Anda di halaman 1dari 29

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS BOSOWA MARET 2021

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN SIFILIS PRIMER DAN


SIFILIS LATEN

DISUSUN OLEH :

Alfan Satria

45 20 112 025

DOSEN PEMBIMBING :
dr. Fadlina Zainuddin, Sp.KK, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2021
1

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Alfan Satria

NIM : 4520112025

Judul : Diagnosis dan Penatalaksanaan Sifilis Primer dan Sifilis Laten

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik Bagian


Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa.

Makassar, Maret 2021

Mengetahui,
Pembimbing

(dr. Fadlina Zainuddin, Sp.KK, M.Kes)


1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
spiroseta Treponema pallidum, bersifat kronis, dan dapat mengenai hampir
seluruh struktur tubuh. Sifilis ditularkan melalui kontak seksual atau luka pada
kulit dari lesi infeksius, in utero dari ibu ke anak, dan melalui transfusi darah. 1,2
Sifilis memiliki berbagai gambaran klinis dan seringkali sulit dibedakan dengan
infeksi atau penyakit imunologi lain. Oleh karena itu penyakit ini sering disebut
“The great imitator and mimicker”.2,3

1.2 Epidemiologi
Menurut perkiraan dari WHO, sekitar 17,7 juta orang berusia 15-49 tahun
secara global menderita sifilis pada tahun 2012, dengan perkiraan 5,6 juta kasus
baru setiap tahun. Estimasi prevalensi dan insidensi sifilis bervariasi secara
substansial menurut wilayah atau negara, dengan prevalensi tertinggi di Afrika
dan> 60% kasus baru terjadi di Negara berpenghasilan menengah ke bawah (low-
middle income countries).4
Pada negara maju dilaporkan prevalensi sifilis meningkat pada kelompok
tertentu, seperti pria homoseksual, wanita transgender, dan pekerja seks.5,6 Data
CDC tahun 2017, melaporkan distribusi kasus sifilis primer dan sekunder terjadi
52% pada pria yang berhubungan seksual dengan pria saja, 6% pada pria yang
berhubungan seksual dengan pria dan wanita, dan 15% pada pria yang
berhubungan seksual dengan wanita saja.7
Di Indonesia, pada tahun 2011 prevalensi sifilis pada wanita pekerja seks
yang terinfeksi HIV adalah 16,7% dan yang tidak terinfeksi HIV adalah 9,47%.
Pada populasi pria yang berhubungan seksual dengan pria yang terinfeksi HIV
adalah 23,8% dan yang tidak terinfeksi HIV sebesar 16,67%.8
2

Gambar 1. Insidensi Sifilis Global.4

1.3 Etiologi
Sifilis adalah infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspecies
pallidum. Treponema pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri
ini berbentuk spiral. Terdapat empat subspesies, yaitu Treponema pallidum
pallidum, yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum pertenue, yang
menyebabkan yaws, Treponema pallidum carateum,yang menyebabkan pinta dan
Treponema pallidum endemicum yang menyebabkan sifilis endemik (juga disebut
bejel).9
Treponema pallidum berbentuk heliks, bersifat mikroaerofilik, memiliki panjang 6-
20 µm dan diameter 0,1-0,18 µm, serta memiliki 2-3 flagella untuk motilitasnya.
Ukurannya yang kecil membuat organisme ini tidak terlihat dengan mikroskop cahaya
dan diidentifikasi melalui gerakan undulasi pada mikroskop lapangan gelap. Dari
penelitian didapatkan organisme ini membelah setiap 30-33 jam secara in
vivo. Treponema pallidum hanya dapat bertahan dalam waktu singkat di luar tubuh
karena rendahnya kapasitas metabolisme, dan menurunnya viabilitas pada lingkungan
yang memiliki suhu lebih tinggi dari temperatur tubuh.10-12
3

Gambar 2. Treponema pallidum.13

1.4 Patofisiologi
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa
vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu
yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan.
Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui membran mukosa yang utuh
dan kulit yang lecet, kemudian kedalam kelenjar getah bening, masuk aliran
darah, kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk keruang
intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup
botol). Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala
klinis dan serologi belum kelihatan pada saat itu. Darah dari pasien yang baru
terkena sifilis ataupun yang masih dalam masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu
berkembang biak Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara invivo
30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk, biasa-nya
bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat
masuknya, kuman mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan
4

timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara
klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di
tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler (Treponema pallidum
berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini mengakibatkan
hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis
obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada daerah
papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini
disebut chancre.14
Manifestasi klinis klasik sifilis primer adalah timbulnya chancre di daerah
genital tanpa disertai nyeri yang timbul sebagai respons terhadap invasi oleh
Treponema pallidum. Selain di genital, chancre dapat muncul pada area tubuh
lainya seperti di jari, payudara, tonsil, serta di mukosa mulut. Lesi ini dapat terjadi
di setiap tempat yang bersentuhan langsung dengan lesi yang terinfeksi dan
disertai dengan limfadenopati. Lesi primer ini akan hilang tanpa meninggalkan
bekas luka, meskipun tidak diobati. Jika tidak diobati, sifilis primer dapat
berkembang menjadi sifilis sekunder, yang memiliki banyak temuan klinis dan
histopatologis.3
Lesi primer dan sekunder sembuh tanpa pengobatan, dan pasien memasuki
fase laten di mana tidak ada manifestasi klinis. Pada fase ini, infeksi hanya dapat
dideteksi dengan pengujian serologis. Beberapa pasien pada fase ini akan
berlanjut ke fase tersier, ditandai dengan sifilis kardiovaskular, neurosifilis, dan
late benign syphilis.3
Sifat yang mendasari virulensi Treponema pallidum belum dipahami
selengkapnya, tidak ada tanda-tanda bahwa kuman ini bersifat toksigenik karena
didalam dinding selnya tidak ditemukan eksotoksin ataupun endotoksin.
Meskipun didalam lesi primer dijumpai banyak kuman namun tidak ditemukan
kerusakan jaringan yang cukup luas karena kebanyakan kuman yang berada diluar
sel akan terbunuh oleh fagosit, tetapi terdapat sejumlah kecil Treponema pallidum
yang dapat tetap dapat bertahan di dalam sel makrofag dan di dalam sel lainya
yang bukan fagosit misalnya sel endotel dan fibroblas. Keadaan tersebut dapat
menjadi petunjuk mengapa Treponema pallidum dapat hidup dalam tubuh
5

manusia dalam jangka waktu yang lama, yaitu selama masa asimptomatik yang
merupakan ciri khas dari penyakit sifilis.14
1.5 Manifestasi Klinis
Sifilis dalam perjalanannya dibagi menjadi tiga stadium yaitu sifilis stadium
primer, sekunder dan tersier yang terpisah oleh fase laten dimana waktu
bervariasi, tanpa tanda klinis infeksi. Interval antara stadium primer dan sekunder
berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Interval antara stadium
sekunder dan tersier biasanya lebih dari satu tahun.15

a) Sifilis Primer
Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil soliter, kemudian dalam
satu sampai beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus. Lesi klasik
dari sifilis primer disebut dengan chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang
bersih, tunggal, tidak nyeri, merah, berbatas tegas, dipenuhi oleh spirokaeta dan
berlokasi pada sisi Treponema pallidum pertama kali masuk. Chancre dapat
ditemukan dimana saja tetapi paling sering di penis, serviks, dinding vagina,
rectum dan anus. Dasar chancre banyak mengandung spirokaeta yang dapat
dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau imunofluresen pada sediaan
kerokan chancre.16,17
Ada juga morfologi lain dari variasi lesi pada stadium primer yang
menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sensitivitas gejala klasik ini hanya
31% tetapi spesifisitasnya 98%. Ukuran chancre bervariasi dari 0,3-3,0 cm,
terkadang terdapat lesi multipel pada pasien dengan acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS).17,18 Pada sifilis primer sering dijumpai limfadenopati regional,
tidak nyeri dan ipsilateral terhadap chancre, muncul pada 80% pasien dan sering
berhubungan dengan lesi genital. Chancre ekstragenital paling sering ditemukan
di rongga mulut, jari tangan dan payudara. Masa inkubasi chancre bervariasi dari
3-90 hari dan sembuh spontan dalam 4 sampai 6 minggu.16,17
6

Gambar 3. Chancre Sifilis Primer pada Penis.15

b) Sifilis Sekunder
Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunder akan mulai timbul dalam 2
sampai 6 bulan setelah pajanan, 2 sampai 8 minggu setelah chancre muncul.
Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik dengan spirokaeta yang menyebar dari
chancre dan kelenjar limfe ke dalam aliran darah dan ke seluruh tubuh, kemudian
menimbulkan beragam gejala yang jauh dari lokasi infeksi semula. Sistem organ
yang paling sering terkena adalah kulit, limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata,
dan susunan saraf pusat.16,18 Tanda tersering pada sifilis sekunder adalah ruam
kulit makulopapula yang terjadi pada 50% - 70% kasus, papula 12% kasus,
makula 10% kasus, dan papula anula 6% - 14% kasus. Lesi biasanya simetris,
tidak gatal dan mungkin meluas.10,16,18
Kasus yang jarang, lesi dapat menjadi nekrotik, keadaan ini disebut dengan
lues maligna. Lesi di telapak tangan dan kaki merupakan gambaran yang paling
khas pada 4% sampai 11% pasien. Treponema pallidum dapat menginfeksi folikel
rambut yang menyebabkan alopesia pada kulit kepala. Bersamaan dengan
munculnya lesi sekunder, sekitar 10% pasien mengidap kondilomata. Lesinya
berukuran besar, muncul di daerah yang hangat dan lembab termasuk di perineum
dan anus. Inflamasi lokal dapat terjadi di daerah membran mukosa mulut, lidah
dan genital. Pada kasus yang jarang bisa ditemukan sifilis sekunder disertai
dengan kelainan lambung, ginjal dan hepatitis. Treponema pallidum telah
ditemukan pada sampel biopsi hati yang diambil dari pasien dengan sifilis
sekunder. Glomerulonefritis terjadi karena kompleks antigen treponema-
7

imunoglobulin yang berada pada glomeruli yang menyebabkan kerusakan ginjal.


