OLEH :
(P07134018064)
SEMESTER IV B
TAHUN 2020
1. Tripanosoma
Trypanosoma adalah protozoa berflagel yang bersifat parasit didalam darah atau
jaringan berbagai jenis vertebrata, bentuknya panjang bergelombang, kedua
ujungnya lancip dan menulari manusia melalui gigitan lalat pengisap darah atau
melalui feses arthropoda. Infeksi karena Trypanosoma disebut trypanosomiasis.
Dalam siklus hidupnya, Trypanosoma memiliki dua bentuk, yaitu berflagela pada
fase ekstrakuler dan tidak berflagel pada fase intraseluler. Sebagian dari siklus
hidupnya melekat di sel lambung atau menghisap darah manusia. Hospes
perantara Trypanosoma adalah hewan-hewan penghisap darah.
Filum : Sarcomastigophora
Subfilum : Mastigophora
Kelas : Zoomastigophora
Ordo : Kinetoplastorida
Subordo : Trypanosomarina
Famili : Trypanosomatidae
Genus : Trypanosoma
Spesies :
- Trypanosoma brucei
- Trypanosoma evansi
- Trypanosoma equiperdum
- Trypanosoma lewisi
- Trypanosomacruzi
A. Morfologi
B. Siklus Hidup
Siklus hidup protozoa famili Trypanosomatidae dapat dilihat pada gambar
di atas. Dari mulai belum tumbuh flagella, hingga memiliki flagella bebas yang
panjang dan membran undulata di sepanjang tubuhnya. Berikut adalah fase
pertumbuhannya :
1. Amastigote
Stadium amastigote disebut juga dengan stadium Leismanial. Bentuknya
bulat dan belum memiliki flagella bebas (free flagellum). Karena flagella
internanya mengalami degenarasi menjadi benang fibril yang tipis dan
kecil.
2. Paramastigote
Stadium paramastigote berbentuk lonjong namun masih melingkar
sehingga tampak bentukan bulat saja. Dengan inti sel yang sudah
berpindah ke bagian posterior tubuh dan flagella anterior yang mulai
memanjang.
3. Promastigote
Pada stadium promastigote atau leptomonad, protozoa sudah berbentuk
lonjong dengan flagella anterior panjang yang keluar dari kinetoplast
sebagai flagella bebas (free flagellum). Namun pada fase ini, protozoa
belum memiliki undulating membrane.
4. Epimastigote
Stadium epimastigote disebut juga dengan stadium chritidial. Pada
stadium ini, protozoa berbentuk memanjang dengan undulating membrane
yang pendek dan flagella bebas yang memanjang.
5. Trypomastigote
Stadium trypomastigote atau trypanosome berbentuk memanjang seperti
pada fase epimastigote, akan tetapi undulating membrane telah tumbuh
sepanjang tubuh protozoa.
C. Patologis
Trypanosoma adalah parasit protozoa yang memiliki lagella. Trypanosoma
merupakan parasit darah yang hidup di sel darah merah. Pada umumnya manusia
memiliki kekebalan alamiah terhadap infeksi. Trypanosoma, sehingga infeksi
Trypanosoma tidak bersifat patogen pada manusia dan umumnya tidak
menimbulkan gejala klinis. Infeksi Trypanosoma yang tidak patogen ke manusia
biasanya disebabkan oleh spesies, T. brucei, T. vivax, T. congolense, T. evansi
dan T. lewisi (Novita, 2019).
Seiring dengan adanya dampak perubahan iklim menyebabkan perubahan
tingkah laku vektor dan agen penyakit trypanosoma. Infeksi Trypanosoma yang
awalnya tidak patogen ke manusia menjadi patogen. Beberapa penelitian terkait
menemukan bahwa infeksi oleh T. evansi dan T. lewisi bersifat patogen ke
manusia bahkan dapat menyebabkan kematian. Trypanosoma pada manusia
endemis di Afrika dan Amerika Selatan. Penyakit tripanosoma di Afrika dikenal
dengan nama Human African Trypanosomiasis atau penyakit tidur yang
disebabkan oleh T. brucei gambiense yang bersifat kronis dan T. rhodesiense yang
bersifat akut. Penyakit tripanosoma di manusia di Amerika Selatan dikenal
dengan Changas yang disebabkan oleh T. cruzi. Spesies Trypanosoma lainnya
yang bersifat zoonosis disebabkan oleh T. evansi dan T. lewisi. Kejadian T. evansi
terdapat di India pada seorang peternak berumur 45 19,20 tahun pada tahun 2004.
