Anda di halaman 1dari 17

1

SIFILIS
Defenisi.
Sifilis merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik yang disebabkan
oleh Treponema palidum. Penularan sifilis melalui hubungan seksual. Penularan
juga dapat terjadi secara vertikal dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat
kelahiran, melalui produk darah atau transfer jaringan yang telah tercemar,
kadang-kadang dapat ditularkan melalui alat kesehatan.

Treponema pallidum subspesies pallidum (biasa disebut dengan Treponema


pallidum) merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral yang halus, ramping
dengan lebar kira-kira 0,2 µm dan panjang 5-15 µm. Bakteri yang patogen
terhadap manusia, bersifat parasit obligat intraselular, mikroaerofilik, akan mati
apabila terpapar oksigen, antiseptik, sabun, pemanasan, pengeringan sinar
matahari dan penyimpanan di refrigerator.

Sifilis dapat disembuhkan pada tahap awal infeksi, tetapi apabila dibiarkan
penyakit ini dapat menjadi infeksi yang sistemik dan kronik. Infeksi sifilis dibagi
menjadi sifilis stadium dini dan lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis
primer, sekunder, dan laten dini. Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier
(gumatous, sifilis kardiovaskular dan neurosifilis) serta sifilis laten lanjut.

Epidemiologi.

Angka kejadian sifilis mencapai 90% dinegara-negara berkembang. World


Health Organization (WHO) memperkirakan sebesar 12 juta kasus baru terjadi di
Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Caribbean.2 Angka
kejadian sifilis di Indonesia berdasarkan laporan Survey Terpadu dan Biologis
Perilaku (STBP) tahun 2011 Kementrian Kesehatan RI terjadi peningkatan angka
kejadian sifilis di tahun 2011 dibandingkan tahun 2007.

Treponema pallidum merupakan bakteri patogen pada manusia.


Kebanyakan kasus infeksi didapat dari kontak seksual langsung dengan orang
yang menderita sifilis aktif baik primer ataupun sekunder. Penelitian mengenai
penyakit ini mengatakan bahwa lebih dari 50% penularan sifilis melalui kontak
seksual. Biasanya hanya sedikit penularan melalui kontak nongenital (contohnya
bibir), pemakaian jarum suntik intravena, atau penularan melalui transplasenta
dari ibu yang mengidap sifilis tiga tahun pertama ke janinnya. Prosedur skrining
transfusi darah yang modern telah mencegah terjadinya penularan sifilis.

Etiologi.

Treponema pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri ini


berbentuk spiral. Terdapat empat subspesies, yaitu Treponema pallidum pallidum,
yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum pertenue, yang menyebabkan
yaws, Treponema pallidum carateum,yang menyebabkan pinta dan Treponema
pallidum endemicum yang menyebabkan sifilis endemik. Klasifikasi bakteri
penyebab sifilis adalah; Kingdom: Eubacteria, Filum: Spirochaetes, Kelas:
Spirochaetes, Ordo: Spirochaetales, Familia: Treponemataceae, Genus:
Treponema, Spesies: Treponema pallidum, Subspesies: Treponema pallidum
pallidum.

Treponema pallidum berbentuk spiral, Gram negatif dengan panjang kisaran


11 µm dengan diameter antara 0,09 – 0,18 µm. Terdapat dua lapisan, sitoplasma
merupakan lapisan dalam mengandung mesosom, vakuol ribosom dan bahan
nukleoid, lapisan luar yaitu bahan mukoid.5,6 Potongan melintang Treponema
pallidum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Potongan melintang Treponema pallidum, tampak PF= Periplasmic


flagella dan OS= Outer sheth.
Patogenesis.
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa
vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu
yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan.
Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui membran mukosa yang utuh
dan kulit yang lecet, kemudian kedalam kelenjar getah bening, masuk aliran
darah, kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk keruang
intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup
botol). Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala
klinis dan serologi belum kelihatan pada saat itu. Darah dari pasien yang baru
terkena sifilis ataupun yang masih dalam masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu
berkembang biak Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara invivo
30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk, biasa-nya
bertahan selama 4- 6 minggu dan kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat
masuknya, kuman mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan
timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara
klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di
tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler (Treponema pallidum
berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini mengakibatkan
hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis
obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada daerah
papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini
disebut chancre.

