Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

SIFILIS

Oleh :
Alexander Felix 112018147
Muhamad Rizauddin bin Che Riah 112018201

Pembimbing :
dr. Silvi Suhardi, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RS HUSADA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
03 Januari 2020 – 07 Februari 2020
BAB 1
PENDAHULUAN

Penyakit Menular Seksual (PMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat terbesar. Penyakit Sifilis merupakan salah satu penyakit menular Seksual yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema Pallidum yang bersifat akut dan kronis. Jalan utama
penularannya melalui kontak seksual. Infeksi ini juga dapat ditularkan dari ibu ke janin selama
kehamilan atau saat kelahiran, yang menyebabkan terjadinya sifilis kongenital. Jika cepat
terdeteksi dan diobati, sifilis dapat disembuhkan dengan antibiotika. Tetapi jika tidak diobati,
sifilis dapat berkembang ke fase selanjutnya dan meluas ke bagian tubuh lain di luar alat
kelamin.

Secara global Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada Tahun 1999
Jumlah kasus baru sifilis di dunia adalah sebesar 12 juta kasus. Di Amerika Latin dan Karibia
pertambahan jumlah kasus baru diperkirakan 3 juta jiwa. Pada beberapa studi, kasus Sifilis saat
ini mulai banyak ditemukan pada kelompok Transgender. Studi pada kelompok Transgender
muda di Chicago menyebutkan terjadi peningkatan 1,3% (2005-2008) menjadi 10,1% pada
Tahun 2009.1Kejadian penyakit sifilis di Amerika Serikat terdapat lebih dari 36.000 kasus sifilis
pada tahun 2010, termasuk 9.756 kasus sifilis primer dan sekunder. Sebagian besar kasus
tersebut terjadi pada pasien berusia 20 sampai 39 tahun. Insiden sifilis pada wanita tertinggi pada
usia 20 sampai 24 tahun dan pada laki-laki 35 sampai 39 tahun. Sementara kasus sifilis
kongenital pada bayi baru lahir meningkat dari 2009 sampai 2010, dari 339 kasus baru yang
dilaporkan pada tahun 2009 menjadi 349 kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2010 tercatat 64%
dari kasus sifilis dilaporkan terjadi pada pria yang berhubungan seks dengan pria (World Health
Organization, 2010).

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2012) melalui Surveilans Terpadu Biologis dan


Perilaku (STBP) bahwa pada tahun 2011 mendapatkan angka kejadian sifilis di Indonesia
diderita oleh waria sebesar 25%, pekerja seks langsung sebesar 10%, pria yang berhubungan
seks sesama pria sebesar 10%, pekerja seks tidak langsung sebesar 3% dan narapidana sebesar
3%.2 Jika tidak diobati, angka mortalitas mencapai 8% hingga 58%, dengan angka kematian
lebih tinggi ada laki-laki. Keparahan gejala sifilis berkurang selama abad ke-19 dan 20, sebagian
karena semakin banyaknya ketersediaan pengobatan efektif dan karena penurunan virulens dari
spirochaete. Dengan pengobatan dini, komplikasi lebih sedikit. Sifilis meningkatkan risiko
penularan HIV dua hingga lima kali, dan infeksi lainnya juga banyak terjadi. Menurut Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Jumlah kasus baru IMS lainnya termasuk sifilis di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2012 sebanyak 8.671 kasus, lebih sedikit dibanding tahun 2011 (10.752
kasus). Meskipun demikian kemungkinan kasus yang sebenarnya di populasi masih banyak yang
belum terdeteksi.

Meskipun kejadian sifilis sudah menurun, penyakit ini harus mendapat perhatian. Hampir
semua system dalam tubuh dapat diserang termasuk system kardiovaskuler dan saraf. Selain itu
wanita hamil dapat menularkan pada janinnya sehingga menyebabkan sifilis congenital yang
dapat mengakibatkan kelainan bawaan dan kematian.