Kasus T. lewisi berbeda dengan spesies Trypanosoma lainnya yang memiliki
induk semang hewan ternak. Induk semang T. lewisi adalah tikus dan juga
membutuhkan kutu tikus atau lalat sebagai vektor penyakit (Novita, 2019).
Trypanosoma evansi pada awalnya tidak terdeteksi sebagai agen penyakit
zoonosis karena manusia memiliki faktor tripanolitik yang terdapat pada serum
darah normal yang dapat melisiskan T. evansi (Desquesnes et al. 2013). Namun,
dengan munculnya kasus Surra pada manusia di beberapa negara mematahkan
hipotesis tersebut dan diketahui telah terjadi resistensi T. evansiterhadap faktor
tripanolitik tersebut, mampu menginfeksi manusia. Selain memiliki perubahan
sifat yaitu menjadi resisten terhadap faktor tripanolitik. Trypanosoma evansi
memiliki daerah geograis yang cukup luas, menyebar dari Afrika hingga ke benua
Asia Tenggara. Parasit yang memiliki penyebaran daerah geograis yang makin
luas dan mengalami perubahan inang spesiik serta peka terhadap terjadinya
resistensi obat akan menjadi faktor pemicu timbulnya zoonosis baru yang
mengancam kesehatan manusia. Keadaan ini sudah diwakilkan oleh
Trypanosoma sp. (Novita, 2019).
Manusia akan terinfestasi bila bentuk tripomastigot metasiklik yang dikeluarkan
bersama tinja serangga, ketika serangga tersebut menghisap darah, masuk melalui
luka bekas gigitan atau luka bekas garukan yang disebabkan oleh rasa gatal akibat
reaksi alergi dari air liur serangga tersebut. Setelah masuk, bentuk metasiklik akan
melakukan invasi ke jaringan sekitarnya dan mulai memperbanyak diri di dalam
sel. Pada manusia, T. cruzi dapat di temukan dalam dua bentuk, yaitu bentuk
amastigot dan tripomastigot. Bentuk tripomastigot tidak membelah dalam darah,
tetapi terbawa keseluruh bagian tubuh. Bentuk tripomastigot metasiklik yang
menginfestasi hospes, secara aktif masuk atau ditelan oleh histiosit dan
menyerang sel lemak serta sel otot disekitar tempat inokulasi. Pada manusia,
parasit kehilangan flagela dan bertransformasi menjadi bentuk amastigot, yang
dapat memasuki otot dan berkembang biak, menimbulkan miositis.
D. Gejala Klinis
Manifestasi yang muncul pada stadium akut penyakit ini dapat ditandai
dengan demam, limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Di lokasi gigitan
serangga, peradangan lokal (melibatkan jaringan dan otot subkutan)
menghasilkan pembengkakan yang dikenal sebagai chagoma. Selama tahap
parasitemia akut, infestasi akut miokard dapat terjadi, menyebabkan miokarditis
berat dan gangguan konduksi jantung. Manifestasi klinis pada tahap awal miositis
termasuk kelemahan otot, nyeri tekan, dan eritema seperti klinis dari polymiositis
dan dermatomiositis. Otot rangka mungkin terlibat dalam tahap kronis juga dan
dapat berlangsung selama beberapa dekade.
E. Diagnosis
F. Epidemiologi
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoa
Ordo : Eucoccidiidae
Famili : Plasmodiidae
Genus : Plasmodium
A. Morfologi Parasit
Penelitian berikut akan membahas tentang malaria falciparum,
sehingga morfologi yang akan dibahas adalah morfologi dari Plasmodium
falciparum secara mikroskopis yaitu sebagai berikut :
1. Tropozoit muda
Berbentuk cincin, terdapat dua buah kromatin, bentuk marginal, sel
darah merah tidak membesar, tampak sebagian sitoplasma parasit berada
di bagian tepi dari eritrosit ( bentuk accole atau form appliqué). Pada
bentuk tropozoit lanjut mengandung bintik-bintik Maurer (Maurer dots).
2. Skizon
Pigmen menggumpal di tengah, skizon muda berinti < 8 dan skizon tua
berinti 8-24. Jarang ditemukan, biasanya ditemukan dengan tropozoit
dewasa yang berjumlah banyak. Bentuknya kecil sitoplasma pucat, pigmen
berwarna gelap. Pada skizon dewasa terdapat merozoit yang berjumlah 20.
3. Makrogametosit
Berbentuk pisang langsing, inti padat di tengah, pigmen mengelilingi inti,
sitoplasma biru kelabu.
Parasit malaria mempunyai predileksi untuk sel darah merah
tertentu. Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale mempunyai afinitas
terhadap retikulosit, Plasmodium falciparum tidak pandang umur sel, dan
Plasmodium malariae mengutamakan sel-sel tua.
B. Siklus Hidup
Siklus hidup Plasmodium terdiri dari 2, yaitu siklus sporogoni
(siklus seksual) yang terjadi pada nyamuk dan siklus skizogoni (siklus
aseksual) yang terdapat pada manusia. Siklus ini dimulai dari siklus
sporogoni yaitu ketika nyamuk mengisap darah manusia yang terinfeksi
malaria yang mengandung plasmodium pada stadium gametosit. Setelah
itu gametosit akan membelah menjadi mikrogametosit (jantan) dan
makrogametosit (betina). Keduanya mengadakan fertilisasi menghasilkan
ookinet. Ookinet masuk ke lambung nyamuk membentuk ookista. Ookista
ini akan membentuk ribuan sprozoit yang nantinya akan pecah dan
sprozoit keluar dari ookista. Sporozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh
nyamuk, salah satunya di kelenjar ludah nyamuk. Dengan ini siklus
sporogoni telah selesai.
Siklus skizogoni terdiri dari 2 siklus, yaitu siklus eksoeritrositik
dan siklus eritrositik. Dimulai ketika nyamuk menggigit manusia sehat.
Sporozoit akan masuk kedalam tubuh manusia melewati luka tusuk
nyamuk. Sporozoit akan mengikuti aliran darah menuju ke hati, sehingga
menginfeksi sel hati dan akan matang menjadi skizon. Siklus ini disebut
siklus eksoeritrositik. Pada Plasmodium falciparum dan Plasmodium
malariae hanya mempunyai satu siklus eksoeritrositik, sedangkan
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale mempunyai bentuk hipnozoit
(fase dormant) sehingga siklus eksoeritrositik dapat berulang. Selanjutnya,
skizon akan pecah (4) mengeluarkan merozoit yang akan masuk ke aliran
darah sehingga menginfeksi eritrosit dan di mulailah siklus eritrositik.
Merozoit tersebut akan berubah morfologi menjadi tropozoit belum
matang lalu matang dan membentuk skizon lagi yang pecah dan menjadi
merozoit lagi. Diantara bentuk tropozoit tersebut ada yang menjadi
gametosit dan gametosit inilah yang nantinya akan dihisap lagi oleh
nyamuk. Begitu seterusnya akan berulang-ulang terus. Gametosit tidak
menjadi penyebab terjadinya gangguan klinik pada penderita malaria,
sehingga penderita dapat menjadi sumber penularan malaria tanpa
diketahui (karier malaria).
C. Patofisiologi
D. Gejala Klinik
Biasanya sebelum timbul demam, penderita malaria akan mengeluh
lesu, sakit kepala, nyeri pada tulang dan otot, kurang napsu makan, rasa tidak
enak pada perut, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin dipunggung.
Umumnya keluhan seperti ini timbul pada malaria yang disebabkan oleh
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale sedangkan pada malaria yang
disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae,
keluhankeluhan tersebut tidak jelas. Serangan demam yang khas pada malaria
terdiri dari tiga stadium, yaitu :
1. Stadium dingin
Stadium tersebut mulai dengan menggigil dan perasaan yang
sangat dingin. Penderita biasanya menutupi tubuhnya dengan segala
macam pakain dan selimut yang tersedia. Nadi cepat tetapi lemah, bibir
dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, penderita mungkin
muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium tersebut
berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
2. Stadium demam
Stadium tersebut penderita merasa kepanasan, muka merah, kulit
kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala, mual serta
muntah. Nadi menjadi kuat, sangat haus dan suhu badan dapat meningkat
sampai 41°C. Stadium tersebut berlangsung antara 2-12 jam, demam
disebabkan karena pecahnya skizon darah yang telah matang dan
masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah.
3. Stadium berkeringat
Stadium tersebut penderita berkeringat banyak sekali, sehingga
tempat tidurnya basah, kemudian suhu badan menurun dengan cepat,
kadang sampai dibawah normal. Penderita dapat tidur dengan nyenyak,
badan terasa lemas setalah bangun. Stadium ini berlangsung 2-4 jam.
Gejala tersebut tidak selalu ditemukan pada setiap penderita, dan ini
tergantung pada spesies parasit, umur dan tingkat imunitas penderita
(Sucipto, 2015).
1. Malaria Berat
Menurut WHO, malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh
infeksi Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax aseksual
dengan satu atau lebih komplikasi, akan tetapi Plasmodium vivax
jarang ditemukan pada kasus ini. sebagai berikut :
Malaria cerebral
Terjadi akibat adanya kelainan otak yang menyebabkan
terjadinyagejala penurunan kesadaran sampai koma, GCS
(Glasgow ComaScale) < 11, atau lebih dari 30 menit setelah
serangan kejang yangtidak disebabkan oleh penyakit lain.
