Anda di halaman 1dari 42

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA FEBRUARI 2022


RSUD PROF. DR. W.Z JOHANNES KUPANG

SIFILIS DALAM KEHAMILAN

Disusun Oleh
Sarah Octaviani Halan, S. Ked
(1508010048)

Pembimbing :
dr. Kristina L.D. Samane, SpOG

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W.Z JOHANNES KUPANG
2022

1
BAB 1

PENDAHULUAN

Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri

Treponema pallidum. Sifilis juga disebut sebagai “the great imitator” dimana infeksi ini dapat

menyerang semua organ tubuh serta memberikan gambaran klinis yang menyerupai banyak

penyakit1. Sifilis dapat ditularkan melalui hubungan seksual, transfusi darah serta ditularkan dari

ibu ke janin. Sifilis dapat diklasifikasikan menjadi sifilis didapat dan kongenital. Sifilis didapat

terdiri atas stadium primer, sekunder, dan tersier, serta periode laten diantara stadium sekunder

dan tersier1,2. Manifestasi klinis sifilis dapat terlihat jelas namun terdapat masa laten bersifat

asimtomatik serta dapat ditularkan melalui hubungan seksual, transfusi darah, dan vertikal dari

ibu ke janin. Paradigma lampau menyatakan bahwa transmisi sifilis dari ibu ke anak akan

bermanifestasi sebagai sifilis kongenital yang tidak dapat dihindari. Namun seiring dengan

perkembangan ilmu dan teknologi, berbagai tes skrining dan pengobatan sifilis dilaporkan

semakin efektif untuk mencegah transimisi penyakit. Diagnosis dan pencegahan transmisi sifilis

dilaporkan layak, murah dan hemat biaya. Walaupun demikian, sifilis kehamilan tetap dilaporkan

sebagai masalah kesehatan publik2,3.

Insiden sifilis pada kehamilan menurut Center for Disease Control and Prevention

(CDC) di Amerika Serikat tahun 2015 sebesar 1,8 kasus per 100.000 perempuan hamil 4. Data

dari Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia (Dirjen P2P Kemenkes RI) terdapat 3.295 perempuan dengan diagnosis

sifilis pada kehamilan dari 39.660 perempuan hamil yang melakukan skrining saat antenatal care

(ANC) di Indonesia tahun 2017. Berdasarkan analisis data surveilans antenatal multinasional

oleh Newman et al., pada tahun 2018, diperkirakan lebih dari 520.000 kehamilan dengan hasil

2
yang buruk akibat sifilis pada tahun 2013. Dari jumlah tersebut, diketahui bahwa 215.000

mengalami stillbirth dan kematian fetus secara dini, 90.000 mengalami kematian neonatal,

65.000 mengalami kelahiran prematur atau berat bayi lahir rendah, dan 150.000 merupakan bayi

baru lahir yang terinfeksi sifilis. Estimasi data tersebut belum mencakup jumlah kematian

tambahan yang mungkin terjadi setelah bulan pertama kehidupan khususnya untuk bayi dengan

prematur, berat lahir rendah dan infeksi kongenital. Antenatal Care sejak dini merupakan

intervensi penting dalam pencegahan transmisi sifilis dari ibu ke anak. Intervensi ini sejalan

dengan pilar kedua strategi global WHO terkait eliminasi transmisi sifilis, yaitu peningkatkan

akses dini perawatan maternal dan neonatal. Pilar tersebut secara eksplisit merujuk pada tujuan,

yaitu peningkatan presentase ibu hamil yang melakukan ANC dini. Sangat penting dilakukan

skrining aԝal agar mengetahui sejauh mana risiko penularan dari ibu ke bayi4,5.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifilis

2.1.1 Definisi

Sifilis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh spirochaete, Treponema

pallidum (T. pallidum) dan merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual. Sifilis dapat

diklasifikasikan menjadi sifilis didapat (acquired) dan sifilis kongenital1.

2.1.2 Treponema Palidum

Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral yang ramping dengan

lebar kira-kira 0,2 µm dan panjang 5-15 µm. Lengkung spiralnya/gelombang secara teratur

terpisah satu dengan lainnya dengan jarak 1 µm, dan rata-rata setiap kuman terdiri dari 8-14

gelombang. Organisme ini aktif bergerak, berotasi hingga 90° dengan cepat di sekitar

endoflagelnya bahkan setelah menempel pada sel melalui ujungnya yang lancip. Aksis panjang

spiral biasanya lurus tetapi kadang-kadang melingkar, yang membuat organisme tersebut dapat

membuat lingkaran penuh dan kemudian akan kembali lurus ke posisi semula. Spiralnya sangat

tipis sehingga tidak dapat dilihat secara langsung kecuali menggunakan pewarnaan

imunofluoresensi atau iluminasi lapangan gelap dan mikroskop electron. Struktur Treponema

pallidum terdiri dari membran sel bagian dalam, dinding selnya dilapisi oleh peptidoglikan yang

tipis, dan membran sel bagian luar. Flagel periplasmik (biasa disebut dengan endoflagel)

ditemukan didalam ruang periplasmik, antara dua membrane. Bakteri ini berkembang biak

dengan pembelahan melintang dan menjadi sangat invasif, patogen persisten dengan aktivitas

toksigenik yang kecil dan tidak mampu bertahan hidup diluar tubuh host mamalia. Mekanisme

biosintesis lipopolisakarida dan lipid Treponema pallidum sedikit. Kemampuan metabolisme dan

4
adaptasinya minimal dan cenderung kurang, hal ini dapat dilihat dari banyak jalur seperti siklus

asam trikarboksilik, komponen fosforilasi oksidatif dan banyak jalur biosintesis lainnya.

Keseimbangan penggunaan dan toksisitas oksigen adalah kunci pertumbuhan dan ketahanan

Treponema pallidum. Organisme ini juga tergantung pada sel host untuk melindunginya dari

radikal oksigen, karena Treponema pallidum membutuhkan oksigen untuk metabolisme tetapi

sangat sensitif terhadap efek toksik oksigen6,7.

Gambar 1. T. pallidum gambaran mikroskop electron


Sumber : Pedoman tatalaksana sifilis di Layanan Kesehatan Dasar.2013. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia

Treponema pallidum akan mati dalam 4 jam bila terpapar oksigen dengan tekanan atmosfer

21%. Keadaan sensitivitas tersebut dikarenakan bakteri ini kekurangan superoksida dismutase,

katalase, dan oxygen radical scavengers. Superoksida dismutase yang mengkatalisis perubahan

anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan air, tidak ditemukan pada kuman ini.

Treponema pallidum tidak dapat menular melalui benda mati seperti bangku, tempat duduk

toilet, handuk, gelas, atau benda-benda lain yang bekas digunakan/dipakai oleh pengindap,

karena pengaruh suhu dan rentang pH. Suhu yang cocok untuk organisme ini adalah 30-37°C

dan rentang pH adalah 7,2-7,46.

5
2.1.3 Patogenesis T. Pallidum

Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa vagina dan

uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke

janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan. Treponema pallidum masuk dengan

cepat melalui membran mukosa yang utuh dan kulit yang lecet, kemudian kedalam kelenjar

getah bening, masuk aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk

keruang intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol).

Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan serologi belum

kelihatan pada saat itu8. Darah dari pasien yang baru terkena sifilis ataupun yang masih dalam

masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu berkembangbiak Treponema pallidum selama masa aktif

penyakit secara invivo 30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk,

biasanya bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat

masuknya, kuman mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat

yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara klinis dapat dilihat sebagai papul.

Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah

perivaskuler (Treponema pallidum berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini

mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis

obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada daerah papula tersebut

berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini disebut chancre8.

Meskipun didalam lesi primer dijumpai banyak kuman namun tidak ditemukan kerusakan

jaringan yang cukup luas karena kebanyakan kuman yang berada diluar sel akan terbunuh oleh

fagosit tetapi ada sejumlah kecil Treponema yang dapat tetap dapat bertahan di dalam sel

makrofag dan di dalam sel lainya yang bukan fagosit misalnya sel endotel dan fibroblas.

6
Keadaan tersebut dapat menjadi petunjuk mengapa Treponema pallidum dapat hidup dalam

tubuh manusia dalam jangka waktu yang lama, yaitu selama masa asimtomatik yang merupakan

ciri khas dari penyakit sifilis. Sifat invasif Treponema sangat membantu memperpanjang daya

tahan kuman di dalam tubuh manusia8,9.

2.1.4 Klasifikasi
Siflis secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu siflis kongenital (ditularkan dari
ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis yang didapat/ akuisita yang ditularkan melalui
hubungan seks dan produk darah yang tercemar10.

