Anda di halaman 1dari 20

BAB III

ANALISIS KASUS

Pasien kami adalah seorang laki-laki, usia 56 tahun, menikah, heteroseksual,


dengan riwayat seks bebas (multiple sexual partners) dan riwayat kencing nanah,
tanpa adanya riwayat luka pada kemaluannya, datang dengan adanya keluhan lesi
kulit kemerahan yang pada awalnya muncul di lengan kiri lalu menyebar ke seluruh
tubuh, bahkan sampai wajah sejak + 3 bulan SMRS. Pasien juga memiliki gejala
konstitusional berupa demam, anoreksia dan penurunan berat badan. Gejala-gejala
dan tanda-tanda pada pasien ini memang tidak spesifik untuk sifilis, karena memang
seperti disebutkan sebelumnya bahwa sifilis adalah the great imitator, artinya gejala
yang ada dapat menyerupai penyakit lainnya. Pada awalnya pasien ini kami menduga
suatu penyakit infeksi menular seksual, misalnya HIV. Namun, pada pemeriksaan
anti-HIV menunjukkan hasil non reaktif. Pada pemeriksaan uji serologi sifilis
menunjukkan hasil reaktif baik uji non-treponemal (VDRL 1:8) maupun uji
treponemal (TPHA 1:1280). Pasien ini merupakan pasien sifilis sekunder.
Sifilis merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh Treponema
pallidum. Organisme ini berbentuk spiral tipis, dengan ukuran panjang 6-15 mm dan
lebar 0,15 mm, yang dikelilingi oleh membran sitoplasmik trilaminar, lapisan
peptidoglikan yang tipis, dan membran terluar yang kaya lipid. Organisme ini dapat
dilihat dengan mikroskop lapangan gelap (gambar 1) dan tidak dapat dikultur secara
in vitro. Manusia merupakan satu-satunya pejamu alami dari T. pallidum.1,9
T. pallidum dapat berpenetrasi dengan cepat melalui membran mukosa yang
intak atau melalui kulit yang mengalami abrasi mikroskopik saat terjadi kontak
seksual. Dalam beberapa jam pertama kuman ini dapat mencapai saluran limfe dan
aliran darah sehingga menyebabkan gejala infeksi sistemik dan fokus metastatik
sebelum timbulnya lesi primer. T. pallidum membelah diri setiap 30-33 jam. Darah
dari penderita dalam masa inkubasi dan sifilis stadium awal sangat menular. Lamanya

41
42

massa inkubasi berbanding terbalik dengan jumlah inokulum treponema. Semakin


banyak jumlah treponema yang terinokulasi, maka semakin pendek masa
inkubasinya. Masa inkubasi pada manusia rata-rata berlangsung selama 21 hari sejak
inokulasi pertama (dengan jumlah rata-rata 500-1000 organisme infeksius) dan jarang
berlangsung sampai lebih dari 6 minggu.1,2

Gambar 1. Treponema pallidum dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap.10

Sifilis terutama menular melalui kontak seksual baik melalui vaginal, anal
atau oral. Secara klasik sifilis menyebabkan penyakit yang terbagi dalam beberapa
stadium:
1. Masa inkubasi tanpa gejala
2. Sifilis primer, yaitu timbulnya lesi primer pada tempat inokulasi pertama
3. Sifilis sekunder, yang terjadi akibat penyebaran kuman ke seluruh tubuh
dengan berbagai manifestasi klinis
4. Stadium subklinis atau laten, yang berlangsung hingga bertahun-tahun dan
hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis
5. Sifilis tersier, stadium akhir dari sifilis berupa penyakit progresif yang
melibatkan susunan saraf pusat, pembuluh darah besar, dan atau
pembentukkan gumma yang terjadi pada semua organ
43

Sifilis primer, sekunder, dan laten awal merupakan stadium yang sangat menular,
dengan risiko penularan sebesar 60%. Kontak langsung dengan lesi kulit sifilis primer
atau sekunder merupakan penularan terbanyak.2
Setelah masa inkubasi antara 2-6 minggu, lesi primer muncul pada tempat
inokulasi yang disebut chancre, yang bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian
sembuh sendiri. Chancre biasanya dimulai dengan papul tunggal yang tidak nyeri dan
dengan cepat terkikis dan berindurasi, dengan konsistensi kenyal (gambar 2). Pada
pemeriksaan histopatologis chancre dapat ditemukan infiltrasi masif perivaskular
terutama oleh sel limfosit CD4 dan CD8, sel plasma, serta makrofag. Dapat
ditemukan pula proliferasi endotel kapiler dan obliterasi pembuluh darah kecil.
Variasi bentuk lesi tergantung dari status imunologi penderita terhadap treponema
dan jumlah treponema yang berinokulasi. Inokulum berjumlah besar akan
menyebabkan lesi ulseratif pada penderita non-imun, tetapi dapat menyebabkan lesi
papula asimtomatik pada penderita yang telah berada pada stadium laten sifilis.
Inokulum kecil dapat hanya menimbulkan lesi berbentuk papula pada penderita yang
non-imun. Pada laki-laki heteroseksual chancre biasanya ditemukan pada penis,
sedangkan pada LSL dapat pula ditemukan pada rektum atau mulut. Pada perempuan
chancre dapat ditemukan pada labia dan serviks. Limfadenopati regional (inguinal)
biasa terjadi dalam 1 minggu pertama timbulnya chancre, dapat bertahan selama
beberapa bulan.1,2
Pada chancre yang lebih matur, netrofil akan digantikan oleh limfosit, yang
akan mensekresi limfokin, sehingga menarik dan mengaktifkan makrofag. Bila
terdapat antibodi eksogen, makrofag dapat memakan dan menghancurkan organisme
ini. Respon selular yang didominasi oleh sel T helper-1 akan menghasilkan
interleukin 2 (IL-2), interferon-γ, IL-10, dan IL-12 dalam lesi. Sel plasma juga dapat
ditemukan di dalam infiltrat, dan respon humoral dikeluarkan. Antibodi terhadap T.
pallidum dapat ditemukan pada saat atau sesaat setelah munculnya chancre.
44