Anemia Berat
Hb < 5 gr% atau hematokrit < 15% pada hitung parasit >
10.000/µL,bila anemianya hipokromik/mikrositik dengan
mengenyampingkanadanya anemia defisiensi
besi,talasemia/hemoglobinopati lainnya.
Gagal ginjal akut
Urin < 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau < 12 ml/kgBB
padaanak setelah dilakukan rehidrasi, dan kreatinin > 3 mg%.
Edema paru / ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)
Hipoglikemi (gula darah < 40 mg%).
Syok
Tekanan sistolik < 70 mmHg disertai keringat dingin atau
perbedaantemperatur kulit-mukosa > 10C.
Perdarahan spontan dari hidung, gusi, traktus digestivus atau
disertaikelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi
intravaskuler.
Kejang berulang lebih dari 2x24 jam setelah pendinginan pada
hipertemia.
Asidemia (pH < 7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat < 15
mmol/L).
Makroskopik hemoglobinuri (blackwater fever) oleh karena
infeksipada malaria akut (bukan karena obat anti malaria).
E. Diagnosis
Diagnosa berdasarkan pemeriksaan laboratorium, awalnya hanya
berdasarkan pemeriksaan sediaan darah tepi yang telah diwarnai dan diperiksa
dibawah mikroskop. Tujuannya untuk mengetahui keberadaan parasit
Plasmodium sp, menentukan spesiesnya serta menghitung kepadatannya.tapi
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pemeriksaan
laboratorium bukan hanya berdasarkan pemeriksaan mikroskopis, tapi lebih
jauh dilakukan dengan pemeriksaan keberadaan antibodi anti parasit
Plasmodium sp. yang berdasarkan deteksi enzyme-linked immunosorbent
assays (ELISA) melalui pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) juga
pemeriksaan keberadaan DNA parasitnya. Bahkan sekarang ini sudah bisa
dilakukan pemeriksaan secara cepat menggunakan rapid diagnostic test (RDT)
untuk mendeteksi keberadaan antibodi anti parasit Plasmodium sp. yang bisa
dilakukan secara cepat. Dari beberapa jenis pemeriksaan laboratorium, yang
dianggap paling baik sehingga dijadikan sebagai goal standard pemeriksaan
laboratorium malaria adalah pemeriksaan secara mikroskopis. Karena
pemeriksaan berdasarkan mikroskopis mempunyai kelebihan yaitu bisa
menentukan dengan tepat spesies serta stadium parasit Plasmodium sp.
termasuk kepadatannya. Beberapa pemeriksaan untuk mendiagnosa malaria
sebagai berikut :
1. Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis dengan darah tebal dan tipis merupakan
pemeriksaan yang terpenting. Interpretasi pemeriksaan mikroskopis yang
terbaik adalah berdasarkan hitung kepadatan parasit dan identifikasi
parasit yang tepat. Pemeriksaan mikroskopis satu kali yang memberi hasil
negatif tidak menyingkirkan diagnosa demam malaria dan untuk itu
diperlukan pemeriksaan serial dengan interval pemeriksaan diantara satu
hari. Dalam hal ini waktu pengambilan sampel darah sebaiknya pada akhir
periode demam memasuki periode berkeringat (Sucipto, 2015).
Periode ini tropozoit dalam sirkulasi mencapai jumlah maksimal
dan cukup bagus sehingga memudahkan identifikasi spesies parasit.
Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan dengan menggunakan sediaan
darah tebal dan tipis. Pemeriksaan mikroskopis merupakan standart baku
dan apabila dilakukan dengan cara yang benar mempunyai nilai
sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% (Sucipto, 2015).