A. Sifilis yang didapat

A.1. Sifilis dini, mudah menular dan merespon pengobatan dengan baik

A.1.1. Sifilis stadium primer,

A.1.2. Sifilis stadium sekunder,

A.1.3. Sifilis laten dini (diderita selama kurang dari 1 tahun)

A.2. Sifilis Lanjut

A.2.1. Sifilis laten lanjut (telah diderita selama lebih dari 1 tahun)

A.2.2. Sifilis tersier: gumma, neurosifilis, dan sifilis kardiovaskular.

B. Sifilis kongenital, Sifilis kongenital ditularkan dari ibu ke janin di dalam rahim.

B.1. Sifilis kongenital dini

B.2. Sifilis kongenital lanjut.

2.1.5 Gejala Klinis

Manifestasi awal penyakit sifilis dapat berupa makula kecil, yang kemudian menjadi

papul dan mengalami ulserasi. Ulkus biasanya tunggal, tidak nyeri, dasar bersih dan relatif tidak

memiiki pembuluh darah, meskipun kaang dapat multipel. Dapat terjadi limfadenopati inguinal

bilateral. Pada wanita lesi ditemukan pada vulva, dinding vagina, atau pada servik. Lesi

7
ekstragenital jarang terjadi. Pada pasien yang tidak mendapat pengobatan, onset tahap sekunder

penyakit dapat terjadi pada 6 minggu hingga 6 bulan setelah infeksi awal. Lesi primer mungkin

masih tetap ada ketika lesi sekunder secara klinis terjadi. Bentuk utama dari sifilis sekunder

adalah ruam kulit dapat berbentuk makula, papular atau papulo-skuamosa yang terlihat pada

telapak tangan dan telapak kaki, namun dapat tersebar pada seluruh tubuh. Ruam bisa disertai

dengan limfadenopati generalisata dan demam, sakit kepala, serta malaise. Pada sifilis sekunder

juga dapat ditemukan kondilomata lata. Gejala tersebut dapat mengalami remisi spontan dan

menghilang dalam 2 – 6 minggu10,11.

Apabila sifilis sekunder tetap tidak terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan, seluruh

manifestasi yang terlihat dari penyakit sembuh secara spontan dan pasien akan masuk ke periode

laten yang dapat berlangsung selama beberapa tahun. Sifilis laten dibagi menjadi infeksi laten

awal dan laten akhir, dengan garis pembagi yaitu 1 tahun setelah terjadinya infeksi. Selama tahap

laten dari penyakit, tidak ada lesi kulit atau selaput lendir untuk sampel. Oleh karena itu,

diagnosis harus berdasarkan hasil pengujian serologis dan tidak adanya tanda-tanda dan gejala

sifilis tersier. Sifilis tersier secara umum dipertimbangkan sebagai tahap destruktif dari penyakit.

Gejala dapat muncul beberapa tahun setelah infeksi awal, meskipun proses penyakit dapat

berlanjut lebih cepat pada pasien yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Manifestasi sifilis tersier dapat berupa lesi noduloulseratif destruktif yang disebut gumma,

osteomielitis, osteitis, kekakuan dan nyeri gerak dengan disertai berbagai tanda akan terjadinya

meningitis, kejang, penurunan kesadaran, berbagai penyakit kardiovaskuler dan neurosiphilis10,11.

8
2.1.6 Penegakkan Diagnosis Sifilis

Diagnosis sifilis didasarkan pada evaluasi klinis, deteksi organisme penyebab, dan

konfirmasi dari penyakit dengan pemeriksaan laboratorium. Treponema pallidum tidak dapat

dilakukan kultur di laboratorium, tetapi dapat diidentifikasi pada lesi menggunakan pemeriksaan

lapangan gelap atau mikroskop fluoresensi atau dengan teknik molekuler. Pada individu yang

asimtomatis, dapat dilakukan tes serologi untuk skrining terhadap infeksi. Treponema pallidum

tidak dapat dikultur dari specimen klinis. Namun diagnosis bias dilakukan dengan penggunaan

dark-fieldmicroscope, PCR, atau dengan uji antibodi fluoresen langsung. Metode-metode

tersebut tidak banyak tersedia dan biasanya kurang sensitive terutama pada specimen darah. Pada

praktiknya, diagnosis biasanya ditegakkan dari penemuan klinis dan hasiln tes serologi.

Tes serologi sifilis banyak digunakan untuk tujuan diagnostik dan skrining. Terdiri atas dua

jenis, yaitu tes non-treponema dan treponema. Biasanya pemeriksaan tes sifilis dilakukan dalam

dua langkah. Pertama, tes non- treponema, yaitu RPR (rapid plasma reagin/rapid test) atau

VDLR (venereal diseases research labotory). Jika hasil tes reaktif (positif), selanjutnya

dilakukan konfirmasi dengan tes treponema, yaitu TPHA (Treponema Pallidum

Haemagglutination Assay), TP-PA (Treponema pallidum particle agglutination assay), FTA-

ABS (fluorescent treponemal antibody absorption) dan TP rapid (Treponema palidum).

Kombinasi ini dapat mengindentifikasi adanya infeksi dan menjelaskan tahapan dari penyakit.

Tes non-treponema mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap bahan-

bahan lipid dari sel-sel T. pallidum yang hancur. Antibodi ini dapat timbul sebagai reaksi

terhadap infeksi treponema, namun dapat juga timbul pada berbagai kondisi lain, yaitu pada

infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut) dan penyakit kronis (misalnya: penyakit otoimun

kronis). Karena itu, tes ini bersifat non-spesifik, dan bisa menunjukkan hasil positif palsu. Tes

9
seperti ini dipakai untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau

keberhasilan terapi. Karena tes non-spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes spesifik

treponema, maka tes ini sering dipakai untuk skrining.

Tes treponema lebih bersifat spesifik terhadap Treponema. Tes ini mendeteksi antibodi

yang bersifat spesifik terhadap Treponema, Tes ini dapat menunjukkan hasil positif/reaktif

seumur hidup, walaupun terapi sifilis telah berhasil. Tes jenis ini tidak dapat digunakan untuk

membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi secara adekuat. Tes treponemal

hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema, namun tidak dapat

menunjukkan apakah seseorang sedang mengalami infeksi aktif.

Saat ini telah tersedia rapid test syphilis atau TP rapid; merupakan tes treponema yang

lebih sederhana, cepat, menggunakan darah lengkap, hanya memerlukan sedikit pelatihan

petugas dan tidak memerlukan peralatan dan penyimpanan khusus. Penggunaannya sangat

mudah dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat (10-15 menit). Jika dibandingkan

dengan TPHA atau TPPA, sensitivitas rapid test ini berkisar antara 85-98%, dan spesifisitasnya

berkisar antara 93-98%. TP rapid tidak hanya digunakan sebagai tes konfirmasi tetapi dapat

digunakan untuk skrining sifilis di tempat layanan, walaupun seperti tes treponema lainnya, tes

ini tidak dapat digunakan untuk memantau efektivitas pengobatan atau membedakan antara

infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi adekuat.

Karena ada risiko penularan pada ibu hamil ke bayinya yang dapat bermanifestasi sebagai

sifilis kongenital, semua ibu hamil dengan hasil tes non treponema positif atau treponema positif

harus segera diobati. Di fasilitas pelayanan kesehatan dasar, jika RPR atau TPHA tidak tersedia,

TP rapid dapat digunakan untuk skrining sifilis ibu hamil. Jika mengunakan TP Rapid dan

hasilnya positif, bila memungkinkan rujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan dengan laboratorium

10
yang lebih lengkap untuk diperiksa titer RPR, bila tidak memungkinkan maka terapi sifilis pada

ibu hamil dapat langsung diberikan. Satu dosis benzatin penisilin 2,4 juta unit saja sudah dapat

mencegah penularan infeksi pada janin. Pada fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap

TP rapid dapat dikombinasi dengan tes lain, misalnya RPR dan TPHA.

Tes sifilis mempunyai awal masa jendela, sehingga hasil negatif pada tes sifilis belum

tentu menyatakan seseorang bebas dari sifilis. Karena itu, tes pada ibu hamil perlu diulang

kembali pada saat sebelum melahirkan terutama ibu hamil didaerah prevalensi tinggi sifilis atau

ibu hamil berisiko tinggi IMS. Tes pada saat sebelum melahirkan dapat mendeteksi infeksi

ulang, khususnya pada ibu hamil yang pasangannya tidak diobati atau belum pernah dilakukan

tes sebelumnya.

Bagan alur tes serologis sifilis dengan mengunakan tes non treponema dan tes treponema

dan tes yang hanya mengunakan TP rapid dapat dilihat di bawah ini.