Kombinasi respon imun selular dan humoral berguna untuk menghilangkan


spirochaeta secara lokal, dan stadium primer berakhir.11

Gambar 2. Sifilis primer dengan chancre.1

Setelah beberapa minggu, proliferasi spirochaeta meningkat secara bermakna


dan penyakit menjadi generalisata. Pada stadium sekunder ini kadar antibodi
meningkat tajam seiring dengan peningkatan jumlah organisme. Respon antibodi
inilah yang merubah tampilan lesi sifilis sekunder. Pada fase ini teradapat kekebalan
terhadap infeksi baru, tetapi terdapat defisiensi hipersensitivitas tipe lambat terhadap
T. pallidum. Adanya supresi imunitas selular ini dapat menyebabkan proliferasi
organisme meskipun terjadi peningkatan kadar antibodi.11
Stadium sekunder diikuti oleh fase asimtomatik atau disebut fase laten. Pada
fase ini hipersensitivitas tipe lambat kembali muncul. Sedangkan pada fase tersier,
respon imun menghasilkan pembentukan granuloma. Imunitas terhadap infeksi ulang
terjadi pada penderita yang tidak diobati. Setelah pengobatan, sebagian besar
penderita yang mengalami infeksi ulang akan terbentuk chancre.11
45

Manifestasi yang bermacam-macam pada sifilis sekunder meliputi lesi


mukokutan dan limfadenopati generalisata yang tidak nyeri.1,2 Lesi sifilis sekunder
dapat muncul 3-12 minggu setelah munculnya chancre.11 Lesi mukokutan dapat
berupa ruam yang berbentuk makula, papula, papulaskuamosa atau pustular
syphilides (gambar 3). Sering kali lebih dari 1 bentuk terjadi pada saat bersamaan.
Ruam yang ringan kadang tidak disadari penderita dan dapat ditemukan hingga 25%
kasus.1,2 Hampir 60% penderita dengan sifilis laten menyangkal memiliki tanda dan
gejala sifilis sekunder. Hampir 25 persen penderita tidak ingat munculnya chancre.11
Makula muncul pertama kali pada tubuh dan ekstremitas proksimal, berwarna merah
atau merah muda yang tidak terasa gatal. Makula ini kemudian berubah menjadi
papula yang tersebar ke seluruh tubuh termasuk telapak tangan dan kaki.1,2

A B C

Gambar 3. Berbagai lesi kulit pada sifilis sekunder. (A) Makular sifilis (roseola sifilitika),
(B) lesi papulopustular generalisata, (C) Lesi likenoid sifilitika 11

Gejala-gejala konstitusional dapat mendahului atau menyertai sifilis sekunder,


di antaranya adalah nyeri menelan, demam, penurunan berat badan, lemah badan,
anoreksia, nyeri kepala, dan meningismus. Meningitis akut ditemukan pada 1-2%
kasus, tetapi kelainan cairan susunan saraf pusat dapat ditemukan hingga 40%. Gejala
dan tanda yang lebih jarang ditemukan pada sifilis sekunder meliputi hepatitis,
46

nefropati, keterlibatan gastrointestinal, artritis, dan periostitis. Gangguan mata yang