BAB 2

ISI

Definisi

Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan
penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ
tubuh, menyerupai banyak penyakit, ada masa laten, dan dapat ditularkan ibu kepada janin di
dalam kandungan.

Epidemologi

Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar antara 0,04%
- 0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedang¬kan yang tertinggi di Amerika Selatan. Di
In¬donesia insidensnya 0,61%. Di bagian kami penderita yang terbanyak ialah stadium laten,
di¬susul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II.2 WHO
memperkirakan bahwa terdapat 12 juta kasus baru pada tahun 1999, dimana lebih dari 90%
terdapat di negara berkembang.

Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah
Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus
Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri
atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan
maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif
terjadi setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumya tidak dapat dilakukan diluar badan.
Diluar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup
tujuh puluh dua jam.

Klasifikasi

Sifilis dibagi menjadi:

1. Sifilis kongenital
a. Dini : Sebelum 2 tahun
b. Lanjut: Sesudah 2 tahun
c. Stigmata
2. Sifilis Akuisita (didapat): Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara:
a. Secara klinis dibagi menjadi tiga stadium:
I. Stadium I (SI)
II. Stadium II (SII)
III. Stadium III (SIII)
b. Secara epidemiologi menurut WHO dibagi menjadi:
I. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi) : terdiri atas SI,SII,
Stadium rekuren dan stadium laten dini.
II. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), tediri atas
stadium laten lanjut dan SIII.
Patogenesis

1. Stadium Dini
T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya
melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan membentuk
infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskular,
pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel
radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan
perivaskular di sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan
hipertrofik endotelium yang Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan
hipertrofik endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans).
Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak
sebagai S I.
Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara
limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar ke
semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini
diikuti oleh reaksi jaringan sebagai S II, yang terjadi enam sampai delapan minggu
sesudah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya
berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa
sikatriks. S II juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang.
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif
masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi
dengan sifilis kongenital.
Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga T. Pallidum
membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut
menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II, yang
terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat
timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi dua tahun.
2. Stadium Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam
keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita.
Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah,
sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat
itu munculah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan
T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun.
Setelah mengalami massa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat
lain.
Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini,
tetapi kerusakan terjadi perlahan-lahan, sehingga membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapat
gangguan saraf dan kardiovaskular, demikian juga sebaliknya. Kira-kita dua pertiga kasus
dengan stadium laten tidak memberikan gejala.

Gambaran Klinis
A. Sifilis Akuisita
a) Sifilis Dini
1) Sifilis Primer (SI)
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre), tetapi
bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi dimana saja di daerah
genitalia eksterna yaitu 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul
yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup
krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-2
cm. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi
bakteri lain, maka akan berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri. Kelainan
tersebut dinamakan afek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus
koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di
ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus. Pada pria selalu disertai pembesaran
kelenjar limfe inguinal medial unilateral/bilateral. Seminggu setelah afek primer,
biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis.
Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak
lunak, besarnya biasanya lentikular, tidak supuratif, dan tidak terdapat periadenitis.
Kulit di atasnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut. Afek primer tersebut
sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Istilah syphilis d'emblee dipakai,
jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya
pada transfusi darah atau suntikan.4,5,8
2) Sifilis Sekunder (SII)
Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan
sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan.
Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai
gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak
berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malaise, nyeri kepala, demam yang
tidak tinggi, dan artralgia. Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai
ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh serta dapat disertai demam dan
malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder,
bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa
makula, papul, folikulitis, papula skuamosa, dan pustule, jarang dijumpai keluhan
gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital. Kelainan kulit dapat
menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut the great imitator. Selain
memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar
getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf. Gejala lainnya adalah merasa tidak enak
badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan anemia.4,5

Bentuk Lesi
1. Roseola
Roseola ialah eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-bercak, warna merah
tembaga, berbentuk bulat atau lonjong, diameter 0,5-2 cm. Roseola biasanya merupakan
kelainan kulit yang pertama terlihat pada S II dan disebut roseola sifilitika. Karena efloresensi
tersebut merupakan kelainan S II dini,maka seperti telah dijelaskan, lokalisasinya generalisata
dan simetrik, telapak tangan dan kaki ikut dikenai. Disebut pula eksantema karena timbulnya
cepat dan menyeluruh. Roseola akan menghilang dalam beberapa hari atau minggu, dapat
pula bertahan hingga beberapa bulan. Kelainan tersebut dapat residif, jumlahnya menjadi
lebih sedikit, lebih lama bertahan, dapat anular, dan bergerombol. Jika menghilang, umumnya
tampak bekas, kadang kala dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut
leukoderma sifilitikum. Jika roseola terjadi pada kepala yang berambut, dapat menyebabkan
rontoknya rambut.4,8
2. Papul
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering terlihat pada S II. Bentuknya bulat,
ada kalanya terdapat bersama dengan roseola. Papul tersebut dapat berskuama yang terdapat
di pinggir (koleret) dan disebut papulo-skuamosa. Skuama dapat pula menutupi permukaan
papul sehingga mirip psoriasis, oleh karena itu dinamakan psoriasiformis. Jika papul-papul
tersebut menghilang dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut leukoderma
sifilitika, yang akan menghilang perlahan-lahan. Pada S II dini, papul generalisata dan
simetrik, sedangkan pada yang lanjut bersifat setempat dan tersusun secara teratur, arsinar,
sirsinar, polisiklik, dan korimbiformis. Papul-papul tersebut juga dapat dilihat pada sudut
mulut, ketiak, di bawah mammae, dan alat genital. 4,8
3. Pustul
Bentuk ini jarang terdapat. Mula-mula terbetuk banyak papul yang menjadi vesikel
dan kemudian terbentuk pustul, sehingga di samping pustul masih pula terlihat papul.
Timbulnya banyak pustul ini sering disertai demam yang intermitten dan penderita tampak
sakit lamanya dapat berminggu-minggu. Kelaianan kulit demikian disebut sifilis
variseliformis karena menyerupai varisela.(4)
4. Bentuk lain
Kelainan lain yang dapat terlihat pada S II ialah banyak papul, pustul, dan krusta yang
berkonfluensi sehingga mirip impetigo, karena itu disebut sifilis impetiginosa. Dapat pula
timbul berbagai ulkus yang tertutupi krusta yang disebut ektima sifilitikum. Bila krustanya
tebal disebut rupia sifilitika. Disebut sifilis ostrasea jika ulkus meluas ke perifer sehingga
berbentuk seperti kulit kerang. Sifilis yang berupa ulkus-ulkus yang terdapat di kulit dan
mukosa disertai demam dan keadaan umum buruk disebut sifilis maligna yang dapat
menyebabkan kematian. Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut,
umumnya bersifat difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat
terjadi kerontokan setempat setempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut
yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut
alopesia areolaris. Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila
tidak diobati, infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut.4
3) Sifilis Laten Dini
Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-alat dalam,
tetapi infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik darah positif, sedangkan tes
likuorserebrospinal negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA. Sifilis
laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi pemeriksaan
serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten,
selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit
akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut,
berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Fase ini bisa
berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang
hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali
muncul.4
4) Stadium Rekuren
Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip SII,
maupun serologik yang telah negatif menjadi positif terutama pada sifilis yang
tidak diobati atau yang mendapat pengobatan tidak cukup. Umumnya bentuk
relaps ialah SII, kadang-kadang SI. Kadang-kadang relaps terjadi pada tempat
afek primer dan disebut monorecidive.4
b) Sifilis Lanjut
1) Sifilis Laten Lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes
serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat
seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan
neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada
orititis.4
2) Sifilis Tersier (SIII)
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S
I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya
melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar
telur ayam. Kulit diatasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang
akut dan dapat digerakkan. Setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai
dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid
serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah
cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen. Pada beberapa kasus disertai
jaringan nekrotik. Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya
lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar.
Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Jika
telah menjadi ulkus, maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula
sebagai benjolan menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan
beberapa bulan hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula
multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika
guma multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam. Selain guma,
kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula-mula dikutan kemudian ke
epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan umumnya
meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam perkembangannya
mirip guma, mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus. Dapat pula
tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya dengan guma, nodus lebih
superfisial dan lebih kecil (miliar hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai
kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar
(diseminata). Warnanya merah kecoklatan. Nodus-nodus yang berkonfluensi
dapat tumbuh terus secara serpiginosa. Bagian yang belum sembuh dapat tertutup
skuama seperti lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional
tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta
articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen,
biasanya pada sendi besar.4
SIII pada Mukosa
Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar. Yang setempat
biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti biasanya akan melunak dan
membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat merusak tulang rawan septum nasi atau palatum
mole hingga terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan fisur-fisur
tidak teratur serta leukoplakia
SIII pada Tulang
Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus. Gejala nyeri,
biasanya pada malam hari. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis gumatosa dan osteitis
gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis dengan sinar-X
SIII pada Alat Dalam
Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang.Guma bersifat
multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami retraksi, membentuk lobus-lobus
tidak teratur yang disebut hepar lobatum. Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun
jarang. Guma dapat menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di
dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan bronkiektasi. Guma
dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III pada ovarium jarang,
pada testis kadang-kadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata
dan unilateral. Kadang kadang memecah ke bagian anterior skrotum
B. Sifilis Kardiovaskuler
Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30 tahun.
Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga kali daripada
wanita. Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang berlanjut ke arah katup. Tanda-tanda
sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk kantong pada aorta
torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus
diperiksa kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik
sebelumnya. Aneurisma aorta torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada
insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah umur disertai
pemeriksaan serologis darah reaktif, pada tahap pertama harus diduga sifilis kardiovaskuler,
sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya menunjukkan reaktif.4
C. Neurosifilis
Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang terjadi
dalam bentuk murni. Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa endarteritis
obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah
atau belum menunjukkan gejala pada saat pemeriksaan.6
D. Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis dini
sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. Treponema masuk secara hematogen ke janin
melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat masa kehamilan 10 minggu. Sifilis yang
mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah infeksi yang tidak diobati
terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini,
kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut 30%.Pada kehamilan yang berulang, infeksi
janin pada kehamilan yang kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan
terjadi abortus pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya
janin dengan sifilis kongenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua
sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih
bayi yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz. Gambaran klinis dapat dibagi
menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis kongenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas
antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S II,
sedangkan yang lanjut berbentuk guma dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau
deformitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.5
a) Sifilis Kongenital Dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula bergerombol,
simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat lain di badan. Cairan
bula mengandung banyak T. pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini ada kalanya disebut
pemfigus sifilitika. Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa
minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-
skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada
tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata. Ragades
merupakan kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus;
bentuknya memancar (radiating). Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya
berat badan sehingga kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan
belakang kepala. Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika.
Kelenjar getah bening dapat membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S II. Hepar
dan lien membesar akibat invasi T. pallidum sehingga terjadi fibrosis yang difus. Dapat
terjadi edema dan sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal dapat diserang, pada
urin dapat terbentuk albumin, hialin, dan granular cast. Pada umumnya kelainan ginjal
ringan. Pada paru kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih".
Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu. Osteokondritis pada
tulang panjang umumnya terjadi sebelum berumur enam bulan dan memberi gambaran
khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X. 4
b) Sifilis Kongenital Lanjut
Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma dapat
menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas ialah guma pada
hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi perforasi, bila
meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan deformitas.
Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah tulang dan
menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Keratitis interstisial merupakan gejala
yang paling umum, biasanya terjadi antara umur tiga sampai tiga puluh tahun,
insidensnya 25% dari penderita dengan sifilis kongenital dan dapat menyebabkan
kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya bilateral. 4
E. Stigmata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh serta meninggalkan parut dan
kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan stigmata sifilis kongenital,akan
tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran tersebut.
1) Stigmata Lesi Dini
a. Facies : Gangguan pertumbuhan septum nasi, depresi jembatan hidung (saddlenose),
maksilla tumbuh abnormal lebih kecil dari mandibula (bulldog jaw) menunjukkan
saddlenose.
b. Gigi menunjukkan gigi hutchinson, pada gigi insisi permanen lebih kecil dari normal
dengan bagian sisi konveks dan daerah untuk menggigit konkav. Moon’smolar atau
mulbery molar yaitu permukaan gigi molar berbintil bintil.
c. Kuku : onikia akan merusak dasar kuku.
2) Stigmata Lesi Lanjut
a. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
b. Lesi tulang: Osteoporosis gumatosa meninggalkan deformitas sebagai sabre
tibia. Frontal bossing, saddle nose dan buldog jaw.
c. Trias hutchinson: terdiri dari keratitis intertisialis, gigi hutchinson, tuli nervus VIII.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan hasil pemerikasan laboratorium dan pemeriksaan fisik. 4 Pada fase primer atau
sekunder, diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap
cairan dari luka di kulit atau mulut. Bisa juga digunakan pemeriksaan antibodi pada contoh
darah.4 Untuk neurosifilis, dilakukan pungsi lumbal guna mendapatkan contoh cairan
serebrospinal. Pada fase tersier, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksan
antibodi.4