11
Bagan 1. Alur Tes Serologis Sifilis Tes Treponema dan Non Treponema10

Hasil tes non-treponemal (RPR atau VDRL) masih bisa negatif (non-reaktif) sampai empat

minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes ini dapat diulang 1-3 bulan kemudian pada

pasien yang dicurigai sifilis dengan hasil RPR atau VDRL negatif.

Hasil positif tes RPR/VDRL perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-PA/TP rapid.

• Jika hasil tes konfirmasi: non-reaktif, maka dianggap positif palsu dan tidak perlu diterapi

namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.

• Jika hasil tes konfirmasi: reaktif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR kuantitatif

untuk menentukan titer, sehingga dapat diketahui apakah si lis aktif atau laten, serta untuk

12
memantau respons pengobatan.

• Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan terdapat riwayat terapi dalam tiga bulan terakhir dan

berapapun titernya, anamnesis tidak ada ulkus baru, pasien tidak perlu diterapi. Pasien

diobservasi dan di tes ulang tiga bulan kemudian.

- Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes ulang tiga bulan

kemudian

- Jika RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien dinyatakan sembuh

- Jika titer naik, berikan terapi sebagai infeksi baru/sifilis aktif

• Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan tidak ada riwayat terapi dalam tiga bulan terakhir bila:

- Titer RPR < 1:4 (1:2 dan 1:4) dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis laten

lanjut dan dievaluasi tiga bulan kemudian.

- Titer > 1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis aktif dan dievaluasi tiga

bulan kemudian. Evaluasi terhadap titer RPR dilakukan tiga bulan setelah terapi:

- Jika titer RPR turun dua tahap (misalnya dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih, terapi

dianggap berhasil. Ulangi evaluasi setiap tiga bulan di tahun pertama dan setiap enam

bulan di tahun kedua untuk mendeteksi infeksi baru.

- Jika titer tidak turun dua tahap, maka dilakukan evaluasi kemungkinan reinfeksi atau

sifilis laten.2

Setelah diagnosis sifilis pada ibu hamil, evaluasi sonografi dilakukan untuk janin dengan

umur gestasi >20minggu untuk mencari tanda tanda dari sifilis kongenital. Hepatomegali,

penebalan plasenta, hidramnion, asites, hydrop fetalis dan peningkatan arteri selebral tengah

pada pemeriksaan doppler velosimetri merupakan indikasi dari infeksi pada janin, Untuk janin

13
usia yang layak dengan temuan sonografi, pemantauan jantung janin antepartum sebelum

pengobatan dianjurkan. Deselerasi lambat spontan atau non reaktif kemungkinan merefleksikan

janin yang sangat sakit yang mungkin tidak dapat menoleransi dengan baik reaksi Jarisch-

Herxheimer. Di kasus ekstrim ini, konsultasi dengan neonatologi mengenai rencana penundaan

pengobatan, persalinan dan perawatan harus dipertimbangkan.

2.2 Sifilis Dalam Kehamilan

Sifilis pada kehamilan biasanya diperoleh melalui kontak seksual, dimana pada sifilis

kongenital, bayi mendapatkan infeksi sifilis dari transmisi transplasental dari Treponema

pallidum. Penularan melalui hubungan seksual membutuhkan paparan mukosa yang lembab atau

lesi kulit pada sifilis primer atau sekunder. Pasien dengan penyakit sifilis yang tidak diobati

tampaknya dapat pulih, namun dapat mengalami kekambuhan dalam periode sampai dengan dua

tahun. Oleh karena itu, seseorang dapat lebih berisiko menularkan sifilis pada tahun pertama dan

kedua dari periode terinfeksi sifilis yang tidak diobati. Tingkat penularan infeksi sifilis pada

pasangannya, dalam satu kali kontak seksual diperkirakan mencapai 30%. Infeksi sifilis terjadi

secara sistemik, treponema menyebar melalui aliran darah selama masa inkubasi. Pada ibu hamil

yang terinfeksi treponema dapat mentransmisikan infeksi pada fetus dalam uterin segera setelah

onset infeksi. Transmisi pada fetus intra uteri tersebut dapat didokumentasikan secara dini pada

minggu kesembilan kehamilan. Ibu hamil terinfeksi sifilis yang berada pada stadium laten, tetap

berpotensi untuk menularkan infeksi pada fetus11,12.

2.2.1 Manifestasi Klinis Sifilis Dalam Kehamilan

Sifilis pada kehamilan memberikan manifestasi yang sama dengan infeksi sifilis secara

umum, hanya saja mayoritas wanita hamil yang didiagnosis dengan sifilis masih berada dalam

tahap asimptomatis. Adapun gejalanya dapat dibedakan berdasarkan tingkat sifilis, yaitu:

14
a. Sifilis Primer

Lesi awal sifilis adalah papul yang muncul di area kelamin pada 10-90 hari

(ratarata 3 minggu) setelah terpapar. Papul berkembang sampai berdiameter 0,5-

1,5 cm dan setelah kira-kira satu minggu terjadi ulserasi yang menghasilkan

chancre tipikal dari sifilis primer (ulkus bulat atau sedikit memanjang, dengan tepi

yang mengeras sebanyak 1-2 cm).

Gambar 2. Ulkus sifilis primer di labium mayora


Sumber : Pedoman tatalaksana sifilis di Layanan Kesehatan Dasar.2013. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Ulkus tersebut memiliki dasar yang bersih dengan diameter 1-2 cm, tanpa disertai

rasa nyeri. Selain itu, pada ulkus genital juga ditemukan pembesaran kelenjar getah

bening inguinal dan seringkali terjadi secara bilateral. Pada sifilis primer, biasanya

ditemukan lesi soliter tetapi lesi multipel juga dapat terjadi. Lesi primer pada area non-

genital dapat terjadi, namun gambarannya dapat berupa lesi atipikal, khususnya pada area

anal. Chancre sifilis primer pada umumnya terjadi di area genital, perineal atau anal.

Walaupun demikian, beberapa bagian tubuh yang lainnya juga dapat terkena.

Kebanyakan chancre ditemukan pada penis (untuk pria), dan labia atau servik (untuk

wanita). Ulkus pada wanita ini cenderung tidak mudah terlihat dan tidak nyeri.

Akibatnya, sifilis primer pada wanita tidak mudah terdiagnosis hingga berkembang

15
menjadi sifilis sekunder. Di lain pihak, chancre dapat sembuh secara spontan dalam 3-6

minggu melalui mekanisme imun tubuh, walaupun tanpa mendapatkan pengobatan4,6,10.

b. Sekunder

Dalam beberapa minggu atau bulan, penyakit dapat berkembang disertai

beberapa perubahan seperti demam dengan suhu rendah, malaise, radang

tenggorokan, nyeri kepala, adenopati, dan ruam pada kulit ataupun mukosa. Pada

tahap ini terjdi penyebaran T.Pallidum secara luas melalui sistem hematogen dan

limpatik, hal ini dibuktikan melalui temuan pada darah, kelenjar limfa, biopsi hati,

dan cairan serebrospinal. Sekitar 25% pasien sifilis sekunder memiliki kelainan

pada cairan serebrospinal, dengan adanya peningkatan jumlah sel, protein, dan

temuan T.Pallidum. Temuan awal pada stadium ini berupa ruam berwarna

tembaga yang hilang dengan cepat, dimana keluhan ini seringkali tidak disadari

pasien sehingga terlewatkan saat pemeriksaan. Beberapa hari kemudian muncul

erupsi makulopapular yang simetris pada daerah badan dan ekstrimitas, termasuk

telapak tangan dan kaki. Lesi berwarna merah kecoklatan, menyebar, dan

berdiameter 0,5-2 cm. Biasanya ruam disertai sisik, walau terkadang halus,

folikular, ataupun pada kasus jarang bisa disertai pustula, kecuali pada bagian

telapak tangan dan kaki4,6,10.

Lesi pada mukosa dapat berupa lesi kecil yang superfisial, ulkus dengan

tepi keabuan yang tidak nyeri (biasanya dianggap sebagai sariawan/apthous ulcer

yang tidak nyeri), ataupun dapat juga berupa sebagai plak keabuan yang lebih

besar. Gastritis erosiva juga dilaporkan terjadi pada beberapa kasus. Kondiloma

lata merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk lesi putih atau keabuan yang

16
besar, meninggi, dan biasa ditemukan di daerah yang hangat dan lembab. Lesi ini

merupakan manifestasi dari sifilis sekunder yang mengalami perubahan kulit pada

area yang hangat dan lembab, seperti aksila dan daerah lipat paha. Saat ini

kondiloma lata seringkali ditemukan di daerah sekitar chancre primer, utamanya

daerah perineum dekat anus, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh penyebaran

secara langsung treponema dari lesi primer. Sifilis sekunder merupakan penyakit

sistemik, sehingga dokter tidak boleh lalai hanya memperhatikan manifestasi

dermatologisnya saja. Sifilis laten merupakan infeksi sifilis yang tanpa gejala

klinis, namun hasil tes serologisnya positif. Selain pemeriksaan serologis, dapat

juga dilakukan pemeriksaa cairan serebrospinal untuk mengeksklusi neurosifilis

asimptomatis, walaupun kebanyakan dokter tidak melakukan pungsi lumbal pada

semua pasien dengan kemungkinan sifilis laten4,6,10.