dapat ditemukan adalah kelainan pupil, neuritis optik, iritis dan uveitis.1,2
Pasien kami yang adalah seorang perokok aktif, juga datang dengan adanya
keluhan batuk yang produktif dengan dahak warna putih sejak 2 minggu SMRS,
disertai keluhan sesak napas sejak 1 minggu SMRS yang bertambah hebat sejak 1
hari SMRS. Pada pemeriksaan fisis pulmo didapatkan ronki basah kasar pada basal
paru kanan. Pada pemeriksaan penunjuang foto thoraks didapatkan infiltrat pada
parakardial kanan. Kemungkinan adanya tuberkulosis paru dapat disingkirkan dengan
hasil negatif pada pemeriksaan GeneXpert. Tetapi karena pasien ini adalah dengan
sifilis sekunder, maka adanya suatu sifilis pulmoner pada pasien ini belum dapat
disingkirkan.
Pada sifilis sekunder ini terjadi penyebaran organisme ke seluruh tubuh secara
hematogen, dan tidak menutup kemungkinan mencapai paru. Walaupun sangat jarang
terjadi, sifilis pulmoner pada sifilis sekunder telah dilaporkan berupa beberapa
laporan kasus dari seluruh dunia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Visuttichaikit, dkk menyatakan bahwa sampai tahun 2017 telah dilaporkan sebanyak
16 kasus sifilis sekunder dengan keterlibatan paru. Sebagian besar penderita dalam
kasus ini datang dengan keluhan nyeri dada, demam, gambaran nodul opak pada paru
(baik nodul tunggal ataupun multipel), infiltrat alveolar, dan efusi pleura. Tidak
adanya suatu gejala klinis atau gambaran foto thoraks yang spesifik untuk sifilis
pulmoner. Sehingga hingga saat ini belum adanya suatu kriteria diagnosis pasti untuk
mendiagnosis suatu kasus sifilis pulmoner. Pada tahun 1983, Coleman membuat
suatu panduan dalam menegakkan diagnosis klinis sifilis sekunder dengan
keterlibatan paru: 1. Ananmesis dan pemeriksaan fisis seusai dengan sifilis sekunder,
2. Uji serologi positif untuk sifilis, 3. Gambaran abnormal pada gambaran radiologi
paru dengan atau tanpa gejala dan tanda terkait paru, 4. Eksklusi bentuk lain penyakit
paru dan bila memungkinkan dengan uji serologi, kultur dan pewarnaan sputum, serta
47

sitologi sputum, 5. Adanya respon terapi terhadap gambaran radiologi setelah


pemberian terapi anti-sifilis.12,13,14
Pada perjalanan penyakit pasien selama perawatan, pasien kami mengalami
penurunan kesadaran dan terjadi kejang. Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya
pupil Argyll Robertson, parese nervus kranialis, dan tanda rangsang meningeal.
Pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras menunjukkan hasil atrofi serebri ringan,
tanpa adanya abnormalitas lain. Dari pemeriksaan serologi VDRL cairan otak
menunjukkan hasil non reaktif, kultur cairan otak steril, dan GeneXpert cairan otak
tidak ditemukan kuman M. tuberculosis. Dengan analisis cairan otak lainnya adalah
leukosit 17 sel/mm3, MN 24%, protein 54 mg/dl. Maka pasien kami diagnosis sebagai
neurosifilis (gambar 4).

Gambar 4. Algoritma diagnosis neurosifilis pada penderita tanpa infeksi HIV. 4


48

Sifilis laten merupakan kondisi dimana tidak adanya manifestasi klinis sifilis
pada penderita tetapi ditemukan uji serologi yang positif untuk sifilis dengan
pemeriksaan cairan otak yang normal. Sifilis laten dini terjadi dalam 1 tahun setelah
infeksi, sedangkan sifilis laten lanjut infeksi terjadi > 1 tahun (atau tidak diketahui).1
Neurosifilis dapat terjadi setiap saat setelah terjadinya infeksi T. pallidum.
Pada kondisi awal, umumnya neurosifilis melibatkan cairan otak, selaput otak, dan
pembuluh darah (meningitis asimtomatik, meningitis simtomatik, dan penyakit
meningovaskular). Pada kondisi lanjut, bentuk paling sering terjadi melibatkan
parenkim otak dan medula spinalis (paralisis generalisata dan tabes dorsalis).
Organisme ini dapat ditemukan dalam cairan otak pada hampir 25% penderita yang
tidak diobati pada sifilis dini. Abnormalitas cairan otak dapat ditemukan pada 13%
penderita sifilis primer yang tidak diobati dan 25-40% penderita sifilis sekunder yang
tidak diobati. Organisme ini tidak seperti bakteri lainnya yang menimbulkan infeksi
persisten, tetapi dapat terjadi resolusi spontan dalam beberapa kasus tanpa
menimbulkan respon inflamasi. Mekanisme hilangnya organisme ini dari cairan otak
diduga mirip dengan respon imun yang terjadi pada infeksi perifer dimana
dihilangkan oleh makrofag yang teraktivasi. Meningitis persisten terjadi akibat
gagalnya menghilangkan organisme ini dari cairan otak. Penderita dengan meningitis
persisten dapat berupa neurosifilis asimtomatik dan penderita ini memiliki risiko
terjadinya neurosifilis simtomatik (gambar 5).4,15
Pasien dengan neurosifilis asimtomatik memiliki serologi atau bukti klinis
dari sifilis atau keduanya, dan pleositosis cairan otak (<100 sel/mm 3), peningkatan
protein (<100 mg/mm3), VDRL cairan otak yang reaktif, atau beberapa kombinasi
dari abormalitas ini. VDRL cairan otak yang reaktif dapat ditemukan pada sebagian
besar kasus tetapi tidak pada seluruh kasus. Pada penderita tanpa infeksi HIV,
limfosit cairan otak > 5 sel/mm 3 atau konsentrasi protein > 45 mg/dl cukup untuk
mendiagnosis neruosifilis. Sedangkan pada penderita dengan infeksi HIV, hasil
VDRL yang non-reaktif sulit untuk mendiagnosis neurosifilis asimtomatik hanya
49