Sindroma nefrotik juga dapat terjadi. Sekitar 5% pasien dengan sifilis sekunder
memperlihatkan gejala neurosifilis termasuk meningitis dan penyakit mata.10

Gambar 4. Makulopapula pada Telapak Tangan

c) Sifilis Laten
Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode hilangnya gejala klinis sifilis
sekunder sampai diberikan terapi atau gejala klinik tersier muncul. Sifilis laten
dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu sifilis laten dini dan lanjut. Pembagian
berdasarkan waktu relaps infeksi mukokutaneus secara spontan pada pasien yang
tidak diobati. Sekitar 90% infeksi berulang muncul dalam satu tahun, 94% muncul
dalam dua tahun dan dorman selama empat tahun. Sifilis laten dini terjadi kurang
satu tahun setelah infeksi sifilis sekunder, 25% diantaranya mengalami relaps
sifilis sekunder yang menular, sedangkan sifilis laten lanjut muncul setelah satu
tahun. Relaps ini dapat terus timbul sampai 5 tahun. Pasien dengan sifilis laten
dini dianggap lebih menular dari sifilis laten lanjut. Pemeriksaaan serologi pada
stadium laten lanjut adalah positif, tetapi penularan secara seksual tidak.16
8

d) Sifilis Tersier
Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun setelah infeksi awal dan dapat
dibagi dalam tiga bentuk yaitu; sifilis gumatous sebanyak 15%, neurosifilis lanjut
(6,5%) dan sifilis kardiovaskular sebanyak 10%. Sepertiga pasien berkembang
menjadi sifilis tersier tanpa pengobatan. Pasien dengan sifilis tersier tidak
menular. Sifilis gumatous atau sifilis benigna lanjut biasanya muncul 1-46 tahun
setelah infeksi awal, dengan rerata 15 tahun. Karakteristik pada stadium ini
ditandai dengan adanya guma kronik, lembut, seperti tumor yang inflamasi
dengan ukuran yang berbeda-beda. Guma ini biasanya mengenai kulit, tulang dan
hati tetapi dapat juga muncul dibagian lain.19

Gambar 4. Guma Sifilis yang Ulser dan Soliter


9

BAB II

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

2.1 Diagnosis
Diagnosis sifilis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat seksual dan
sosial pasien. Adapun beberapa hal yang perlu digali dari anamnesis yaitu:
a. Jumlah pasangan seksual
b. Penggunaan kondom
c. Riwayat infeksi menular seksual pada pasien dan pasangannya
d. Penggunaan napza, dan paparan terhadap produk darah
e. Riwayat munculnya chancre / ulkus durum yang sembuh sendiri pada
daerah kelamin, anus, vulva, atau perineum

2.1.1 Diagnosis Sifilis Primer


Sifilis primer didiagnosis berdasarkan gejala klinis ditemukannya satu atau
lebih chancre (ulser) serta dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskop lapangan
gelap (dark field). Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.20,21
Temuan klinis pada penderita sifilis stadium primer :
1) Gejala muncul 10-90 hari (rata-rata 21 hari) setelah terpapar
2) Gejala utama adalah chancre / ulkus durum <2 cm:
 Pada glans penis, korona radiata, labia, atau perineum
 Berkembang dari makula, papula kemudian menjadi ulkus selama 7 hari
 Soliter, indurasi, tidak nyeri dengan dasar bersih (spesifik 98%, sensitif
31%)
3) Limfadenopati lokal tanpa disertai nyeri.
10

2.1.2 Diagnosis Sifilis Laten


Diagnosis sifilis laten hanya dapat ditegakkan secara presumtif. Diagnosis
berdasarkan hasil uji serologis treponemal dan non-treponemal yang reaktif, tidak
ditemukan keluhan dan gejala-gejala abnormal pada pemeriksaan fisis,
pemeriksaan radiologis jantung dan aorta serta pemeriksaan cairan serebrospinal.
Sifilis laten biasanya terdeteksi pada saat penapisan rutin seperti di klinik Infeksi
Menular Seksual (IMS), klinik antenatal dan donor darah.22
Diagnosis sifilis laten dini ditegakkan apabila dalam 1 tahun terakhir
ditemukan:22
1) Dari anamnesis didapat riwayat gejala sifilis primer atau sekunder. Bila
memiliki pasangan seksual yang menderita sifilis primer, sekunder atau
laten dini.
2) Terdapat serokenversi atau peningkatan iter uji nontreponemal sebanyak 4
kali.
3) Uji serologis nontreponemal dan treponemal reaktif pada seseorang dengan
kemungkinan pajanan terjadi dalam 12 bulan terakhir.
Penderita yang tidak memenuhi kriteria ini harus dianggap mengidap sifilis
laten lanjut. Lamanya infeksi, misalnya kurang atau lebih dari 1 tahun, dapat
ditetapkan berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan serologis sebelumnya.
Bila durasi infeksi tersebut tidak dapat diketahui, maka pernderita itu didiagnosis
sebagai sifilis laten yang tidak diketahui durasinya, sedangkan
penatalaksanaannya sama dengan sifilis laten lanjut. Membedakan sifilis laten dini
dengan sifilis laten lanjut sangat penting sebab sifilis laten dini dapat aktif
kembali menjadi sifilis sekunder dan masih infeksius, selain itu pengobatannya
pun berbeda.22

2.1.3 Pemeriksaan Penunjang


1) Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap (dark field)
Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap (dark field) merupakan metode
paling spesifik dan sensitif untuk memastikan diagnosis sifilis primer adalah
menemukan treponema dengan gambaran karakteristik yang terlihat pada
11

pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dari cairan yang diambil pada permukaan
chancre. Ruam sifilis primer dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum
diperoleh dari bagian dasar atau dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga
serum akan keluar. Kemudian diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap
menggunakan minyak emersi. Treponema pallidum berbentuk ramping dengan
gerakan aktif.20,21