Gambar 3. Bercak kemerahan pada telapak tangan dan kaki


Sumber : Pedoman tatalaksana sifilis di Layanan Kesehatan Dasar.2013. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
c. Tersier

Interval waktu dari awal infeksi hingga manifestasi stadium tersier dari penyakit

ini bervariasi dari 1 hingga 20 tahun. Penelitian pada era sebelum penggunaan

antibiotik menyatakan sepertiga kasus infeks sifilis yang tidak diobati akan

berkembang menjadi komplikasi tersier, dimana neurosifilis merupakan

17
komplikasi tersering. Sifilis tersier secara umum dibagi menjadi tiga kelompok

yaitu: neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan late benign syphilis. Setelah invasi

spirocheta pada SSP saat sifilis stadium awal, infeksi yang tidak diobati dapat

sembuh sendiri, atau berkembang menjadi meningitis sifilis asimtomatik, ataupun

berkembang menjadi meningitis sifilis simptomatik. Perkembangan selanjutnya

dapat menuju sifilis meningovaskular (biasanya 5-12 tahun pasca infeksi primer)

atau terus berkembang menjadi paresis (18-25 tahun). Sifilis meningovaskular

dapat melibatkan beberapa bagian pada SSP. Manifestasinya berupa hemiparesis

atau hemiplegia (83% kasus), afasia (31%), and kejang (14%). Sekitar 50% pasien

lainnya mengalami gejala umum seperti pusing, nyeri kepala, insomnia, gangguan

memori dan mood selama beberapa minggu hingga bulan, yang diakibatkan

gangguan perfusi. Late benign syphilis atau gumma merupakan proses inflamasi

granulomatosa proliferatif yang bersifat destruktif pada jaringan. Kebanyakan

terjadi pada kulit dan tulang, dengan frekuensi yang lebih jarang pada mukosa dan

viscere seperti otot, dan struktur okular. Manifestasi pada kulit dapat berupa

nodular atau nodul ulseratif dan lesi soliter4,6,10.

Gambar 4. Gumma Pada Palatum dan Hidung


Sumber : Pedoman tatalaksana sifilis di Layanan Kesehatan Dasar.2013. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

18
2.2.2 Dampak Sifilis Terhadap Kehamilan

Sifilis primer maupun sekunder yang tidak mendapat penatalaksanaan selama kehamilan

akan 100% berefek pada janin, dimana 50% dari kehamilan dalam kondisi ini akan menghasilkan

kelahiran prematur atau kematian perinatal. Sifilis laten dini pada kehamilan yang tidak diterapi

dapat menyebabkan angka prematuritas atau kematian perinatal sekitar 40%. Sepuluh persen

janin yang lahir dari ibu dengan sifilis lanjut yang tidak diterapi menunjukkan tanda-tanda

infeksi kongenital, dan angka kematian perinatal meningkat hingga sepuluh kali lipat. Kendati

sifilis jarang dapat ditularkan secara seksual setelah lebih dari dua tahun terinfeksi, wanita

dengan sifilis yang tidak diterapi dapat tetap infeksius terhadap janin yang dikandungnya hingga

beberapa tahun lamanya11,14.

Sejumlah penelitian terbaru telah mengkonfirmasi prognosis sifilis pada kehamilan yang

tidak mendapat terapi. Pada 56 kasus yang dilaporkan, hanya 7 di antaranya yang mendapat

terapi selama kehamilan, dimana 34% dari kasus tersebut mengalami stillbirth, dan angka rerata

usia kehamilan saat kelahiran adalah 32.3 minggu. Penelitian lain menunjukkan adanya insiden

kelahiran prematur sebesar 28% pada kelompok wanita penderita sifilis yang mendapat terapi

selama masa kehamilan. Bukti presumtif adanya sifilis kongenital tampak pada 15 (26%) kasus

dari 57 wanita yang diterapi (tidak selalu adekuat) yang ditemukan pada usia kehamilan 24

minggu dan pada 41 (60%) wanita dari 70 wanita yang mendapat terapi pada trimester ketiga.

Berdasarkan penelitian meta analisis yang dilakukan terhadap 6 artikel mengenai adverse

pregnancy outcomes pada wanita dengan sifilis, didapatkan kematian janin, kematian neonatus,

kelahiran prematur, serta berat badan lahir rendah merupakan manifestasi yang paling sering

ditemukan. Gejala infeksi sifilis ditemukan pada 15% bayi yang lahir dari ibu sifilis yang tidak

mendapatkan terapi14,15.

19
2.3 Dampak Sifilis Pada Bayi

Infeksi sifilis pada kehamilan meningkatkan risiko infeksi transplasenta pada janin

sebesar 60-80%. Risiko infeksi tersebut semakin meningkat terutama pada trimester kedua

kehamilan. Transmisi dari ibu ke bayi semakin tinggi pada infeksi sifilis primer atau sekunder

yang tidak mendapatkan terapi (risiko sebesar 60-90%), pada sifilis laten dini risiko penularan

mencapai 40% dan 10% pada sifilis laten lanjut. Sebanyak 2/3 kehamilan dengan sifilis

memberikan gejala asimtomatis saat bayi lahir, namun infeksi tetap ada dan dapat bermanifestasi

segera setelah lahir ataupun bertahun-tahun paska kelahiran. Adapun manifestasinya dapat

diklasifikasikan menjadi sifilis kongenital dini dan sifilis kongenital lanjut. Lesi sifilis kongenital

dini dan lanjut dapat sembuh namun meninggalkan jaringan parut dan beberapa kelainan, disebut

juga stigmata sifilis kongenital13.

2.3.1 Sifilis Kongenital Dini

Pada stadium ini, gejala klinis muncul pada 3 bulan awal kehidupan hingga sebelum usia

2 tahun. Adapun gejala yang muncul dapat berupa hepatosplenomegali (70%), lesi kulit (70%),

demam (40%), neurosifilis (20%), pneumonitis (20%), serta limpadenopati menyeluruh. Lesi

kulit dapat ditandai dengan adanya vesikel, bula atau ruam kulit berwarna merah tembaga atau

lesi ptekie pada telapak tangan, telapak kaki, sekitar hidung dan mulut, serta area popok. Dapat

terjadi gangguan pertumbuhan, lesi pada selaput lendir hidung dan faring yang bersekresi disertai

darah, meningitis, osteokondritis pada tulang panjang hinga mengakibatkan pseudoparalisis.

2.3.2 Sifilis Kongenital Lanjut

Pada stadium ini, manifestasi klinis muncul setelah usia 2 tahun, meski dapat pula

asimtomatis. Titer serologis sering berfluktuasi. Adapun gejala klinisnya dapat berupa keratitis

interstitialis, gigi Hutchinson, gigi mulberry, gangguan saraf pusat VIII yang mengakibatkan

20
ketulian, Neurosifilis, skeloris pada tulang hingga tulang kering menyerupai pedang (saber sign),

perforasi palatum durum dan septum nasi akibat destruksi dari gumma, tulang frontal yang

menonjol, fisura di sekitar rongga mulut dan hidung disertai ragade (sifilis rinitis infantil).

2.3.3 Diagnosis Sifilis Kongenital

Diagnosis sifilis kongenital pada bayi di bawah 15 bulan tidaklah mudah, dikarenakan tes

serologi Ig G tidak bermanfaat, karena adanya transfer pasif antibodi ibu. Alternatif yang

disarankan untuk mendiagnosis kasus sifilis kongenital sebagai berikut.

1) Bayi yang dilahirkan dari ibu sifilis, dengan titer serologi minimal empat kali lebih tinggi

dari titer ibunya, atau tetap positif selama empat bulan setelah lahir. Bila titer negatif,

dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan liquor serebrospinalis. Pada ibu yang terinfeksi

sifilis perlu dilakukan pemeriksaan rontgen untuk melihat kelainan tulang dan fungsi hati

janin saat di dalam kandungan.

2) Anak dalam usia dua tahun pertama dengan bukti klinis sifilis (setidaknya dua

manifestasi klinis) dan serologi positif, lahir dari seorang ibu yang tidak diketahui status

serologisnya. Manifestasi klinis berupa pembengkakan sendi, pilek, bula/gelembung di

kulit, hepatosplenomegali, ikterik, anemia dan perubahan radiologis tulang panjang.

