DISUSUN OLEH :
Alfan Satria
45 20 112 025
DOSEN PEMBIMBING :
dr. Fadlina Zainuddin, Sp.KK, M.Kes
HALAMAN PENGESAHAN
NIM : 4520112025
Mengetahui,
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
spiroseta Treponema pallidum, bersifat kronis, dan dapat mengenai hampir
seluruh struktur tubuh. Sifilis ditularkan melalui kontak seksual atau luka pada
kulit dari lesi infeksius, in utero dari ibu ke anak, dan melalui transfusi darah. 1,2
Sifilis memiliki berbagai gambaran klinis dan seringkali sulit dibedakan dengan
infeksi atau penyakit imunologi lain. Oleh karena itu penyakit ini sering disebut
“The great imitator and mimicker”.2,3
1.2 Epidemiologi
Menurut perkiraan dari WHO, sekitar 17,7 juta orang berusia 15-49 tahun
secara global menderita sifilis pada tahun 2012, dengan perkiraan 5,6 juta kasus
baru setiap tahun. Estimasi prevalensi dan insidensi sifilis bervariasi secara
substansial menurut wilayah atau negara, dengan prevalensi tertinggi di Afrika
dan> 60% kasus baru terjadi di Negara berpenghasilan menengah ke bawah (low-
middle income countries).4
Pada negara maju dilaporkan prevalensi sifilis meningkat pada kelompok
tertentu, seperti pria homoseksual, wanita transgender, dan pekerja seks.5,6 Data
CDC tahun 2017, melaporkan distribusi kasus sifilis primer dan sekunder terjadi
52% pada pria yang berhubungan seksual dengan pria saja, 6% pada pria yang
berhubungan seksual dengan pria dan wanita, dan 15% pada pria yang
berhubungan seksual dengan wanita saja.7
Di Indonesia, pada tahun 2011 prevalensi sifilis pada wanita pekerja seks
yang terinfeksi HIV adalah 16,7% dan yang tidak terinfeksi HIV adalah 9,47%.
Pada populasi pria yang berhubungan seksual dengan pria yang terinfeksi HIV
adalah 23,8% dan yang tidak terinfeksi HIV sebesar 16,67%.8
2
1.3 Etiologi
Sifilis adalah infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspecies
pallidum. Treponema pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri
ini berbentuk spiral. Terdapat empat subspesies, yaitu Treponema pallidum
pallidum, yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum pertenue, yang
menyebabkan yaws, Treponema pallidum carateum,yang menyebabkan pinta dan
Treponema pallidum endemicum yang menyebabkan sifilis endemik (juga disebut
bejel).9
Treponema pallidum berbentuk heliks, bersifat mikroaerofilik, memiliki panjang 6-
20 µm dan diameter 0,1-0,18 µm, serta memiliki 2-3 flagella untuk motilitasnya.
Ukurannya yang kecil membuat organisme ini tidak terlihat dengan mikroskop cahaya
dan diidentifikasi melalui gerakan undulasi pada mikroskop lapangan gelap. Dari
penelitian didapatkan organisme ini membelah setiap 30-33 jam secara in
vivo. Treponema pallidum hanya dapat bertahan dalam waktu singkat di luar tubuh
karena rendahnya kapasitas metabolisme, dan menurunnya viabilitas pada lingkungan
yang memiliki suhu lebih tinggi dari temperatur tubuh.10-12
3
1.4 Patofisiologi
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa
vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu
yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan.
Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui membran mukosa yang utuh
dan kulit yang lecet, kemudian kedalam kelenjar getah bening, masuk aliran
darah, kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk keruang
intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup
botol). Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala
klinis dan serologi belum kelihatan pada saat itu. Darah dari pasien yang baru
terkena sifilis ataupun yang masih dalam masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu
berkembang biak Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara invivo
30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk, biasa-nya
bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat
masuknya, kuman mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan
4
timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara
klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di
tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler (Treponema pallidum
berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini mengakibatkan
hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis
obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada daerah
papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini
disebut chancre.14
Manifestasi klinis klasik sifilis primer adalah timbulnya chancre di daerah
genital tanpa disertai nyeri yang timbul sebagai respons terhadap invasi oleh
Treponema pallidum. Selain di genital, chancre dapat muncul pada area tubuh
lainya seperti di jari, payudara, tonsil, serta di mukosa mulut. Lesi ini dapat terjadi
di setiap tempat yang bersentuhan langsung dengan lesi yang terinfeksi dan
disertai dengan limfadenopati. Lesi primer ini akan hilang tanpa meninggalkan
bekas luka, meskipun tidak diobati. Jika tidak diobati, sifilis primer dapat
berkembang menjadi sifilis sekunder, yang memiliki banyak temuan klinis dan
histopatologis.3
Lesi primer dan sekunder sembuh tanpa pengobatan, dan pasien memasuki
fase laten di mana tidak ada manifestasi klinis. Pada fase ini, infeksi hanya dapat
dideteksi dengan pengujian serologis. Beberapa pasien pada fase ini akan
berlanjut ke fase tersier, ditandai dengan sifilis kardiovaskular, neurosifilis, dan
late benign syphilis.3
Sifat yang mendasari virulensi Treponema pallidum belum dipahami
selengkapnya, tidak ada tanda-tanda bahwa kuman ini bersifat toksigenik karena
didalam dinding selnya tidak ditemukan eksotoksin ataupun endotoksin.
Meskipun didalam lesi primer dijumpai banyak kuman namun tidak ditemukan
kerusakan jaringan yang cukup luas karena kebanyakan kuman yang berada diluar
sel akan terbunuh oleh fagosit, tetapi terdapat sejumlah kecil Treponema pallidum
yang dapat tetap dapat bertahan di dalam sel makrofag dan di dalam sel lainya
yang bukan fagosit misalnya sel endotel dan fibroblas. Keadaan tersebut dapat
menjadi petunjuk mengapa Treponema pallidum dapat hidup dalam tubuh
5
manusia dalam jangka waktu yang lama, yaitu selama masa asimptomatik yang
merupakan ciri khas dari penyakit sifilis.14
1.5 Manifestasi Klinis
Sifilis dalam perjalanannya dibagi menjadi tiga stadium yaitu sifilis stadium
primer, sekunder dan tersier yang terpisah oleh fase laten dimana waktu
bervariasi, tanpa tanda klinis infeksi. Interval antara stadium primer dan sekunder
berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Interval antara stadium
sekunder dan tersier biasanya lebih dari satu tahun.15
a) Sifilis Primer
Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil soliter, kemudian dalam
satu sampai beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus. Lesi klasik
dari sifilis primer disebut dengan chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang
bersih, tunggal, tidak nyeri, merah, berbatas tegas, dipenuhi oleh spirokaeta dan
berlokasi pada sisi Treponema pallidum pertama kali masuk. Chancre dapat
ditemukan dimana saja tetapi paling sering di penis, serviks, dinding vagina,
rectum dan anus. Dasar chancre banyak mengandung spirokaeta yang dapat
dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau imunofluresen pada sediaan
kerokan chancre.16,17
Ada juga morfologi lain dari variasi lesi pada stadium primer yang
menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sensitivitas gejala klasik ini hanya
31% tetapi spesifisitasnya 98%. Ukuran chancre bervariasi dari 0,3-3,0 cm,
terkadang terdapat lesi multipel pada pasien dengan acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS).17,18 Pada sifilis primer sering dijumpai limfadenopati regional,
tidak nyeri dan ipsilateral terhadap chancre, muncul pada 80% pasien dan sering
berhubungan dengan lesi genital. Chancre ekstragenital paling sering ditemukan
di rongga mulut, jari tangan dan payudara. Masa inkubasi chancre bervariasi dari
3-90 hari dan sembuh spontan dalam 4 sampai 6 minggu.16,17
6
b) Sifilis Sekunder
Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunder akan mulai timbul dalam 2
sampai 6 bulan setelah pajanan, 2 sampai 8 minggu setelah chancre muncul.
Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik dengan spirokaeta yang menyebar dari
chancre dan kelenjar limfe ke dalam aliran darah dan ke seluruh tubuh, kemudian
menimbulkan beragam gejala yang jauh dari lokasi infeksi semula. Sistem organ
yang paling sering terkena adalah kulit, limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata,
dan susunan saraf pusat.16,18 Tanda tersering pada sifilis sekunder adalah ruam
kulit makulopapula yang terjadi pada 50% - 70% kasus, papula 12% kasus,
makula 10% kasus, dan papula anula 6% - 14% kasus. Lesi biasanya simetris,
tidak gatal dan mungkin meluas.10,16,18
Kasus yang jarang, lesi dapat menjadi nekrotik, keadaan ini disebut dengan
lues maligna. Lesi di telapak tangan dan kaki merupakan gambaran yang paling
khas pada 4% sampai 11% pasien. Treponema pallidum dapat menginfeksi folikel
rambut yang menyebabkan alopesia pada kulit kepala. Bersamaan dengan
munculnya lesi sekunder, sekitar 10% pasien mengidap kondilomata. Lesinya
berukuran besar, muncul di daerah yang hangat dan lembab termasuk di perineum
dan anus. Inflamasi lokal dapat terjadi di daerah membran mukosa mulut, lidah
dan genital. Pada kasus yang jarang bisa ditemukan sifilis sekunder disertai
dengan kelainan lambung, ginjal dan hepatitis. Treponema pallidum telah
ditemukan pada sampel biopsi hati yang diambil dari pasien dengan sifilis
sekunder. Glomerulonefritis terjadi karena kompleks antigen treponema-
7
c) Sifilis Laten
Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode hilangnya gejala klinis sifilis
sekunder sampai diberikan terapi atau gejala klinik tersier muncul. Sifilis laten
dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu sifilis laten dini dan lanjut. Pembagian
berdasarkan waktu relaps infeksi mukokutaneus secara spontan pada pasien yang
tidak diobati. Sekitar 90% infeksi berulang muncul dalam satu tahun, 94% muncul
dalam dua tahun dan dorman selama empat tahun. Sifilis laten dini terjadi kurang
satu tahun setelah infeksi sifilis sekunder, 25% diantaranya mengalami relaps
sifilis sekunder yang menular, sedangkan sifilis laten lanjut muncul setelah satu
tahun. Relaps ini dapat terus timbul sampai 5 tahun. Pasien dengan sifilis laten
dini dianggap lebih menular dari sifilis laten lanjut. Pemeriksaaan serologi pada
stadium laten lanjut adalah positif, tetapi penularan secara seksual tidak.16
8
d) Sifilis Tersier
Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun setelah infeksi awal dan dapat
dibagi dalam tiga bentuk yaitu; sifilis gumatous sebanyak 15%, neurosifilis lanjut
(6,5%) dan sifilis kardiovaskular sebanyak 10%. Sepertiga pasien berkembang
menjadi sifilis tersier tanpa pengobatan. Pasien dengan sifilis tersier tidak
menular. Sifilis gumatous atau sifilis benigna lanjut biasanya muncul 1-46 tahun
setelah infeksi awal, dengan rerata 15 tahun. Karakteristik pada stadium ini
ditandai dengan adanya guma kronik, lembut, seperti tumor yang inflamasi
dengan ukuran yang berbeda-beda. Guma ini biasanya mengenai kulit, tulang dan
hati tetapi dapat juga muncul dibagian lain.19
BAB II
2.1 Diagnosis
Diagnosis sifilis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat seksual dan
sosial pasien. Adapun beberapa hal yang perlu digali dari anamnesis yaitu:
a. Jumlah pasangan seksual
b. Penggunaan kondom
c. Riwayat infeksi menular seksual pada pasien dan pasangannya
d. Penggunaan napza, dan paparan terhadap produk darah
e. Riwayat munculnya chancre / ulkus durum yang sembuh sendiri pada
daerah kelamin, anus, vulva, atau perineum
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dari cairan yang diambil pada permukaan