Informasi mengenai patogenesis sifilis lebih banyak didapatkan dari


percobaan hewan karena keterbatasan informasi yang dapat diambil dari
penelitian pada manusia. Penelitian yang dilakukan pada kelinci percobaan,
dimana dua Treponema pallidum diinjeksikan secara intrakutan, menyebabkan
lesi positif lapangan gelap pada 47% kasus. Peningkatan kasus mencapai 71% dan
100% ketika 20 dan 200.000 Treponema pallidum diinokulasikan secara
intrakutan pada kelinci percobaan. Periode inkubasi bervariasi tergantung
banyaknya inokulum, sebagai contoh 10 Treponema pallidum akan menimbulkan
chancre dalam waktu 5-7 hari. Organisme ini akan muncul dalam waktu beberapa
menit didalam kelenjar limfe dan menyebar luas dalam beberapa jam, meskipun
mekanisme Treponema pallidum masuk sel masih belum diketahui secara pasti.
Dikatakan bahwa perlekatan Treponema pallidum dengan sel host melalui ligan
spesifik yaitu molekul fibronektin.

Sifat yang mendasari virulensi Treponema pallidum belum dipahami


selengkapnya, tidak ada tanda-tanda bahwa kuman ini bersifat toksigenik karena
didalam dinding selnya tidak ditemukan eksotoksin ataupun endotoksin.
Meskipun didalam lesi primer dijumpai banyak kuman namun tidak ditemukan
kerusakan jaringan yang cukup luas karena kebanyakan kuman yang berada diluar
sel akan terbunuh oleh fagosit, tetapi terdapat sejumlah kecil Treponema pallidum
yang dapat tetap dapat bertahan di dalam sel makrofag dan di dalam sel lainya
yang bukan fagosit misalnya sel endotel dan fibroblas. Keadaan tersebut dapat
menjadi petunjuk mengapa Treponema pallidum dapat hidup dalam tubuh
manusia dalam jangka waktu yang lama, yaitu selama masa asimptomatik yang
merupakan ciri khas dari penyakit sifilis.

Manifestasi klinis.
Perjalanan penyakit sifilis bervariasi dan biasanya dibagi menjadi sifilis
stadium dini dan lanjut. Stadium dini lebih infeksius dibandingkan dengan
stadium lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder dan
laten dini. Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous, sifilis kardio-
vaskular, neurosifilis) dan sifilis laten.
 Sifilis primer.
Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil soliter, kemudian dalam
satu sampai beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus. Lesi klasik
dari sifilis primer disebut dengan chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang
bersih, tunggal, tidak nyeri, merah, berbatas tegas, dipenuhi oleh spirokaeta dan
berlokasi pada sisi Treponema pallidum pertama kali masuk. Chancre dapat
ditemukan dimana saja tetapi paling sering di penis, servik, dinding vagina rektum
dan anus. Dasar chancre banyak mengandung spirokaeta yang dapat dilihat
dengan mikroskop.

Ada juga morfologi lain dari variasi lesi pada stadium primer yang
menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sensitivitas gejala klasik ini hanya
31% tetapi spesifisitasnya 98%. Ukuran chancre bervariasi dari 0,3-3,0 cm,
terkadang terdapat lesi multipel pada pasien dengan acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS).2,8 Pada sifilis primer sering dijumpai limfadenopati regional,
tidak nyeri dan ipsilateral terhadap chancre, muncul pada 80% pasien dan sering
berhubungan dengan lesi genital. Chancre ekstragenital paling sering ditemukan
di rongga mulut, jari tangan dan payudara. Masa inkubasi chancre.

