mendeteksi 100%) dan sensitif (lebih dari 90%), dapat
mendeteksi 2 parasit. Pengunaan pelacak tanpa label radioaktif walaupun
kurang sensitif dibandingkan dengan yang radioaktif tetapi lebih panjang
serta lebih mudah disimpan dan diolah. Cara ini belum lama
dikembangkan dan diharapkan dapat menjadi cara yang cukup spesifik dan
sensitif untuk mendiagnosa malaria. Penggunaan baha radioaktif dalam
pemeriksaannya membuat cara ini tidak digunakan dalam pemeriksaan
rutin (Sucipto, 2015).
4. Mikroskop Fluoresensi
Sensitivitas diagnosis malaria pada sediaan darah dapat
ditingkatkan dengan menggunakan zat fluoresensi yang dapat berikatan
dengan parasit. Asam nukleat dalam inti parasit akan berikatan dengan zat
tersebut dan berfluoresensi jika disinari dengan sinar UV yang mempunyai
panjang gelombang tertentu. Mula mula digunakan acridine orange (AO)
dan benzothio carboxypurine (BCP). Keduanya dieksitasi pada panjang
gelombang 490 nm dan akan berfluoresensi dengan warna kehijauan atau
kekuningan (Harijanto, 2009).
Acridine Orange dapat digunakan langsung pada sediaan darah di
kaca objek atau dengan menggunakan capillary tubes, yang bagian
dalamnya dilapisi dengan zat warna acridine orange. Pada waktu
sentrifugasi, capillary tubes yang berisi darah pasien dan terdiri dari
berbagai sel, yaitu leukosit, trombosit, dan eritrosit akan berpisah. Parasit
malaria akan terkonsentrasi di bawah berbagai lapisan sel, terutama di
bagian atas lapisan eritrosit dan kadang kadang ditemukan dalam lapisan
trombosit dan leukosit. parasit dapat dilihat dengan menggunakan
mikroskop fluoresensi (Harijanto, 2009).
5. Hemozoin
Deteksi pigmen malaria, yaitu hemozoin merupakan salah satu cara
otomatis yang dikembangkan dengan menggunakan alat FBC ( Full Blood
Count) analyzer dengan nama CellDyn 3500 atau CellDyn 4000.alat ini
sebenarnya digunakan untuk melakukan analisis hematologi secara rutin
seperti melakukan hitung jenis leukosit, eritrosit, dan hitung trombosit.
Prinsip kerja sama dengan flow cytometry, yaitu dengan mengukur jumlah
sinar laser yang dipantulkan suatu sel dari berbagai sudut. Pantulan sinar
depolarisasi pada 90˚ memungkinkan identifikasi dan hitung eosinofil
karena sel ini dapat mendepolarisasikan sinar melalui granula dalam
sitoplasmanya. Leukosit penderita malaria mempunyai kemampuan untuk
melakukan fagositosis pigmen hemozoin yang dihasilkan parasit dengan
memetabolisme heme dari hemoglobin. Pigmen ini dapat ditemukan pada
berbagai spesies plasmodium dan berbagai stadium (Harijanto, 2009).
F. Epidemiologi
Malaria termasuk penyakit kosmopolit yang tersebar sangat luas di
seluruh dunia, baik di daerah tropis, subtropics maupun daerah beriklim
dingin. Malaria ditemukan pada 64o LU (Archangel di Rusia) sampai 32o LS
(Cordoba di Argentina), dari daerah ketinggian 2666 m sampai daerah 433 m
dibawah permukaan air laut (Laut Mati). Diantara garis lintang dan bujur,
terdapat daerah yang bebas malaria, yaitu Pasifik Tengah dan Selatan (Hawaii,
Selandia Baru). Keadaan ini dikarenakan tidak ada vektor di tempat bebas
malaria tersebut, sehingga siklus hidup parasit tidak dapat berlangsung. Suatu
daerah dikatakan endemis malaria jika secara konstan angka kejadian malaria
dapat diketahui serta penularan secara alami berlangsung sepanjang tahun.
Peningkatan perjalanan udara internasional dan resistensi terhadap obat
antimalaria dapat meningkatkan kasus malaria impor pada turis, pelancong
dan imigran.

Menurut WHO (1963), malaria di suatu daerah ditemukan dari


beberapa kasus, kasus autokhton yaitu kasus malaria pada suatu daerah yang
terbatas. Kasus indigen, yaitu kasus malaria yang secara alami terdapat pada
suatu daerah. Kasus impor, yaitu didapatnya kasus malaria di luar daerah yang
biasa dan masuk dari luar daerah. Kasus introdus, kasus malaria yang terbukti
terbatas pada suatu daerah dan diperoleh dari malaria impor. Kasus sporadik,
yaitu merupakan kasus autokhton yang terbatas pada sedikit daerah tapi
tersebar. Kasus Indus, didapatnya infeksi secara parenteral misalnya, melalui
jarum suntik dan transfusi darah.
DAFTAR PUSTAKA

Novita, Risqa, 2019. Kajian Potensi Tripanosomiasis sebagai Penyakit Zoonosis


Emerging di Indonesia. Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 13 No. 1, 2019 : 21 -
32
Eki C Diana., Zulaikha Rizqina R., Nabela Karima P., dan Yudha Nurdian. 2018.
Miositis Akibat Infestasi oleh Trypanosoma sp. Fakultas Kedokteran,
Universitas Jember, Indonesia

Hakim, L. 2011. Malaria : Epidemiologi dan Diagnosis. Aspirator, Vol. 3 No. 2.


107-116.

Harijanto, P. N. 2009. Malaria: Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan


Penanganan. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
EGC: Jakarta.

Lasena N. M., Pijoh V. D., Bernadus J. B., 2016. Perbandingan deteksi


plasmodium spp. dengan cara pemeriksaan rapid diagnostic test dan
pemeriksaan mikroskopik. Jurnal e-Biomedik (eBm), Vol. 4, No. 2. 1-3.

Sucipto, C. D. 2015. Manual Lengkap Malaria. Penerbit : Gosyen Publishing,


Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai