Anda di halaman 1dari 25

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................2
A. DEFINISI......................................................................................................2
B. EPIDEMIOLOGI..........................................................................................2
C. ETIOLOGI....................................................................................................2
D. PATOGENESIS............................................................................................3
E. MANIFESTASI KLINIS..............................................................................5
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG................................................................12
G. DIAGNOSIS BANDING...........................................................................14
H. DIAGNOSIS...............................................................................................17
I. PENATALAKSANAAN............................................................................17
J. PROGNOSIS..............................................................................................18
BAB III..................................................................................................................20
KESIMPULAN......................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Sifilis adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Treponema


pallidum. Dalam perjalanannya penyakit ini dapat menyerang hampir seluruh alat
tubuh, dan dapat menyerupai banyak penyakit. Secara umum Sifilis dibagi
menjadi dua stadium stadium dini dan stadium lanjut. Yaitu masa
inklubasi stadium dini kurang dari dua tahun dan stadium lanjut lebih dari dua
tahun.1

Gejala klinis dari masing-masing stadium Sifilis berbeda-beda, yang paling


umum terjadi adanya papul, pustul, ulkus pada alat kelamin, mulut, kulit, atau
rektum. Kelainan lain yang dapat terjadi yaitu kelainan pada saraf, tulang,
kelenjar getah bening, mukosa, dan rambut.2

Sifilis biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan dapat juga


ditularkan dengan cara lain seperti, transfusi darah atau secara vertikal dari ibu
kepada anak. Perbandingan jumlah kasus Sifilis laki–laki dengan perempuan
antara 4:1 sampai 2:1 dan cenderung menyerang usia produktif antara 20-40
tahun.3
Pada tahun 2009, di Amerika Serikat dilaporkan terjadi kasus Sifilis
sebanyak 44.828 kasus Sifilis stadium primer dan sekunder. Angka insiden
tertinggi ditemukan pada kisaran umur 20–40, dimana pada perempuan umur
20–24 dan pada laki–laki umur 35–39 tahun. sedangkan di Indonesia tidak
didapat angka yang pasti namun diperkirakan angka prevalensinya pada tahun
2004 sebesar 0,0026%.3

1
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Infeksi sistemik yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi
biasanya didapatkan melalui hubungan seksual dengan lesi dan cairan tubuh
yang terinfeksi. Penyakit ini ditularkan melalui hubungan seksual,
transplasenta dari ibu ke janin, transfusi darah, penggunaan jarum suntik
bergantian. Pada perjalanannya bisa menyerang hampir semua alat tubuh,
dapat menyerupai banyak penyakit.3

B. EPIDEMIOLOGI
Pada awal abad ke 20, 10% dari populasi Amerika Serikat dan Eropa
terinfeksi sifilis. pada tahun 2006, angka insidensi sifilis yang terjadi di
Amerika Serikat sebanyak 36.000 kasus termasuk primer dan sekunder.
Insidensi sifilis meningkat pada penduduknya dengan ras Afrika, Amerika dan
Hispanics. Perbandingan kejadian sifilis pada laki-laki dengan perempuan
sebesar 2:1 sampai 4:1. Separuh kejadia sifilis yang terjadi pada laki-laki di
Amerika disebakan karena memiliki kebiasan berhubungan seksual dengan
sesama jenis kelamin (Male Sex Male). Kejadian sifilis meningkat dikarena
meningkatnya kebiasaan bergonta ganti pasangan dalam berhubungan seksual
dan penggunaan jarum suntik yang bersamaan pada orang yang mengonsumsi
obat-obatan terlarang.3

C. ETIOLOGI
Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum, yang merupakan
bakteri motil, prokariotik, berbentuk spiral dan gerakannya berupa rotasi
sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Berkembang biak
3

secara pembelahan melintang. Treponema pallidum berukuran panjang 6-15


µm, lebarnya 0,10-0,18 µm.3
Bakteri ini masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir
(misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit. Dalam beberapa jam,
bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat, kemudian menyebar ke
seluruh tubuh melalui aliran darah. Sifilis juga bisa menginfeksi janin selama
dalam kandungan dan menyebabkan cacat bawaan.3
Treponema pallidum termasuk kedalam ordo Spirochaetales, familia
Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Spirochaeta mempunyai 3
komponen penting. Protoplasma merupakan bagian central dari Troponema
dan mengandung genome dan organela yang bertanggunjawab untuk
metabolisme. Aksial filamen terdiri dari delapan fibril elastis yang terpilin
disekitar protoplasma. Selubung paling luar mengandung heteropolymer
peptidoglycan makromolekul yang mempertahankan bentuk organisme,
melindungi sitoplasma dari kerusakan, dan menyaring molekul-molekul besar.
Ekstraseluler, selubung lendit yang tak beraturan yang berfungsi melindungi
organisme melawan fagositosis.2

D. PATOGENESIS
Penularan bakteri Treponema pallidum biasanya melalui hubungan
seksual yaitu membran mukosa vagina dan kontak langsung dengan lesi/luka
yang terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui
plasenta pada stadium akhir kehamilan. Treponema pallidum masuk dengan
cepat melalui membran mukosa yang utuh dan kulit yang terluka, kemudian
ke dalam kelenjar getah bening menuju ke aliran darah, kemudian menyebar
ke seluruh organ tubuh. Setelah menyebar ke seluruh organ tubuh bakteri
bergerak masuk ke ruang intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw
(seperti membuka tutup botol). Beberapa jam setelah terpapar kuman terjadi
infeksi sistemik meskipun belum menunjukkan gejala klinis dan serologi. 17,23
Darah pasien yang baru terkena sifilis ataupun yang masih dalam masa
inkubasi bersifat infeksius. Waktu berkembangbiak Treponema pallidum
4

selama masa aktif penyakit secara invivo 30-33 jam. Lesi primer muncul di
tempat kuman pertama kali masuk, biasanya bertahan selama 4-6 minggu dan
kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat masuknya, kuman
mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat
yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara klinis dapat
dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di tempat
masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler (Treponema pallidum
berada di antara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini mengakibatkan
hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler
(endarteritis obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran darah
pada daerah papul tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan
keadaan ini disebut chancre.2,3
Periode inkubasi bervariasi tergantung banyaknya inokulum.
Organisme ini akan muncul dalam waktu menit di dalam kelenjar limfe dan
menyebar luas dalam beberapa jam, meskipun mekanisme Treponema
pallidum masuk sel masih belum diketahui secara pasti. Mekanisme
perlekatan Treponema pallidum dengan sel host melalui spesifik ligan yaitu
molekul fibronektin.
Sifat yang mendasari virulensi Treponema pallidum belum dipahami
secara lengkap, tidak ada tanda-tanda kuman bersifat toksigenik, hal ini
dikarenakan di dalam dinding selnya tidak ditemukan eksotoksin ataupun
endotoksin. Meskipun di dalam lesi primer dijumpai banyak kuman namun
tidak ditemukan kerusakan jaringan yang cukup luas karena kebanyakan
kuman yang berada di luar sel akan difagosit, tetapi ada Treponema pallidum
yang dapat tetap bertahan di dalam sel makrofag dan di dalam sel lainnya
yang bukan fagosit misalnya sel endotel dan fibroblas. Keadaan tersebut dapat
menunjukkan bahwa Treponema pallidum dapat hidup dalam tubuh manusia
dalam waktu lama, yaitu selama masa asimtomatik yang merupakan ciri khas
dari penyakit sifilis. Sifat invasif Treponema pallidum memperpanjang daya
tahan kuman di dalam tubuh manusia.2
5

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Sifilis Primer
Gejala pada stadium primer bisa ditemukan lesi pada genital atau
etragenital. Ulkus yang terjadi pada stadium ini tidak terasa nyeri. Ulkus
yang terasa nyeri biasanya terjadi pada ulkus superinfeksi. Masa inkubasi
pada stadium primer ini rata-rata terjadi selama 21 hari.
Lesi pada kulit berupa chancre yang berbentuk tombol seperti
papul yang berkembang pada tempat terjadinya inokulasi menjadi erosi
yang tidak nyeri dan kemudian menjadi ulserasi dengan tepi yang
meninggi dan terdapat sedikit eksudat yang serous. Pada permukaannya
mungkin terdapat krusta. Lesi mempunyai diameter yang berukuran
beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm. Ulkus berbentuk bulat, solitar,
dasarnya jaringan granulasi berwarna merah dan bersih. Yang khas pada
ulkus tersebut adalah indolen dan teraba indurasi karena itu disebut dengan
ulkus durum.3
Kelainan ini disebut dengan afek primer dan umumnya terjadi
pada genetalia eksterna. Pada pria tempat yang sering terjadi pada sulkus
koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain itu
juga terdapa pada ekstragenetalia misalnya di lidah, tonsil dan anus. Afek
primer ini sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Seminggu
setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening
regional di inguinalis medialis.2

Gambar 1. Sifilis primer: nodul pada glan penis (Sumber: Fitzpatrick,


2006)
6

Gambar 2. Sifilis primer: Chancre pada skrotum (Sumber: Fitzpatrick,


2009)
2. Sifilis Sekunder
Timbul setelah enam sampai delapan minggu setelah Sifilis I/Sifilis
primer. Lama stadium II biasanya sampai sembilan bulan, gejalanya tidak
berat hanya gejala – gejala prodomoal saja seperti anoreksia, berat badan
menurun, malaise, sakit kepala, demam yang tidak tinggi, dan nyeri otot,
sendi dan tulang. Kelainan kulit yang tibul dapat menyerupai berbagai
penyakit kulit sehingga disebut the great imitator. Selain terjadinya
kelainan pada kulit stadium II/Sifilis sekunder dapat juga menyebabkan
kelainan pada mukosa, rambut, kuku, kelenjar getah bening, mata,
hepar, tulang dan saraf.2,4
Karena menyerupai berbagai penyakit kulit gejala kelainan kulit
pada Sifilis stadium II ada beberapa yang berdakannya. Kelainan kulit
pada Sifilis stadium II umumnya tidak gatal, sering disertai limfadenitis
generalisata, dan pada Sifilis stadium II dini kelainan kulit kuga terjadi
pada telapak tangan dan kaki.
Kelainan mukosa pada Sifilis stadium II biasanya berupa plaque
muqueuses, berupa papul eritematosa, letikuler, erosi yang irreguler,
kebauan dengan batas kemerahan dan nyeri. Kelainan mukosa lainya
biasanya terdapat pada mulut dapat mengenai lidah, bibir, tonsil, dan
7

epiglotis. Pharyngitis juga dapat terjadi berupa kemerahan yang difus pada
pharyng, palatum, dan tonsil. Terkadang juga disertai edema dan erosi.
Keluhan yang timbul biasany suara parau nyeri tenggoran terutama saat
menelan.2,4,5
Kelainan pada rambut yang terjadi pada Sifilis stadium II hanya
satu yaitu alopesia. Pada Sifilis stadium II dini terjadi alopesia yang
bersifat difus dan tidak khas yang disebut alopesia difusa, sedangkan
pada Stadium II lanjut alopesia beripa kerontokan rambut berbentuk
seperti bercak yang menyerupai gigitan ngengat yang disebut
alopesia areolaris.
Kelainan dapat juga terjadi pada kuku yaitu kelainan paronikia,
yaitu radang kronis yang menyebabkan kuku menjadi rusak dan terkadang
lepas, serta onokia dimana terjadi perubahan warna kuku menjadi putih,
kabur, dan bagian distal kuku menjadi hiperkeratolitik.
Kelainan lainnya yang sering menyertai Sifilis stadium II adalah
pembersaran kelenjar getah bening superfisisal. Pada mata juga dapat
terjadi uveitis anterior lebih sering terjadi pada Sifilis stadium
rekuren. Dapat terjadi hepatitis, hepar membesar dan menyebabkan ektirus
ringan tetapi jarang. Sendi dan tulang jarang terinfeksi, tetapi kadang –
kadang dapat terbentuk efusi. Kelainan berupa pembengkakan, tetapi tidak
nyeri dan pergerakan tidak terganggu. Abnormalitas pada cairan
intrakranial dapat menyebabkan gejala berupa sakit kepala, mual,
muntah, odem papli dapat terjadi bila terdapat kelainan neurologis.2

Gambar 3. Sifilis Sekunder: erupsi annular papulosquamosa pada telpak


kaki (Sumber: Fitzpatrick, 2009)
8

Gambar 4. Sifilis Sekunder: lesi annular pada wajah (Sumber:


Fitzpatrick, 2009)

Gambar 5. Sifilis Sekunder: Condyloma lata (Sumber: Fitzpatrick, 2009)


3. Sifilis Laten Dini
Fase laten merupakan fase tanpa gejala, baik gejala klinis dan kelainan di
dalam tubuh, tetapi infeksi Sifilis masih tetap aktif.2
4. Sifilis Stadium III
Gejala pada Sifilis stadium III biasanya muncul pada tida sampai
sepuluh tahun setelah Sifilis stadium I. Kelainan yang khas pada Sifilis
stadium III ini adanya guma. Guma yakni infiltrat sirkumrip kronis, lunak
dan destruktif. Besarnya guma bervariasai dari letikuler sampai sebesar
9

telur ayam, kulit diatasnya mula-mula tidak menunjukan adanya tanda-


tanda radang akut dan dapat di gerakan. 2
Setelah beberapa bulan guma ini akan mulai melunak dan baru
mulai menunjukan tanda – tanda radang, kulit menjadi eritematosa
kemudian akan terjadi perforasi dan keluarlah carian seropurulen,
terkadang dapat juga sanguinolen disertai jaringan nekrotik kemudian
menjadi ulkus. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa
bulan hingga beberapa tahun, biasanya guma solitar, tetapi dapat juga
mulipel, umumnya asimetris.
Selain guma kelainan yang lain pada Sifilis stadium III adalah
nodus, dalam perkembangannya nodus mirip seperti guma. Nodus
mengalami nekrosis dan membentuk ulkus tetapi dapat pula tanpa nekrosis
dan menjadi sklerotik. Perbedaan nodus dengan guma, nodus lebih
superficial, kecil, banyak, bergerombol, warnanya merah kecoklatan.
Kelainan mukosa pada Sifilis III biasanya berupa guma, yang
biasanya pada mulut dan tenggorokan, bersifat destruktif bisa sudah
menjadi ulkus. Pada lidah yang tersering ialah guma dengan fisure tidak
teratur, leukoplakia dan nyeri.
Kelainan lainnya yang sering menyertai Sifilis stadium III
adalah guma pada hepar, hepar lobatum, guma yang terdapat pada hepar
bersifat multiple hingga hepar mengalami retraksi, membentuk lobus –
lobus tidak teratur. Selain itu guma dapat menyerang esofagus, paru –
paru, lambung, ginjal, ovarium dan testis namun kasusnya jarang. Pada
sistem muskuloskeletal guma paling sering menyerang tibia, tengkorak,
bahu, femur, dan humerus. Dimana terdapat dua bentuk guma yaitu
periostiti gumatosa dan osteitis gumatosa.2
10

Gambar 6. Sifilis Tersier: tipe noduloulseratif (Sumber: Fitzpatrick, 2009)

Gambar 7. Gumma (Sumber: Fitzpatrick, 2009)


5. Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital adalah seifilis yang terjadi pada bayi, dimana
ditularkan oleh ibu yang sedang terinfeksi Sifilis. Biasanya ibu yang
mengandung terinfeksi Sifilis stadium dini karena pada saat tersebut
bakteri Treponema pallidum banyak dalam darah. Bakteri tersebut
menginfeksi janin yang di kandung melalui darah masuk melalui
plasenta.
11

Untuk gambaran klinisnya Sifilis kongenital dibagi menjadi


Sifilis kongenital stadium dini (prekoks), Sifilis kongenital stadium
lanjut, dan stigmata. Dimana batas antara fase Sifilis stadium dini yakni
dua tahun pertama dan fase Sifilis kongenital stadium lanjut setelah dua
tahun. Pada Sifilis kongenital dini kelainan kulit yang pertama kali
terlihat adanya bula bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki
namun terkadang terdapat juga bula di tempat lain. Cairan yang terdapat
dalam bula banyak sekali mengandung bakteri Treponema pallidum ini
disebut pemfigus sifilitika,bayi yang terinfeksi akan tampak sakit secara
umum dilihat pada saat lahir, seperti berat badan lahir rendah, adanya
1,2
anemia, jaundice, repiratory distress, dan rinitis.
Gambaran klinis lainnya akan tampak setelah bayi berumur
beberapa minggu antara minggu kedua dan ketiga, dimana mirip
seperti erupsi pada Sifilis stadium II. Umumnya berbentuk papul yang
simetris, anular, dan pada tempat yang lembab akan mengalami erosi.
Kelainan lainya mirip seperti Sifilis stadium II dimana pada mukosa mulut
terdapat plaques muqueuses, hepar dan lien membesar, nyeri tulang
karena osteokondritis, kelainan pada saraf yakni neuroSifilis aktif dimana
2
mengakibatkan perkembangan otak terhenti.
Sedangkan pada Sifilis kongenital stadium lanjut, gejala klinis
yang ditemukan mirip seperti pada Sifilis stadium III dimana terjadinya
guma. Guma dapat menyerang kulit, mukosa, tulang dan organ – organ
tubuh lainnya. Namun yang khas pada Sifilis kongenital stadium lanjut
guma tersebut terdapat pada hidung dan mulut, dapat menjadi kolaps
dengan demormitas. Guma pada bagian lainnya juga sering terjadi seperti
pada palatum mole dan durum sehingga menyebabkan terjadinya perforasi
2
palatum.
Untuk gambaran klinis lainnya, pada Sifilis kongenital stadium
lanjut juga mirip seperti Sifilis stadium III dimana pada tulang dapat
12

terjadi osteoperostitis pada tengkorak dan tibia, selain itu pada kedua sendi
lutut dapat terjadi pembengkakan, nyeri disertai efusi, keratitis interstisial
merupakan gejala yang paling umum yang dapat menyebabkan kebutaan
selain itu kelainan pada saraf pada Sifilis kongenital stadium lanjut
berbentuk paralisis generalisata.

F. SIFILIS PADA WANITA HAMIL


1. Manifestasi Klinis
Luka pada sifilis primer pada wanita terjadi kurang lebih 3
minggu setelah kontak dengan penderita yang menderita sifilis. Luka pada
stadium ini bisa ditemukan di genetalia eksterna, vagina, serviks, anus
atau di rektum. Biasanya luka yang terjadi tidak disadari karena bersifat
asimtomatis. Luka sifilis berbatas tegas, berbentuk lingkaran, kecil, dan
tidak terasa nyeri dan bertahan 3 sampai 6 minggu. Kelainan ini harus
dibedakan dengan herpes genetalia yang menyebabkan luka lecet yang
kecil dan terasa nyeri yang berisi cairan jernih atau kekuningan. Ketika
luka tersebut pecah, akan meninggalkan bekas ulser yang dangkal yang
terasa sangat nyeri dan kadang-kadang tertutup oleh krustan dan perlahan
sembuh selama 7-14 hari atau lebih.
Luka sifilis ini bisa meningkatkan resiko penularan HIV dengan merusak
membran mukosa dan epitel dan beberapa minggu atau bulan kemudian
diikuti dengan indikasi kutaneous, mucosal, dan kadang-kadang sistemik
yang meluas dari penyebaran spirochetes sifilis sekunder. Fase ini bisa
bertahan hingga satu tahun dan sifilis sangat menular pada tahap ini.
Bahkan tanpa pengobatan, lesi primer dan sekunder sembuh dan infeksi
memasuki tahap laten. Meski tanpa manifestasi klinis, infeksi masih bisa
ditularkan ke janin. Sifilis tersier dapat terjadi pada sepertiga orang yang
tidak diobati, kira-kira tiga sampai 15 tahun setelah infeksi awal. Hal ini
ditandai dengan tumor kulit yang infiltratif, tulang, atau hati (gumma)
(15%), gangguan sistem saraf pusat (neurosifilis) (6,5%), dan masalah
kardiovaskular (10%). Orang dengan sifilis tersier tidak menular.
13