Gambar 5. Temuan T.pallidum pada Pemeriksaan dark field

2) Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi biasanya dilakukan pada pasien sifilis laten dan sifilis
stadium tersier, karena pada keadaan tersebut lesi pada kulit dan mukosa tidak
ditemukan lagi. Pemeriksaan serologi ini berguna untuk mendeteksi antibodi
terhadap Treponema pallidum. Ada dua jenis pemeriksaan serologi pada
Treponema pallidum yaitu; uji nontreponemal dan treponemal. Uji
nontreponemal biasanya digunakan untuk skrining karena biayanya murah dan
mudah dilakukan. Uji treponemal digunakan untuk konfirmasi diagnosis.23

a) Uji Serologi Nontreponemal


Uji nontreponemal menggunakan antigen yang terdiri atas lesitin, kolesterol,
dan kardiolipin yang dimurnikan (komponen dari membrane sel mamalia) untuk
mendeteksi antibodi terhadap kardiolipin yang terdapat dalam serum penderita
sifilis. Pemeriksaan ini merupakan uji flokulasi untuk mendeteksi antibodi dalam
serum yang dilakukan dengan cara mengencerkan serum secara serial. Jenis uji
12

nontreponemal yang paling sering digunakan adalah veneral disease research


laboratory (VDRL) dan rapid plasma reagin (RPR).22 Uji serologi nontreponemal
ini merupakan uji yang dianjurkan untuk memonitor perjalanan penyakit selama
dan setelah pengobatan, karena pemeriksaannya mudah, cepat dan tidak mahal.23
Titer antibodi uji nontreponemal umumnya berhubungan dengan aktivitas
penyakit, dengan demikian hasilnya harus dilaporkan secara kuantitatif.
Pemeriksaan ini akan memberikan hasil yang reaktif 4-5 minggu setelah infeksi.
Setelah pengobatan, titer seharusnya menurun empat kali (misalnya dari titer 1/32
menjadi 1/8 atau lebih). Pada kasus sifilis primer dan sekunder yang telah
mendapat pengobatan, uji nontreponemal akan menurun empat kali pada bulan ke-
3 dan menurun delapan kali pada bulan ke-6. Pada sifilis primer, uji
nontreponemal akan menjadi nonreaktif satu tahun dan pada sifilis sekunder dua
tahun setelah pengobatan.22

i. Venereal Disease Research Laboratory


Pemeriksaan sifilis dengan metode VDRL mudah dilakukan, cepat dan
sangat baik untuk skrining. Uji VDRL dilakukan untuk mengukur antibodi IgM
dan IgG terhadap materi lipoidal (bahan yang dihasilkan dari sel host yang rusak)
sama halnya seperti lipoprotein, dan mungkin kardiolipin berasal dari treponema.
Antibodi antilipoidal adalah antibodi yang tidak hanya berasal dari sifilis atau
penyakit yang disebabkan oleh treponema lainnya, tetapi dapat juga berasal dari
hasil respons terhadap penyakit nontreponemal, baik akut ataupun kronik yang
menimbulkan kerusakan jaringan.

Gambar 6. Contoh Titrasi Serum Uji VDRL


13

ii. Rapid Plasma Reagin


Uji rapid plasma reagin (RPR) 18-mm circle card merupakan pemeriksaan
makroskopis, menggunakan kartu flocculation nontreponemal. Antigen dibuat
dari modifikasi suspensi antigen VDRL yang terdiri dari choline chloride, EDTA
dan partikel charcoal. Antigen RPR dicampur dengan serum yang dipanaskan
atau tidak dipanaskan atau plasma yang tidak dipanaskan diatas kartu yang
dilapisi plastic.
Pemeriksaan RPR mengukur antibodi IgM dan IgG terhadap materi lipoidal,
dihasilkan dari kerusakan sel host sama seperti lipoprotein, dan mungkin
kardiolipin dihasilkan dari treponema. Antibodi antilipoidal merupakan antibodi
yang diproduksi tidak hanya dari pasien sifilis dan penyakit treponemal lainya,
tetapi juga sebagai respons terhadap penyakit nontreponemal akut dan kronik
yang menyebabkan kehancuran jaringan. Jika di dalam sampel ditemukan
antibodi, maka akan berikatan dengan partikel lipid dari antigen membentuk
gumpalan. Partikel charcoal beraglutinasi dengan antibodi dan kelihatan seperti
gumpalan di atas kartu putih. Apabila antibodi tidak ditemukan didalam sampel,
maka akan kelihatan campuran berwarna abu-abu.

Gambar 7. 18-mm circle of the RPR test card

b) Uji Serologi Treponemal


Antigen yang digunakan pada uji treponemal adalah T.pallidum atau
fragmen T.pallidum. Beberapa macam uji treponemal misalnya fluorescent
treponemal antibody absorption test (FTA-Abs), treponema pallidum particle
agglutination (TP-PA), microhaemagglutination and haemagglutination assays
14

for antibodies to Treponema pallidum (MHA-TP, TPHA atau HATTS), juga


enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA) dan Treponema pallidum
immobilization (TPI).22
Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan uji nontreponemal
serta dipergunakan sebagai uji konfirmasi sifilis yang dilakukan setelah
didapatkan uji nontreponemal yang reaktif. Pada sampel dengan hasil uji
treponemal dan uji nontreponemal reaktif, spesifitasnya sangat tinggi. Sebagian
besar penderita dengan hasil uji treponemal reaktif, akan tetap reaktif sepanjang
hidupnya, walaupun telah mendapatkan pengobatan yang adekuat. Pada 15-20%
kasus, hasil pemeriksaan ini dapat menjadi nonreaktif dalam 2-3 tahun setelah
pengobatan sifilis primer. Titer antibodi uji treponemal tidak berhubungan dengan
aktivitas penyakit, dengan demikian pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk
menilai respon pengobatan.22

i. Fluorescent Treponemal Antibody Absorption


Pemeriksaan FTA-ABS menggunakan teknik antibodi flouresens secara
tidak langsung, sebagai pemeriksaan konfirmasi terhadap sifilis. Pemeriksaan ini
menggunakan antigen Treponema pallidum subsp. Pallidum (strain Nichols).
Serum pasien yang telah diencerkan 1:5 dengan sorbent (ekstrak dari kultur
Treponema phagedenis, Reiter treponema), untuk menghilangkan beberapa
antibodi treponema yang ditemukan pada sebahagian pasien, dalam hal merespons
treponema nonpatogenik. Selanjutnya ditempelkan di atas slide yang sebelumnya
telah difiksasi dengan Treponema pallidum. Jika serum pasien mengandung
antibodi, maka antibodi tersebut akan melapisi treponema. Fluorescein
isothiocyanate (FITC)-labeled antihuman immunoglobulin ditambah-kan,
kemudian akan terbentuk ikatan dengan antibodi IgG dan IgM pasien yang
melekat pada Treponema pallidum. Ikatan ini akan terlihat dan diperiksa dibawah
mikroskop fluoresens.

ii. Treponema pallidum Particle Agglutination


Pemeriksaan TP-PA merupakan pemeriksaan serologi, mendeteksi antibodi
beberapa spesies dan subspesies treponema patogenik penyebab sifilis, yaws,
15

pinta, bejel. Pemeriksaan dengan metode ini digunakan sebagai pemeriksaan


konfirmasi, pengganti pemeriksaan dengan microhemagglutination assay for
antibodies toTreponema pallidum (MHA-TP).
16

2.2 Diagnosis Banding

Tabel 1. Diagnosis Banding Sifilis Primer


Sifilis Herpes simpleks Chancroid Limfogranuloma
verenium
Lesi primer Ulkus, papul Vesikel, papul, ulkus Ulkus, papul Papul, pustul, ulkus
Tepi Berbatas tegas Eritematous “punch out” Violet, undermined Bervariasi
Dalam Superfisial Superfisial Dalam Supervisial
Dasar Merah dan halus Merah & halus Eksudat kuning s/d abu Bervariasi
Sekresi Serosa Serosa Purulen s/d hemoragik Bervariasi
Jumlah lesi Soliter, terkadang Bilateral, multiple, lesi Biasanya 1-3 Soliter
multiple dapat bergabung
Indurasi Ada, tegas Tidak ada Jarang Tidak ada
Nyeri Jarang Umum Sering Bervariasi
Gatal Jarang Umum Jarang Jarang
Kelenjar limfe Membesar, keras, tidak Adenopati inguinal Membesar, nyeri, Limfadenopati inguinal
nyeri bilateral, keras, nyeri supuratif & femoral, nyeri
Periode inkubasi 10-90 hari 2-14 hari 1-14 hari 3-21 hari
17

2.3 Tatalaksana
Penatalaksanaan sifilis secara umum meliputi skrining pemeriksaan infeksi
menular seksual (IMS) lain termasuk HIV. Pasien harus diberikan penjelasan
secara rinci mengenai sifilis, termasuk implikasi jangka panjang terhadap
kesehatan diri dan pasangan serta keluarganya. Terdapat sedikit studi yang
memberikan informasi mengenai lama puasa berhubungan seksual selama
pengobatan, tetapi pasien disarankan untuk menahan diri untuk melakukan kontak
seksual sampai lesi dari sifilis primer (jika ada) benar-benar sembuh dan sampai 2
minggu setelah selesai pengobatan. Data klinis mengenai dosis optimal dan lama
pengobatan serta efikasi jangka panjang dari antimikroba lain selain penisilin
masih kurang. Rekomendasi pemberian antimikroba ini hanya berdasarkan
pertimbangan laboratorium, pendapat ahli, studi kasus serta pengalaman klinis.
Penatalaksanaan secara parenteral lebih di pilih daripada secara oral karena terapi
ini dapat diamati dan bioavailabilitasnya terjamin.24,25,26

a) Penisilin Parenteral
Treponema pallidum masih sensitif terhadap penisilin, suatu agen
antimikroba yang menarget sintesis dinding sel bakteri. Belum ada laporan kasus
resistensi penisilin selama lebih dari 60 tahun. Penisilin parenteral telah menjadi
terapi lini pertama untuk sifilis baik stadium dini maupun stadium laten karena
waktu paruh golongan penisilin yang lama, sehingga efek treponemicidal menjadi
lebih panjang, namun perlu diperhatikan risiko alergi penisilin yang mencapai
10%.
Penisilin parenteral merupakan obat pilihan pada semua stadium sifilis. Preparat
penisilin yang digunakan, yaitu benzatin penisilin G (BPG)/ benzatin benzil
penisilin G (BBPG), penisilin prokain (PP)/ prokain benzil penisilin, dan penisilin
G kristal dalam akua. Dosis dan durasi terapi tergantung stadium dan manifestasi
klinis. Terapi sifilis laten lanjut dan sifilis tersier memerlukan durasi terapi yang
lebih lama.27
Benzatin penisilin G atau disebut juga benzatin benzil penisilin G
merupakan bahan alami dari Penicillium notatum mengandung cincin
thiazolidone yang tersambung dengan cincin beta laktam. Benzatin penisilin G
18

memiliki efek bakterisidal terhadap berbagai macam bakteri dan telah


direkomendasikan untuk terapi sifilis selama lebih dari 70 tahun. Benzatin
penisilin G bekerja menghambat sintesis dinding sel bakteri melalui
penghambatan transpeptidase yang akan menghentikan pertumbuhan dan
kembang biak bakteri. Efek samping Benzatin penisilin G antara lain gatal pada
kulit, yang bisa menyebabkan erupsi makulopapular, dermatitis eksfoliatif,
urtikaria, reaksi serum-sickness (demam, edema, nyeri sendi, dan kelemahan
seluruh tubuh), colitis pseudomembranosa, dan reaksi Jarisch- Herxheimer.27
Benzatin penisilin G untuk sifilis dini menghasilkan tingkat kesembuhan
tinggi dan tingkat terapi ulang rendah. Tingkat kegagalan terapi BPG sekitar 5%.
Efektivitas BPG lebih baik dibandingkan regimen nonpenisilin. Pada sifilis
stadium laten jumlah penelitian yang membuktikan keberhasilannya tidak
sebanyak pada stadium dini, namun tetap dinilai sebagai terapi terbaik jika
dibandingkan dengan golongan lain seperti doksisiklin, seftriakson, eritromisin,
dan modalitas terapi lain.27
Obat jenis lain yang masih satu golongan, yaitu PP atau prokain benzil
penisilin, tidak jauh berbeda dari BPG. Perbedaaan utama adalah PP dapat
menembus sawar darah otak dan berakumulasi dalam CSS dibandingkan BPG
yang memiliki kemampuan menembus sawar otak yang rendah. Penisilin prokain
bertahan dalam darah selama 4 jam, kemudian akan terurai selama 15-20 jam.27
Kemampuan menembus sawar darah otak ini membuat PP memiliki
efektivitas tinggi untuk neurosifilis, namun kelemahannya adalah memerlukan
lebih dari satu tempat injeksi, sehingga dapat menyebabkan ketidaknyamanan
pasien akibat nyeri dan dibutuhkan tambahan probenesid 4 kali sehari selama
penggunaan PP. Penggunaan probenesid bertujuan untuk meningkatkan dan
mempertahankan kadar penisilin plasma karena mekanisme urikosurik dan agen
penghambat tubuler renal yang dimiliki probenesid.27

b) Doksisiklin
Doksisiklin merupakan terapi alternatif untuk sifilis pada pasien dengan
alergi golongan penisilin. Doksisiklin bekerja menghambat pengikatan kompleks
19

t-RNA-AA pada ribosom sehingga metabolisme mikroorganisme akan terganggu


dan menghasilkan efek bakterisida. Doksisiklin dinilai cukup efektif untuk sifilis
stadium dini, sebagai terapi alternatif pada kasus yang tidak dapat diobati dengan
penisilin. Beberapa penelitian menyatakan pasien yang diterapi dengan doksisiklin
memberikan respons serologis 270-400 hari setelah terapi.27
Dosis doksisiklin yang sering digunakan adalah 2x100 mg sehari selama 14
hari atau bisa lebih pada sifilis laten. Dengan tingkat keberhasilan serokonversi
mencapai 83-100% doksisiklin juga efektif menangani penyakit menular seksual
lainnya. Doksisiklin lebih murah dan mudah didapat dibandingkan penisilin, lebih
mudah digunakan karena sediaan oral, namun penggunaan rutin selama 14 hari
membuat doksisiklin rawan gagal jika kepatuhan pengunaan obat tidak terjaga,
dibandingkan golongan penisilin yang hanya menggunakan dosis tunggal.27
Pemberian doksisiklin kontraindikasi pada ibu hamil, sehingga pada pasien
yang alergi penisilin dapat diberikan golongan eritromisin, seftriakson, ataupun
azitromisin. Beberapa efek samping doksisiklin yang perlu diperhatikan antara
lain fotosensitif dan ganggguan pencernaan.27

c) Seftriakson
Seftriakson merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang memiliki
absorbsi oral buruk dan waktu paruh sekitar 4,6 jam. Pada tahun 1970-1980-an
sudah dimulai penelitian manfaat seftriakson pada pasien sifilis dengan tingkat
keberhasilan berkisar 65-100%. Cara kerja bakterisida seftriakson adalah dengan
menghambat enzim transpeptidase. Seftriakson memiliki nilai toleransi paling
tinggi dibandingkan antibiotik golongan lain.27
Beberapa studi mengenai seftriakson untuk sifilis dini menunjukkan efikasi
yang sebanding dengan penisilin. Penelitian tersebut menggunakan dosis
parenteral 1-2 gram sekali sehari selama 10-15 hari dengan tingkat respons
serologis 65%-100%.29,30 Seftriakson juga terbukti memiliki kelebihan dalam
mengobati berbagai bentuk neurosifilis bahkan pada pasien asimtomatis. Gagal
terapi paling banyak diamati pada pasien HIV koinfeksi sifilis laten. Terapi sifilis
dengan seftriakson memerlukan beberapa dosis parenteral harian, lebih rumit, dan
20

mahal daripada BPG dosis tunggal, namun memiliki kelebihan dapat menangani
infeksi menular seksual penyerta.27

d) Azitromisin
Azitromisin merupakan derivat eritromisin, bekerja dengan menghambat
perkembangan ribosom, sehingga pembentukan asam amino penting dalam
pertumbuhan bakteri akan terhambat. Azitromisin dan eritromisin digunakan
sebagai terapi sifilis alternatif jika ditemukan alergi golongan penisilin.27
Uji klinis menunjukkan bahwa azitromisin oral (dosis tunggal 1-2 g) efektif
untuk terapi sifilis dini. Munculnya mutasi T. pallidum resisten azitromisin
menyebabkan terbatasnya kegunaannya. Azitromisin memiliki risiko efek
samping gastrointestinal 5 kali lipat dibandingkan BPG.27
Penggunaan azitromisin sebagai terapi sifilis tunggal tidak terlalu
direkomendasikan karena tingginya angka resistensi yang menyebabkan
kegagalan terapi, selain itu harganya juga mahal di beberapa negara, harga
azitromisin di Brazil lebih mahal dibandingkan BPG dan lebih sulit didapat. Telah
dilaporkan resistensi terhadap azitromisin khususnya pada strain T. Pallidum yang
berisi mutasi A2058G atau A2059G mengakibatkan kegagalan pengobatan klinis,
sehingga dinyatakan azitromisin sudah tidak direkomendasikan sebagai alternatif
pengobatan sifilis pada banyak negara dan wilayah.27
21

Tabel 2. Terapi Sifilis Stadium Dini.27


22

Tabel 3. Terapi Sifilis Stadium Laten Lanjut.27


23

BAB III

EVALUASI TERAPI

Pasien dengan sifilis dini dan telah diterapi dengan adekuat harus dievaluasi
secara klinis dan serologis tiap 3 bulan selama satu tahun pertama (bulan ke 3, 6,
9, 12) dan setiap 6 bulan di tahun kedua (bulan ke 18, dan 24).8
Tes TPHA dan titer RPR harus dilakukan pada:8
 Tiga bulan setelah terapi untuk sifilis primer dan sekunder, titer RPR
diperlukan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi dan mendeteksi infeksi
ulang (reinfeksi). Terapi dianggap berhasil jika titer RPR turun. Jika titer
tidak turun atau malah naik, kemungkinan terjadi reinfeksi dan ulangi terapi.
 3, 6, 9, 12, 18 dan 24 bulan setelah terapi:
 Jika titer RPR tetap sama atau bahkan turun, terapi dianggap berhasil dan
pasien cukup diobservasi
 Jika titer RPR meningkat, obati pasien sebagai infeksi baru dan ulangi
terapi.
 Jika RPR nonreaktif atau reaktif lemah(serofast) maka pasien dianggap
sembuh
Pengobatan ulang pasien pada semua stadium penyakit perlu
dipertimbangkan jika tanda-tanda atau gejala klinis sifilis aktif tetap ada atau
kambuh kembali, terdapat peningkatan titer nontreponema atau VDRL tes sampai
empat kali pengenceran dan titer tes VDRL awal yang tinggi (VDRL 1:8 atau
lebih) dan menetap dalam setahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan
sebelum pengobatan ulang dilakukan, kecuali pada kasus reinfeksi dan diagnosis
sifilis stadium awal dapat dipastikan. 8,15 Pengobatan ulang sifilis dilakukan sesuai
dengan rejimen yang telah ditetapkan untuk sifilis yang telah berlangsung lebih
dari dua tahun. Umumnya hanya satu pengobatan ulang diperlukan karena
pengobatan yang diberikan secara adekuat akan menunjukkan kemajuan bila
dipantau dengan tes nontreponema yang tetap menunjukkan titer rendah.15
24