3) Bayi dilahirkan mati dari ibu sifilis yang tidak diobati atau tidak diobati adekuat,

meliputi:

 tidak ada dokumentasi tentang pengobatan;

 diobati kurang dari empat minggu sebelum persalinan;

 tidak mengunakan penisilin untuk pengobatan;

tidak menyesuaikan pengobatan sesuai dengan tahapan sifilis.

21
2.4 Skrining Sifilis Pada Kehamilan

Skrining sifilis pada kehamilan merupakan aspek penting yang harus dilakukan selama

masa kehamilan. Deteksi dini yang memadai pada masa kehamilan, berperen secara efektif

dalam mengobati dan mencegah transmisi sifilis. Skrining sifilis pada kehamilan mencakup 12:

a. Semua wanita hamil harus diskrining sifilis pada kunjungan pertama pelayanan antenatal.

b. Wanita yang berisiko tinggi mengalami sifilis dan wanita yang tinggal di daerah dengan

morbiditas sifilis yang tinggi harus melakukan pemeriksaan ulang antara minggu ke-28

dan 32 kehamilan serta saat melahirkan.

c. Pada ibu yang tidak mendapatkan pemeriksaan adekuat selama masa kehamilan,

pemeriksaan Rapid Plasma Reagin (RPR) harus dilakukan pada saat melahirkan.

d. Setiap ibu dan bayi yang tidak memiliki status sifilis maternal terdokumentasi, tidak

dapat meninggalkan rumah sakit tanpa dilakukannya skrining.

e. Setiap ibu yang mengalami kematian janin setelah usia 20 minggu kehamilan harus

dilakukan pemeriksaan sifilis.

f. Ibu hamil yang seropositif harus mendapatkan terapi, kecuali mereka memiliki

dokumentasi pengobatan yang adekuat dengan respon serologis yang tepat sesuai dengan

pengobatan dan titers dinyatakan rendah serta stabil.

g. Ibu paska terapi sifilis, apabila memiliki respon yang baik terhadap pengobatan dan

memiliki titer serofast rendah (Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) < 1: 2 dan

RPR < 1:4), tidak memerlukan terapi ulang.

h. Wanita dengan titer antibodi yang persisten dan lebih tinggi dapat mengindikasikan

terjadinya infeksi ulang.

22
2.5 Penatalaksanaan Sifilis Dalam Kehamilan12

Penisilin merupakan terapi baku emas untuk infeksi sifilis pada ibu hamil. Tujuan terapi

penisilin pada ibu hamil adalah untuk menangani penyakit ibu, mencegah transmisi pada janin

dan menangani penyakit sifilis yang telah terjadi pada janin. Selama hamil, disarankan

pemberian dosis kedua seminggu setelah benzatin penisilin G dosis awal diberikan.

Tabel 1. Terapi Sifilis pada Ibu Hamil12

Stadium Terapi sifilis pada ibu hamil

Sifilis
Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta IU, injeksi IM dosis
primer dan
tunggal ; dosis kedua dianjurkan
sekunder

Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta IU, injeksi IM, satu


Sifilis laten
kali/minggu selama 3 minggu berturut-turut.

Catatan:

 Bila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak di temukan obat Benzatin benzyl penicillin dan

yang ada hanya Procain benzyl penicillin, untuk terapi sifilis dosis Procain benzyl

penicillin 600.000 IU setiap hari selama minimal 30 hari berturut turut, pasien

mendapatkan dosis total 18 juta IU.

 Sebelum injeksi benzathin benzylpenicillin atau procain benzyl penicillin perlu dilakukan

uji penisilin terlebih dulu untuk memastikan pasien tidak alergi terhadap penisilin. 2

Tidak ada pengobatan alternatif dari penisilin yang terbukti dapat digunakan selama

kehamilan. Eritromisin dan azitromisin mungkin dapat menyembuhkan ibu hamil, namun

dikarenakan keterbatasan obat untuk melalu transplasenta, kedua obat ini tidak mencegah

penyakit kongenital. Tetrasiklin, termasuk doksisiklin, tergolong efektif namun tidak

direkomendasikan selama kehamilan, karena resiko efek samping terhadap janin. Satu-satunya

23
tatalaksana yang memuaskan untuk pasien yang hamil dengan sifilis dengan alergi penisilin

adalah desensitisasi yang diikuti oleh terapi penisilin. Namun, rejimen non-penicillin harus

dipertimbangkan ketika penisilin tidak dapat diperoleh atau ketika desensitisasi penisilin tidak

mungkin. Untuk pengobatan non-penisilin pada sifilis awal (primer, sekunder, atau laten <2

tahun) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan menggunakan salah satu dari rejimen

alternatif berikut:

 Eritromisin 500 mg 4 kali sehari selama 14 hari, atau

 Ceftriaxone 1 g IM satu kali sehari selama 10 sampai 14 hari, atau

 Azithromycin 2 g sekali secara oral

Untuk pengobatan non-penisilin pada sifilis lanjut, WHO merekomendasikan pengobatan

dengan eritromisin 500 mg per oral empat kali sehari selama 30 hari. WHO juga

merekomendasikan bahwa bayi yang lahir dari wanita yang dirawat selama kehamilan dengan

rejimen non-penisilin menerima pengobatan penicillin selama 10 hingga 15 hari.1,5

Semua wanita hamil dengan sifilis ditawarkan untuk melakukan konseling dan

pemeriksaan penyakit IMS lainnya. Setelah dilakukan pengobatan sifilis, pemeriksaan serologi

untuk melihat hasil dari pengobatan dilakukan pada bulan ke 3 sampai ke 6 dan biasanya

dikonfirmasi dengan penurunan titer VDRL dan RPR sebanyak empat kali lipat. Selama

kehamilan, titer serologi dapat diperiksa setiap bulan pada wanita dengan resiko tinggi reinfeksi.

Pada wanita yang tidak ada gejala namun dalam waktu dekat melakukan kontak seksual

dengan orang yang telah didiagnosis sifilis, wanita tersebut harus dinilai secara klinis dan

serologis. Jika pasangan terdiagnosis 90 hari setelah kontak seksual terjadi, maka dilakukan

pengobatan untuk sifilis dini, bahkan jika hasil serologi negatif. Namun jika kontak terjadi

kurang dari 90 hari, pengobatan dilakukan berdasarkan hasil serologi.1

24
2.6 Reaksi Jarisch-Herxheimer

Pengobatan sifilis dapat memicu reaksi Jarisch-Herxheimer, reaksi febril akut disertai

dengan sakit kepala, mialgia, ruam, dan hipotensi. Gejala-gejala ini dianggap merupakan hasil

dari pelepasan sejumlah besar lipopolisakarida treponemal dari spirochetes dan peningkatan

kadar sitokin yang bersirkulasi (tumor necrosis factor alpha (TNF-alfa), interleukin-6,

interleukin-8).

Reaksi dimulai dalam satu hingga dua jam pengobatan, memuncak pada delapan jam,

dan biasanya hilang dalam 24 hingga 48 jam. Reaksi mungkin lebih umum pada wanita HIV-

positif. Semua pasien harus diberi konseling tentang risiko dan gambaran klinis dari reaksi

demam ini dan penyedia pelayanan kesehatan harus mempertimbangkan mengamati pasien

selama satu hingga dua jam sebelum dia meninggalkan fasilitas rawat jalan. Manajemen berupa

perawatan suportif (misalnya antipiretik, cairan intravena).

Reaksi Jarisch-Herxheimer dapat memicu kontraksi uterus, persalinan prematur,

pada ibu hamil yang diobati pada paruh kedua kehamilan. Ibu hamil harus diberitahu untuk

melaporkan jika adanya gejala persalinan atau penurunan aktivitas janin; evaluasi dan perawatan

sesuai dengan standar obstetri biasa. Risiko terjadinya reaksi Jarisch-Herxheimer bukan

merupakan kontraindikasi untuk pengobatan sifilis. Pramedikasi dengan TNF-a antibodi atau

kortikosteroid tampaknya mencegah reaksi, tetapi tidak digunakan secara luas dengan data

terbatas dari risiko dan manfaat relatif dari pendekatan ini, khususnya pada wanita hamil.