2. Infeksi Fetal
Spirosit dapat melewati plasenta dan menginfeksi janin sekitar 14
minggu kehamilan, dan risiko infeksi janin meningkat seiring
bertambahnya usia kehamilan. ManifestasiSifilis kongenitaldipengaruhi
oleh usia gestasi, tahap sifilis ibu, perawatan ibu, dan respon imunologis
janin. Sifilis kongenital dapat menyebabkan aborsi spontan, biasanya
setelah trimester pertama, atau kelahiran mati pada usia lanjut dalam 30
sampai 40 persen kasus atau persalinan prematur atau jangka panjang
pada bayi hidup yang mungkin memiliki tanda infeksi yang jelas atau
asimtomatik (kira-kira dua pertiga dari kasus lahirmati). Infeksi plasenta
dan penurunan aliran darah ke janin adalah penyebab paling umum
kematian janin. Seorang wanita yang tidak diobati memiliki sekitar 70%
kemungkinan infeksi janin selama 4 tahun pertama penyakit. Pada 35%
kasus, janin yang terinfeksi lahir hidup dengan Sifilis kongenital. Bobot
lahir rendah bisa menjadi satu-satunya tanda infeksi. Sebenarnya sekitar
60% liveborns asimtomatik saat lahir.
Sifilis kongenital telah dikelompokkan secara tradisional menjadi
sifilis kongenital awal dan sifilis kongenital akhir. Pada tanda sifilis
kongenital awal muncul dalam 2 tahun pertama kehidupan sementara pada
tanda sifilis kongenital akhir muncul selama 2 dekade pertama.
Manifestasi klinis sifilis kongenital awal adalah hasil dari infeksi aktif dan
peradangan sementara manifestasi klinis sifilis kongenital akhir adalah
malformasi atau stigmata yang mewakili bekas luka yang diinduksi oleh
lesi awal sifilis kongenital awal atau dapat merupakan hasil dari
peradangan kronis. Setelah infeksi janin terjadi, sistem organ apapun bisa
menjadi salah karena diseminasi spirochetal yang meluas.
3. Penatalaksanaan
Terapi yang adekuat pada infeksi maternak sangat efektif untuk
mencegah penularan dari ibu ke janin dan untuk mengobati infeksi janin.
Penicillin G yang diberikan secara parenteral merupakan obat pilihan
14

untuk mengobati sifilis. Penicillin G kristal merupakan obat pilihan utama


untuk mengobati neurosifilis. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
dilaporkan bahwa terdapat beberapa kasus yang gagal diobati dengan
menggunakan penicillin G, beberapa kasus diantarana pasien dengan
infeksi HIV, namun tidak ada laporan adanya resistensi penicilli G kepada
Treponema pallidum. CDC merekomendasikan agar ibu hamil harus
diobati dengan rejimen penisilin yang sesuai dengan tahap. Pada sifilis
primer, sekunder, dan laten dini, direkomendasikan menggunakan
benzhatine penicillin G 2,4 juta unit IM dalam dosis tunggal. Terapi
tambahan bisa bermanfaat bagi wanita hamil dalam beberapa keadaan.
Beberapa peneliti menyarankan bahwa dosis kedua benzathine penisilin
2,4 juta unit IM diberikan 1 minggu setelah dosis awal untuk wanita yang
memiliki sifilis primer, sekunder, atau laten dini. Pada sifilis laten akhir
atau sifilis laten dengan durasi yang tidak diketahui, benzathine penisilin
G 7,2 juta total harus diberikan, dengan cara pemberian 3 dosis 2,4 juta
unit IM masing-masing pada interval 1 minggu. Dalam kasus neurosifilis,
penisilin G kristal 18-24 juta unit per hari, diberikan 3-4 juta unit IV
setiap 4 jam dan infus kontinyu, selama 10-14 hari merupakan pengobatan
yang disarankan. Wanita hamil yang memiliki riwayat alergi penisilin
harus dilakukan desensitasi dan diobati dengan penisilin. Jika pasien HIV-
positif, peradangan plasenta akibat infeksi kongenital dapat meningkatkan
risiko penularan virus perinatal. Tidak ada data yang memadai untuk
merekomendasikan rejimen spesifik untuk ibu hamil yang terinfeksi HIV.
Reaksi Jarisch-Herxheimer dapat terjadi pada beberapa pasien 2
sampai 12 jam setelah menerima terapi untuk sifilis aktif. Hal ini ditandai
dengan demam, sakit kepala, mialgia, dan malaise, dan ini disebabkan
oleh pelepasan senyawa seperti treponemal endotoksin selama lisis
penicillin-mediated. Reaksi Jarisch-Herxheimer dapat meningkatkan
risiko persalinan prematur dan / atau tekanan janin selama paruh kedua
kehamilan. Titer serologis harus diulang pada usia kehamilan 28-32
minggu dan saat melahirkan dan harus diperiksa setiap bulan pada wanita
15

berisiko tinggi terjadi reinfeksi atau area geografis berisiko tinggi.