 Sifilis sekunder.
Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunder akan mulai timbul dalam 2
sampai 6 bulan setelah pajanan, 2 sampai 8 minggu setelah chancre muncul.
Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik dengan spirokaeta yang menyebar dari
chancre dan kelenjar limfe ke dalam aliran darah dan ke seluruh tubuh, dan
menimbulkan beragam gejala yang jauh dari lokasi infeksi semula. Sistem yang
paling sering terkena adalah kulit, limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata, dan
susunan saraf pusat.2,6 Tanda tersering pada sifilis sekunder adalah ruam kulit
makulopapula yang terjadi pada 50% - 70% kasus, papula 12% kasus, makula
10% kasus, dan papula anula 6% - 14% kasus. Lesi biasanya simetrik, tidak gatal
dan mungkin meluas.
Kasus yang jarang, lesi dapat menjadi nekrotik, keadaan ini disebut dengan
lues maligna. Lesi di telapak tangan dan kaki merupakan gambaran yang paling
khas pada 4% sampai 11% pasien. Treponema pallidum dapat menginfeksi folikel
rambut yang menyebabkan alopesia pada kulit kepala. Bersamaan dengan
munculnya lesi sekunder, sekitar 10% pasien mengidap kondilomata. Lesinya
berukuran besar, muncul di daerah yang hangat dan lembab termasuk di perineum
dan anus. Inflamasi lokal dapat terjadi di daerah membran mukosa mulut, lidah
dan genital. Pada kasus yang jarang bisa ditemukan sifilis sekunder disertai
dengan kelainan lambung, ginjal dan hepatitis. Treponema pallidum telah
ditemukan pada sampel biopsi hati yang diambil dari pasien dengan sifilis
sekunder. Glomerulonefritis terjadi karena kompleks antigen treponema-
imunoglobulin yang berada pada glomeruli yang menyebabkan kerusakan ginjal.
Sindroma nefrotik juga dapat terjadi. Sekitar 5% pasien dengan sifilis.
 Sifilis laten.
Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode hilangnya gejala klinis sifilis
sekunder sampai diberikan terapi atau gejala klinik tersier muncul. Sifilis laten
dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu sifilis laten dini dan lanjut. Pembagian
berdasarkan waktu relaps infeksi mukokutaneus secara spontan pada pasien yang
tidak diobati. Sekitar 90% infeksi berulang muncul dalam satu tahun, 94% muncul
dalam dua tahun dan dorman selama empat tahun. Sifilis laten dini terjadi kurang
satu tahun setelah infeksi sifilis sekunder, 25% diantaranya mengalami relaps
sifilis sekunder yang menular, sedangkan sifilis laten lanjut muncul setelah satu
tahun. Relaps ini dapat terus timbul sampai 5 tahun. Pasien dengan sifilis laten
dini dianggap lebih menular dari sifilis laten lanjut. Pemeriksaaan serologi pada
stadium laten lanjut adalah positif, tetapi penularan secara seksual tidak.
 Sifilis tersier.
Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun setelah infeksi awal dan dapat
dibagi dalam tiga bentuk yaitu; sifilis gumatous sebanyak 15%, neurosifilis lanjut
(6,5%) dan sifilis kardiovaskular sebanyak 10%. Sepertiga pasien berkembang
menjadi sifilis tersier tanpa pengobatan. Pasien dengan sifilis tersier tidak
menular. Sifilis gumatous atau sifilis benigna lanjut biasanya muncul 1-46 tahun
setelah infeksi awal, dengan rerata 15 tahun. Karakteristik pada stadium ini
ditandai dengan adanya guma kronik, lembut, seperti tumor yang inflamasi
dengan ukuran yang berbeda-beda. Guma ini biasanya mengenai kulit, tulang dan
hati tetapi dapat juga muncul dibahagian lain.

Guma merupakan lesi yang granulomatous, nodular dengan nekrosis sentral,


muncul paling cepat setelah dua tahun infeksi awal, meskipun guma bisa juga
muncul lebih lambat. Lesi ini bersifat merusak biasanya mengenai kulit dan
tulang, meskipun bisa juga muncul di hati, jantung, otak, lambung dan traktus
respiratorius atas. Lesi jarang yang sembuh spontan tetapi dapat sembuh secara
cepat dengan terapi antibiotik yang tepat. Guma biasanya tidak menyebab- kan
komplikasi yang serius, disebut dengan sifilis.