Penatalaksanaan

Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan selama belum
sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini mungkin, makin dini
hasilnya makin balk. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses lebih lanjut. 2
Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.2,3,5

1. Penisilin

Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus placenta
sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga
efektif untuk neurosifilis.2 Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan
kurang dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut harus bertahan dalam serum selama
sepuluh sampai empat belas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh satu hari untuk
neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih
dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak. 2 Menurut
lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:2

a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi
bersifat kerja singkat.
b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama
kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
a. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum dua
sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.
Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak dianjurkan karena
absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan suntikan. Cara pemberian penisilin
tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang
kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga biasanya setiap minggu. 2 Penisilin G benzatin karena
bersifat kerja lama, maka kadar obat dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab
penderita tidak perlu disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua.
Obat ini mempunyai kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karena sukar masuk
ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena
penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada penyelidik yang tidak
menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pula PAM memberi rasa nyeri pada tempat
suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang
digunakan.2
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin 9,6
juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang
dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta unit,
i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.2
Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua 100.000-
150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m., setiap hari selama 10
hari.2

Reaksi Jarish-Herxheimer

Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer.6 Sebab yang
pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin
yang dikeluarkan oleh banyak T. paffidum yang coati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis
dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai due belas jam pada suntikan penisilin
yang pertama.2
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa
sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala, artralgia, malaiese,
berkeringat, dan kemerahan pada muka.8 Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena
edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh
sampai dua belas jam tanpa merugikan penderita pada S I.2
Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema glotis pada
penderita dengan guma di laring, penyempitan arteria koronaria pada muaranya karena edema
dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur aneurisms atau ruptur
dinding aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang
berlebihan akibat penyembuhan yang cepat.2
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya dengan
prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai pencegahan, misalnya
pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum
pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.2

2. Antibiotik Lain

Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai pengobatan
sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin.2 Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan
tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau aeritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari.
Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang
hamil, efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin, yakni
90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.2
Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yang diberikan
sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan.9
Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mg sehari selama
15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v. selama 15 hari.2
Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara yang sedang
berkembang untuk menggantikan penisilin.10 Dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis tunggal.
Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk., penyembuhannya mencapai 84,4%.

