ANALISIS KASUS
41
42
Sifilis terutama menular melalui kontak seksual baik melalui vaginal, anal
atau oral. Secara klasik sifilis menyebabkan penyakit yang terbagi dalam beberapa
stadium:
1. Masa inkubasi tanpa gejala
2. Sifilis primer, yaitu timbulnya lesi primer pada tempat inokulasi pertama
3. Sifilis sekunder, yang terjadi akibat penyebaran kuman ke seluruh tubuh
dengan berbagai manifestasi klinis
4. Stadium subklinis atau laten, yang berlangsung hingga bertahun-tahun dan
hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis
5. Sifilis tersier, stadium akhir dari sifilis berupa penyakit progresif yang
melibatkan susunan saraf pusat, pembuluh darah besar, dan atau
pembentukkan gumma yang terjadi pada semua organ
43
Sifilis primer, sekunder, dan laten awal merupakan stadium yang sangat menular,
dengan risiko penularan sebesar 60%. Kontak langsung dengan lesi kulit sifilis primer
atau sekunder merupakan penularan terbanyak.2
Setelah masa inkubasi antara 2-6 minggu, lesi primer muncul pada tempat
inokulasi yang disebut chancre, yang bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian
sembuh sendiri. Chancre biasanya dimulai dengan papul tunggal yang tidak nyeri dan
dengan cepat terkikis dan berindurasi, dengan konsistensi kenyal (gambar 2). Pada
pemeriksaan histopatologis chancre dapat ditemukan infiltrasi masif perivaskular
terutama oleh sel limfosit CD4 dan CD8, sel plasma, serta makrofag. Dapat
ditemukan pula proliferasi endotel kapiler dan obliterasi pembuluh darah kecil.
Variasi bentuk lesi tergantung dari status imunologi penderita terhadap treponema
dan jumlah treponema yang berinokulasi. Inokulum berjumlah besar akan
menyebabkan lesi ulseratif pada penderita non-imun, tetapi dapat menyebabkan lesi
papula asimtomatik pada penderita yang telah berada pada stadium laten sifilis.
Inokulum kecil dapat hanya menimbulkan lesi berbentuk papula pada penderita yang
non-imun. Pada laki-laki heteroseksual chancre biasanya ditemukan pada penis,
sedangkan pada LSL dapat pula ditemukan pada rektum atau mulut. Pada perempuan
chancre dapat ditemukan pada labia dan serviks. Limfadenopati regional (inguinal)
biasa terjadi dalam 1 minggu pertama timbulnya chancre, dapat bertahan selama
beberapa bulan.1,2
Pada chancre yang lebih matur, netrofil akan digantikan oleh limfosit, yang
akan mensekresi limfokin, sehingga menarik dan mengaktifkan makrofag. Bila
terdapat antibodi eksogen, makrofag dapat memakan dan menghancurkan organisme
ini. Respon selular yang didominasi oleh sel T helper-1 akan menghasilkan
interleukin 2 (IL-2), interferon-γ, IL-10, dan IL-12 dalam lesi. Sel plasma juga dapat
ditemukan di dalam infiltrat, dan respon humoral dikeluarkan. Antibodi terhadap T.
pallidum dapat ditemukan pada saat atau sesaat setelah munculnya chancre.
44
A B C
Gambar 3. Berbagai lesi kulit pada sifilis sekunder. (A) Makular sifilis (roseola sifilitika),
(B) lesi papulopustular generalisata, (C) Lesi likenoid sifilitika 11
Sifilis laten merupakan kondisi dimana tidak adanya manifestasi klinis sifilis
pada penderita tetapi ditemukan uji serologi yang positif untuk sifilis dengan
pemeriksaan cairan otak yang normal. Sifilis laten dini terjadi dalam 1 tahun setelah
infeksi, sedangkan sifilis laten lanjut infeksi terjadi > 1 tahun (atau tidak diketahui).1
Neurosifilis dapat terjadi setiap saat setelah terjadinya infeksi T. pallidum.
Pada kondisi awal, umumnya neurosifilis melibatkan cairan otak, selaput otak, dan
pembuluh darah (meningitis asimtomatik, meningitis simtomatik, dan penyakit
meningovaskular). Pada kondisi lanjut, bentuk paling sering terjadi melibatkan
parenkim otak dan medula spinalis (paralisis generalisata dan tabes dorsalis).