25
2.7 Terapi Pada Bayi Dengan Sifilis Kongenital

Tatalaksana pada bayi dengan sifilis kongenital sebagai berikut

Tabel 2. Terapi Sifilis Kongenital13

BAYI dengan KLINIS Anjuran Terapi Anjuran Evaluasi


TERBUKTI/KEMUNGKI
NAN BESAR sifilis
congenital dan:
 Pemeriksaan fisis sesuai  Anjuran terapi: Aqueous  Analisis cairan
sifilis kongenital crystalline penicillin G 100.000- serebrospinal:
 Titer serologi non 150.000 unit /Kg/hari, injeksi VDRL,protein,dan
treponema kuantitati IV 50.000 unit/kg/dosis IV hitung sel
lebih tinggi sampai 4X setiap 12 jam dalam 7 hari  Complete blood count,
lipat titer ibu pertama dilanjutkan dengan differential count,
 Hasil positif pada setiap 8 jam selama total 10 hari platelet count
pemeriksaan atau;  Tes lain sesuai indikasi
mikroskopis lapangan  Procain penicillin G 50,000 klinis: Ro tulang
gelap dari cairan tubuh unit/ kg/dosis, injeksi IM sekali panjang, Ro toraks Tes
suntik perhari selama 10 hari fungsi hati, USG cranial,
Pemeriksaan
Catatan : Bila ada pengobatan yang oftalmologi, Respons
tidak diberikan lebih dari satu hari, pendengaran
maka pengobatan diulang dari
awal.

BAYI dengan KLINIS Anjuran Terapi Anjuran Evaluasi

26
NORMAL dan titer
Serologi nontreponema
kuantitatif SAMA Atau
tidak melebihi 4X lipat
titer ibu
 Ibu belum diobati,  Aqueous crystalline penicillin G  Analisis cairan
pengobatan tidak 100,000–150,000 unit/kg/hari,injeksi serebro spinal:
adekuat, tidak ada IV 50,000 unit/kg/dosisIV setiap 12 VDRL,protein,da
catatan pernah di obati jam dalam usia 7 haripertama days n hitun gsel -
 Ibu diobati dengan dilanjutkan degan setiap 8 jam selama  Complete blood
eritromisin atau obat total 10 hari ATAU count, differential
bukan penisilin lain  Procaine penicillin G 50,000 count, Platelet
 Ibu diobati kurang dari unit/kg/dosis, injeksi IM sekali suntik count -
4 minggu sebelum per hari selama 10 hari  Ro tulang
partus  Benzathine penicillin G 50,000 panjang
unit/kg/dosis IM sekali suntik

BAYI dengan KLINIS Anjuran Terapi Anjuran Evaluasi


NORMAL dan titer Serologi
nontreponema kuantitatif
SAMA Atau tidak melebihi
4X lipat titer ibu
 IBU sudah diobati saat  Benzathine penicillin G 50,000  Tidak ada
hamil,pengobatan adekuat unit/kg/ dosis IM sekali suntik
sesuai stadium,diobati lebih  Pendapat lain: Tidak mengobati
dari 4 minggu sebelum bayi, tetapi pengamatan ketat
partus serologi bayi bila si ibu titer
 Tidak ada bukti ibu serologi nontreponema menurun
mengalami relaps atau 4X lipat sesudah terapi adekuat
reinfeksi untuk sifilis dini atau tetap stabil

27
atau rendah pada sifilis lanjut
 IBU pengobatan adekuat  Tidak perlu terapi  Tidak ada
sebelum hamil  Dapat diberikan terapi benzathine
 IBU titer serologi penicillin G 50,000 units/kg/
nontreponema tetap rendah dosis IM sekali suntik, terutama
dan stabil, sebelum dan bila follow-up meragukan
selama kehamilan atau saat
partus (VDRL<1:2;RPR<1:4)

2.8 Pencegahan Transmisi Infeksi Sifilis dari Ibu ke Bayi

Sifilis kongenital sebagai satu manifestasi transmisi infeksi sifilis dari ibu ke bayi, terjadi

akibat kurang adekuatnya skrining terhadap infeksi menular seksual pada masa kehamilan. Hal

tersebut mengakibatkan penanganan infeksi sejak dini tidak dapat dilakukan.27 Pencanangan

program penatalaksanaan prenatal pada semua wanita hamil tetap menjadi dasar program

pencegahan sifilis transmisi sifilis dari ibu ke bayi. World Health Organization telah

mencanangkan Global Strategic Plan untuk mengeliminasi sifilis kongenital, yang terdiri dari 4

pilar, yaitu :

a) meningkatkan akses, kualitas serta pelayanan kesehatan maternal dan bayi baru lahir;

b) melakukan skrining dan pengobatan pada wanita hamil dan pasangannya;

c) membangun pengawasan, pemantauan dan sistem evaluasi12,13.

Selain itu, WHO bersama-sama dengan Program for Appropriate Technology and Health

(PAHO) menginisisasi dual testing project untuk mengeliminasi sifilis kongenital. Metode pada

program tersebut adalah dengan melakukan tes untuk menemukan T.pallidum dan HIV secara

bersamaan, dengan sampel dan peralatan yang sama, sehingga seluruh wanita hamil akan

mendapatkan tes skrining untuk HIV dan sifilis secara bersamaan. Berdasarkan hal-hal tersebut,

28
dapat disimpulkan bahwa skrining sejak awal kehamilan merupakan poin yang penting untuk

mencegah transmisi sifilis dari ibu ke bayi12,13.

29
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : Ny. ML

Tanggal lahir/Umur : 27 tahun

Pekerjaan : IRT

Agama : Protestan

Status pernikahan : Belum Menikah

Alamat : Oebufu

Tanggal MRS : 05/01/2022

No RM : 550612

3.2 Anamnesa

 Keluhan Utama : Perut kencang-kencang dan keluar lendir darah

 Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang diantar keluarga dengan keluhan perut

kencang-kencang disertai keluar lendir darah yang dirasakan sejak pukul 22.30 (5/1/22)

Yang semakin memberat sehingga membuat pasien datang ke RSUDWZJ, dalam

perjalanan pasien mengatakan keluar air-air yang tidak bisa ditahan dan keluar lendir

darah dari jalan lahir. Pasien juga terdiagnosis sifilis saat pertama kali melakukan

kunjungan kontrol kehamilan di Puskesmas Oepoi. Pasien mengaku tidak mengetahui

sejak kapan pasien mengidap Sifilis, namun pasien mengatakan pada tahun 2020 (pasien

lupa tepatnya), pasien pernah memilki riԝayat timbulnya bercak-bercak merah pada

tangan dan kaki namun saat itu pasien berpikir bahԝa itu karena alergi cuaca dingin

sehingga mengabaikannya. Saat muncul pasien mengatakan tidak ada gatal ataupun

30
demam sebelumnya, serta tidak ada nyeri. Keluhan tersebut hilang spontan setelah ± 3

minggu. Menurut pasien saat kehamilan pertama tidak dikatakan apapun mengenai ada

tidaknya sifilis. Pasien juga mengatakan tidak mengetahui apakah suaminya juga

terinfeksi penyakit yang sama atau tidak. Keluhan mengenai adanya luka (papul) pada

alat kelamin, demam, adanya penurunan BB disangkal. BAK dan BAB dalam batas

normal

 Riwayat Penyakit Dahulu: Hipertensi (-), DM (-), Asma (-)

 Riwayat Penyakit Keluarga: Hipertensi (-), DM (-),Asma (-)

 Riwayat Pengobatan : Benzatin Penisilin (Inj ke-3)

 Riwayat ANC : 3x di PKM Oepoi

 Riwayat Kontrasepsi : KB suntik 3 bln selama 6 bulan (2019)

 Riwayat Imunisasi :

 Menarche : Usia 14 tahun, siklus 30 hari, lama haid 7 Hari.

 Riwayat Persalinan :

1. 9 bulan/ spontan/ klinik/bidan /P/3700/2019/sehat

2. Hamil ini :

HPHT : 24-03-2021

TP : 31-12-2021

UK : 40-41 minggu

3.3 Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum : Baik

 Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)

– Keadaan umum: Baik

31
– Kesadaran :Compos mentis (GCS E4V5M6)

– TTV :

– TD :120/70mmHg

– S : 36.6°C

– N : 77 x/m

– RR : 20x/m

– SpO2 : 97%

– Mata : Konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-

– Leher : Pembesaran KGB -/-, pembesaran kel. tiroid (-)

– Thoraks :

– Cor : S1S2 T/R, gallop (-), murmur (-)

– Pulmo : Vesikuler+/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

– Abdomen

– Inspeksi: : Tampak cembung

– Auskultasi: BU (+) kesan normal

– Palpasi : nyeri tekan (-)

– Ekstremitas

– Akral hangat (+/+), Edema esktremitas -/- , CRT < 2”

– Status Obstetri :

L1 : Bulat lunak, TFU 28 cm

L2 : Punggung kiri

L3 : Bulat keras

L4 : Sudah masuk PAP 1/5

32
• DJJ : 147 dpm

• HIS : 3-4x10' (35-40)

• VT (23.40) : Pembukaan lengkap, Effacement-, bagian terendah kepala, denominator

