Disusun Oleh
Sarah Octaviani Halan, S. Ked
(1508010048)
Pembimbing :
dr. Kristina L.D. Samane, SpOG
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum. Sifilis juga disebut sebagai “the great imitator” dimana infeksi ini dapat
menyerang semua organ tubuh serta memberikan gambaran klinis yang menyerupai banyak
penyakit1. Sifilis dapat ditularkan melalui hubungan seksual, transfusi darah serta ditularkan dari
ibu ke janin. Sifilis dapat diklasifikasikan menjadi sifilis didapat dan kongenital. Sifilis didapat
terdiri atas stadium primer, sekunder, dan tersier, serta periode laten diantara stadium sekunder
dan tersier1,2. Manifestasi klinis sifilis dapat terlihat jelas namun terdapat masa laten bersifat
asimtomatik serta dapat ditularkan melalui hubungan seksual, transfusi darah, dan vertikal dari
ibu ke janin. Paradigma lampau menyatakan bahwa transmisi sifilis dari ibu ke anak akan
bermanifestasi sebagai sifilis kongenital yang tidak dapat dihindari. Namun seiring dengan
perkembangan ilmu dan teknologi, berbagai tes skrining dan pengobatan sifilis dilaporkan
semakin efektif untuk mencegah transimisi penyakit. Diagnosis dan pencegahan transmisi sifilis
dilaporkan layak, murah dan hemat biaya. Walaupun demikian, sifilis kehamilan tetap dilaporkan
Insiden sifilis pada kehamilan menurut Center for Disease Control and Prevention
(CDC) di Amerika Serikat tahun 2015 sebesar 1,8 kasus per 100.000 perempuan hamil 4. Data
dari Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia (Dirjen P2P Kemenkes RI) terdapat 3.295 perempuan dengan diagnosis
sifilis pada kehamilan dari 39.660 perempuan hamil yang melakukan skrining saat antenatal care
(ANC) di Indonesia tahun 2017. Berdasarkan analisis data surveilans antenatal multinasional
oleh Newman et al., pada tahun 2018, diperkirakan lebih dari 520.000 kehamilan dengan hasil
2
yang buruk akibat sifilis pada tahun 2013. Dari jumlah tersebut, diketahui bahwa 215.000
mengalami stillbirth dan kematian fetus secara dini, 90.000 mengalami kematian neonatal,
65.000 mengalami kelahiran prematur atau berat bayi lahir rendah, dan 150.000 merupakan bayi
baru lahir yang terinfeksi sifilis. Estimasi data tersebut belum mencakup jumlah kematian
tambahan yang mungkin terjadi setelah bulan pertama kehidupan khususnya untuk bayi dengan
prematur, berat lahir rendah dan infeksi kongenital. Antenatal Care sejak dini merupakan
intervensi penting dalam pencegahan transmisi sifilis dari ibu ke anak. Intervensi ini sejalan
dengan pilar kedua strategi global WHO terkait eliminasi transmisi sifilis, yaitu peningkatkan
akses dini perawatan maternal dan neonatal. Pilar tersebut secara eksplisit merujuk pada tujuan,
yaitu peningkatan presentase ibu hamil yang melakukan ANC dini. Sangat penting dilakukan
skrining aԝal agar mengetahui sejauh mana risiko penularan dari ibu ke bayi4,5.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sifilis
2.1.1 Definisi
pallidum (T. pallidum) dan merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual. Sifilis dapat
Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral yang ramping dengan
lebar kira-kira 0,2 µm dan panjang 5-15 µm. Lengkung spiralnya/gelombang secara teratur
terpisah satu dengan lainnya dengan jarak 1 µm, dan rata-rata setiap kuman terdiri dari 8-14
gelombang. Organisme ini aktif bergerak, berotasi hingga 90° dengan cepat di sekitar
endoflagelnya bahkan setelah menempel pada sel melalui ujungnya yang lancip. Aksis panjang
spiral biasanya lurus tetapi kadang-kadang melingkar, yang membuat organisme tersebut dapat
membuat lingkaran penuh dan kemudian akan kembali lurus ke posisi semula. Spiralnya sangat
tipis sehingga tidak dapat dilihat secara langsung kecuali menggunakan pewarnaan
imunofluoresensi atau iluminasi lapangan gelap dan mikroskop electron. Struktur Treponema
pallidum terdiri dari membran sel bagian dalam, dinding selnya dilapisi oleh peptidoglikan yang
tipis, dan membran sel bagian luar. Flagel periplasmik (biasa disebut dengan endoflagel)
ditemukan didalam ruang periplasmik, antara dua membrane. Bakteri ini berkembang biak
dengan pembelahan melintang dan menjadi sangat invasif, patogen persisten dengan aktivitas
toksigenik yang kecil dan tidak mampu bertahan hidup diluar tubuh host mamalia. Mekanisme
biosintesis lipopolisakarida dan lipid Treponema pallidum sedikit. Kemampuan metabolisme dan
4
adaptasinya minimal dan cenderung kurang, hal ini dapat dilihat dari banyak jalur seperti siklus
asam trikarboksilik, komponen fosforilasi oksidatif dan banyak jalur biosintesis lainnya.
Keseimbangan penggunaan dan toksisitas oksigen adalah kunci pertumbuhan dan ketahanan
Treponema pallidum. Organisme ini juga tergantung pada sel host untuk melindunginya dari
radikal oksigen, karena Treponema pallidum membutuhkan oksigen untuk metabolisme tetapi
Treponema pallidum akan mati dalam 4 jam bila terpapar oksigen dengan tekanan atmosfer
21%. Keadaan sensitivitas tersebut dikarenakan bakteri ini kekurangan superoksida dismutase,
katalase, dan oxygen radical scavengers. Superoksida dismutase yang mengkatalisis perubahan
anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan air, tidak ditemukan pada kuman ini.
Treponema pallidum tidak dapat menular melalui benda mati seperti bangku, tempat duduk
toilet, handuk, gelas, atau benda-benda lain yang bekas digunakan/dipakai oleh pengindap,
karena pengaruh suhu dan rentang pH. Suhu yang cocok untuk organisme ini adalah 30-37°C
5
2.1.3 Patogenesis T. Pallidum
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa vagina dan
uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke
janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan. Treponema pallidum masuk dengan
cepat melalui membran mukosa yang utuh dan kulit yang lecet, kemudian kedalam kelenjar
getah bening, masuk aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk
keruang intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol).
Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan serologi belum
kelihatan pada saat itu8. Darah dari pasien yang baru terkena sifilis ataupun yang masih dalam
masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu berkembangbiak Treponema pallidum selama masa aktif
penyakit secara invivo 30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk,
biasanya bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat
masuknya, kuman mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat
yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara klinis dapat dilihat sebagai papul.
Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah
perivaskuler (Treponema pallidum berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini
mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis
obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada daerah papula tersebut
berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini disebut chancre8.
Meskipun didalam lesi primer dijumpai banyak kuman namun tidak ditemukan kerusakan
jaringan yang cukup luas karena kebanyakan kuman yang berada diluar sel akan terbunuh oleh
fagosit tetapi ada sejumlah kecil Treponema yang dapat tetap dapat bertahan di dalam sel
makrofag dan di dalam sel lainya yang bukan fagosit misalnya sel endotel dan fibroblas.
6
Keadaan tersebut dapat menjadi petunjuk mengapa Treponema pallidum dapat hidup dalam
tubuh manusia dalam jangka waktu yang lama, yaitu selama masa asimtomatik yang merupakan
ciri khas dari penyakit sifilis. Sifat invasif Treponema sangat membantu memperpanjang daya
2.1.4 Klasifikasi
Siflis secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu siflis kongenital (ditularkan dari
ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis yang didapat/ akuisita yang ditularkan melalui
hubungan seks dan produk darah yang tercemar10.
A.1. Sifilis dini, mudah menular dan merespon pengobatan dengan baik
A.2.1. Sifilis laten lanjut (telah diderita selama lebih dari 1 tahun)
B. Sifilis kongenital, Sifilis kongenital ditularkan dari ibu ke janin di dalam rahim.
Manifestasi awal penyakit sifilis dapat berupa makula kecil, yang kemudian menjadi
papul dan mengalami ulserasi. Ulkus biasanya tunggal, tidak nyeri, dasar bersih dan relatif tidak
memiiki pembuluh darah, meskipun kaang dapat multipel. Dapat terjadi limfadenopati inguinal
bilateral. Pada wanita lesi ditemukan pada vulva, dinding vagina, atau pada servik. Lesi
7
ekstragenital jarang terjadi. Pada pasien yang tidak mendapat pengobatan, onset tahap sekunder
penyakit dapat terjadi pada 6 minggu hingga 6 bulan setelah infeksi awal. Lesi primer mungkin
masih tetap ada ketika lesi sekunder secara klinis terjadi. Bentuk utama dari sifilis sekunder
adalah ruam kulit dapat berbentuk makula, papular atau papulo-skuamosa yang terlihat pada
telapak tangan dan telapak kaki, namun dapat tersebar pada seluruh tubuh. Ruam bisa disertai
dengan limfadenopati generalisata dan demam, sakit kepala, serta malaise. Pada sifilis sekunder
juga dapat ditemukan kondilomata lata. Gejala tersebut dapat mengalami remisi spontan dan
Apabila sifilis sekunder tetap tidak terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan, seluruh
manifestasi yang terlihat dari penyakit sembuh secara spontan dan pasien akan masuk ke periode
laten yang dapat berlangsung selama beberapa tahun. Sifilis laten dibagi menjadi infeksi laten
awal dan laten akhir, dengan garis pembagi yaitu 1 tahun setelah terjadinya infeksi. Selama tahap
laten dari penyakit, tidak ada lesi kulit atau selaput lendir untuk sampel. Oleh karena itu,
diagnosis harus berdasarkan hasil pengujian serologis dan tidak adanya tanda-tanda dan gejala
sifilis tersier. Sifilis tersier secara umum dipertimbangkan sebagai tahap destruktif dari penyakit.
Gejala dapat muncul beberapa tahun setelah infeksi awal, meskipun proses penyakit dapat
berlanjut lebih cepat pada pasien yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Manifestasi sifilis tersier dapat berupa lesi noduloulseratif destruktif yang disebut gumma,
osteomielitis, osteitis, kekakuan dan nyeri gerak dengan disertai berbagai tanda akan terjadinya
8
2.1.6 Penegakkan Diagnosis Sifilis
Diagnosis sifilis didasarkan pada evaluasi klinis, deteksi organisme penyebab, dan
konfirmasi dari penyakit dengan pemeriksaan laboratorium. Treponema pallidum tidak dapat
dilakukan kultur di laboratorium, tetapi dapat diidentifikasi pada lesi menggunakan pemeriksaan
lapangan gelap atau mikroskop fluoresensi atau dengan teknik molekuler. Pada individu yang
asimtomatis, dapat dilakukan tes serologi untuk skrining terhadap infeksi. Treponema pallidum
tidak dapat dikultur dari specimen klinis. Namun diagnosis bias dilakukan dengan penggunaan
tersebut tidak banyak tersedia dan biasanya kurang sensitive terutama pada specimen darah. Pada
praktiknya, diagnosis biasanya ditegakkan dari penemuan klinis dan hasiln tes serologi.
Tes serologi sifilis banyak digunakan untuk tujuan diagnostik dan skrining. Terdiri atas dua
jenis, yaitu tes non-treponema dan treponema. Biasanya pemeriksaan tes sifilis dilakukan dalam
dua langkah. Pertama, tes non- treponema, yaitu RPR (rapid plasma reagin/rapid test) atau
VDLR (venereal diseases research labotory). Jika hasil tes reaktif (positif), selanjutnya
Kombinasi ini dapat mengindentifikasi adanya infeksi dan menjelaskan tahapan dari penyakit.
bahan lipid dari sel-sel T. pallidum yang hancur. Antibodi ini dapat timbul sebagai reaksi
terhadap infeksi treponema, namun dapat juga timbul pada berbagai kondisi lain, yaitu pada
infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut) dan penyakit kronis (misalnya: penyakit otoimun
kronis). Karena itu, tes ini bersifat non-spesifik, dan bisa menunjukkan hasil positif palsu. Tes
9
seperti ini dipakai untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau
keberhasilan terapi. Karena tes non-spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes spesifik
Tes treponema lebih bersifat spesifik terhadap Treponema. Tes ini mendeteksi antibodi
yang bersifat spesifik terhadap Treponema, Tes ini dapat menunjukkan hasil positif/reaktif
seumur hidup, walaupun terapi sifilis telah berhasil. Tes jenis ini tidak dapat digunakan untuk
membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi secara adekuat. Tes treponemal
hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema, namun tidak dapat
Saat ini telah tersedia rapid test syphilis atau TP rapid; merupakan tes treponema yang
lebih sederhana, cepat, menggunakan darah lengkap, hanya memerlukan sedikit pelatihan
petugas dan tidak memerlukan peralatan dan penyimpanan khusus. Penggunaannya sangat
mudah dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat (10-15 menit). Jika dibandingkan
dengan TPHA atau TPPA, sensitivitas rapid test ini berkisar antara 85-98%, dan spesifisitasnya
berkisar antara 93-98%. TP rapid tidak hanya digunakan sebagai tes konfirmasi tetapi dapat
digunakan untuk skrining sifilis di tempat layanan, walaupun seperti tes treponema lainnya, tes
ini tidak dapat digunakan untuk memantau efektivitas pengobatan atau membedakan antara
Karena ada risiko penularan pada ibu hamil ke bayinya yang dapat bermanifestasi sebagai
sifilis kongenital, semua ibu hamil dengan hasil tes non treponema positif atau treponema positif
harus segera diobati. Di fasilitas pelayanan kesehatan dasar, jika RPR atau TPHA tidak tersedia,
TP rapid dapat digunakan untuk skrining sifilis ibu hamil. Jika mengunakan TP Rapid dan
hasilnya positif, bila memungkinkan rujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan dengan laboratorium
10
yang lebih lengkap untuk diperiksa titer RPR, bila tidak memungkinkan maka terapi sifilis pada
ibu hamil dapat langsung diberikan. Satu dosis benzatin penisilin 2,4 juta unit saja sudah dapat
mencegah penularan infeksi pada janin. Pada fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap
TP rapid dapat dikombinasi dengan tes lain, misalnya RPR dan TPHA.