berdasarkan pleositosis cairan otak karena pleositosis dan peningkatan protein dapat
terjadi oleh karena infeksi HIV itu sendiri. Pada neurosifilis simtomatik dapat
ditemukan keluhan berupa sakit kepala, kaku kuduk, mual dan muntah, gangguan
saraf kranial, kejang, dan perubahan kesadaran. Abnormalitas cairan otak yang
ditemukan lebih berat dari yang asimtomatik, hitung limfosit biasanya 200-400
sel/mm3, protein 100-200 mg/dl, dan hampir selalu VDRL cairan otak reaktif.1,4,15

Gambar 5. Perjalanan alamiah neurosifilis.4

Manifestasi sifilis pada sistem kardiovaskular biasanya terjadi 10-40 tahun


setelah infeksi, diakibatkan oleh endarteritis obliterans pada vasa vasorum yang
memberikan aliran darah pada pembuluh darah besar. Keterlibatan kardiovaskular
dapat berbentuk aortitis, regurgitasi aorta, aneurisma sakular pada aorta ascenden,
atau stenosis arteri koroner. Gumma adalah lesi tunggal dengan ukuran bervariasi
mulai dari mikroskopik hingga beberapa sentimeter. Gumma dapat ditemukan pada
semua organ tubuh, terutama kulit dan tulang.1,2
Diagnosis sifilis ditegakkan pada penderita dengan gejala dan tanda yang
sesuai dengan gejala dan tanda sifilis, yang disertai dengan faktor risiko kontak
seksual dengan penderita sifilis termasuk kelompok risiko tinggi (LSL, PSK, waria),
penderita dengan pasangan seksual multipel, penderita dengan infeksi HIV, dan
50

penyakit menular seksual lainnya. Karena tidak praktis dan tidak tersedianya sarana
untuk pemeriksaan langsung apusan dari lesi untuk menemukan organisme ini di
semua tempat, maka pemeriksaan serologi untuk sifilis menjadi pilihan. Terdapat dua
jenis uji serologi untuk sifilis yaitu non-treponemal dan treponemal. Uji non-
treponemal yang banyak digunakan adalah rapid plasma reagin (RPR) dan venereal
diseases research laboratory (VDRL), yang memeriksa antibodi terhadap komplek
cardiolipin-lecithin-cholesterol yang dihasilkan oleh interaksi antara T. pallidum
dengan jaringan pejamu. Sedangkan uji treponemal yang digunakan adalah
Treponema pallidum hemaglutination test (TPHA) dan fluorescent treponemal
antibody-absorbed (FTA-ABS) yang mendeteksi antibodi terhadap antigen spesifik
T. pallidum (tabel 1). Diagnosis presumtif sifilis dapat ditegakkan dengan hasil uji
non-treponemal yang reaktif, lalu dikonfirmasi dengan uji treponemal. Meskipun uji
treponemal memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang lebih tinggi, serta biaya yang
lebih tinggi, uji ini tidak digunakan sebagai skrining tetapi untuk memperkuat akurasi
uji non-treponemal yang reaktif. Pada sifilis sekunder, hampir semua uji ini
menunjukkan hasil reaktif. Pada kurang dari 1% penderita menunjukkan fenomena
prozone, yaitu penderita dengan uji serologi yang negatif meskipun kadar antibodi
tinggi, tetapi dengan pengenceran bertahap pada bahan pemeriksaan yang sama dapat
menunjukkan hasil yang reaktif. Berdasarkan rekomendasi dari Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) terdapat tiga kegunaan uji serologi, yaitu: 1. Skrining
atau diagnosis (RPR atau VDRL), 2. Pengukuran titer kuantitatif untuk menilai
aktivitas klinis sifilis atau untuk monitor respon terapi (RPR atau VDRL), dan 3.
Konfirmasi diagnosis sifilis pada pasien dengan hasil uji non-treponemal reaktif
(FTA-ABS, TPHA).1,2,11