Perawatan maternal bisa tidak memadai jika persalinan terjadi dalam 30
hari terapi, atau jika titer antibodi ibu saat persalinan empat kali lebih
tinggi daripada titer pra pengobatan.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Mikroskois Medan Gelap
Menunjukan hasil positif pada chancre positif dan lesi papular pada sefilis
sekunder dan sebagian pada condyloma lata. Pemeriksaan ini tidak bisa
digunakan pada kavitas oral karena terdapat saprofit spirochaeta, dan hasil
negatif pada pasien yang sudah mendapatkan terapi antibiotik baik
sistemik maupun topikal. Pada limfonodi regional dilakukan aspirasi dan
hasil aspirasi tersebut diperiksa dengan mikroskop medan gelap.3
2. Direct Fluorescent Antibody T.pallidum (DFA-TP) Test
Antibodi Fluorescent digunakan untuk mendeteksi T.pallidum pada
eksudat dari lesi, aspirasi limfanodi, atau jaringan.3
3. PCR
4. Tes Serologi untuk Sifilis
Hasil positif pada pasien dengan infeksi beberapa macam treponemal
(veneral sifilis, sifilis endemik, yaws, pinta). Hasil uji ini selalu positif
pada sifilis sekunder.3
a) Tes Nontroponemal
Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang
dikombinasikan dengan lesitin dan kolesterol, karena itu tes ini dapat
memberi Reaksi Biologik Semu (RBS) atau Biologic FasePositive
(BFP). Antibodinya disebut reagin, yang terbentuk setelah infeksi
dengan T. pallidum, tetapi zat tersebut terdapat pula pada berbagai
penyakit lain dan selama kehamilan. Reagin ini dapat bersatu dengan
suspensi ekstrak lipid dari binatang atau tumbuhan, menggumpal
membentuk massa yang dapat dilihat pada tes flokulasi. Massa
tersebut juga dapat bersatu dengan komplemen yang merupakan dasar
bagi tes ikatan komplemen. Contoh tes nontreponemal:
16

1. Tes fiksasi komplemen: Wasserman (WR), Kolmer.


2. Tes flokulasi: VDRL (Venereal Disease Research Laboratories),
Kahn, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin
Test), dan RST (Reagin Screen Test).
Di antara tes-tes tersebut, yang dianjurkan ialah VDRL dan
RPR secara kuantitatif, karena teknis lebih mudah dan lebih cepat
daripada tes fiksasi komplemen, lebih sensitif daripada tes
Kolmer/Wasserman, dan baik untuk menilai terapi.2,3
Tes RPR dilakukan dengan antigen VDRL, kelebihan RPR
ialah flokulasi dapat dilihat secara makroskopik, lebih sederhana, serta
dapat dibaca setelah sepuluh menit sehingga dapat dipakai untuk
screening. Kalau terapi berhasil, maka titer VDRL cepat menurun,
dalam enam minggu titer akan menjadi normal. Tes ini dipakai secara
rutin, termasuk untuk tes screening. Jika titer seperempat atau lebih
tersangka penderita sifilis, mulai positif setelah dua sampai empat
minggu sejak S I timbul. Titer akan meningkat hingga mencapai
puncaknya pada S II lanjut (1/64 atau 1/128) kemudian berangsur-
angsur menurun dan menjadi negatif.
Pada tes flokulasi dapat terjadi reaksi negatif semu karena terlalu
banyak reagin sehingga flokulasi tidak terjadi. Reaksi demikian
disebut reaksi prozon. Jika serum diencerkan dan dites lagi, hasilnya
menjadi positif.2
b) Tes treponemal
Tes ini bersifat spesifik karena antigennya ialah treponema atau
ekstraknya dan dapat digolongkan menjadi empat kelompok:
1. Tes imobilisasi: TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test).
2. Tes fiksasi komplemen: RPCF (Reiter Protein Complement
Fixation Test).
3. Tes lmunofluoresen: FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antibody
Absorption Test). Ada dua: IgM, IgG; FTA-Abs DS (Fluorescent
Treponemal Antibody-Absorption Double Staining).
17

4. Tes hemoglutisasi: TPHA (Treponemal pallidum


Haemoglutination Assay), 19S IgM SPHA (Solid-phase
Hemabsorption Assay), HATTS (Hemagglutination Treponemal
Test for Syphillis), MHA-TP (Mirohemagglutination Assay
forcAntibodies to Treponema Pallidum).2
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Sifilis Primer (S I)
a. Herpes simpleks
Penyakit ini residif dapat disertai rasa gataV nyeri, lesi berupa
vesikel di alas kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah
tampak kelompok erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak
terdapat indurasi.2
b. Ulkus piogenik
Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik.
Ulkus tampak kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi.
Jika terdapat limfadenitis regional disertai tanda-tanda radang akut
dapat terjadi supurasi yang serentak, dan terdapat leukositosis pada
pemeriksaan darah tepi.2
c. Skabies
Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di
genitalia eksterna, terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama
terdapat pula pada tempat predileksi, misalnya lipat jari Langan,
perianal. Orang-orang yang serumah juga akan menderita penyakit
yang sama.2
d. Balanitis
Pada balanitis, kelainan berupa erosi superficial pada glans
penis disertai eritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi: diabetes
melitus dan yang tidak disirkumsisi.2
e. Limfogranuloma venereum (L.G.V.)
Afek primer pada L.G.V. tidak khas, dapat berupa papul,
vesikel, pustul, ulkus, dan biasanya cepat hilang. Yang khas ialah
18