Tes sifilis mempunyai awal masa jendela, sehingga hasil negatif pada tes sifilis belum
tentu menyatakan seseorang bebas dari sifilis. Karena itu, tes pada ibu hamil perlu diulang
kembali pada saat sebelum melahirkan terutama ibu hamil didaerah prevalensi tinggi sifilis atau
ibu hamil berisiko tinggi IMS. Tes pada saat sebelum melahirkan dapat mendeteksi infeksi
ulang, khususnya pada ibu hamil yang pasangannya tidak diobati atau belum pernah dilakukan
tes sebelumnya.
Bagan alur tes serologis sifilis dengan mengunakan tes non treponema dan tes treponema
dan tes yang hanya mengunakan TP rapid dapat dilihat di bawah ini.
11
Bagan 1. Alur Tes Serologis Sifilis Tes Treponema dan Non Treponema10
Hasil tes non-treponemal (RPR atau VDRL) masih bisa negatif (non-reaktif) sampai empat
minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes ini dapat diulang 1-3 bulan kemudian pada
pasien yang dicurigai sifilis dengan hasil RPR atau VDRL negatif.
• Jika hasil tes konfirmasi: non-reaktif, maka dianggap positif palsu dan tidak perlu diterapi
• Jika hasil tes konfirmasi: reaktif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR kuantitatif
untuk menentukan titer, sehingga dapat diketahui apakah si lis aktif atau laten, serta untuk
12
memantau respons pengobatan.
• Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan terdapat riwayat terapi dalam tiga bulan terakhir dan
berapapun titernya, anamnesis tidak ada ulkus baru, pasien tidak perlu diterapi. Pasien
- Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes ulang tiga bulan
kemudian
- Jika RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien dinyatakan sembuh
• Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan tidak ada riwayat terapi dalam tiga bulan terakhir bila:
- Titer RPR < 1:4 (1:2 dan 1:4) dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis laten
- Titer > 1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis aktif dan dievaluasi tiga
bulan kemudian. Evaluasi terhadap titer RPR dilakukan tiga bulan setelah terapi:
- Jika titer RPR turun dua tahap (misalnya dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih, terapi
dianggap berhasil. Ulangi evaluasi setiap tiga bulan di tahun pertama dan setiap enam
- Jika titer tidak turun dua tahap, maka dilakukan evaluasi kemungkinan reinfeksi atau
sifilis laten.2
Setelah diagnosis sifilis pada ibu hamil, evaluasi sonografi dilakukan untuk janin dengan
umur gestasi >20minggu untuk mencari tanda tanda dari sifilis kongenital. Hepatomegali,
penebalan plasenta, hidramnion, asites, hydrop fetalis dan peningkatan arteri selebral tengah
pada pemeriksaan doppler velosimetri merupakan indikasi dari infeksi pada janin, Untuk janin
13
usia yang layak dengan temuan sonografi, pemantauan jantung janin antepartum sebelum
pengobatan dianjurkan. Deselerasi lambat spontan atau non reaktif kemungkinan merefleksikan
janin yang sangat sakit yang mungkin tidak dapat menoleransi dengan baik reaksi Jarisch-
Herxheimer. Di kasus ekstrim ini, konsultasi dengan neonatologi mengenai rencana penundaan
Sifilis pada kehamilan biasanya diperoleh melalui kontak seksual, dimana pada sifilis
kongenital, bayi mendapatkan infeksi sifilis dari transmisi transplasental dari Treponema
pallidum. Penularan melalui hubungan seksual membutuhkan paparan mukosa yang lembab atau
lesi kulit pada sifilis primer atau sekunder. Pasien dengan penyakit sifilis yang tidak diobati
tampaknya dapat pulih, namun dapat mengalami kekambuhan dalam periode sampai dengan dua
tahun. Oleh karena itu, seseorang dapat lebih berisiko menularkan sifilis pada tahun pertama dan
kedua dari periode terinfeksi sifilis yang tidak diobati. Tingkat penularan infeksi sifilis pada
pasangannya, dalam satu kali kontak seksual diperkirakan mencapai 30%. Infeksi sifilis terjadi
secara sistemik, treponema menyebar melalui aliran darah selama masa inkubasi. Pada ibu hamil
yang terinfeksi treponema dapat mentransmisikan infeksi pada fetus dalam uterin segera setelah
onset infeksi. Transmisi pada fetus intra uteri tersebut dapat didokumentasikan secara dini pada
minggu kesembilan kehamilan. Ibu hamil terinfeksi sifilis yang berada pada stadium laten, tetap
Sifilis pada kehamilan memberikan manifestasi yang sama dengan infeksi sifilis secara
umum, hanya saja mayoritas wanita hamil yang didiagnosis dengan sifilis masih berada dalam
tahap asimptomatis. Adapun gejalanya dapat dibedakan berdasarkan tingkat sifilis, yaitu:
14
a. Sifilis Primer
Lesi awal sifilis adalah papul yang muncul di area kelamin pada 10-90 hari
1,5 cm dan setelah kira-kira satu minggu terjadi ulserasi yang menghasilkan
chancre tipikal dari sifilis primer (ulkus bulat atau sedikit memanjang, dengan tepi
Ulkus tersebut memiliki dasar yang bersih dengan diameter 1-2 cm, tanpa disertai
rasa nyeri. Selain itu, pada ulkus genital juga ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening inguinal dan seringkali terjadi secara bilateral. Pada sifilis primer, biasanya
ditemukan lesi soliter tetapi lesi multipel juga dapat terjadi. Lesi primer pada area non-
genital dapat terjadi, namun gambarannya dapat berupa lesi atipikal, khususnya pada area
anal. Chancre sifilis primer pada umumnya terjadi di area genital, perineal atau anal.