Tabel 1. Sensitivitas dan spesifisitas uji serologi untuk sifilis. 11

Sensitivitas (%)
Uji Spesifisitas (%)
Primer Sekunder Laten
51

VDRL 80 (74-87) 100 80 (75-100) 98


RPR 86 (81-100) 100 80 (75-100) 98
FTA-ABS 98 (93-100) 100 95 99
TPHA 82 (50-95) 100 99 99

Pada pasien kami, setelah diagnosis sifilis sekunder ditegakkan, pasien


diberikan benzathine penicillin G 2,4 juta unit intramuskular. Untuk kemungkinan
adanya sifilis pulmoner pada pasien ini belum adanya panduan tata laksana pada
kasus sifilis pulmoner. Namun dari beberapa laporan kasus yang ada, pemberian
benzathine penicillin G intramuskular atau aqueous penicillin intravena memberikan
respon yang baik pada pasien. Kemudian setelah diagnosis neurosifilis ditegakkan,
direncanakan pemberian aqueous penicillin tetapi karena tidak tersedia, maka
direncanakan pemberian ceftriaxone 2 gram/hari intravena selama 10-14 hari untuk
pasien ini.
Penicillin G merupakan obat pilihan untuk semua stadium sifilis berdasarkan
rekomendasi CDC tahun 2015 (tabel 2). T. pallidum dapat dibunuh dengan
konsentrasi yang sangat rendah dari penicillin G, walaupun demikian diperlukan
paparan yang lama dari penicillin G karena lambatnya membelah diri dari organisme
ini. Sampai saat ini belum ditemukan adanya resistensi penicillin terhadap T.
pallidum.1
Benzathine penicillin G sebagai terapi pilihan untuk sifilis awal. Terapi
preventif juga direkomendasikan untuk individu yang terpapar oleh infeksi sifilis
dalam 3 bulan terakhir. Benzathine penicillin G tidak dapat menembus sawar otak,
meskipun dalam dosis tinggi tidak dapat menghasilkan efek treponemasidal di cairan
otak dan sebaiknya tidak digunakan untuk tata laksana neurosifilis. Sehingga
neurosifilis baik asimtomatik maupun simtomatik harus diterapi dengan aqueous
penicillin baik aqueous crystalline penicillin G intravena ataupun aqueous procaine
penicillin G intramuskular ditambah dengan probenecid per oral untuk menjamin efek
treponemasidal di cairan otak.1,2,11
52

Tabel 2. Rekomendasi terapi sifilis.1

Penderita tanpa alergi Penderita dengan alergi


Stadium sifilis
penicillin penicillin
Primer, sekunder, atau laten Cairan otak normal atau Cairan otak normal atau
dini tidak diperiksa: Benzathine tidak diperiksa: Tetrasiklin
penicillin G (dosis tunggal Hcl (500 mg 4x sehari) atau
2,4 juta unit Doksisiklin (100 mg 2x
intramuskuskular (IM)). sehari) selama 2 minggu.
Cairan otak tidak normal: Cairan otak tidak normal:
terapi sebagai neurosifilis. terapi sebagai neurosifilis.

Laten lanjut (atau laten Cairan otak normal atau Cairan otak normal dan
dengan durasi tidak tidak diperiksa: Benzathine bukan penderita HIV:
diketahui), kardiovaskular penicillin G (2,4 juta unit IM Tetrasiklin Hcl (500 mg 4x
tiap minggu untuk 3 sehari) atau Doksisiklin (100
minggu). mg 2x sehari) selama 4
minggu.
Cairan otak tidak normal: Cairan otak normal dan
terapi sebagai neurosifilis. penderita HIV: desensitisasi
dan terapi dengan penicillin.
Cairan otak tidak normal:
terapi sebagai neurosifilis.

Neurosifilis (asimtomatik Aqueous crystalline Desensitisasi dan terapi


atau simtomatik) penicillin G (18-24 juta dengan penicillin.
unit/hari intravena, diberikan
3-4 juta unit tiap 4 jam atau
intavena kontinu) untuk 10-
14 hari.
Atau
Aqueous procaine penicillin
G (2,4 juta unit/hari IM) +
probenecid (500 mg 4x
sehari per oral), keduanya
diberikan selama 10-14 hari.

Walaupun tidak direkomendasikan oleh CDC sebagai pilihan pertama untuk


terapi neurosifilis, pada penderita yang alergi penicillin atau yang tidak dapat
diberikan penicillin dengan alasan lain, pemberian ceftriaxone 2 gram/hari intravena
selama 10-14 hari dapat diberikan sebagai terapi alternatif. Obat alternatif lainnya
untuk neurosifilis adalah doksisiklin 200 mg 2x sehari per oral selama 28 hari, yang
juga masih belum direkomendasikan oleh CDC.11,26
53