BAB IV

RINGKASAN

Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh


spiroseta Treponema pallidum, bersifat kronis, dan dapat mengenai hampir
seluruh struktur tubuh. Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual
(membran mukosa vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang
terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada
stadium akhir kehamilan. Sifilis dalam perjalanannya dibagi menjadi tiga stadium
yaitu sifilis stadium primer, sekunder dan tersier yang terpisah oleh fase laten
dimana waktu bervariasi, tanpa tanda klinis infeksi. Manifestasi klinis klasik
sifilis primer adalah timbulnya chancre di daerah genital tanpa disertai nyeri yang
timbul sebagai respons terhadap invasi oleh Treponema pallidum. Selain di
genital, chancre dapat muncul pada area tubuh lainya seperti di jari, payudara,
tonsil, serta di mukosa mulut. Sifilis primer didiagnosis berdasarkan gejala klinis
ditemukannya satu atau lebih chancre (ulser) serta dikonfirmasi dengan
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap (dark field). Diagnosis untuk sifilis laten
hanya bersifat presumtif, yaitu berdasarkan hasil uji serologis treponemal dan
nontreponemal yang reaktif, walaupun sensitivitas uji serologis akan menurun
dengan kian bertambah lamanya penyakit. Benzatin penisilin merupakan terapi
pilihan utama pada sifilis, namun pemberian obat ini berbeda untuk setiap
stadium. Pada penderita sifilis yang telah diobati harus dilakukan pengamatan uji
nontreponemal secara kauntitatif sampai dengan 12 bulan (24 bulan jika HIV)
setelah pengobatan dengan tujuan untuk memantau keberhasilan atau kegagalan
pengobatan.
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Chandrasekar PH. Syphilis. In: Bronze MS, editors. Medscape. Jul 2017.
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/229461-overview
2. Centers of Disease Control and Prevention. Syphilis. In: Sexually
Transmitted Diseases. 2017. Available from: https://www.cdc.gov/std/
tg2015/syphilis.htm
3. Tudor ME, Al Aboud AM, Gossman WG. Syphilis. In: StatPearls. Aug
2020. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534780/
4. Newman L, et al. Global Estimates of the Prevalence and Incidence of
Four Curable Sexually Transmitted Infections in 2012 Based on
Systematic Review and Global Reporting. PLoS One. 2015;10.
5. Chandrasekar PH. Syphilis. In: Bronze MS, editors. Medscape. Jul
2017.Available from: https://emedicine.medscape.com/article/229461-
over view
6. Kojima N, Klausner JD. An Update on the Global Epidemiology of
Syphilis. In: Curr Epidemiol Rep. 2018;5(1):24-38.
7. Centers of Disease Control and Prevention. Syphilis Statistics. In: 2015
Sexually Transmitted Disease Guidelines. 2015. Available from: https://
www.cdc.gov/std/tg2015/syphilis.htm
8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Sifilis Untuk
Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar. In: Depkes. 2013.
9. Jawetz, Melnick, Adelberg. Spiroketa & mikroorganisme spiral lainnya
Dalam: Mikrobiologi Kedokteran, 23th ed, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta. 2004. hlm. 338-42.
10. Lafond RE, Lukehart SA. Biological Basis for Syphilis. In: Clin Microbiol
Rev. 2006;19(1):29-49.
11. Peeling RW, Hook EW. The Pathogenesis of Syphilis: the Great Mimicker
Revisited. In: J Pathol. 2006;208(2):224-32.
26

12. Ho EL, Lukehart SA. Syphilis: Using Modern Approach to Understand the
Disease. In: J Clin Invest. 2011. 2005;121(12):4584-92.
13. Izard J, et al. Cryo-Electron Tomography Elucidates the Molecular
Architecture of Treponema pallidum, the Syphilis Spirochete. J
Bacteriol. 2009;191:7566–7580.
14. Efrida, Elvinawaty. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan
Pemeriksaan Serologi. Jurnal Kesehatan Andalas (2014) 3(3): 572-587.
15. Suryani DPA, Sibero HT. Syphilis. J MAJORITY (2014) 3 (7): 7-16.
16. Prince SA, Wilson LM. Sifilis dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit 6th ed. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2006.hlm.
1338-40.
17. Singh AE, Romanowski B. Syphilis: review with emphasis on clinical,
epidemiologic, and some biologic features, in Clinical Microbiology
Reviews. 1999; (12); 187–209.
18. Winn W, Allen S, Janda W, Koneman E, Procop G, Schreckenberger P,
Woods G. Spirochetal infections, in Koneman’s Color Atlas and Textbook
of Diagnostic Microbiology, 7th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
hlm. 1125-34.
19. Pommerville JC. Syphilis is a chronic infection disease. In: Alcamo’s
Fundamentals Of Microbiology, Body Systems Edition, Jones And Bartlett
Publishers. 2010. hlm. 822-5.
20. Klausner JD, Hook EW. Current Diagnosis & Treatment Sexually
Transmitted Disease. New York:McGraw Hill Companies, 2007.
21. Department of Health and Human services Centers for Disease Control
and Prevention. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines,
2010. MMWR 2010;59(No. RR-12): 26-39.
22. Rowawi R. Sifilis Laten: Diagnosis dan Pengobatan. Global Medical and
Health Communication (2013) 1(2): 79-86.
23. Ratnam S. The laboratory diagnosis of syphilis. Can J Infect Dis Med
Microbiol, Canadian STI Best Practice Laboratory Guidelines. 2005 (16)1.
27

24. Causer LM, et al.. A Laboratory-based Evaluation of Four Rapid Point-of-


Care Tests for Syphilis. PLOS One (2014) 9 (3): 1-7.
25. Mo, X., Jin, Y., Yang, Y., Hu, W., Gu, W. Evaluation of new
chemilumine-scence immunoassay for diagnosis of syphilis. European
Journal of Medical research (2010) 15: 66-69.
26. Byrne, R.E. Evaluation of a Treponema pallidum western blot assay as a
confirmatory test for syphilis. J Clin Microbiol (2002) 30: 115-122.
27. Rinandari U, Sari EYE. Terapi Sifilis Terkini. CDK Journal (2020); 47
(9): 647-658.

Anda mungkin juga menyukai