2. RDT (Rapid Diagnostic Test)
Rapid diagnostic test (RDT) merupakan alat yang mendeteksi
antigen malaria pada sampel darah yang sedikit dengan tes
imunokromatografi. Tes imunokromatografi berdasarkan pada
penangkapan antigen parasit dari darah perifer menggunakan antibodi
monoklonal atau poliklonal terhadap antigen parasit. Untuk setiap antigen
parasit digunakan 2 set antibodi monoklonal atau poliklonal, satu sebagai
antibodi penangkap, dan satu sebagai antibodi deteksi. Antibodi
monoklonal bersifat lebih spesifik tapi kurang sensitif bila dibandingkan
dengan antibodi poliklonal (Lasena et al., 2016)
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode yang berdasrkan deteksi asam nukleat dapat dubagi dalam
2 golongan, yaitu hibridisasi DNA atau RNA berlabel yang sensitifitasnya
dapat ditingkatkan dengan PCR. Beberapa pelacak DNA dan RNA yang
spesifik telah dikembangkan untuk mengidentifikasi keempat spesies
plasmodium terutama untuk Plasmodium falciparum dan ternyata tes ini
sangat spesifik (mendeteksi 100%) dan sensitif (lebih dari 90%), dapat
mendeteksi 2 parasit. Pengunaan pelacak tanpa label radioaktif walaupun
kurang sensitif dibandingkan dengan yang radioaktif tetapi lebih panjang
serta lebih mudah disimpan dan diolah. Cara ini belum lama
dikembangkan dan diharapkan dapat menjadi cara yang cukup spesifik dan
sensitif untuk mendiagnosa malaria. Penggunaan baha radioaktif dalam
pemeriksaannya membuat cara ini tidak digunakan dalam pemeriksaan
rutin (Sucipto, 2015).
4. Mikroskop Fluoresensi
Sensitivitas diagnosis malaria pada sediaan darah dapat
ditingkatkan dengan menggunakan zat fluoresensi yang dapat berikatan
dengan parasit. Asam nukleat dalam inti parasit akan berikatan dengan zat
tersebut dan berfluoresensi jika disinari dengan sinar UV yang mempunyai
panjang gelombang tertentu. Mula mula digunakan acridine orange (AO)
dan benzothio carboxypurine (BCP). Keduanya dieksitasi pada panjang
gelombang 490 nm dan akan berfluoresensi dengan warna kehijauan atau
kekuningan (Harijanto, 2009).
Acridine Orange dapat digunakan langsung pada sediaan darah di
kaca objek atau dengan menggunakan capillary tubes, yang bagian
dalamnya dilapisi dengan zat warna acridine orange. Pada waktu
sentrifugasi, capillary tubes yang berisi darah pasien dan terdiri dari
berbagai sel, yaitu leukosit, trombosit, dan eritrosit akan berpisah. Parasit
malaria akan terkonsentrasi di bawah berbagai lapisan sel, terutama di
bagian atas lapisan eritrosit dan kadang kadang ditemukan dalam lapisan
trombosit dan leukosit. parasit dapat dilihat dengan menggunakan
mikroskop fluoresensi (Harijanto, 2009).
5. Hemozoin
Deteksi pigmen malaria, yaitu hemozoin merupakan salah satu cara
otomatis yang dikembangkan dengan menggunakan alat FBC ( Full Blood
Count) analyzer dengan nama CellDyn 3500 atau CellDyn 4000.alat ini
sebenarnya digunakan untuk melakukan analisis hematologi secara rutin
seperti melakukan hitung jenis leukosit, eritrosit, dan hitung trombosit.
Prinsip kerja sama dengan flow cytometry, yaitu dengan mengukur jumlah
sinar laser yang dipantulkan suatu sel dari berbagai sudut. Pantulan sinar
depolarisasi pada 90˚ memungkinkan identifikasi dan hitung eosinofil
karena sel ini dapat mendepolarisasikan sinar melalui granula dalam
sitoplasmanya. Leukosit penderita malaria mempunyai kemampuan untuk
melakukan fagositosis pigmen hemozoin yang dihasilkan parasit dengan
memetabolisme heme dari hemoglobin. Pigmen ini dapat ditemukan pada
berbagai spesies plasmodium dan berbagai stadium (Harijanto, 2009).
F. Epidemiologi
Malaria termasuk penyakit kosmopolit yang tersebar sangat luas di
seluruh dunia, baik di daerah tropis, subtropics maupun daerah beriklim
dingin. Malaria ditemukan pada 64o LU (Archangel di Rusia) sampai 32o LS
(Cordoba di Argentina), dari daerah ketinggian 2666 m sampai daerah 433 m
dibawah permukaan air laut (Laut Mati). Diantara garis lintang dan bujur,
terdapat daerah yang bebas malaria, yaitu Pasifik Tengah dan Selatan (Hawaii,
Selandia Baru). Keadaan ini dikarenakan tidak ada vektor di tempat bebas
malaria tersebut, sehingga siklus hidup parasit tidak dapat berlangsung. Suatu
daerah dikatakan endemis malaria jika secara konstan angka kejadian malaria
dapat diketahui serta penularan secara alami berlangsung sepanjang tahun.
Peningkatan perjalanan udara internasional dan resistensi terhadap obat
antimalaria dapat meningkatkan kasus malaria impor pada turis, pelancong
dan imigran.