Neurosifilis merupakan infeksi yang melibatkan sistem saraf sentral, dapat


muncul lebih awal, asimtomatik atau dalam bentuk sifilis meningitis, lebih lanjut
sifilis meningovaskular, general paresis, atau tabes dorsalis. Sifilis
meningovaskular muncul 5- 10 tahun setelah infeksi awal. Sifilis
meningovaskular ditandai dengan apati, seizure dan general paresis dengan
dimensia dan tabes dorsalis. General paresis biasanya muncul 15-20 tahun setelah
infeksi awal, sedangkan tabes dorsalis 25-30 tahun. Komplikasi yang paling
sering adalah aortitis sifilis yang dapat menyebabkan aneurisma.

Diagnosis Sifilis.

Diagnosis sifilis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta


pemeriksaan laboratorium. Anamnesis yang penting pada pasien adalah partner
seksual penderita serta riwayat penyakit sebelumnya. Sifilis primer didiagnosis
berdasarkan gejala klinis ditemukannya satu atau lebih chancre. Sifilis sekunder
ditandai dengan ditemukannya lesi mukokutaneus yang terlokalisir atau difus
dengan limfadenopati, serta masih dapat ditemukan chancre. Diagnosis sifilis
laten berdasarkan tes serologis karena biasanya tanpa gejala klinis. Diagnosis
sifilis tersier berdasarkan gejala klinis yang paling sering adalah ditemukan guma.

Diagnosis laboratorium sifilis telah dilaporkan dapat menghemat biaya


dalam diagnosis sifilis. Gold standar untuk diagnosis sifilis adalah kultur secara
invivo dengan menginokulasikan sampel pada testis kelinci. Prosedur ini butuh
biaya besar dan waktu yang lama sampai beberapa bulan, sehingga kultur hanya
dipakai dalam hal penelitian saja. Meskipun Treponema pallidum tidak dapat di
kultur secara invitro, ada banyak tes untuk mendiagnosis sifilis secara langsung
dan tidak langsung.
Terapi.

Penatalaksanaan sifilis secara umum meliputi skrining pemeriksaan infeksi


menular seksual (IMS) lain termasuk HIV. Pasien harus diberikan penjelasan
secara rinci mengenai sifilis, termasuk implikasi jangka panjang terhadap
kesehatan diri dan pasangan serta keluarganya. Terdapat sedikit studi yang
memberikan informasi mengenai lama puasa berhubungan seksual selama
pengobatan, tetapi pasien disarankan untuk menahan diri untuk melakukan kontak
seksual sampai lesi dari sifilis primer (jika ada) benar-benar sembuh dan sampai 2
minggu setelah selesai pengobatan. Data klinis mengenai dosis optimal dan lama
pengobatan serta efikasi jangka panjang dari antimikroba lain selain penisilin
masih kurang. Rekomendasi pemberian antimikroba ini hanya berdasarkan
pertimbangan laboratorium, pendapat ahli, studi kasus serta pengalaman klinis.
Penatalaksanaan secara parenteral lebih di pilih daripada secara oral karena terapi
ini dapat diamati dan bioavailabilitasnya di jamin.