limfadenitis regional, disertai tanda-tanda radang akut, supurasi tidak


serentak, terdapat periadenitis. L.G.V. disertai gejala konstitusi:
demam, malese, dan artralgia.2
f. Karsinoma sel skuamosa
Umumnya terjadi pada orang usia lanjut yang tidak
disirkumsisi. Kelainan kulit berupa benjolan-benjolan, terdapat
indurasi, mudah berdarah. Untuk diagnosis, perlu biopsi.2
g. Penyakit Behcet
Ulkus superficial, multipel, biasanya pada skrotum/labia.
Terdapat pula ulserasi pada mulct dan lesi pada mata.2
h. Ulkus mole
Penyakit ini kini langka. Ulkus lebih dari sate, disertai tanda-
tanda radang akut, terdapat pus, dindingnya bergaung. Haemophilus
Ducreyi positif. Jika terjadi limfadenitis regional juga disertai tanda-
tanda radang akut, terjadi supurasi serentak.2
2. Sifilis Sekunder (S II)
a. Erupsi obat alergik
Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat
yang dapat disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di
antaranya berbentuk eritema sehingga mirip roseala pada S II.
Keluhannya gatal, sedangkan pada sifilis biasanya tidak gatal.2
b. Morbili
Kelainan kulit berupa eritema seperti pada S II. Perbedannya:
pada morbili disertai gejala konstitusi (tampak sakit, demam), kelenjar
getah bening tidak membesar.2
c. Pitiriasis roses
Terdiri atas banyak bercak eritematosa terutama di pinggir
dengan skuama halus, berbentuk lonjong, lentikular, susunannya
sejajar dengan lipatan kulit. Penyakit ini tidak disertai limfadenitis
generalisata seperti pada S II.2
19

d. Psoriasis
Persamaannya dengan S II : terdapat eritema dan skuama. Pada
psoriasis tidak didapati limfadenitis generalisata; skuama berlapis-
lapis serta terdapat tanda tetesan lilin dan Auspitz.2
e. Dermatitis seboroika
Persamaannya dengan S II ialah terdapatnya eritema dan
skuama. Perbedaannya pada dermatitis seboroik; tempat predileksinya
pada tempat seboroik, skuama berminyak dan kekuning-kuningan,
tidak disertai limfadenitis generalisata.2
f. Kondiloma akuminatum
Penyakit ini mirip kondiloma lata, kedua-duanya berbentuk
papul. Perbedaannya: pada kondiloma akuminata biasanya
permukaannya runcing-runcing, sedangkan papul pada kondiloma lata
permukaannya datar serta eksudatif.2
g. Alopesia areata
Kebotakan setempat; penyakit ini mirip alopesia areolaris pada
S II. Perbedaannya: pada alopesia areata lebih besar (numular) dan
hanya beberapa, sedangkan alopesia areolaris lebih kecil (lentikular)
dan banyak serta seperti digigit ngengat.2
3. Sifilis Tersier (S III)
Kelainan kulit yang utama pada S III ialah guma. Guma juga
terdapat pada penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis
profunda. Tes serologik pada S III dapat negatif atau positif lemah, karena
itu yang penting ialah anamnesis, apakah penderita tersangka menderita S
I atau S II dan pemeriksaan histopatologik.2
Mikosis dalam yang dapat menyerupai S III ialah sporotrikosis dan
aktinomikosis. Perbedaannya: pada sporotrikosis berbentuk nodus yang
terletak sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada
pembiakan akan ditemukan jamur penyebabnya. Aktinomikosis sangat
jarang di Indonesia. Penyakit ini juga terdiri atas infiltrat yang melunak
seperti guma S III. Lokalisasinya khas yakni di leher, dada, dan abdomen.
20

Kelainan kulitnya berbeda, yakni terdapat fistel multipel; pada pusnya


tampak butir-butir kekuningan yang disebut sulfur granules. Pada biakan
akan tumbuh Actinomyces.2
Tuberkulosis kutis gumosa mirip guma S III. Cara
membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik. Demikian pula
frambusia stadium lanjut. Guma S III bersifat kronis dan destruktif, karena
itu kelainan tersebut mirip keganasan. Cara membedakannya dengan
pemeriksaan histopatologik.2

I. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti
ditegakkan berdasarkan hasil pemerikasan laboratorium dan pemeriksaan
fisik.4
Pada fase primer atau sekunder, diagnosis sifilis ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap cairan dari luka di kulit
atau mulut. Bisa juga digunakan pemeriksaan antibodi pada contoh darah.4
Untuk neurosifilis, dilakukan pungsi lumbal guna mendapatkan contoh
cairan serebrospinal. Pada fase tersier, diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala dan hasil pemeriksan antibodi.4

J. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
P
ada umumnya penisilin merupakan obat pilihan utama dalam
pengobatan Sifilis., namun dapat juga menggunakan antibiotik lain.
Pengobatannya dibagi menjadi dua pada Sifilis dini dan pada Sifilis
lanjut. Pada Sifilis pada Sifilis dini baik stadium I, stadium II, laten
5
dini atau Sifilis laten yang kurang dari dua tahun dapat digunakan:
1. Singel dose Penisilin G benzatin 2,4juta unit, I.M.
21

2. Penisilin G prokain 600 – 900 mg, I.M sehari sekali selama 10 hari.
Jenis penisilin G prokain ada dua penisilin G prokain dalam akua
dan penisilin prokain dalam minyak dengan aluminium,.
Apa bi 8
la alergi terhadap penisilin dapat diberikan:
1. Tetracyclin hidrochloride 500mg, oral 3kali sehari selama 15 hari
2. Doxycyciline 100mg, oral 2 kali sehari selama 15 hari.
3. Erythromycin 500mg, oral 2 kali sehari selama 15 hari.
4. Ceftriaxone 1g, intramuskular satu kali sehari selama 10 hari.
Sedangkan untuk Sifilis lanjut atau Sifilis laten yang lebih
dari dua tahun dapat diberikan:

1. Penisilin G benzathine 2,4juta unit, I.M sekali perminggu


selama 3 minggu.