Pasien kami saat datang dipikirkan suatu kondisi pneumonia komunitas


berdasarkan anamnesis adanya batuk berdahak dan sesak napas, disertai demam yang
hilang timbul. Pasien juga adalah seorang perokok aktif kronis dimana diduga pasien
ini memiliki penyakit paru obstruktif kronis. Pada pemeriksaan fisis didapatkan
takipneu 26 x/menit, adanya barrel chest (+), angulus costae >90o, sela iga yang
melebar dan retraksi sela iga, pada pemeriksaan pulmo didapatkan ronki basah kasar
pada basal paru kanan. Pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 19.900
dengan shift to the left. Pada pemeriksaan foto thorax didapatkan infiltrat pada
parakardial kanan. Pasien diberikan terapi dengan antibiotik intravena levofloxacin
500 mg tiap 24 jam dan azithromycin 500 mg tablet tiap 24 jam per oral. Namun pada
hari ke-9 perawatan, pasien merasa lebih sesak kembali setelah sebelumnya pasien
merasa perbaikan dalam perawatan, dan produksi sputum berwana kekuningan yang
lebih banyak dan sulit dikeluarkan oleh pasien. Pasien juga mengalami demam
dengan suhu 38 oC. Pada pemeriksaan fisis didapatkan ronki basah kasar pada kedua
lapangan paru. Pemeriksaan laboratorium darah, kultur mikroorganisme dan
resistensi sputum dilakukan dengan hasil trombositopenia dan shift to the left.
Analisis gas darah didapatkan hasil asidosis metabolik terkompensasi sebagian
dengan anion gap yang tinggi. Pasien didiagnosis sebagai pneumonia nosokomial,
dengan pertimbangan faktor risiko pada pasien ini yaitu: riwayat perokok dan PPOK,
penyakit pada SSP (neurosifilis dengan penurunan kesadaran), adanya NGT, dan
malnutrisi.
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pneumonia saat ini dikenal dua kelompok utama yaitu pneumonia komunitas (PK)
dan pneumonia nosokomial (PN). Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang
terjadi akibat infeksi di luar RS, sedangkan PN adalah pneumonia yang terjadi 48
jam atau lebih setelah dirawat di RS, baik di ruang rawat umum ataupun ICU tetapi
54

tidak sedang memakai ventilator. Tanda-tanda pada tipe pneumonia klasik adalah
berupa demam, sesak napas. Pneumonia sering dijumpai pada usia lanjut, penyakit
paru obstruktif kronis, diabetes melitus (DM), payah jantung, keganasan, penyakit
hati kronik. Faktor predisposisi lainnya adalah kebiasaan merokok, keadaan
imunodefisiensi, penurunan kesadaran.6
Pneumonia nosokomial merupakan salah satu infeksi nosokomial terbanyak di
seluruh dunia dan berkaitan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas serta
meningkatnya biaya perawatan rumah sakit. Insidens terjadinya PN di ICU adalah
sekitar 9-24%, sedangkan di ruang rawat biasa adalah 1,6-3,7 kasus per 1000 pasien
rawat inap. Angka kejadian PN meningkat pada pasien usia lanjut, penggunaan
nasogastric tube (NGT), kondisi yang menurunkan mekanisme pertahanan paru
penderita dan memungkinkan pertumbuhan bakteri yang teraspirasi (misalnya
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau tindakan bedah pada abdomen bagian
atas), pasien immunocompromised.6,7,16,17,18 Studi yang dilakukan oleh Sopena, dkk
didapatkan bahwa PN yang terjadi di luar ICU rentan terjadi pada penderita-penderita
dengan malnutrisi, gangguan ginjal kronik, anemia, penurunan kesadaran, perawatan
inap di rumah sakit sebelumnya, dan tindakan bedah thoraks. 17 Pada studi lain yang
dilakukan di Brazil menunjukkan bahwa faktor risiko terjadinya PN adalah usia
lanjut, penggunaan antasida, dan penyakit pada susunan saraf pusat (SSP).19
Onset waktu terjadinya pneumonia merupakan variabel epidemiologis yang
penting dan faktor risiko untuk patogen spesifik, serta luaran penderita dengan PN.
Pneumonia nosokomial onset dini terjadi dalam 4 hari pertama rawat inap,
memberikan prognosis yang lebih baik, dan disebabkan oleh bakteri yang sensitif
terhadap antibiotik. Pada PN onset lanjut (5 hari atau lebih) biasanya disebabkan oleh
bakteri resisten antibiotik (multidrug resistant/ MDR) dan berhubungan dengan
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Meskipun demikian, penderita PN onset
dini yang mempunyai riwayat mendapat antibiotik atau rawat inap dalam 90 hari
terakhir memiliki risiko yang lebih besar terjadinya infeksi oleh bakteri MDR dan
55