Semua ibu hamil harus diberikan skrining serologis terhadap sifilis pada
saat pemeriksaan antenatal pertama. Tes harus diulang pada kehamilan jika
terdapat kemungkinan infeksi setelah pemeriksaan awal dengan hasil negatif.
Pada wanita dengan hasil serologi treponema positif harus di rujuk ke dokter yang
lebih ahli. Pemeriksaan titer TPT/VDRL harus dilakukan pada pemeriksaan
antenatal pertama, dan jika terdapat resiko reinfeksi pada kehamilan berikutnya.
Jika pemeriksaan RPR/VDRL menunjukkan tidak ada reinfeksi maka ibu hamil
tidak memerlukan penanganan lebih lanjut dan tidak perlu untuk melakukan
pemeriksaan sifilis pada neonatus.4 Ibu hamil perlu dirujuk pada ahli fetomaternal
apabila umur kehamilan mencapai 26 minggu. Infeksi sifilis pada fetus dapat
dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi untuk mendeteksi hidrops fetalis
atau hepatosplenomegali. Penilaian terhadap fetus akan membantu perawatan
antepartum dan penanganan neonatus. Pengobatan terhadap wanita yang memiliki
riwayat sifilis yang telah diterapi sebelum masa konsepsi dapat dipertimbangkan
apabila terdapat keraguan mengenai pengobatan yang adekuat sebelumnya dan
tidak ditemukan penurunan sebanyak empat kali lipat. Perubahan fisiologis pada
kehamilan dapat mengubah farmakokinetik obat dan dapat menyebabkan
penurunah dari konsentrasi penisilin dalam plasma. Untuk alasan ini, ketika
pengobatan dimulai pada trismester ketiga, dosis kedua dari benzatin penisilin
direkomendasikan satu minggu setelah pemberian yang pertama dengan penilaian
secara hati-hati terhadap neonatus pada saat kelahiran.

Sifilis kongenital jarang terjadi di eropa, diagnosis dari sifilis kongenital


sangat susah dikarenakan kebanyakan dari neonatus yang terinfeksi tampak
normal pada saat lahir. Semua anak yang lahir dengan ibu yang memiliki tes
serologi treponemal yang postitif memerlukan evaluasi klinis dan pemeriksaan
serologi sifilis. Bayi yang lahir dengan ibu yang didiagnosis sifilis dan diterapi
selama kehamilan perlu untuk melakukan tes RPR atau VDRL dan tes IgM pada
saat kelahiran dan usia tiga bulan, dan tiga bulan sampai negatif. Apabila titer ini
stabil atau meningkat, maka bayi ini harus di evaluasi dan di berikan terapi untuk
sifilis kongenital. Anak pasien yang lain juga perlu untuk diberikan skrining sifilis
jika terdapat diagnosis sifilis pada orang tua atau anak yang sedang dikandung
juga didiagnosis sifilis kongenital.

Sebagian besar ahli dan pedoman merekomendasikan pengobatan yang


sama pasien dengan infeksi HIVmaupun dengan infeksi HIV. Pasien dengan
infeksi HIV memiliki kemungkinan kegagalan pengobatan yang tinggi jika
dibandingkan dengan pasien tanpa infeksi HIV, walaupun dikatakan bahwa
kemungkinan ini sangat kecil. Pengobatan yang lebih lama dan pemberian
antibiotic tambahan juga dikatakan tidak memberikan hasil yang lebih baik.
Pengamatan serologi yang hati- hati direkomendasikan terutama apabila pasien
diberikan pengobatan non-penisilin. Pasien yang mengkonsumsi ART
menunjukkan perbaikan klinis dan menurunkan kemungkinan kegagalan tes
serologis. Peningkatan titer RPR atau VDRL sebagian besar lebih dikaitkan
dengan reinfeksi dibandingkan dengan kegagalan pengobatan. Efikasi dari
regimen non-penisilin pada pasien dengan HIV positif belum diteliti lebih
mendalam. Pasien dengan alergi penisilin yang terapi maupun pengamatan
lanjutannya sulit untuk dievaluasi perlu untuk di desensitisasi dan di terapi dengan
penisilin. Terapi non-penisilin hanya dapat diberikan pada pasien dengan
pengamatan klinis dan tes serologis yang ketat. Beberapa studi kasus mengatakan
pemberian ceftriaxone mungkin efektif, walaupun dosis maupun lama
pengobatannya belum diuji lebih lanjut.