Walaupun demikian, beberapa bagian tubuh yang lainnya juga dapat terkena.
Kebanyakan chancre ditemukan pada penis (untuk pria), dan labia atau servik (untuk
wanita). Ulkus pada wanita ini cenderung tidak mudah terlihat dan tidak nyeri.
Akibatnya, sifilis primer pada wanita tidak mudah terdiagnosis hingga berkembang
15
menjadi sifilis sekunder. Di lain pihak, chancre dapat sembuh secara spontan dalam 3-6
b. Sekunder
tenggorokan, nyeri kepala, adenopati, dan ruam pada kulit ataupun mukosa. Pada
tahap ini terjdi penyebaran T.Pallidum secara luas melalui sistem hematogen dan
limpatik, hal ini dibuktikan melalui temuan pada darah, kelenjar limfa, biopsi hati,
dan cairan serebrospinal. Sekitar 25% pasien sifilis sekunder memiliki kelainan
pada cairan serebrospinal, dengan adanya peningkatan jumlah sel, protein, dan
temuan T.Pallidum. Temuan awal pada stadium ini berupa ruam berwarna
tembaga yang hilang dengan cepat, dimana keluhan ini seringkali tidak disadari
erupsi makulopapular yang simetris pada daerah badan dan ekstrimitas, termasuk
telapak tangan dan kaki. Lesi berwarna merah kecoklatan, menyebar, dan
berdiameter 0,5-2 cm. Biasanya ruam disertai sisik, walau terkadang halus,
folikular, ataupun pada kasus jarang bisa disertai pustula, kecuali pada bagian
Lesi pada mukosa dapat berupa lesi kecil yang superfisial, ulkus dengan
tepi keabuan yang tidak nyeri (biasanya dianggap sebagai sariawan/apthous ulcer
yang tidak nyeri), ataupun dapat juga berupa sebagai plak keabuan yang lebih
besar. Gastritis erosiva juga dilaporkan terjadi pada beberapa kasus. Kondiloma
lata merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk lesi putih atau keabuan yang
16
besar, meninggi, dan biasa ditemukan di daerah yang hangat dan lembab. Lesi ini
merupakan manifestasi dari sifilis sekunder yang mengalami perubahan kulit pada
area yang hangat dan lembab, seperti aksila dan daerah lipat paha. Saat ini
daerah perineum dekat anus, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh penyebaran
secara langsung treponema dari lesi primer. Sifilis sekunder merupakan penyakit
dermatologisnya saja. Sifilis laten merupakan infeksi sifilis yang tanpa gejala
klinis, namun hasil tes serologisnya positif. Selain pemeriksaan serologis, dapat
Interval waktu dari awal infeksi hingga manifestasi stadium tersier dari penyakit
ini bervariasi dari 1 hingga 20 tahun. Penelitian pada era sebelum penggunaan
antibiotik menyatakan sepertiga kasus infeks sifilis yang tidak diobati akan
17
komplikasi tersering. Sifilis tersier secara umum dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu: neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan late benign syphilis. Setelah invasi
spirocheta pada SSP saat sifilis stadium awal, infeksi yang tidak diobati dapat
dapat menuju sifilis meningovaskular (biasanya 5-12 tahun pasca infeksi primer)
atau hemiplegia (83% kasus), afasia (31%), and kejang (14%). Sekitar 50% pasien
lainnya mengalami gejala umum seperti pusing, nyeri kepala, insomnia, gangguan
memori dan mood selama beberapa minggu hingga bulan, yang diakibatkan
gangguan perfusi. Late benign syphilis atau gumma merupakan proses inflamasi
terjadi pada kulit dan tulang, dengan frekuensi yang lebih jarang pada mukosa dan
viscere seperti otot, dan struktur okular. Manifestasi pada kulit dapat berupa
18
2.2.2 Dampak Sifilis Terhadap Kehamilan
Sifilis primer maupun sekunder yang tidak mendapat penatalaksanaan selama kehamilan
akan 100% berefek pada janin, dimana 50% dari kehamilan dalam kondisi ini akan menghasilkan
kelahiran prematur atau kematian perinatal. Sifilis laten dini pada kehamilan yang tidak diterapi
dapat menyebabkan angka prematuritas atau kematian perinatal sekitar 40%. Sepuluh persen
janin yang lahir dari ibu dengan sifilis lanjut yang tidak diterapi menunjukkan tanda-tanda
infeksi kongenital, dan angka kematian perinatal meningkat hingga sepuluh kali lipat. Kendati
sifilis jarang dapat ditularkan secara seksual setelah lebih dari dua tahun terinfeksi, wanita
dengan sifilis yang tidak diterapi dapat tetap infeksius terhadap janin yang dikandungnya hingga
Sejumlah penelitian terbaru telah mengkonfirmasi prognosis sifilis pada kehamilan yang
tidak mendapat terapi. Pada 56 kasus yang dilaporkan, hanya 7 di antaranya yang mendapat
terapi selama kehamilan, dimana 34% dari kasus tersebut mengalami stillbirth, dan angka rerata
usia kehamilan saat kelahiran adalah 32.3 minggu. Penelitian lain menunjukkan adanya insiden
kelahiran prematur sebesar 28% pada kelompok wanita penderita sifilis yang mendapat terapi
selama masa kehamilan. Bukti presumtif adanya sifilis kongenital tampak pada 15 (26%) kasus
dari 57 wanita yang diterapi (tidak selalu adekuat) yang ditemukan pada usia kehamilan 24
minggu dan pada 41 (60%) wanita dari 70 wanita yang mendapat terapi pada trimester ketiga.
Berdasarkan penelitian meta analisis yang dilakukan terhadap 6 artikel mengenai adverse
pregnancy outcomes pada wanita dengan sifilis, didapatkan kematian janin, kematian neonatus,
kelahiran prematur, serta berat badan lahir rendah merupakan manifestasi yang paling sering
ditemukan. Gejala infeksi sifilis ditemukan pada 15% bayi yang lahir dari ibu sifilis yang tidak
mendapatkan terapi14,15.