UUK anterior, KK (-), sudah masuk bidang Hodge IV

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Hb 11,6 g/dL 12.0-16.0


Hematokrit 33,0 % 37.0- 47.0
MCV 75,0 fL 81.0- 96.0
MCH 27,3 pg 27.0- 36.0
Leukosit 20,09 10³/ul 4.0-10.0
Trombosit 324,00 10³/ul 150-400
HBsAg R/TAP Non Reaktif
Rapid HIV Non Reaktif Non Reaktif
Syphilis Ab test Positif Negative
Rapid Antigen Negative Negative
SARS-CoV-2
GDS 106 Mg/dL 70-150

3.5 Asessment awal masuk : G2P1-1 40-41 minggu T/H + inpartu kala II+ Sifilis on treatment
+ TBJ 2635 gram

3.6 Planning :
Pimpin Persalinan

 Outcome :
Pada tanggal 06/01/2022 pukul 00.05 ԜITA telah lahir bayi perempuan secara spontan
pervaginam dengan BB: 2700 gram, PB 47 cm, AS 9/10, Ballard score 40 minggu

3.7 Follow Up
Tanggal S O A P

06/01/2022 Nyeri dari jalan KU : Baik P2-2post partum Manajemen aktif Kala III
Jam 00.05 lahir (+) Kesadaran : spontan + kala III • Peregangan tali
Ԝita Compos mentis +ruptur perineum pusat terkendali
(E4V5M6) gr.I + Sifilis • Masase fundus
TD:110/80 dalam terapi uteri
33
mmHg • Plasenta lahir
N:76 x/menit lengkap pukul.
RR:20x/ menit 00.15 Wita
S:36.50C • Penjahitan
SpO2 : 98% perineum

06/01/2022 Nyeri pada KU : Baik P2-2 + Post Observasi tekanan darah,


Jam 00.30 bekas jahitan Kesadaran : Partum partum+ nadi, fundus uteri,
Ԝita (+), perdarahan Compos mentis Kala IV + Post kontraksi uterus, PPV
aktif (-) (E4V5M6) Hecting perineum setiap 15 menit dalam 1
TD:110/70 + Sifilis dalam jam pertama dan 30
mmHg terapi menit selama 1 jam
N: 82x/menit kedua
RR:20x/ menit
S:36.70C As. Mefenamat 3 x 500
SpO2 : 98% mg PO

Livron B Plex 2 x 1 tab


Status PO
puerpuralis :
Mammae :
Saran :
retraksi (-/-),
ASI (-/-) Co SpKK
TFU : 2 jari di
baԝah pusat
Kontraksi : baik
PPV :
(+)Lochea rubra

06/01/2022 Visite dokter Sp.KK


Jam 11.00
DX: Susp. Sifilis Laten (Dalam terapi)
Saran: Cek VDRL
07/01/2022 Masih sedikit KU : Baik P2-2 Post Partum DPJP
nyeri pada bekas Kesadaran : partum H1 + Post As. Mefenamat 3 x 500
jahitan (+), Compos mentis Hecting perineum mg PO
perdarahan aktif (E4V5M6) + Sifilis Laten
(-) TD:110/80 dalam terapi Livron B Plex 2 x 1 tab
mmHg PO
N:68 x/menit
RR:20x/ menit Dokter Sp.KK :
S:36.50C Cek VDRL (Menunggu
SpO2 : 98% hasil)

Status

34
puerpuralis :
Mammae :
retraksi (-/-),
ASI (+/+)
TFU : 2 jari di
baԝah pusat
Kontraksi : baik
PPV :
(+)Lochea rubra

10.25 Ԝita Hasil VDRL  (+) 1:64

11.00 Ԝita Visite dokter Sp.KK

S: pasien keluhan luka dikelamin disangkal, bercak di badan /kaki/tangan (+)


setahun lalu
O: St. Venerologi
Vulva: kondiloma/papul (-)
A: Sifilis Laten On treatment
P : Kontrol Poli 1 bulan untuk cek VDRL lagi
08/01/2022 Keluhan (-) KU : Baik P2-2 Post Partum DPJP
Kesadaran : partum H2 + Post As. Mefenamat 3 x 500
Compos mentis Hecting perineum mg PO
(E4V5M6) + Sifilis Laten
TD:110/80 dalam terapi Livron B Plex 2 x 1 tab
mmHg PO
N: 84x/menit
RR:20x/ menit BPL
0
S:36.3 C
SpO2 : 98% Dokter Sp.KK :
Kontrol Poli 1 bulan
untuk cek VDRL lagi
Status
puerpuralis :
Mammae :
retraksi (-/-),
ASI (+/+)
TFU : 2 jari di
baԝah pusat
Kontraksi : baik
PPV : (+)Lochea
rubra

35
BAB 4

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, wanita 27 tahun dengan diagnosis G2P1-1 40-41 minggu T/H + inpartu

kala II+ Sifilis on treatment + TBJ 2635 gram. Dalam kasus ini, diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis ,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang disesuaikan dengan

literature. Berdasarkan definisi, Sifilis merupakan salah satu penyakit menular seksual yang

disebabkan oleh Treponema pallidum. Perjalanan klinis sifilis dibagi menjadi sifilis dini dan

sifilis lanjut, sifilis dini yang terjadi dalam 1 tahun setelah terjadinya infeksi primer, terdiri dari

sifilis primer, sifilis sekunder dan sifilis laten dini. Sifilis laten lanjut yang terjadi setelah 1 tahun

dari munculnya lesi primer, terdiri dari sifilis laten lanjut dan sifilis tersier yang meliputi trias

neurosifilis, sifilis kardiovaskuler dan sifilis benigna lanjut atau sifilis gumatosa. Pada kasus,

pasien memiliki riԝayat munculnya timbulnya bercak-bercak merah pada tangan dan kaki pada

tahun 2020. Keluhan bercak merah pada tangan dan kaki dirasakan tidak ada gatal, sebelum

timbul pasien tidak merasakan demam, serta tidak ada nyeri. Keluhan tersebut hilang spontan

setelah ± 3 minggu. Berdasarkan keluhan tersebut, dapat diartikan pasien telah meleԝati stadium

sifilis sekunder. Sifilis sekunder dapat juga disebut sebagai sifilis diseminata karena merupakan

hasil dari penyebaran treponema secara hematogen selama masa evolusi lesi sifilis primer. Lesi

sifilis sekunder timbul 3-12 minggu setelah timbulnya lesi sifilis primer, tetapi pada sekitar 15%

kasus lesi tersebut timbul sebelum lesi sifilis primer hilang. Temuan awal pada stadium ini

berupa ruam berwarna tembaga yang hilang dengan cepat, dimana keluhan ini seringkali tidak

disadari pasien sehingga terlewatkan saat pemeriksaan. Beberapa hari kemudian muncul erupsi

makulopapular yang simetris pada daerah badan dan ekstrimitas, termasuk telapak tangan dan

kaki. Lesi berwarna merah kecoklatan, menyebar, dan berdiameter 0,5-2 cm. Biasanya ruam

36
disertai sisik, walau terkadang halus, folikular, ataupun pada kasus jarang bisa disertai pustula,

kecuali pada bagian telapak tangan dan kaki. Stadium ini biasanya akan menghilang dalam

waktu 4-12 minggu. Apabila sifilis sekunder tetap tidak terdiagnosis dan tidak mendapat

pengobatan, seluruh manifestasi yang terlihat dari penyakit sembuh secara spontan dan pasien

akan masuk ke periode laten yang dapat berlangsung selama beberapa tahun. Sifilis laten dibagi

menjadi infeksi laten awal dan laten akhir, dengan garis pembagi yaitu 1 tahun setelah terjadinya

infeksi. Pada kasus ini, pasien mengetahui terinfeksi penyakit sifilis saat kunjungan pertama di

Puskesmas Oepoi untuk kontrol kehamilan anak ke-2 di usia kehamilan 23 minggu. Dari hasil

anamnesis ini dapat pasien tidak mengetahui sejak kapan terinfeksi penyakit sifilis serta

kemungkinan telah meleԝati stadium sekunder sehingga pasien dimasukkan dalam sifilis laten.

Selama tahap laten dari penyakit, tidak ada lesi kulit atau selaput lendir untuk sampel. Oleh

karena itu, diagnosis harus berdasarkan hasil pengujian serologis dan tidak adanya tanda-tanda

dan gejala sifilis tersier.

Pada kasus ini, pasien dilakukan tes non treponemal antibody di Puskesmas Oepoi dan

dinyatakan positif. Untuk mendiagnosis suatu sifilis perlu dilakukan adalah tes serologis untuk

sifilis. Tes serologis ada dua tipe yaitu tes non treponemal dan treponemal. Tes non-treponema

mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap bahan-bahan lipid dari sel-sel T.

pallidum yang hancur. Tes seperti ini dipakai untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang

bersifat aktif, serta memantau keberhasilan terapi. Karena tes non-spesifik ini jauh lebih murah

dibandingkan tes spesifik treponema, maka tes ini sering dipakai untuk skrining.