 Sifilis Stadium Dini pada Kehamilan


1. Benzatin Penisilin G 2,4 juta unit, intramuscular dosis tunggal
(Trismester satu dan dua (termasuk umur kehamilan 27 minggu 6
hari).
2. Benzatin Penisilin G 2,4 juta unit, intramuscular, pada hari pertama
dan kedelapan.
Terapi Alternatif (Ketiga Trismester)
3. Prokain Penisilin G 600.000 unit, intramuscular setiap hari selama
10 hari.
4. Amoxicillin 500 mg peroral, empat kali sehari ditambahkan
Probenesid 500 mg peroral empat kali sehari selama 14 hari.
 Sifilis Stadium Lanjut pada Kehamilan.
1. Benzatin Penisilin G 2,4 juta unit, intramuscular pada hari ke 1, 8,
dan 15 ( tiga dosis ) (Sifilis Laten Lanjut, Sifilis Kardiovaskular dan
Sifilis Gummatosa).

Terapi Alternatif

2. Prokain Penisilin G 600.000 unit, intramuscular sekali sehari selama


14 hari.
3. Amoxicillin 2 gram peroral tiga kali sehari ditambah Probenesid 500
mg empat kali sehari selama 28 hari.
Herpes simplek
Defenisi.
Infeksi Herpes Simpleks ditandai dengan episode berulang dari lepuhan-
lepuhan kecil di kulit atau selaput lendir, yang berisi cairan dan terasa nyeri.
Herpes simpleks menyebabkan timbulnya erupsi pada kulit atau selaput lendir.
Erupsi ini akan menghilang meskipun virusnya tetap ada dalam keadaan tidak
aktif di dalam ganglia (badan sel saraf), yang mempersarafi rasa pada daerah yang
terinfeksi. Secara periodik, virus ini akan kembali aktif dan mulai
berkembangbiak,seringkali menyebabkan erupsi kulit berupa lepuhan pada lokasi
yang sama dengan infeksi sebelumnya. Virus juga bisa ditemukan di dalam kulit
tanpa menyebabkan lepuhan yang nyata, dalam keadaan ini virus merupakan
sumber infeksi bagi orang lain.

Etiologi.
Transmisi HSV kepada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya
terjadi ketika virus mengalami multiplikasi di dalam tubuh host (viral shedding).
Lama waktu viral shedding pada tiap episode serangan HSV berbeda-beda. Pada
infeksi primer dimana dalam tubuh host belum terdapat antibodi terhadap HSV,
maka viral shedding cenderung lebih lama yaitu sekitar 12 hari dengan puncaknya
ketika muncul gejala prodormal (demam,lemah, penurunan nafsu makan, dan
nyeri sendi) dan pada saat separuh serangan awal infeksi primer, walaupun > 75
% penderita dengan infeksi primer tersebut tanpa gejala. Viral shedding pada
episode I non primer lebih singkat yaitu sekitar 7 hari dan karena pada tahap ini
telah terbentuk antibodi terhadap HSV maka gejala yang ditimbulkan lebih ringan
dan kadang hanya berupa demam maupun gejala sistemik singkat. Pada tahap
infeksi rekuren yang biasa terjadi dalam waktu 3 bulan setelah infeksi primer,
viral shedding berlangsung selama 4 hari dengan puncaknya pada saat timbul
gejala prodormal dan pada tahap awal serangan. Viral shedding pada tahap
asimptomatik berlangsung episodik dan singkat yaitu sekitar 24-48 jam dan
sekitar 1-2 % wanita hamil dengan riwayat HSV rekuren akan mengalami periode
ini selama proses persalinan.
Seorang individu dapat terkena infeksi HSV karena adanya transmisi dari
seorang individu yang seropositif, dimana transmisi tersebut dapat berlangsung
secara horisontal dan vertikal. Perbedaan dari ke-dua metode transmisi tersebut
adalah sebagai berikut :

1.Horisontal

Transmisi secara horisontal terjadi ketika seorang individu yang seronegatif


berkontak dengan individu yang seropositif melalui vesikel yang berisi virus aktif
(81-88%), ulkus atau lesi HSV yang telah mengering (36%) dan dari sekresi
cairan tubuh yang lain seperti salivi, semen, dan cairan genital (3,6-25%). Adanya
kontak bahan-bahan tersebut dengan kulit atau mukosa yang luka atau pada
beberapa kasus kulit atau mukosa tersebut maka virus dapat masuk ke dalam
tubuh host yang baru dan mengadakan multiplikasi pada inti sel yang baru saja
dimasukinya untuk selanjutnya menetap seumur hidup dan sewaktu-waktu dapat
menimbulkan gejala khas yaitu timbulnya vesikel kecil berkelompok dengan dasar
eritem.