19
2.3 Dampak Sifilis Pada Bayi
Infeksi sifilis pada kehamilan meningkatkan risiko infeksi transplasenta pada janin
sebesar 60-80%. Risiko infeksi tersebut semakin meningkat terutama pada trimester kedua
kehamilan. Transmisi dari ibu ke bayi semakin tinggi pada infeksi sifilis primer atau sekunder
yang tidak mendapatkan terapi (risiko sebesar 60-90%), pada sifilis laten dini risiko penularan
mencapai 40% dan 10% pada sifilis laten lanjut. Sebanyak 2/3 kehamilan dengan sifilis
memberikan gejala asimtomatis saat bayi lahir, namun infeksi tetap ada dan dapat bermanifestasi
segera setelah lahir ataupun bertahun-tahun paska kelahiran. Adapun manifestasinya dapat
diklasifikasikan menjadi sifilis kongenital dini dan sifilis kongenital lanjut. Lesi sifilis kongenital
dini dan lanjut dapat sembuh namun meninggalkan jaringan parut dan beberapa kelainan, disebut
Pada stadium ini, gejala klinis muncul pada 3 bulan awal kehidupan hingga sebelum usia
2 tahun. Adapun gejala yang muncul dapat berupa hepatosplenomegali (70%), lesi kulit (70%),
demam (40%), neurosifilis (20%), pneumonitis (20%), serta limpadenopati menyeluruh. Lesi
kulit dapat ditandai dengan adanya vesikel, bula atau ruam kulit berwarna merah tembaga atau
lesi ptekie pada telapak tangan, telapak kaki, sekitar hidung dan mulut, serta area popok. Dapat
terjadi gangguan pertumbuhan, lesi pada selaput lendir hidung dan faring yang bersekresi disertai
Pada stadium ini, manifestasi klinis muncul setelah usia 2 tahun, meski dapat pula
asimtomatis. Titer serologis sering berfluktuasi. Adapun gejala klinisnya dapat berupa keratitis
interstitialis, gigi Hutchinson, gigi mulberry, gangguan saraf pusat VIII yang mengakibatkan
20
ketulian, Neurosifilis, skeloris pada tulang hingga tulang kering menyerupai pedang (saber sign),
perforasi palatum durum dan septum nasi akibat destruksi dari gumma, tulang frontal yang
menonjol, fisura di sekitar rongga mulut dan hidung disertai ragade (sifilis rinitis infantil).
Diagnosis sifilis kongenital pada bayi di bawah 15 bulan tidaklah mudah, dikarenakan tes
serologi Ig G tidak bermanfaat, karena adanya transfer pasif antibodi ibu. Alternatif yang
1) Bayi yang dilahirkan dari ibu sifilis, dengan titer serologi minimal empat kali lebih tinggi
dari titer ibunya, atau tetap positif selama empat bulan setelah lahir. Bila titer negatif,
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan liquor serebrospinalis. Pada ibu yang terinfeksi
sifilis perlu dilakukan pemeriksaan rontgen untuk melihat kelainan tulang dan fungsi hati
2) Anak dalam usia dua tahun pertama dengan bukti klinis sifilis (setidaknya dua
manifestasi klinis) dan serologi positif, lahir dari seorang ibu yang tidak diketahui status
3) Bayi dilahirkan mati dari ibu sifilis yang tidak diobati atau tidak diobati adekuat,
meliputi:
21
2.4 Skrining Sifilis Pada Kehamilan
Skrining sifilis pada kehamilan merupakan aspek penting yang harus dilakukan selama
masa kehamilan. Deteksi dini yang memadai pada masa kehamilan, berperen secara efektif
dalam mengobati dan mencegah transmisi sifilis. Skrining sifilis pada kehamilan mencakup 12:
a. Semua wanita hamil harus diskrining sifilis pada kunjungan pertama pelayanan antenatal.
b. Wanita yang berisiko tinggi mengalami sifilis dan wanita yang tinggal di daerah dengan
morbiditas sifilis yang tinggi harus melakukan pemeriksaan ulang antara minggu ke-28
c. Pada ibu yang tidak mendapatkan pemeriksaan adekuat selama masa kehamilan,
pemeriksaan Rapid Plasma Reagin (RPR) harus dilakukan pada saat melahirkan.
d. Setiap ibu dan bayi yang tidak memiliki status sifilis maternal terdokumentasi, tidak
e. Setiap ibu yang mengalami kematian janin setelah usia 20 minggu kehamilan harus
f. Ibu hamil yang seropositif harus mendapatkan terapi, kecuali mereka memiliki
dokumentasi pengobatan yang adekuat dengan respon serologis yang tepat sesuai dengan
g. Ibu paska terapi sifilis, apabila memiliki respon yang baik terhadap pengobatan dan
memiliki titer serofast rendah (Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) < 1: 2 dan
h. Wanita dengan titer antibodi yang persisten dan lebih tinggi dapat mengindikasikan
22
2.5 Penatalaksanaan Sifilis Dalam Kehamilan12
Penisilin merupakan terapi baku emas untuk infeksi sifilis pada ibu hamil. Tujuan terapi
penisilin pada ibu hamil adalah untuk menangani penyakit ibu, mencegah transmisi pada janin
dan menangani penyakit sifilis yang telah terjadi pada janin. Selama hamil, disarankan
pemberian dosis kedua seminggu setelah benzatin penisilin G dosis awal diberikan.
Sifilis
Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta IU, injeksi IM dosis
primer dan
tunggal ; dosis kedua dianjurkan
sekunder
Catatan:
Bila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak di temukan obat Benzatin benzyl penicillin dan
yang ada hanya Procain benzyl penicillin, untuk terapi sifilis dosis Procain benzyl
penicillin 600.000 IU setiap hari selama minimal 30 hari berturut turut, pasien
Sebelum injeksi benzathin benzylpenicillin atau procain benzyl penicillin perlu dilakukan
uji penisilin terlebih dulu untuk memastikan pasien tidak alergi terhadap penisilin. 2
Tidak ada pengobatan alternatif dari penisilin yang terbukti dapat digunakan selama
kehamilan. Eritromisin dan azitromisin mungkin dapat menyembuhkan ibu hamil, namun
dikarenakan keterbatasan obat untuk melalu transplasenta, kedua obat ini tidak mencegah
direkomendasikan selama kehamilan, karena resiko efek samping terhadap janin. Satu-satunya
23
tatalaksana yang memuaskan untuk pasien yang hamil dengan sifilis dengan alergi penisilin
adalah desensitisasi yang diikuti oleh terapi penisilin. Namun, rejimen non-penicillin harus
dipertimbangkan ketika penisilin tidak dapat diperoleh atau ketika desensitisasi penisilin tidak
mungkin. Untuk pengobatan non-penisilin pada sifilis awal (primer, sekunder, atau laten <2
tahun) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan menggunakan salah satu dari rejimen
alternatif berikut:
dengan eritromisin 500 mg per oral empat kali sehari selama 30 hari. WHO juga
merekomendasikan bahwa bayi yang lahir dari wanita yang dirawat selama kehamilan dengan
Semua wanita hamil dengan sifilis ditawarkan untuk melakukan konseling dan
pemeriksaan penyakit IMS lainnya. Setelah dilakukan pengobatan sifilis, pemeriksaan serologi
untuk melihat hasil dari pengobatan dilakukan pada bulan ke 3 sampai ke 6 dan biasanya
dikonfirmasi dengan penurunan titer VDRL dan RPR sebanyak empat kali lipat. Selama
kehamilan, titer serologi dapat diperiksa setiap bulan pada wanita dengan resiko tinggi reinfeksi.