chancre. Ruam sifilis primer dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum
diperoleh dari bagian dasar atau dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga
serum akan keluar. Kemudian diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap
menggunakan minyak emersi. Treponema pallidum berbentuk ramping dengan
gerakan aktif.20,21
2) Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi biasanya dilakukan pada pasien sifilis laten dan sifilis
stadium tersier, karena pada keadaan tersebut lesi pada kulit dan mukosa tidak
ditemukan lagi. Pemeriksaan serologi ini berguna untuk mendeteksi antibodi
terhadap Treponema pallidum. Ada dua jenis pemeriksaan serologi pada
Treponema pallidum yaitu; uji nontreponemal dan treponemal. Uji
nontreponemal biasanya digunakan untuk skrining karena biayanya murah dan
mudah dilakukan. Uji treponemal digunakan untuk konfirmasi diagnosis.23
2.3 Tatalaksana
Penatalaksanaan sifilis secara umum meliputi skrining pemeriksaan infeksi
menular seksual (IMS) lain termasuk HIV. Pasien harus diberikan penjelasan
secara rinci mengenai sifilis, termasuk implikasi jangka panjang terhadap
kesehatan diri dan pasangan serta keluarganya. Terdapat sedikit studi yang
memberikan informasi mengenai lama puasa berhubungan seksual selama
pengobatan, tetapi pasien disarankan untuk menahan diri untuk melakukan kontak
seksual sampai lesi dari sifilis primer (jika ada) benar-benar sembuh dan sampai 2
minggu setelah selesai pengobatan. Data klinis mengenai dosis optimal dan lama
pengobatan serta efikasi jangka panjang dari antimikroba lain selain penisilin
masih kurang. Rekomendasi pemberian antimikroba ini hanya berdasarkan
pertimbangan laboratorium, pendapat ahli, studi kasus serta pengalaman klinis.
Penatalaksanaan secara parenteral lebih di pilih daripada secara oral karena terapi
ini dapat diamati dan bioavailabilitasnya terjamin.24,25,26
a) Penisilin Parenteral
Treponema pallidum masih sensitif terhadap penisilin, suatu agen
antimikroba yang menarget sintesis dinding sel bakteri. Belum ada laporan kasus
resistensi penisilin selama lebih dari 60 tahun. Penisilin parenteral telah menjadi
terapi lini pertama untuk sifilis baik stadium dini maupun stadium laten karena
waktu paruh golongan penisilin yang lama, sehingga efek treponemicidal menjadi
lebih panjang, namun perlu diperhatikan risiko alergi penisilin yang mencapai
10%.
Penisilin parenteral merupakan obat pilihan pada semua stadium sifilis. Preparat
penisilin yang digunakan, yaitu benzatin penisilin G (BPG)/ benzatin benzil
penisilin G (BBPG), penisilin prokain (PP)/ prokain benzil penisilin, dan penisilin
G kristal dalam akua. Dosis dan durasi terapi tergantung stadium dan manifestasi
klinis. Terapi sifilis laten lanjut dan sifilis tersier memerlukan durasi terapi yang
lebih lama.27
Benzatin penisilin G atau disebut juga benzatin benzil penisilin G
merupakan bahan alami dari Penicillium notatum mengandung cincin
thiazolidone yang tersambung dengan cincin beta laktam. Benzatin penisilin G
18
b) Doksisiklin
Doksisiklin merupakan terapi alternatif untuk sifilis pada pasien dengan
alergi golongan penisilin. Doksisiklin bekerja menghambat pengikatan kompleks
19
c) Seftriakson
Seftriakson merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang memiliki
absorbsi oral buruk dan waktu paruh sekitar 4,6 jam. Pada tahun 1970-1980-an
sudah dimulai penelitian manfaat seftriakson pada pasien sifilis dengan tingkat
keberhasilan berkisar 65-100%. Cara kerja bakterisida seftriakson adalah dengan
menghambat enzim transpeptidase. Seftriakson memiliki nilai toleransi paling
tinggi dibandingkan antibiotik golongan lain.27
Beberapa studi mengenai seftriakson untuk sifilis dini menunjukkan efikasi