2. Vertikal

Transmisi HSV secara vertikal terjadi pada neonatus baik itu pada periode
antenatal, intrapartum dan postnatal. Periode antenatal bertanggung jawab
terhadap 5 % dari kasus HSV pada neonatal. Transmisi ini terutama terjadi pada
saat ibu mengalami infeksi primer dan virus berada dalam fase viremia (virus
berada dalam darah) sehingga secara hematogen virus tersebut dalam masuk ke
dalam plasenta mengikuti sirkulasi uteroplasenter akhirnya menginfeksi fetus.
Periode infeksi primer ibu juga berpengaruh terhadap prognosis si bayi, apabila
infeksi terjadi pada trimester I biasanya akan terjadi abortus dan pada trimester II
akan terjadi kelahiran prematur. Bayi dengan infeksi HSV antenatal mempunyai
angka mortalitas ± 60 % dan separuh dari yang hidup tersebut akan mengalami
gangguan syaraf pusat dan mata. Infeksi primer yang terjadi pada masa-masa
akhir kehamilan akan memberikan prognosis yang lebih buruk karena tubuh ibu
belum sempat membentuk antibodi (terbentuk 3-4 minggu setelah virus masuk
tubuh host) untuk selanjutnya disalurkan kepada fetus sebagai suatu antibodi
neutralisasi transplasental dan hal ini akan mengakibatkan 30- 57% bayi yang
dilahirkan terinfeksi HSV dengan berbagai komplikasinya (mikrosefali,
hidrosefalus, calsifikasi intracranial, chorioretinitis dan ensefalitis).3 Sembilan
puluh persen infeksi HSV neonatal terjadi saat intrapartum yaitu ketika bayi
melalui jalan lahir dan berkontak dengan lesi maupun cairan genital ibu. Ibu
dengan infeksi primer mampu menularkan HSV pada neonatus 50 %, episode I
non primer 35% , infeksi rekuren dan asimptomatik 0-4%.

Manifestasi klinis.

Gejala umum Herpes simplek adalah bentol berisi cairan yang terasa perih
dan panas. Bentolan ini akan berlangsung beberapa hari. Bintil kecil ini bisa
meluas tidak hanya di wajah tapi bisa di seluruh tubuh. Bisa juga terlihat seperti
jerawat, dan pada wanita timbul keputihan. Rasa sakit dan panas di seluruh tubuh
yang membuat tidak nyaman ini bisa berlangsung sampai beberapa hari disertai
sakit saat menelan makanan, karena kelenjar getah bening sudah terganggu.
Gejala ini datang dan pergi untuk beberapa waktu. Bisa saja setelah sembuh,
gejala ini “tidur” untuk sementara waktu sampai satu tahun lamanya. Namun akan
tiba-tiba kambuh dalam beberapa minggu. Sering terasa gatal yang tidak jelas di
sebelah mana, kulit seperti terbakar di bagian tubuh tertentu disertai nyeri di
daerah selangkangan atau sampai menjalar ke kaki bagian bawah.Gejala herpes
dapat melukai daerah penis, buah pelir, anus, paha, pantat- vagina, dan saluran
kandung kemih..

Tatalaksana.
Beberapa obat antivirus telah terbukti efektif melawan infeksi HSV. Semua
obat tersebut menghambat sintesis DNA virus. Obat ini dapat menghambat
perkembangbiakan virus herpes. Walaupun demikian, HSV tetap bersifat laten di
ganglia sensorik, dan angka kekambuhannya tidak jauh berbeda pada orang yang
diobati dengan yang tidak diobati. Salah satu obat yang efektif untuk infeksi
Herpes Simpleks Virus adalah: Aciklofir dalam bentuk topikal, intravena, dan oral
yang kesemuanya berguna untuk mengatasi infeksi primer.