Organisme ini dapat ditemukan dalam cairan otak pada hampir 25% penderita yang
tidak diobati pada sifilis dini. Abnormalitas cairan otak dapat ditemukan pada 13%
penderita sifilis primer yang tidak diobati dan 25-40% penderita sifilis sekunder yang
tidak diobati. Organisme ini tidak seperti bakteri lainnya yang menimbulkan infeksi
persisten, tetapi dapat terjadi resolusi spontan dalam beberapa kasus tanpa
menimbulkan respon inflamasi. Mekanisme hilangnya organisme ini dari cairan otak
diduga mirip dengan respon imun yang terjadi pada infeksi perifer dimana
dihilangkan oleh makrofag yang teraktivasi. Meningitis persisten terjadi akibat
gagalnya menghilangkan organisme ini dari cairan otak. Penderita dengan meningitis
persisten dapat berupa neurosifilis asimtomatik dan penderita ini memiliki risiko
terjadinya neurosifilis simtomatik (gambar 5).4,15
Pasien dengan neurosifilis asimtomatik memiliki serologi atau bukti klinis
dari sifilis atau keduanya, dan pleositosis cairan otak (<100 sel/mm 3), peningkatan
protein (<100 mg/mm3), VDRL cairan otak yang reaktif, atau beberapa kombinasi
dari abormalitas ini. VDRL cairan otak yang reaktif dapat ditemukan pada sebagian
besar kasus tetapi tidak pada seluruh kasus. Pada penderita tanpa infeksi HIV,
limfosit cairan otak > 5 sel/mm 3 atau konsentrasi protein > 45 mg/dl cukup untuk
mendiagnosis neruosifilis. Sedangkan pada penderita dengan infeksi HIV, hasil
VDRL yang non-reaktif sulit untuk mendiagnosis neurosifilis asimtomatik hanya
49
berdasarkan pleositosis cairan otak karena pleositosis dan peningkatan protein dapat
terjadi oleh karena infeksi HIV itu sendiri. Pada neurosifilis simtomatik dapat
ditemukan keluhan berupa sakit kepala, kaku kuduk, mual dan muntah, gangguan
saraf kranial, kejang, dan perubahan kesadaran. Abnormalitas cairan otak yang
ditemukan lebih berat dari yang asimtomatik, hitung limfosit biasanya 200-400
sel/mm3, protein 100-200 mg/dl, dan hampir selalu VDRL cairan otak reaktif.1,4,15
penyakit menular seksual lainnya. Karena tidak praktis dan tidak tersedianya sarana
untuk pemeriksaan langsung apusan dari lesi untuk menemukan organisme ini di
semua tempat, maka pemeriksaan serologi untuk sifilis menjadi pilihan. Terdapat dua
jenis uji serologi untuk sifilis yaitu non-treponemal dan treponemal. Uji non-
treponemal yang banyak digunakan adalah rapid plasma reagin (RPR) dan venereal
diseases research laboratory (VDRL), yang memeriksa antibodi terhadap komplek
cardiolipin-lecithin-cholesterol yang dihasilkan oleh interaksi antara T. pallidum
dengan jaringan pejamu. Sedangkan uji treponemal yang digunakan adalah
Treponema pallidum hemaglutination test (TPHA) dan fluorescent treponemal
antibody-absorbed (FTA-ABS) yang mendeteksi antibodi terhadap antigen spesifik
T. pallidum (tabel 1). Diagnosis presumtif sifilis dapat ditegakkan dengan hasil uji
non-treponemal yang reaktif, lalu dikonfirmasi dengan uji treponemal. Meskipun uji
treponemal memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang lebih tinggi, serta biaya yang
lebih tinggi, uji ini tidak digunakan sebagai skrining tetapi untuk memperkuat akurasi
uji non-treponemal yang reaktif. Pada sifilis sekunder, hampir semua uji ini
menunjukkan hasil reaktif. Pada kurang dari 1% penderita menunjukkan fenomena
prozone, yaitu penderita dengan uji serologi yang negatif meskipun kadar antibodi
tinggi, tetapi dengan pengenceran bertahap pada bahan pemeriksaan yang sama dapat
menunjukkan hasil yang reaktif. Berdasarkan rekomendasi dari Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) terdapat tiga kegunaan uji serologi, yaitu: 1. Skrining
atau diagnosis (RPR atau VDRL), 2. Pengukuran titer kuantitatif untuk menilai
aktivitas klinis sifilis atau untuk monitor respon terapi (RPR atau VDRL), dan 3.
Konfirmasi diagnosis sifilis pada pasien dengan hasil uji non-treponemal reaktif
(FTA-ABS, TPHA).1,2,11
Sensitivitas (%)
Uji Spesifisitas (%)
Primer Sekunder Laten
51
Laten lanjut (atau laten Cairan otak normal atau Cairan otak normal dan
dengan durasi tidak tidak diperiksa: Benzathine bukan penderita HIV:
diketahui), kardiovaskular penicillin G (2,4 juta unit IM Tetrasiklin Hcl (500 mg 4x
tiap minggu untuk 3 sehari) atau Doksisiklin (100
minggu). mg 2x sehari) selama 4
minggu.