yang sebanding dengan penisilin. Penelitian tersebut menggunakan dosis
parenteral 1-2 gram sekali sehari selama 10-15 hari dengan tingkat respons
serologis 65%-100%.29,30 Seftriakson juga terbukti memiliki kelebihan dalam
mengobati berbagai bentuk neurosifilis bahkan pada pasien asimtomatis. Gagal
terapi paling banyak diamati pada pasien HIV koinfeksi sifilis laten. Terapi sifilis
dengan seftriakson memerlukan beberapa dosis parenteral harian, lebih rumit, dan
20
mahal daripada BPG dosis tunggal, namun memiliki kelebihan dapat menangani
infeksi menular seksual penyerta.27
d) Azitromisin
Azitromisin merupakan derivat eritromisin, bekerja dengan menghambat
perkembangan ribosom, sehingga pembentukan asam amino penting dalam
pertumbuhan bakteri akan terhambat. Azitromisin dan eritromisin digunakan
sebagai terapi sifilis alternatif jika ditemukan alergi golongan penisilin.27
Uji klinis menunjukkan bahwa azitromisin oral (dosis tunggal 1-2 g) efektif
untuk terapi sifilis dini. Munculnya mutasi T. pallidum resisten azitromisin
menyebabkan terbatasnya kegunaannya. Azitromisin memiliki risiko efek
samping gastrointestinal 5 kali lipat dibandingkan BPG.27
Penggunaan azitromisin sebagai terapi sifilis tunggal tidak terlalu
direkomendasikan karena tingginya angka resistensi yang menyebabkan
kegagalan terapi, selain itu harganya juga mahal di beberapa negara, harga
azitromisin di Brazil lebih mahal dibandingkan BPG dan lebih sulit didapat. Telah
dilaporkan resistensi terhadap azitromisin khususnya pada strain T. Pallidum yang
berisi mutasi A2058G atau A2059G mengakibatkan kegagalan pengobatan klinis,
sehingga dinyatakan azitromisin sudah tidak direkomendasikan sebagai alternatif
pengobatan sifilis pada banyak negara dan wilayah.27
21
BAB III
EVALUASI TERAPI
Pasien dengan sifilis dini dan telah diterapi dengan adekuat harus dievaluasi
secara klinis dan serologis tiap 3 bulan selama satu tahun pertama (bulan ke 3, 6,
9, 12) dan setiap 6 bulan di tahun kedua (bulan ke 18, dan 24).8
Tes TPHA dan titer RPR harus dilakukan pada:8
Tiga bulan setelah terapi untuk sifilis primer dan sekunder, titer RPR
diperlukan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi dan mendeteksi infeksi
ulang (reinfeksi). Terapi dianggap berhasil jika titer RPR turun. Jika titer
tidak turun atau malah naik, kemungkinan terjadi reinfeksi dan ulangi terapi.
3, 6, 9, 12, 18 dan 24 bulan setelah terapi:
Jika titer RPR tetap sama atau bahkan turun, terapi dianggap berhasil dan
pasien cukup diobservasi
Jika titer RPR meningkat, obati pasien sebagai infeksi baru dan ulangi
terapi.
Jika RPR nonreaktif atau reaktif lemah(serofast) maka pasien dianggap
sembuh
Pengobatan ulang pasien pada semua stadium penyakit perlu
dipertimbangkan jika tanda-tanda atau gejala klinis sifilis aktif tetap ada atau
kambuh kembali, terdapat peningkatan titer nontreponema atau VDRL tes sampai
empat kali pengenceran dan titer tes VDRL awal yang tinggi (VDRL 1:8 atau
lebih) dan menetap dalam setahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan
sebelum pengobatan ulang dilakukan, kecuali pada kasus reinfeksi dan diagnosis
sifilis stadium awal dapat dipastikan. 8,15 Pengobatan ulang sifilis dilakukan sesuai
dengan rejimen yang telah ditetapkan untuk sifilis yang telah berlangsung lebih
dari dua tahun. Umumnya hanya satu pengobatan ulang diperlukan karena
pengobatan yang diberikan secara adekuat akan menunjukkan kemajuan bila
dipantau dengan tes nontreponema yang tetap menunjukkan titer rendah.15
24
BAB IV
RINGKASAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Chandrasekar PH. Syphilis. In: Bronze MS, editors. Medscape. Jul 2017.