sebaiknya diberikan terapi seperti pada penderita dengan PN onset lanjut. Angka
kematian oleh karena PN mencapai 30-70%.18,20
Pneumonia nosokomial berhubungan dengan angka kematian yang lebih
tinggi dibandingkan dengan infeksi pada bagian tubuh lainnya. Risiko mortalitas
yang tinggi ini juga dipengaruhi oleh penyakit komorbid penderita, terapi antibiotik
yang tidak adekuat, dan keterlibatan bakteri spesifik (khususnya Pseudomonas
aeruginosa atau Acinetobacter).18
Menurut panduan dari Infectious Diseases Society of America (IDSA) dan
American Thoracic Society (ATS) tahun 2016, tata laksana untuk PN sebaiknya
dipandu oleh pemeriksaan kultur mikrobiologi dari sampel noninvasif (ekspektorasi
spontan, induksi sputum, suction nasotrakeal). Kriteria klinis lebih diutamakan
dibandingkan dengan pemeriksaan biomarker seperti C-Reactive Protein (CRP) atau
procalcitonin (PCT) dalam menegakkan diagnosis PN. Pada penderita dengan dugaan
PN pemberian antibiotik empiris diberikan terlebih dahulu sebelum adanya hasil
kultur dan kepekaan kuman.7
Pasien kami digolongkan sebagai PN onset lanjut dan memiliki risiko MDR.
Maka pasien kami kemudian diberikan antibiotik empiris vancomycin 750 mg (15
mg/kg) intravena tiap 12 jam. Hasil kultur dan resistensi sputum dari sampel sputum
yang adekuat, didapatkan hasil Acinetobacter baumannii yang hanya memberikan
hasil sensitif pada tigecycline dan amikacin, serta resisten pada carbapenem dan
ampicillin/sulbactam.
Berdasarkan panduan dari IDSA/ATS tahun 2016, pada penderita PN dengan
risiko tinggi adanya infeksi MDR atau methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) maka direkomendasikan pemberian vancomycin atau linezolid (gambar 6).
Pada penderita PN yang disebabkan oleh Acinetobacter species terapi yang
direkomendasikan adalah carbapenem atau ampicillin/sulbactam bila hasil uji
kepekaan menunjukkan hasil sensitif. Bila hasil uji kepekaan hanya menunjukkan
hasil sensitif pada polymyxin (colistin atau polymyxin B), maka pemberian antibiotik
56

intravena ini direkomendasikan. Penggunaan tigecycline pada kasus PN yang


disebabkan oleh Acinetobacter species tidak dianjurkan. Durasi pemberian antibiotik
yang dianjurkan adalah selama 7 hari.7

Gambar 6. Rekomendasi terapi antibiotik empiris pada pneumonia nosokomial. 7

Acinetobacter species merupakan bakteri gram negatif, tidak motil, berbentuk


cocobacilli dan mudah ditumbuhkan dalam media kultur standar. Bakteri ini secara
alamiah ditemukan pada air dan tanah, serta ditemukan pada buah-buahan dan
sayuran. Pada manusia, Acinetobacter dapat ditemukan pada kulit dan saluran
pernapasan serta saluran pencernaan. Menurut data CDC, di Amerika Serikat terjadi
sekitar 12.000 infeksi Acinetobacter setiap tahun, dengan 7.300 diantaranya
disebabkan oleh strain yang MDR, dengan 500 diantaranya menyebabkan kematian.
Faktor risiko terjadinya kolonisasi dan infeksi terhadap bakteri ini adalah tinggal di
rumah perawatan, perawatan di ruang ICU yang lama, kateterisasi vena sentral,
57

trakeostomi, intubasi dan penggunaan mesin ventilator, diet enteral, terapi dengan
sefalosporin generasi ketiga, fluoroquinolon dan carbapenem. Higienis tangan yang
kurang dari para tenaga kesehatan serta sirkulasi udara yang kurang baik dapat
berperan terhadap kolonisasi bakteri ini. Infeksi A. baumannii merupakan penyebab
PN yang buruk. Angka kematian akibat PN yang disebabkan oleh A. baumannii
dilaporkan sekitar 65%.21
Malnutrisi merupakan suatu keadaan umum yang kita jumpai pada pasien
dengan penyakit akut maupun kronis pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Secara
praktis pengertian malnutrisi adalah apabila terjadi penurunan berat badan lebih dari
10% dari berat badan sebelumnya dalam 3 bulan terakhir atau jika indeks massa
tubuh (IMT) kurang dari 18,5 kg/m2. Pada saat malnutrisi akan terjadi proses
penghancuran dari lean body mass untuk melepaskan asam amino untuk proses
glukoneogenesis, yang penting dalam tubuh untuk sistem imunitas dan proses
penyembuhan penyakit. Apabila keadaan ini berlangsung, asam amino juga
berkurang, otot paru juga mengalami kelemahan dan hasil akhirnya akan
menyebabkan penurunan sistem imunitas dan mudah terkena pneumonia dan
akhirnya kematian.22
Kebutuhan energi basal (basal energy expenditure/ BEE) dapat dihitung
dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan rumus Harris Benedict yang
ditentukan berdasarkan jenis kelamin, usia (U), berat badan (BB), dan tinggi badan
(TB), yaitu:23
Perempuan BEE (kkal/hari) = 655,2 + (9,56 x BB) + (1,7 x TB) – (4,77 x U)
Laki-laki BEE (kkal/hari) = 66,47 + (13,75 x BB) + (5 x TB) – (6,76 x U)
BEE = basal energy expenditure
BB = berat badan aktual dalam kg
TB = tinggi badan dalam cm
U = usia dalam tahun
58

Pasien kami adalah seorang laki-laki, 56 tahun, dengan BB 50 kg, TB 170 cm.
Maka perhitungan BEE untuk pasien ini adalah:
BEE = 66,47 + (13,75 x BB) + (5 x TB) – (6,76 x U)
= 66,47 + (13,75 x 50) + (5 x 170) – (6,76 x 56)
= 66,47 + 687,5 + 850 – 378,56
= 1225,41 kalori