Cairan otak tidak normal: Cairan otak normal dan
terapi sebagai neurosifilis. penderita HIV: desensitisasi
dan terapi dengan penicillin.
Cairan otak tidak normal:
terapi sebagai neurosifilis.
tidak sedang memakai ventilator. Tanda-tanda pada tipe pneumonia klasik adalah
berupa demam, sesak napas. Pneumonia sering dijumpai pada usia lanjut, penyakit
paru obstruktif kronis, diabetes melitus (DM), payah jantung, keganasan, penyakit
hati kronik. Faktor predisposisi lainnya adalah kebiasaan merokok, keadaan
imunodefisiensi, penurunan kesadaran.6
Pneumonia nosokomial merupakan salah satu infeksi nosokomial terbanyak di
seluruh dunia dan berkaitan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas serta
meningkatnya biaya perawatan rumah sakit. Insidens terjadinya PN di ICU adalah
sekitar 9-24%, sedangkan di ruang rawat biasa adalah 1,6-3,7 kasus per 1000 pasien
rawat inap. Angka kejadian PN meningkat pada pasien usia lanjut, penggunaan
nasogastric tube (NGT), kondisi yang menurunkan mekanisme pertahanan paru
penderita dan memungkinkan pertumbuhan bakteri yang teraspirasi (misalnya
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau tindakan bedah pada abdomen bagian
atas), pasien immunocompromised.6,7,16,17,18 Studi yang dilakukan oleh Sopena, dkk
didapatkan bahwa PN yang terjadi di luar ICU rentan terjadi pada penderita-penderita
dengan malnutrisi, gangguan ginjal kronik, anemia, penurunan kesadaran, perawatan
inap di rumah sakit sebelumnya, dan tindakan bedah thoraks. 17 Pada studi lain yang
dilakukan di Brazil menunjukkan bahwa faktor risiko terjadinya PN adalah usia
lanjut, penggunaan antasida, dan penyakit pada susunan saraf pusat (SSP).19
Onset waktu terjadinya pneumonia merupakan variabel epidemiologis yang
penting dan faktor risiko untuk patogen spesifik, serta luaran penderita dengan PN.
Pneumonia nosokomial onset dini terjadi dalam 4 hari pertama rawat inap,
memberikan prognosis yang lebih baik, dan disebabkan oleh bakteri yang sensitif
terhadap antibiotik. Pada PN onset lanjut (5 hari atau lebih) biasanya disebabkan oleh
bakteri resisten antibiotik (multidrug resistant/ MDR) dan berhubungan dengan
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Meskipun demikian, penderita PN onset
dini yang mempunyai riwayat mendapat antibiotik atau rawat inap dalam 90 hari
terakhir memiliki risiko yang lebih besar terjadinya infeksi oleh bakteri MDR dan
55
sebaiknya diberikan terapi seperti pada penderita dengan PN onset lanjut. Angka
kematian oleh karena PN mencapai 30-70%.18,20
Pneumonia nosokomial berhubungan dengan angka kematian yang lebih
tinggi dibandingkan dengan infeksi pada bagian tubuh lainnya. Risiko mortalitas
yang tinggi ini juga dipengaruhi oleh penyakit komorbid penderita, terapi antibiotik
yang tidak adekuat, dan keterlibatan bakteri spesifik (khususnya Pseudomonas
aeruginosa atau Acinetobacter).18
Menurut panduan dari Infectious Diseases Society of America (IDSA) dan
American Thoracic Society (ATS) tahun 2016, tata laksana untuk PN sebaiknya
dipandu oleh pemeriksaan kultur mikrobiologi dari sampel noninvasif (ekspektorasi
spontan, induksi sputum, suction nasotrakeal). Kriteria klinis lebih diutamakan
dibandingkan dengan pemeriksaan biomarker seperti C-Reactive Protein (CRP) atau
procalcitonin (PCT) dalam menegakkan diagnosis PN. Pada penderita dengan dugaan
PN pemberian antibiotik empiris diberikan terlebih dahulu sebelum adanya hasil
kultur dan kepekaan kuman.7
Pasien kami digolongkan sebagai PN onset lanjut dan memiliki risiko MDR.
Maka pasien kami kemudian diberikan antibiotik empiris vancomycin 750 mg (15
mg/kg) intravena tiap 12 jam. Hasil kultur dan resistensi sputum dari sampel sputum
yang adekuat, didapatkan hasil Acinetobacter baumannii yang hanya memberikan
hasil sensitif pada tigecycline dan amikacin, serta resisten pada carbapenem dan
ampicillin/sulbactam.
Berdasarkan panduan dari IDSA/ATS tahun 2016, pada penderita PN dengan
risiko tinggi adanya infeksi MDR atau methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) maka direkomendasikan pemberian vancomycin atau linezolid (gambar 6).