Pada wanita yang tidak ada gejala namun dalam waktu dekat melakukan kontak seksual
dengan orang yang telah didiagnosis sifilis, wanita tersebut harus dinilai secara klinis dan
serologis. Jika pasangan terdiagnosis 90 hari setelah kontak seksual terjadi, maka dilakukan
pengobatan untuk sifilis dini, bahkan jika hasil serologi negatif. Namun jika kontak terjadi
24
2.6 Reaksi Jarisch-Herxheimer
Pengobatan sifilis dapat memicu reaksi Jarisch-Herxheimer, reaksi febril akut disertai
dengan sakit kepala, mialgia, ruam, dan hipotensi. Gejala-gejala ini dianggap merupakan hasil
dari pelepasan sejumlah besar lipopolisakarida treponemal dari spirochetes dan peningkatan
kadar sitokin yang bersirkulasi (tumor necrosis factor alpha (TNF-alfa), interleukin-6,
interleukin-8).
Reaksi dimulai dalam satu hingga dua jam pengobatan, memuncak pada delapan jam,
dan biasanya hilang dalam 24 hingga 48 jam. Reaksi mungkin lebih umum pada wanita HIV-
positif. Semua pasien harus diberi konseling tentang risiko dan gambaran klinis dari reaksi
demam ini dan penyedia pelayanan kesehatan harus mempertimbangkan mengamati pasien
selama satu hingga dua jam sebelum dia meninggalkan fasilitas rawat jalan. Manajemen berupa
pada ibu hamil yang diobati pada paruh kedua kehamilan. Ibu hamil harus diberitahu untuk
melaporkan jika adanya gejala persalinan atau penurunan aktivitas janin; evaluasi dan perawatan
sesuai dengan standar obstetri biasa. Risiko terjadinya reaksi Jarisch-Herxheimer bukan
merupakan kontraindikasi untuk pengobatan sifilis. Pramedikasi dengan TNF-a antibodi atau
kortikosteroid tampaknya mencegah reaksi, tetapi tidak digunakan secara luas dengan data
terbatas dari risiko dan manfaat relatif dari pendekatan ini, khususnya pada wanita hamil.
25
2.7 Terapi Pada Bayi Dengan Sifilis Kongenital
26
NORMAL dan titer
Serologi nontreponema
kuantitatif SAMA Atau
tidak melebihi 4X lipat
titer ibu
Ibu belum diobati, Aqueous crystalline penicillin G Analisis cairan
pengobatan tidak 100,000–150,000 unit/kg/hari,injeksi serebro spinal:
adekuat, tidak ada IV 50,000 unit/kg/dosisIV setiap 12 VDRL,protein,da
catatan pernah di obati jam dalam usia 7 haripertama days n hitun gsel -
Ibu diobati dengan dilanjutkan degan setiap 8 jam selama Complete blood
eritromisin atau obat total 10 hari ATAU count, differential
bukan penisilin lain Procaine penicillin G 50,000 count, Platelet
Ibu diobati kurang dari unit/kg/dosis, injeksi IM sekali suntik count -
4 minggu sebelum per hari selama 10 hari Ro tulang
partus Benzathine penicillin G 50,000 panjang
unit/kg/dosis IM sekali suntik
27
atau rendah pada sifilis lanjut
IBU pengobatan adekuat Tidak perlu terapi Tidak ada
sebelum hamil Dapat diberikan terapi benzathine
IBU titer serologi penicillin G 50,000 units/kg/
nontreponema tetap rendah dosis IM sekali suntik, terutama
dan stabil, sebelum dan bila follow-up meragukan
selama kehamilan atau saat
partus (VDRL<1:2;RPR<1:4)
Sifilis kongenital sebagai satu manifestasi transmisi infeksi sifilis dari ibu ke bayi, terjadi
akibat kurang adekuatnya skrining terhadap infeksi menular seksual pada masa kehamilan. Hal
tersebut mengakibatkan penanganan infeksi sejak dini tidak dapat dilakukan.27 Pencanangan
program penatalaksanaan prenatal pada semua wanita hamil tetap menjadi dasar program
pencegahan sifilis transmisi sifilis dari ibu ke bayi. World Health Organization telah
mencanangkan Global Strategic Plan untuk mengeliminasi sifilis kongenital, yang terdiri dari 4
pilar, yaitu :
a) meningkatkan akses, kualitas serta pelayanan kesehatan maternal dan bayi baru lahir;
Selain itu, WHO bersama-sama dengan Program for Appropriate Technology and Health
(PAHO) menginisisasi dual testing project untuk mengeliminasi sifilis kongenital. Metode pada
program tersebut adalah dengan melakukan tes untuk menemukan T.pallidum dan HIV secara
bersamaan, dengan sampel dan peralatan yang sama, sehingga seluruh wanita hamil akan
mendapatkan tes skrining untuk HIV dan sifilis secara bersamaan. Berdasarkan hal-hal tersebut,
28
dapat disimpulkan bahwa skrining sejak awal kehamilan merupakan poin yang penting untuk
29
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Ny. ML
Pekerjaan : IRT
Agama : Protestan
Alamat : Oebufu
No RM : 550612
3.2 Anamnesa
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang diantar keluarga dengan keluhan perut
kencang-kencang disertai keluar lendir darah yang dirasakan sejak pukul 22.30 (5/1/22)
perjalanan pasien mengatakan keluar air-air yang tidak bisa ditahan dan keluar lendir
darah dari jalan lahir. Pasien juga terdiagnosis sifilis saat pertama kali melakukan
sejak kapan pasien mengidap Sifilis, namun pasien mengatakan pada tahun 2020 (pasien
lupa tepatnya), pasien pernah memilki riԝayat timbulnya bercak-bercak merah pada
tangan dan kaki namun saat itu pasien berpikir bahԝa itu karena alergi cuaca dingin
sehingga mengabaikannya. Saat muncul pasien mengatakan tidak ada gatal ataupun
30
demam sebelumnya, serta tidak ada nyeri. Keluhan tersebut hilang spontan setelah ± 3
minggu. Menurut pasien saat kehamilan pertama tidak dikatakan apapun mengenai ada
tidaknya sifilis. Pasien juga mengatakan tidak mengetahui apakah suaminya juga
terinfeksi penyakit yang sama atau tidak. Keluhan mengenai adanya luka (papul) pada
alat kelamin, demam, adanya penurunan BB disangkal. BAK dan BAB dalam batas
normal
Riwayat Imunisasi :
Riwayat Persalinan :
2. Hamil ini :
HPHT : 24-03-2021
TP : 31-12-2021
UK : 40-41 minggu
31
– Kesadaran :Compos mentis (GCS E4V5M6)
– TTV :
– TD :120/70mmHg
– S : 36.6°C
– N : 77 x/m
– RR : 20x/m
– SpO2 : 97%
– Thoraks :
– Abdomen
– Ekstremitas
– Status Obstetri :
L2 : Punggung kiri
L3 : Bulat keras
32
• DJJ : 147 dpm
3.5 Asessment awal masuk : G2P1-1 40-41 minggu T/H + inpartu kala II+ Sifilis on treatment
+ TBJ 2635 gram
3.6 Planning :
Pimpin Persalinan
Outcome :
Pada tanggal 06/01/2022 pukul 00.05 ԜITA telah lahir bayi perempuan secara spontan
pervaginam dengan BB: 2700 gram, PB 47 cm, AS 9/10, Ballard score 40 minggu
3.7 Follow Up
Tanggal S O A P
06/01/2022 Nyeri dari jalan KU : Baik P2-2post partum Manajemen aktif Kala III
Jam 00.05 lahir (+) Kesadaran : spontan + kala III • Peregangan tali
Ԝita Compos mentis +ruptur perineum pusat terkendali
(E4V5M6) gr.I + Sifilis • Masase fundus
TD:110/80 dalam terapi uteri
33
mmHg • Plasenta lahir
N:76 x/menit lengkap pukul.