Pencegahaan.

a. Pencegahan transmisi HSV secara horisontal:


 Higiene Personal
- Sering membersihkan diri dengan mandi menggunakan air
yang bersih.
Idealnya saat musim panas mandi 2 kali pagi dan sore.
- Ganti pakaian satu hari minimal 2 kali sehabis mandi agar
tubuh tetap terjaga kebersihannya.
- Cucilah seprai, handuk dan pakaian yang dipakai dengan
air yang bersih dan menggunakan deterjen [6].
- Pencegahan kontak dengan saliva penderita HSV dapat
dilakukan dengan menghindari berciuman dan menggunakan
alat-alat makan penderita serta menggunakan obat kumur
yang mengandung antiseptik yang dapat membunuh virus
sehingga menurunkan risiko tertular.
 Sanitasi lingkungan
- Menjaga lingkungan agar tetap bersih
- Menggunaan air bersih yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan.
b. Pencegahan transmisi HSV secara vertikal.
dapat dilakukan dengan deteksi ibu hamil dengan screning awal di
usia kehamilan 14-18 minggu, selanjutnya dilakukan kultur servik
setiap minggu mulai dari minggu ke-34 kehamilan pada ibu hamil
dengan riwayat infeksi HSV serta pemberian terapi antivirus supresif
(diberikan setiap hari mulai dari usia kehamilan 36 minggu dengan
acyclovir 400mg 3×/hari atau 200mg 5×/hari) yang secara signifikan
dapat mengurangi periode rekurensi selama proses persalinan (36%
VS 0%). Namun apabila sampai menjelang persalinan, hasil kultur
terakhir tetap positif dan terdapat lesi aktif di daerah genital maka
kelahiran secara sesar menjadi pilihan utama.[3] Periode postnatal
bertanggungjawab terhadap 5-10% kasus infeksi HSV pada
neonatal. Infeksi ini terjadi karena adanya kontak antara neonatus
dengan ibu yang terinfeksi HSV (infeksi primer HSV-I 100%,
infeksi primer HSV-II 17%, HSV-I rekuren 18%, HSV-II rekuren
0%) dan juga karena kontak neonatus dengan tenaga kesehatan yang
terinfeksi HSV.[3] Pemilihan metode pencegahan yang tepat sesuai
dengan model transmisinya dapat menurunkan angka kejadian dan
penularan infeksi HSV.
Daftar pustaka
1. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Hiperemesis Gravidarum. Dalam: Ilmu
Kebidanan; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta; 2002;
hal. 275-280.
2. Guyton, A. C., Hall, J. E., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. EGC.
Jakarta: 2014.
3. Cunningham, Leveno, Hauth B, Rouse, Spong. Obstetri Williams Vol 1 Ed
23. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2014.
4. Errol Norwitz, John Schorge. At a Glance Obstetri dan Ginekologi edisi
kedua. Erlangga Medical series. Jakarta: 2007.
5. Kingston M, French P, Higgins S et al. UK national guidelines on the
management of syphilis 2015. Intional Journal of STD and AIDS
OnlineFirst, published on December 31, 2015 as
doi:10.1177/0956462415624059.
6. Katz, K.A. Syphilis. In: Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller,
A.S., Leffell, D.J.,Wolff, K., eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Eight Edition. New York: McGraw-Hill; 2012, p.2471-92

7. Patul Rajul et al. 2017 European guidelines for the management


of genital herpes. International Journal of STD & AIDS 0(0) 1–14.
Available from:
https://www.iusti.org/regions/Europe/pdf/2017/Herpes.pdf.

8. Center for Disease Control and Prevention . Genital HSV


Infections. 2015 Sexually Transmitted Diseases Treatment
Guidelines. 2015. Available from:
https://www.cdc.gov/std/tg2015/herpes.htm.

Anda mungkin juga menyukai