2. Penisilin G prokain 600 – 900 mg, I.M satu kali sehari selama
15 hari. Jenis penisilin G prokain ada dua penisilin G prokain
dalam akua dan penisilin G prokain dalam minyak dengan
aluminium, dapat diberikan salah satunya.
Apa bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan:
1. Tetracyclin hidrochloride 500mg, oral 3kali sehari selama 30
hari
2
2. Doxycyciline 100mg, oral 2kali sehari selama 30 hari.
Untuk Sifilis kongenital obat yang didapat diberikan:
1. Penisilin sodium benzyl 100-1500 mg, I.M perhari, dimana dosis
diberikan secara bertahap 50 mg 2 kali sehari selama 7 hari
pertama kemudian 3 kali sehari setelahnya dimana obat ini di
berikan selama 10 hari.
2. Penisilin prokain 50 mg, I.M perhari selama 10 hari

K. PROGNOSIS
22

Dengan adanya penisilin dan berbagai macam antibiotik lainya


prognosis Sifilis menjadi lebih baik. Sembuh dari penyakit Sifilis ini berarti
sembuh klinis menyeluruh tanpa adanya pengulangan, tidak menular kepada
orang lain, hasil pemeriksaan serologi pada darah dan likuor serebrospinalis
selalu negatif. Hal ini di karenakan tidak bisanya membunuh semua bakteri
Treponema pallidum di seluruh tubuh.5
Namun jika Sifilis ini tidak mendapat pengobatan dan terapi dengan
baik dapat terjadi kekambuhan, dan dapat mengarah kepada stadium
yang lebih lanjut sehingga menimbulkan banyak gejala klinis lainnya dan
makin merusak jaringan tubuh. Kegagalan terapi dari penyakit ini jarang dan
angka kesembuhan pada Sifilis stadium dini yang diobati sangat tinggi.5
BAB III
KESIMPULAN

Sifilis adalah penyakit kelamin menular yang disebabkan oleh


bakteri spiroseta, Treponema pallidum. Penularan biasanya melalui kontak
seksual, tetapi ada beberapa contoh lain seperti kontak langsung dan
kongenital sifilis (penularan melalui ibu ke anak dalam uterus).
Klasifikasi sifilis dibagi menjadi : Sifilis Kongenital yaitu Sifilis
Kongenital Dini (sebelum 2 tahun), Sifilis Kongenital Lanjut (setelah 2
tahun), dan Stigmata; Sifilis Akuisita yaitu Stadium I, Stadium II, dan
Stadium III. Menurut WHO secara epidemiologik dibagi menjadi: Stadium
dini menular (1 tahun sejak infeksi) yaitu Sifilis stadium I, Sifilis
stadiumII,, Sifilis stadium rekuren, dan Sifilis stadium laten dini. Stadium
lanjut tidak menular (setelah 1 tahun sejak infeksi) yaitu Sifilis stadium
laten lanjut, Sifilis stadium III. Gejala dan tanda dari sifilis banyak dan
berlainan; sebelum perkembangan tes serologikal, diagnosis sulit
dilakukan dan penyakit ini sering disebut "Peniru Besar" karena sering
dikira penyakit lainnya.
Bila tidak terawat, sifilis dapat menyebabkan efek serius seperti
kerusakan sistem saraf, jantung, atau otak. Sifilis yang tak terawat dapat
berakibat fatal. Sifilis dapat dirawat dengan penisilin atau antibiotik
lainnya antara lain Pada pasien yang alergi penisilin dapat diberikan
tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin. Lama pengobatan 15 hari untuk sifilis
stadium I dan II, 30 hari untuk sifilis stadium laten. Dapat juga digunakan
sefaleksin 15 hari, seftriakson 2 gram dosis tunggal setiap hari selama 15
hari, azitromisin dosis tunggal selama 10 hari untuk sifilis stadium I dan II.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Dugdale DC, Vyas JM, Zieve D. Syphilis available at


http//www.medlineplus.com. Accessed on march 10, 2018.
2. Natahusada, EC, Djuanda A. Sifilis dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. h:393-
413.
3. Miguel R. Sanchez, Section 32, Sexually Transmitted Diseases, Chapter
200, Sifilis, dalam: Klaus Wolff dkk. Fitzpatrick’s, Dermatologi in General
Medicine, Sexually Transmitted Diseases. Penerbit McGrawHill, USA. 2009.
h: 919-926
4. Dugdale DC, Vyas JM, Zieve D. Syphilis available at
http//www.medlineplus.com. Accessed on march 10, 2018.
5. Sifilis available at http//www.medicastore.com. Acccesed on March 14, 2018.

21

Anda mungkin juga menyukai