RR:20x/ menit 00.15 Wita
S:36.50C • Penjahitan
SpO2 : 98% perineum
Status
34
puerpuralis :
Mammae :
retraksi (-/-),
ASI (+/+)
TFU : 2 jari di
baԝah pusat
Kontraksi : baik
PPV :
(+)Lochea rubra
35
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, wanita 27 tahun dengan diagnosis G2P1-1 40-41 minggu T/H + inpartu
kala II+ Sifilis on treatment + TBJ 2635 gram. Dalam kasus ini, diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis ,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang disesuaikan dengan
literature. Berdasarkan definisi, Sifilis merupakan salah satu penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh Treponema pallidum. Perjalanan klinis sifilis dibagi menjadi sifilis dini dan
sifilis lanjut, sifilis dini yang terjadi dalam 1 tahun setelah terjadinya infeksi primer, terdiri dari
sifilis primer, sifilis sekunder dan sifilis laten dini. Sifilis laten lanjut yang terjadi setelah 1 tahun
dari munculnya lesi primer, terdiri dari sifilis laten lanjut dan sifilis tersier yang meliputi trias
neurosifilis, sifilis kardiovaskuler dan sifilis benigna lanjut atau sifilis gumatosa. Pada kasus,
pasien memiliki riԝayat munculnya timbulnya bercak-bercak merah pada tangan dan kaki pada
tahun 2020. Keluhan bercak merah pada tangan dan kaki dirasakan tidak ada gatal, sebelum
timbul pasien tidak merasakan demam, serta tidak ada nyeri. Keluhan tersebut hilang spontan
setelah ± 3 minggu. Berdasarkan keluhan tersebut, dapat diartikan pasien telah meleԝati stadium
sifilis sekunder. Sifilis sekunder dapat juga disebut sebagai sifilis diseminata karena merupakan
hasil dari penyebaran treponema secara hematogen selama masa evolusi lesi sifilis primer. Lesi
sifilis sekunder timbul 3-12 minggu setelah timbulnya lesi sifilis primer, tetapi pada sekitar 15%
kasus lesi tersebut timbul sebelum lesi sifilis primer hilang. Temuan awal pada stadium ini
berupa ruam berwarna tembaga yang hilang dengan cepat, dimana keluhan ini seringkali tidak
disadari pasien sehingga terlewatkan saat pemeriksaan. Beberapa hari kemudian muncul erupsi
makulopapular yang simetris pada daerah badan dan ekstrimitas, termasuk telapak tangan dan
kaki. Lesi berwarna merah kecoklatan, menyebar, dan berdiameter 0,5-2 cm. Biasanya ruam
36
disertai sisik, walau terkadang halus, folikular, ataupun pada kasus jarang bisa disertai pustula,
kecuali pada bagian telapak tangan dan kaki. Stadium ini biasanya akan menghilang dalam
waktu 4-12 minggu. Apabila sifilis sekunder tetap tidak terdiagnosis dan tidak mendapat
pengobatan, seluruh manifestasi yang terlihat dari penyakit sembuh secara spontan dan pasien
akan masuk ke periode laten yang dapat berlangsung selama beberapa tahun. Sifilis laten dibagi
menjadi infeksi laten awal dan laten akhir, dengan garis pembagi yaitu 1 tahun setelah terjadinya
infeksi. Pada kasus ini, pasien mengetahui terinfeksi penyakit sifilis saat kunjungan pertama di
Puskesmas Oepoi untuk kontrol kehamilan anak ke-2 di usia kehamilan 23 minggu. Dari hasil
anamnesis ini dapat pasien tidak mengetahui sejak kapan terinfeksi penyakit sifilis serta
kemungkinan telah meleԝati stadium sekunder sehingga pasien dimasukkan dalam sifilis laten.
Selama tahap laten dari penyakit, tidak ada lesi kulit atau selaput lendir untuk sampel. Oleh
karena itu, diagnosis harus berdasarkan hasil pengujian serologis dan tidak adanya tanda-tanda
Pada kasus ini, pasien dilakukan tes non treponemal antibody di Puskesmas Oepoi dan
dinyatakan positif. Untuk mendiagnosis suatu sifilis perlu dilakukan adalah tes serologis untuk
sifilis. Tes serologis ada dua tipe yaitu tes non treponemal dan treponemal. Tes non-treponema
mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap bahan-bahan lipid dari sel-sel T.
pallidum yang hancur. Tes seperti ini dipakai untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang
bersifat aktif, serta memantau keberhasilan terapi. Karena tes non-spesifik ini jauh lebih murah
dibandingkan tes spesifik treponema, maka tes ini sering dipakai untuk skrining.