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/229461-overview
2. Centers of Disease Control and Prevention. Syphilis. In: Sexually
Transmitted Diseases. 2017. Available from: https://www.cdc.gov/std/
tg2015/syphilis.htm
3. Tudor ME, Al Aboud AM, Gossman WG. Syphilis. In: StatPearls. Aug
2020. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534780/
4. Newman L, et al. Global Estimates of the Prevalence and Incidence of
Four Curable Sexually Transmitted Infections in 2012 Based on
Systematic Review and Global Reporting. PLoS One. 2015;10.
5. Chandrasekar PH. Syphilis. In: Bronze MS, editors. Medscape. Jul
2017.Available from: https://emedicine.medscape.com/article/229461-
over view
6. Kojima N, Klausner JD. An Update on the Global Epidemiology of
Syphilis. In: Curr Epidemiol Rep. 2018;5(1):24-38.
7. Centers of Disease Control and Prevention. Syphilis Statistics. In: 2015
Sexually Transmitted Disease Guidelines. 2015. Available from: https://
www.cdc.gov/std/tg2015/syphilis.htm
8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Sifilis Untuk
Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar. In: Depkes. 2013.
9. Jawetz, Melnick, Adelberg. Spiroketa & mikroorganisme spiral lainnya
Dalam: Mikrobiologi Kedokteran, 23th ed, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta. 2004. hlm. 338-42.
10. Lafond RE, Lukehart SA. Biological Basis for Syphilis. In: Clin Microbiol
Rev. 2006;19(1):29-49.
11. Peeling RW, Hook EW. The Pathogenesis of Syphilis: the Great Mimicker
Revisited. In: J Pathol. 2006;208(2):224-32.
26
12. Ho EL, Lukehart SA. Syphilis: Using Modern Approach to Understand the
Disease. In: J Clin Invest. 2011. 2005;121(12):4584-92.
13. Izard J, et al. Cryo-Electron Tomography Elucidates the Molecular
Architecture of Treponema pallidum, the Syphilis Spirochete. J
Bacteriol. 2009;191:7566–7580.
14. Efrida, Elvinawaty. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan
Pemeriksaan Serologi. Jurnal Kesehatan Andalas (2014) 3(3): 572-587.
15. Suryani DPA, Sibero HT. Syphilis. J MAJORITY (2014) 3 (7): 7-16.
16. Prince SA, Wilson LM. Sifilis dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit 6th ed. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2006.hlm.
1338-40.
17. Singh AE, Romanowski B. Syphilis: review with emphasis on clinical,
epidemiologic, and some biologic features, in Clinical Microbiology
Reviews. 1999; (12); 187–209.
18. Winn W, Allen S, Janda W, Koneman E, Procop G, Schreckenberger P,
Woods G. Spirochetal infections, in Koneman’s Color Atlas and Textbook
of Diagnostic Microbiology, 7th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
hlm. 1125-34.
19. Pommerville JC. Syphilis is a chronic infection disease. In: Alcamo’s
Fundamentals Of Microbiology, Body Systems Edition, Jones And Bartlett
Publishers. 2010. hlm. 822-5.
20. Klausner JD, Hook EW. Current Diagnosis & Treatment Sexually
Transmitted Disease. New York:McGraw Hill Companies, 2007.
21. Department of Health and Human services Centers for Disease Control
and Prevention. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines,
2010. MMWR 2010;59(No. RR-12): 26-39.
22. Rowawi R. Sifilis Laten: Diagnosis dan Pengobatan. Global Medical and
Health Communication (2013) 1(2): 79-86.
23. Ratnam S. The laboratory diagnosis of syphilis. Can J Infect Dis Med
Microbiol, Canadian STI Best Practice Laboratory Guidelines. 2005 (16)1.
27