Pada penderita PN yang disebabkan oleh Acinetobacter species terapi yang
direkomendasikan adalah carbapenem atau ampicillin/sulbactam bila hasil uji
kepekaan menunjukkan hasil sensitif. Bila hasil uji kepekaan hanya menunjukkan
hasil sensitif pada polymyxin (colistin atau polymyxin B), maka pemberian antibiotik
56
trakeostomi, intubasi dan penggunaan mesin ventilator, diet enteral, terapi dengan
sefalosporin generasi ketiga, fluoroquinolon dan carbapenem. Higienis tangan yang
kurang dari para tenaga kesehatan serta sirkulasi udara yang kurang baik dapat
berperan terhadap kolonisasi bakteri ini. Infeksi A. baumannii merupakan penyebab
PN yang buruk. Angka kematian akibat PN yang disebabkan oleh A. baumannii
dilaporkan sekitar 65%.21
Malnutrisi merupakan suatu keadaan umum yang kita jumpai pada pasien
dengan penyakit akut maupun kronis pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Secara
praktis pengertian malnutrisi adalah apabila terjadi penurunan berat badan lebih dari
10% dari berat badan sebelumnya dalam 3 bulan terakhir atau jika indeks massa
tubuh (IMT) kurang dari 18,5 kg/m2. Pada saat malnutrisi akan terjadi proses
penghancuran dari lean body mass untuk melepaskan asam amino untuk proses
glukoneogenesis, yang penting dalam tubuh untuk sistem imunitas dan proses
penyembuhan penyakit. Apabila keadaan ini berlangsung, asam amino juga
berkurang, otot paru juga mengalami kelemahan dan hasil akhirnya akan
menyebabkan penurunan sistem imunitas dan mudah terkena pneumonia dan
akhirnya kematian.22
Kebutuhan energi basal (basal energy expenditure/ BEE) dapat dihitung
dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan rumus Harris Benedict yang
ditentukan berdasarkan jenis kelamin, usia (U), berat badan (BB), dan tinggi badan
(TB), yaitu:23
Perempuan BEE (kkal/hari) = 655,2 + (9,56 x BB) + (1,7 x TB) – (4,77 x U)
Laki-laki BEE (kkal/hari) = 66,47 + (13,75 x BB) + (5 x TB) – (6,76 x U)
BEE = basal energy expenditure
BB = berat badan aktual dalam kg
TB = tinggi badan dalam cm
U = usia dalam tahun
58
Pasien kami adalah seorang laki-laki, 56 tahun, dengan BB 50 kg, TB 170 cm.
Maka perhitungan BEE untuk pasien ini adalah:
BEE = 66,47 + (13,75 x BB) + (5 x TB) – (6,76 x U)
= 66,47 + (13,75 x 50) + (5 x 170) – (6,76 x 56)
= 66,47 + 687,5 + 850 – 378,56
= 1225,41 kalori
Pada pasien kami terjadi kenaikan skor SOFA sebanyak 4 poin yang meliputi:
1. Penurunan GCS dari 15 menjadi 14 (skor SOFA 0 1)
2. Perubahan PO2/FiO2 dari <300 menjadi <200 (skor SOFA 2 3)
3. Penurunan trombosit >150.000 menjadi <150.000 (skor SOFA 0 1)
60
Syok sepsis merupakan bagian dari sepsis dengan gangguan sirkulasi dan
gangguan metabolisme/ seluler yang akan meningkatkan angka mortalitas secara
bermakna. Pasien dengan syok sepsis ditandai dengan adanya kondisi klinis sepsis
disertai hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan
mean arterial pressure (MAP) >65 mmHg dan kadar serum laktat > 2 mmol/l
meskipun dengan pemberian cairan resusitasi yang adekuat. Norepinefrin merupakan
vasopresor pilihan utama yang direkomendasikan.24,25
Adanya disfungsi organ multipel pada pasien kami dikarenakan proses sepsis
yang terjadi, dan diperberat oleh kondisi hipotensi/ syok. Pada kondisi ini terjadi
disfungsi endotel vaskular, kematian sel, arteriovenous shunt, kerusakan mitokondria
yang akan mengganggu penggunaan oksigen sel. Pada kondisi selanjutnya akan
terjadi peningkatan kadar laktat dan asidosis. Peningkatan kadar laktat dan kondisi
asidosis dapat menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung dan penurunan respon
vaskular terhadap vasopresor. Laktat akan dioksidasi menjadi CO 2 dan air. Pada
pasien kami telah terjadi penurunan pertukaran oksigen di paru yang ditandai oleh
menurunnya rasio PO2/FiO2. Peningkatan PCO2 dan penurunan PO2 arterial dapat
mengakibatkan aritmia jantung ataupun penekanan sistem saraf pusat, lalu penurunan
kesadaran, akhirnya terjadi henti napas dan henti jantung.