Pasien diberikan terapi injeksi Benzatin Penisilin dengan dosis 2,4 Juta IU secara IM di
Puskesmas Oepoi. Pasien mendapat tiga dosis dengan rentang ԝaktu 1 minggu. Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan bahwa wanita hamil harus diobati
37
dengan rejimen penisilin. Benzatin penisilin G merupakan terapi yang direkomendasikan untuk
semua stadium sifilis, karena memiliki waktu paruh yang panjang. Pengobatan yang
direkomendasikan oleh CDC pada ibu hamil adalah benzatin penisilin 2,4 juta IU dosis tunggal
secara intramuskuler untuk pengobatan sifilis primer, sifilis sekunder dan laten dini. Pada sifilis
laten lanjut atau sifilis laten yang durasinya tidak diketahui, benzatin penisilin G diberikan 7,2
juta IU yang terbagi 3 dosis pemberian, yaitu 2,4 juta IU selang waktu 1 minggu. Ibu hamil yang
memiliki riwayat alergi terhadap penisilin, harus dilakukan desentisasi dan diterapi dengan
penisilin. Tetrasiklin dan doksisiklin merupakan kontraindikasi pada kehamilan trimester kedua
dan ketiga. Reaksi Jarisch-Herxheimer dapat terjadi pada beberapa pasien setelah menerima
terapi sifilis, ditandai adanya demam, sakit kepala, mialgia dan malaise. Reaksi ini dapat
meningkatkan risiko persalinan, prematur dan gawat janin selama trimester kedua kehamilan.
Pada kasus, pasien tidak mengalami reaksi Jarisch-Herxheimer dan kondisi janin selama kontrol
kehamilan dikatakan dalam kondisi baik. Titer serologi harus diulang pada usia kehamilan 28-32
minggu dan saat melahirkan. Pengobatan pada ibu hamil dikatakan gagal, apabila titer antibodi
ibu saat melahirkan adalah empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan titer sebelum terapi.
Pada kasus ini, pasien partus spontan pervaginam dengan outcome lahir bayi perempuan
berat badan lahir 2700 gram, panjang badan 47 cm, APGAR Score 9/10, Ballard score 40
minggu. Pada bayi tidak ditemukan tanda-tanda adanya sifilis kongenital. Infeksi sifilis pada
kehamilan meningkatkan risiko infeksi transplasenta pada janin sebesar 60-80%. Risiko infeksi
tersebut semakin meningkat terutama pada trimester kedua kehamilan. Transmisi dari ibu ke bayi
semakin tinggi pada infeksi sifilis primer atau sekunder yang tidak mendapatkan terapi (risiko
sebesar 60-90%), pada sifilis laten dini risiko penularan mencapai 40% dan 10% pada sifilis
laten lanjut. Sebanyak 2/3 kehamilan dengan sifilis memberikan gejala asimtomatis saat bayi
38
lahir, namun infeksi tetap ada dan dapat bermanifestasi segera setelah lahir ataupun bertahun-
tahun paska kelahiran sehingga tetap perlu dilakukan tes non treponemal pada bayi. Bila titer nya
sama atau tidak melebihi 4x titter ibu maka direkomendasikan pemberian Benzathine penicillin
dini dan sifilis kongenital lanjut. Sifilis kongenital sebagai satu manifestasi transmisi infeksi
sifilis dari ibu ke bayi, terjadi akibat kurang adekuatnya skrining terhadap infeksi menular
seksual pada masa kehamilan. .Hal tersebut mengakibatkan penanganan infeksi sejak dini tidak
dapat dilakukan. Selain itu, WHO bersama-sama dengan Program for Appropriate Technology
and Health (PAHO) menginisisasi dual testing project untuk mengeliminasi sifilis kongenital.
Metode pada program tersebut adalah dengan melakukan tes untuk menemukan T.pallidum dan
HIV secara bersamaan, dengan sampel dan peralatan yang sama, sehingga seluruh wanita hamil
akan mendapatkan tes skrining untuk HIV dan sifilis secara bersamaan. Pada kasus, ibu telah
dilakukan skrining sifilis dan HIV sejak kontrol kehamilan pertama kali di Puskesmas sehingga
39
BAB 5
PENUTUP
Telah dilaporkan pasien atas nama Ny. ML usia 27 tahun, pasien masuk dengan diagnosis
diagnosis G2P1-1 UK 40-41 minggu + inpartu kala II+ Sifilis on treatment+TBJ 2635 gram .
pasien telah terdiagnosis Sifilis saat usia kehamilan 23 minggu di Puskesmas Oepoi dan
dilakukan penanganan beruka injeksi Benzatin Penisilin 2,4 juta IU secara IM sebanyak 3
dosis. Kemudian pasien datang ke IGD RSUDԜZJ dikarenakan adanya tanda-tanda ingin
bersalin seperti perut kencang-kencang dan keluar lendir darah dari jalan lahir. Saat
persalinan. Kondisi bayi dalam keadaan baik dengan BBL 2700 gram, PB 47 cm, A/S 9/10,
BS 40 minggu. Pada bayi tidak ditemukan adanya tanda-tanda sifilis kongenital, namun tetap
perlu dilakukan evaluasi. Pada ibu telah dikonsulkan ke dokter SpKK dan telah dilakukan
pemeriksaan VDRL dengan titter didapatkan 1:64, lalu direncanakan kontrol kembali ke Poli
Kulit dan kelamin 1 bulan lagi. Pasien kemudian dipulangkan dalam kondisi baik setelah 3
hari peraԝatan di RSUDԜZJ dan direncanakan konrol poli kebidanan 1 minggu kemudian
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Santis MD, Luca CD, Mappa I, Spagnuolo T, Licameli A, Straface G, et al. Syphilis
infection during pregnancy: fetal risks and clinical management. Inf Dis Obstet Gynecol.
2017; 5: 1-5.
56: 234-63.
Republik Indonesia
RR-3): 43-4
7. Tsimis ME, Sheffield JS. Update on syphilis in pregnancy. Birth Defect Research. 2017;
109: 347-52.
8. Indriatmi W. Sifilis. In: Daili SF, Nilasari H, Indriatmi W, Zubier F, Romawi R, Pudjiati
SR. Infeksi menular seksual. 5th edition. Jakarta: FKUI; 2017. p. 103-50.
9. Mani, S. B., Pegany, R., Sheng, D., Wendel, S. K., & Gaydos, C. A. (2017, March).
41
10. Magalhaes M, Basto L, Areia AL, Franco S, Malheiro ME, Afonso M, et al. Syphilis in
pregnancy and congenital syphilis: reality in a Portuguese central university. Rev Bras
11. Rac M, Revell PA, Eppes CS. Syphilis during pregnancy: a preventable threat to maternal
12. WHO Guideline on Syphilis Screening and Treatment for Pregnant Women. 2017
13. Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Ibu dan Anak
Pedoman manajemen program pencegahan penularan HIV Dan sifilis dari ibu ke anak.
14. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Rosita C, et al. Sifilis. In:
15. Ham D.C., Lin C., Newman L, Wijesooriya N.S., Kamb M. Improving global estimates
42