Pencegahan

a) Hindari berhubungan sex dengan lebih dari satu pasangan


b) Menjalani screening test bagi anda dan pasangan anda
c) Hindari alkohol dan obat-obatan terlarang
d) Gunakan kondom ketika berhubungan sexual
Sifilis tidak bisa dicegah dengan membersihkan daerah genital setelah berhubungan
sexual.8

Prognosis

Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik. Untuk
menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua T.pallidum di badan
terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan berarti sembuh klinis seumur hidup, tidak menular
keorang lain, T.S.S pada darah dan likuor serebrospinalis selalu negatif. Jika sifilis tidak diobati,
maka hampir seperempatnya akan kambuh, 5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis
kardiovaskular, neurosifilis pada pria 9% dan pada wanita 5%, 23% akan meninggal. Pada sifilis
dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14
hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu. Kegagalan terapi
sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi 30 setahun sesudah terapi,
berupa lesi menular pada mulut, tenggorok, dan region perianal. Disamping itu dikenal pula
kambuh serologik, yang berarti T.S.S yang negatif menjadi positif atau yang telah positif
menjadi makin positif. Rupanya kambuh serologik ini mendahului kambuh klinis. Kambuh klinis
pada wanita juga dapat bermanifestasi pada bayi berupa sifilis kongenital. Pada sifilis laten lanjut
prognosisnya baik, prognosis pada sifilis gumatosa bergantung pada alat yang dikenai dan
banyaknya kerusakan. Prognosis neurosifilis bergantung pada tempat dan derajat kerusakan. Sel
saraf yang rusak bersifat irreversible. Prognosis neurosifilis dini baik, angka penyembuhan dapat
mencapai 100%, neurosifilis asimptomatik pada stadium lanjut prognosisnya juga baik, kurang
dari 1% memerlukan terapi ulang. 4

BAB 3

KESIMPULAN

Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum, sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang
hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat
ditularkan dari ibu ke janin. Contohnya Gumma, gigi hutchinson dan snuffle nose merupakan
salah satu dari manifestasi kelainan pada gigi dan mulut yangdisebabkan oleh penyakit sifilis.
T.pallidum penyebab sifilis dapat ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui hubungan
genito-genital (kelamin-kelamin) maupun oro-genital (seks oral). Infeksi ini juga dapat
ditularkan oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa kehamilan. Jika tidak diobati, maka
hampir seperempatnya akan kambuh, pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan
mencapai 95%. Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I danS II. Kambuh klinis umumnya terjadi
setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok, dan regio perianal. Diagnosis
ditegakkan secara sempurna dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti Serologi
Tes Sifilis (STS) sehingga dapat diberikan antibiotik yang sesuai dan tepat. Antibiotik yang biasa
dipakai dalam penatalaksanaan Sifilis ialah Penisilin.

Daftar Pustaka

1. Peeling, R.W et al. Syphilis available at http//www.nature.com/reviews/micro. Accessed on


January 23, 2020.
2. Natahusada, EC, Djuanda A. Sifilis dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. p. 393-413
3. Hutapea, NO. Sifilis dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2009. p. 84-102.
4. Sifilis available at http//www.medicastore.com. Acccesed on January 23, 2020.
5. Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Penerbit Hipokrates. Jakarta. 2000. p. 170.
6. CDC National Prevention Information Network. Syphilis available at http//www.cdc.com.
accessed on January 23, 2020.
7. Aprianti S, Pakashi RDN, Hardjoeno. Tes Sifilis dan Gonorrhoe dalam: Hardjoeno dkk.
Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Penerbit LETHAS, Makasar. 2003. p. 353-
61.
8. Dugdale DC, Vyas JM, Zieve D. Syphilis available at http//www.medlineplus.com.
Accessed on January 23, 2020.
9. Wong T et al. Serological Treatment Response to Doxycycline/Tetracycline versus
Benzathine Penicillin. Am J Med 2008 Oct; 121:903.
10. Riedner G, Rusizoka M, Todd J, Maboko L, Hoelscher M, Mmbando D et al. Single-Dose
Azithromycin versus Penicillin G Benzathine for the Treatment of Early Syphilis. NEJM
2005 Volume 353: 1236-1244.

Anda mungkin juga menyukai