Pasien diberikan terapi injeksi Benzatin Penisilin dengan dosis 2,4 Juta IU secara IM di

Puskesmas Oepoi. Pasien mendapat tiga dosis dengan rentang ԝaktu 1 minggu. Centers for

Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan bahwa wanita hamil harus diobati

37
dengan rejimen penisilin. Benzatin penisilin G merupakan terapi yang direkomendasikan untuk

semua stadium sifilis, karena memiliki waktu paruh yang panjang. Pengobatan yang

direkomendasikan oleh CDC pada ibu hamil adalah benzatin penisilin 2,4 juta IU dosis tunggal

secara intramuskuler untuk pengobatan sifilis primer, sifilis sekunder dan laten dini. Pada sifilis

laten lanjut atau sifilis laten yang durasinya tidak diketahui, benzatin penisilin G diberikan 7,2

juta IU yang terbagi 3 dosis pemberian, yaitu 2,4 juta IU selang waktu 1 minggu. Ibu hamil yang

memiliki riwayat alergi terhadap penisilin, harus dilakukan desentisasi dan diterapi dengan

penisilin. Tetrasiklin dan doksisiklin merupakan kontraindikasi pada kehamilan trimester kedua

dan ketiga. Reaksi Jarisch-Herxheimer dapat terjadi pada beberapa pasien setelah menerima

terapi sifilis, ditandai adanya demam, sakit kepala, mialgia dan malaise. Reaksi ini dapat

meningkatkan risiko persalinan, prematur dan gawat janin selama trimester kedua kehamilan.

Pada kasus, pasien tidak mengalami reaksi Jarisch-Herxheimer dan kondisi janin selama kontrol

kehamilan dikatakan dalam kondisi baik. Titer serologi harus diulang pada usia kehamilan 28-32

minggu dan saat melahirkan. Pengobatan pada ibu hamil dikatakan gagal, apabila titer antibodi

ibu saat melahirkan adalah empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan titer sebelum terapi.

Pada kasus ini, pasien partus spontan pervaginam dengan outcome lahir bayi perempuan

berat badan lahir 2700 gram, panjang badan 47 cm, APGAR Score 9/10, Ballard score 40

minggu. Pada bayi tidak ditemukan tanda-tanda adanya sifilis kongenital. Infeksi sifilis pada

kehamilan meningkatkan risiko infeksi transplasenta pada janin sebesar 60-80%. Risiko infeksi

tersebut semakin meningkat terutama pada trimester kedua kehamilan. Transmisi dari ibu ke bayi

semakin tinggi pada infeksi sifilis primer atau sekunder yang tidak mendapatkan terapi (risiko

sebesar 60-90%), pada sifilis laten dini risiko penularan mencapai 40% dan 10% pada sifilis

laten lanjut. Sebanyak 2/3 kehamilan dengan sifilis memberikan gejala asimtomatis saat bayi

38
lahir, namun infeksi tetap ada dan dapat bermanifestasi segera setelah lahir ataupun bertahun-

tahun paska kelahiran sehingga tetap perlu dilakukan tes non treponemal pada bayi. Bila titer nya

sama atau tidak melebihi 4x titter ibu maka direkomendasikan pemberian Benzathine penicillin

G 50,000 unit/kg/ dosis IM sekali suntik

Menurut manifestasinyasifilis kongenital dapat diklasifikasikan menjadi sifilis kongenital

dini dan sifilis kongenital lanjut. Sifilis kongenital sebagai satu manifestasi transmisi infeksi

sifilis dari ibu ke bayi, terjadi akibat kurang adekuatnya skrining terhadap infeksi menular

seksual pada masa kehamilan. .Hal tersebut mengakibatkan penanganan infeksi sejak dini tidak

dapat dilakukan. Selain itu, WHO bersama-sama dengan Program for Appropriate Technology

and Health (PAHO) menginisisasi dual testing project untuk mengeliminasi sifilis kongenital.

Metode pada program tersebut adalah dengan melakukan tes untuk menemukan T.pallidum dan

HIV secara bersamaan, dengan sampel dan peralatan yang sama, sehingga seluruh wanita hamil

akan mendapatkan tes skrining untuk HIV dan sifilis secara bersamaan. Pada kasus, ibu telah

dilakukan skrining sifilis dan HIV sejak kontrol kehamilan pertama kali di Puskesmas sehingga

membantu dalam mengurangi dampak infeksi sifilis terhadap bayi.

39
BAB 5

PENUTUP

Telah dilaporkan pasien atas nama Ny. ML usia 27 tahun, pasien masuk dengan diagnosis

diagnosis G2P1-1 UK 40-41 minggu + inpartu kala II+ Sifilis on treatment+TBJ 2635 gram .

pasien telah terdiagnosis Sifilis saat usia kehamilan 23 minggu di Puskesmas Oepoi dan

dilakukan penanganan beruka injeksi Benzatin Penisilin 2,4 juta IU secara IM sebanyak 3

dosis. Kemudian pasien datang ke IGD RSUDԜZJ dikarenakan adanya tanda-tanda ingin

bersalin seperti perut kencang-kencang dan keluar lendir darah dari jalan lahir. Saat

dilakukan pemeriksaan VT didapatkan pembukaan telah lengkap dan dilakukan pimpin

persalinan. Kondisi bayi dalam keadaan baik dengan BBL 2700 gram, PB 47 cm, A/S 9/10,

BS 40 minggu. Pada bayi tidak ditemukan adanya tanda-tanda sifilis kongenital, namun tetap

perlu dilakukan evaluasi. Pada ibu telah dikonsulkan ke dokter SpKK dan telah dilakukan

pemeriksaan VDRL dengan titter didapatkan 1:64, lalu direncanakan kontrol kembali ke Poli

Kulit dan kelamin 1 bulan lagi. Pasien kemudian dipulangkan dalam kondisi baik setelah 3

hari peraԝatan di RSUDԜZJ dan direncanakan konrol poli kebidanan 1 minggu kemudian

dan kontrol ke poli kulit dan kelamin 1 bulan kemudian.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Santis MD, Luca CD, Mappa I, Spagnuolo T, Licameli A, Straface G, et al. Syphilis

infection during pregnancy: fetal risks and clinical management. Inf Dis Obstet Gynecol.

2017; 5: 1-5.

2. Hicks, C.B., Norwitz, E. R. (2017, March). Syphillis in Pregnancy. Wolters Kluwer.

3. Queensland Clinical Guidelines Maternity and Neonatal: Syphilis in Pregnancy. 2018;

56: 234-63.

4. Pedoman tatalaksana sifilis di Layanan Kesehatan Dasar.2013. Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia

5. Centers for Disease Control and Prevention. Syphilis in Pregnancy in Sexually

Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015. MMWR Recomm Rep 2015;64(No.

RR-3): 43-4

6. Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Kemenkes RI

7. Tsimis ME, Sheffield JS. Update on syphilis in pregnancy. Birth Defect Research. 2017;

109: 347-52.

8. Indriatmi W. Sifilis. In: Daili SF, Nilasari H, Indriatmi W, Zubier F, Romawi R, Pudjiati

SR. Infeksi menular seksual. 5th edition. Jakarta: FKUI; 2017. p. 103-50.

9. Mani, S. B., Pegany, R., Sheng, D., Wendel, S. K., & Gaydos, C. A. (2017, March).

Maternal Syphilis : Variations in Prenatal Screening , Treatment , and Diagnosis of

Congenital Syphilis. Columbia Medical Review.

41
10. Magalhaes M, Basto L, Areia AL, Franco S, Malheiro ME, Afonso M, et al. Syphilis in

pregnancy and congenital syphilis: reality in a Portuguese central university. Rev Bras

Ginecol Obstet. 2017; 39: 265-72.

11. Rac M, Revell PA, Eppes CS. Syphilis during pregnancy: a preventable threat to maternal

fetal health. Am J Obstet Gynecol. 2017; 216(4): 352-63.

12. WHO Guideline on Syphilis Screening and Treatment for Pregnant Women. 2017

13. Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Ibu dan Anak

Pedoman manajemen program pencegahan penularan HIV Dan sifilis dari ibu ke anak.

Jakarta : Kementrian Kesehatan RI. 2014

14. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Rosita C, et al. Sifilis. In:

Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Perdoski; 2017. p. 372-4.

15. Ham D.C., Lin C., Newman L, Wijesooriya N.S., Kamb M. Improving global estimates

of syphilis in pregnancy by diagnostic test type: A systematic review and meta-analysis.

International Journal of Gynecology and Obstetrics. 2015;(130). p.10–14.

42

Anda mungkin juga menyukai