Langkah selanjutnya adalah menentukan kebutuhan energi total (total energy


expenditure/ TEE). Faktor-faktor seperti tindakan bedah, infeksi, trauma, atau stres
lain menambah kebutuhan energi (tabel 3). Untuk menghitungnya digunakan rumus:23
TEE = BEE x faktor stres x faktor aktivitas

Tabel 3. Nilai faktor aktivitas dan stres.23

Faktor aktivitas Faktor stres


Tirah baring: 1,2 Bedah minor: 1,1 – 1,3
Aktivitas: 1,3 Bedah mayor: 1,5
Demam: 1,13 tiap derajat di atas 37 oC Infeksi: 1,2 – 1,6
Trauma: 1,1 – 1,8
Sepsis: 1,4 – 1,9
Luka bakar: 1,9 – 2,1

Perhitungan TEE untuk pasien ini adalah:


TEE = BEE x faktor stres x faktor aktivitas
= 1225,41 x 1,6 (infeksi) x 1,2 (tirah baring)
= 2352,8 kalori = 2350 kalori
Akan tetapi, besarnya kalori yang akan diberikan kepada pasien dimulai dari
sebesar 2/3 TEE, yang kemudian akan dinaikkan secara bertahap, tergantung dari
asupan yang mampu diterima oleh pasien. Pada pasien dengan malnutrisi berat, diet
diberikan bertahap untuk mencegah terjadinya refeeding syndrome.
Berdasarkan Konsensus Internasional ke-3 pada tahun 2016 tentang definisi
sepsis dan syok sepsis, definisi sepsis yang terbaru adalah disfungsi organ yang
59

mengancam nyawa disebabkan oleh disregulasi respon pejamu terhadap infeksi.


Kriteria systemic inflammatory response syndrome (SIRS) untuk mengidentifikasi
sepsis tidak lagi dipergunakan. Kriteria quick Sequential Organ Failure Assessment
(quick SOFA/ qSOFA) digunakan untuk cepat mengidentifikasi pasien dengan
dugaan infeksi yang memiliki kemungkinan keluaran yang buruk, yaitu jika pasien
memenuhi minimal 2 dari kriteria: respiratory rate (RR) > 22x/menit, tekanan darah
sistolik (TDS) < 100 mmHg, dan perubahan/ gangguan status mental.24,25 Pada pasien
kami memenuhi dua kriteria yaitu penurunan kesadaran (perubahan status mental),
dan RR 26 x/menit. Untuk penggunaan secara klinis, disfungsi organ dapat
direpresentasikan dengan kenaikan skor SOFA (gambar 7) sebanyak 2 poin atau
lebih, yang dikaitkan dengan tingkat mortalitas di rumah sakit > 10%.

Gambar 7. Skor SOFA.24

Pada pasien kami terjadi kenaikan skor SOFA sebanyak 4 poin yang meliputi:
1. Penurunan GCS dari 15 menjadi 14 (skor SOFA 0  1)
2. Perubahan PO2/FiO2 dari <300 menjadi <200 (skor SOFA 2  3)
3. Penurunan trombosit >150.000 menjadi <150.000 (skor SOFA 0  1)
60

4. Kenaikan kreatinin <1,2 menjadi 1,2-1,9 (skor SOFA 0  1)

Syok sepsis merupakan bagian dari sepsis dengan gangguan sirkulasi dan
gangguan metabolisme/ seluler yang akan meningkatkan angka mortalitas secara
bermakna. Pasien dengan syok sepsis ditandai dengan adanya kondisi klinis sepsis
disertai hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan
mean arterial pressure (MAP) >65 mmHg dan kadar serum laktat > 2 mmol/l
meskipun dengan pemberian cairan resusitasi yang adekuat. Norepinefrin merupakan
vasopresor pilihan utama yang direkomendasikan.24,25
Adanya disfungsi organ multipel pada pasien kami dikarenakan proses sepsis
yang terjadi, dan diperberat oleh kondisi hipotensi/ syok. Pada kondisi ini terjadi
disfungsi endotel vaskular, kematian sel, arteriovenous shunt, kerusakan mitokondria
yang akan mengganggu penggunaan oksigen sel. Pada kondisi selanjutnya akan
terjadi peningkatan kadar laktat dan asidosis. Peningkatan kadar laktat dan kondisi
asidosis dapat menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung dan penurunan respon
vaskular terhadap vasopresor. Laktat akan dioksidasi menjadi CO 2 dan air. Pada
pasien kami telah terjadi penurunan pertukaran oksigen di paru yang ditandai oleh
menurunnya rasio PO2/FiO2. Peningkatan PCO2 dan penurunan PO2 arterial dapat
mengakibatkan aritmia jantung ataupun penekanan sistem saraf pusat, lalu penurunan
kesadaran, akhirnya terjadi henti napas dan henti jantung.

Anda mungkin juga menyukai